Anda di halaman 1dari 19

Tafsir Ayat Ahkam

Masalah Penyusuan

Oleh:

Muhammad Khairullah Zein

(Alumnus Ma’had ‘Aly Darussalam Martapura)

1
BAB I

PENDAHULUAN

Menikah merupakan salah satu sunnah dalam ajaran agama Islam.1 Sebagai

agama rahmatan lil ‘alamin, Islam memberikan tuntunan yang bagaimana dan

dengan siapa saja pernikahan itu boleh dilangsungkan.

Pernikahan sedarah yang masih dalam kategori mahram dilarang dalam Islam,

walaupun mungkin di zaman dahulu orang hanya bisa menerima ini sebagai perkara

ta’abbudi2, namun penelitian ternyata membuktikan bahwa kawin sedarah bisa

melahirkan generasi yang mengalami kelainan bawaan (congenital) seperti cacat

fisik, juga kemandulan (infertilitas) bagi laki-laki3.

Selain perkawinan seketurunan yang masih dalam kategori mahram, Islam juga

melarang perkawinan mahram sesusuan, sebagaimana dijelaskan dalam al-Qur’an

surah an-Nisa ayat 23 dan ditegaskan Rasulullah SAW dengan sabdanya :


4
‫إنّ ال ّرضاعة تح ّرم ما تح ّرم الوالدة‬
1
Sebagaimana diriwayatkan Bukhari dan Muslim dari Abdullah bin Mas’ud Ra bahwa Rasulullah
SAW bersabda : "‫أغض للبصر وأحصن للفرج‬ّ ‫ فإنّه له‬.‫ فاليتز ّوج‬,‫"يا معشر الشّباب من إستطاع منكم الباءة‬
Wahai para pemuda, siapa yang mampu dari kalian untuk ba’ah (dengan pengertian memiliki
kemampuan untuk melangsungkan sebuah pernikahan) maka hendaklah dia kawin/menikah, karena
itu lebih menjaga pandangan mata dan memelihara faraj.
Lihat Al-Atsqollany, Ibnu Hajar, Bulughul Maram, Darul Fikr, Beirut, 1995 M/1415 H, hadits nomer
994. Untuk penjelasan lebih lanjut silahkan rujuk ash-Shan’any, Muhammad bin Isma’il,
Subulussalam Syarh Bulughul Maram, Darul Fikr, Beirut, tt, jilid II/juz 4, hal 109
2
Ta’abbudy adalah perkara agama yang tidak bisa dilogiskan, berbeda dengan Ta’aqquly yang bersifat
logis atau masuk akal.
3
Diangkat Dr. dr. Hudi Winarso dalam disertasi doktoralnya dengan judul “Mikrodelesi Gen RBM
dan DAZ pada pria pasangan Infertil Yang Melakukan Kawin Kerabat”. Dikutip Serambi Ummah edisi
13 – 19 Mei 2005. hal 19.
4
Riwayat Imam Bukhari dan Muslim dari Ummul Mu’minin; ‘Aisyah radiyallahu ‘anha. Lihat
Bahreisy, Salim, H, Terjemah SingkatTtafsir Ibnu Katsir, PT Bina Ilmu, Surabaya, 1993, Cet kelima,

2
“Sesungguhnya penyusuan (berakibat) mengharamkan apa yang diharamkan oleh

kelahiran”.

Namun, tidak semua bentuk penyusuan tentunya, yang menyebabkan tahrim tersebut.

Ada batasan-batasan dan aturan-aturan tertentu yang perlu kita ketahui, untuk menilai

apakah penyusuan tersebut termasuk dalam kategori radha’ah yang mengharamkan,

ataukah bukan.

BAB II

ISI

Jilid II, hal 345. dalam hadits lain yang juga diriwayatkan Syaikhain; Bukhari dan Muslim dari Ibni
‘Abbas Ra berbunyi "‫"ويحرم من ال ّرضاعة ما يحرم من النسب‬
Lihat Al-Atsqollany, Ibnu Hajar, Bulughul Maram, Darul Fikr, Beirut, 1995 M/1415 H, hadits nomer
1163 juga ash-Shan’any, Muhammad bin Isma’il, Subulussalam Syarh Bulughul Maram, Darul Fikr,
Beirut, tt, jilid II/juz 4, hal 217.

3
I. Ayat Dan Terjemahan

1. Al-Baqarah (233)

‫ه‬cc‫ود ل‬cc‫اعة وعلى المول‬cc‫املين لمن أراد أن يت ّم ال ّرض‬cc‫والوالدات يرضعن أوالدهنّ حولين ك‬

‫ود‬cc‫دها وال مول‬cc‫دة بول‬cc‫ا ّر وال‬cc‫رزقهنّ وكسوتهنّ بالمعروف ال تكلّف نفس إالّ وسعها ال تض‬

‫اح‬cc‫اور فال جن‬cc‫ا وتش‬cc‫راض منهم‬cc‫اال عن ت‬cc‫إن أرادا فص‬cc‫له بولده وعلى الوارث مثل ذالك ف‬

‫المعروف‬cc‫ا آتيتم ب‬cc‫لّمتم م‬c‫اح عليكم إذا س‬cc‫ فال جن‬c‫عليهما وإن أردتم أن تسترضعوا أوالدكم‬

‫ هللا واعلموا أنّ هللا بما تعلمون بصير‬c‫واتقوا‬

Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu

bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. Dan kewajiban ayah memberi

makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang ma’ruf. Seseorang tidak

dibebani mrlainkan menurut kadar kesanggupannya. Janganlah seorang ibu

menderita kesengsaraan karena anaknya dan juga seorang ayah karena

anaknya, dan warispun berkewajiban demikian. Apabila keduanya ingin

menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerelaan keduanya dan

permusyawaratan, maka tidak ada dosa bagi keduanya. Dan jika kamu ingin

anakmu disusukan oleh orang lain, maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu

memberikan pembayaran menurut yang patut. Bertaqwalah kepada Allah dan

4
ketahuilah bahwa Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan. (Al-Baqarah

233)

2. Ath-Tholaq (6)

‫ وإن كنّ أوالت حمل‬, ّ‫أسكنوهنّ من حيث سكنتم من وجدكم والتضآ ّروهنّ لتضيّقوا عليهن‬

‫روا بينكم‬cc‫ وأتم‬, ّ‫ورهن‬cc‫اتوهنّ أوج‬cc‫ فإن أرضعن لكم فئ‬, ّ‫فأنفقوا عليهنّ حتّى يضعن حملهن‬

‫ وإن تعاسرتم فسترضع له أخرى‬,‫بمعروف‬

Tempatkanlah mereka (para isteri) dimana kamu bertempat tinggal menurut

kemampuanmu dan janganlah kamu menyusahkan mereka untuk menyempitkan

(hati) mereka. Dan jika mereka (isteri-isteri yang sudah ditalaq) itu sedang

hamil, maka berikanlah kepada mereka nafkahnya hingga mereka bersalin,

kemudian jika mereka menyusukan (anak-anak)mu untukmu maka berikanlah

kepada mereka upahnya; dan bermusyawarahlah diantara kamu (segala

sesuatu), dengan baik; dan jika kamu menemui kesulitan maka perempuan lain

boleh menyusukan (anak itu) untuknya. (Qs. At-Tholaq 6)

3. An-Nisa (23)

5
‫ات األخت‬cc‫ات األخ وبن‬cc‫ وبن‬c‫االتكم‬cc‫اتكم وخ‬cc‫ وع ّم‬c‫واتكم‬cc‫اتكم وآخ‬cc‫اتكم وبن‬cc‫ ّرمت عليكم أمه‬c‫ح‬

‫ائكم الآلتى دخلتم بهنّ فال‬c‫ات نس‬c‫اعة وأ ّمه‬c‫ من ال ّرض‬c‫ وأخواتكم‬c‫ الالتي أرضعنكم‬c‫وأ ّمهاتكم‬

‫لف‬cc‫د س‬cc‫ا ق‬cc‫جناح عليكم وحالئل أبنائكم اللذين من أصالبكم وأن تجمعوا بين األختين إالّ م‬

‫إنّ هللا كان غفورا رحيم‬

Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu yang

perempuan; saudara-saudaramu yang perempuan; saudara-saudara bapakmu

yang perempuan; saudara-saudara ibumu yang perempuan; anak-anak

perempuan dari saudaramu yang laki-laki; anak-anak perempuan dari

saudaramu yang perempuan; ibu-ibumu yang menyusui kamu; saudara

perempuan sepersusuan; ibu-ibu isterimu (mertua); anak-anak isterimu yang

dalam pemeliharaanmu dari isteri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu

belum campur dengan isterimu itu (dan sudah kamu ceraikan) maka tidak

berdosa kamu mengawininya; (dan diharamkan bagimu) isteri-isteri anak

kandungmu (menantu); dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua

perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau;

sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (Qs. An-Nisa

23)

II. Tafsir Ayat

6
Dalam surah Al-Baqarah 233 Allah SWT memerintahkan kepada para kaum

ibu baik masih berstastus sebagai isteri dari bapak anaknya ataupun sudah

diceraikan5 untuk menyusui anaknya selama dua tahun jika memang ingin

menyempurnakan masa penyusuan6, adapun lebih dari dua tahun maka sudah

bukan merupakan kewajiban lagi karena sudah harus diberi makanan tambahan

untuk pertumbuhan badannya,. karena itu para ulama menyatakan anak tetek itu

jika menetek sebelum umur dua tahun, dan selebihnya itu tidak dianggap anak

tetek yang dapat mengharamkan perkawinan.7

Ummu Salamah Ra mengatakan bahwa Rasulullah Saw bersabda:

‫ال يح ّرم من ال ّرضاع إالّ ما فتق األمعاء فىالثّدي وكان قبل الفطام‬

Tidak dapat mengharamkan karena tetek itu kecuali yang dapat membuka usus

dan terjadi dimasa menetek dan terjadi tetekan itu dimasa sebelum

disarak/disapih (yakni umur dua tahun).\ (HR. at-Tirmidzi)8.

Kewajiban tidak hanya dikenakan kepada kaum ibu saja, para laki-laki atau

ayah dari si anak tersebut juga terkena kewajiban, yaitu memberikan ongkos

kepada ibu bayinya tersebut,9 supaya sang ibu bisa sepenuhnya menyusui bayinya

5
Al-Baidhawi, al-Qodhi, Anwar at-Tanzil wa Asraru at-Ta’wil, Dar al-Kotob al-Ilmiyah, Beirut,
2003/1424, cet 1, jilid I, hal 124-125
6
Ibid. Lihat juga Ash-Shabuny, Muhammad Ali, Rawai’u al-Bayan, Tafsir ayat Ahkam, Darul Kutub
al-Islamiyah, Jakarta, 2001 M/1422 H, Cet 1, Juz I, hal 272-273
7
Bahreisy, Salim, H, Terjemah SingkatTtafsir Ibnu Katsir, PT Bina Ilmu, Surabaya, 1993, Cet kelima,
Jilid I, hal 422
8
Ibid
9
Al-Baidhawi, Op cit. Lihat juga Ash-Shabuny, Muhammad Ali, Rawai’u al-Bayan, Tafsir ayat
Ahkam, Darul Kutub al-Islamiyah, Jakarta, 2001 M/1422 H, Cet 1, Juz I, hal 272-273

7
tanpa terpikirkan masalah ongkos hidup yang nantinya berpengaruh kepada

pertumbuhan si anak. Ongkos atau nafkah tersebut besarnya sekedar kemampuan

sang ayah, karena Allah SWT tidak akan membebani hambanya terkecuali

sekedar kemampuannya.10

Selanjutnya Allah SWT memperingatkan kepada kedua orang tua bayi

tersebut bahwa jangan sampai salah seorang dari keduanya menjadi sengsara

lantaran masalah penyusuan ini, sang ibu tidak boleh menolak untuk menyusui

lantaran ingin membuat sengsara sang ayah, sebaliknya sang ayah pun dilarang

merebut bayi yang masih menyusu dari asuhan ibunya.11

Kemudian Allah SWT menjelaskan, jika kedua orang tua melihat sibayi sudah

tidak menghajatkan lagi air susu ibunya dan ingin menghentikan penyusuan

tersebut padahal belum genap dua tahun, maka hal itu tidak dilarang setelah

keduanya bermusyawarah dan sepakat, karena batasan dua tahun hanyalah untuk

kemashlahatan dan kebaikan si bayi, dan kedua orang tuanyalah yang lebih

mengetahui dengan hal itu.12.

10
Lihat Ash-Shabuny, Muhammad Ali, Rawai’u al-Bayan, Tafsir ayat Ahkam, Darul Kutub al-
Islamiyah, Jakarta, 2001 M/1422 H, Cet 1, Juz I, hal 272-273.
11
Apabila sang ibu menolak untuk menyusui bayinya tentunya hal ini akan menjadi beban di pikiran
sang ayah, yang sebagai orang tua dari si bayi tentu sangat mengasihi dan menyayangi anaknya serta
tidak ingin terjadi hal-hal yang tidak diinginkan pada anaknya. Sang ibu pun sebagai seorang wanita
yang memiliki perasaan dan naluri lembut tentunya tidak ingin terpisah dari bayinya, disini terlihat
betapa Allah SWT sangat mengasihi dan menyayangi hamba-hamba-Nya, juga tergambar betapa
sempurnanya ajaran Islam, sampai-sampai masalah penyusuan bayi pun dijelaskan dan jangan sampai
permasalahan ini menjadi sesuatu yang akan membuat celaka baik bagi kedua orang tuanya maupun
terhadap bayi tersebut.
12
Lihat Ash-Shabuny, Muhammad Ali, Rawai’u al-Bayan, Tafsir ayat Ahkam, Darul Kutub al-
Islamiyah, Jakarta, 2001 M/1422 H, Cet 1, Juz I, hal 272-273.

8
Selanjutnya dalam ayat tersebut dijelaskan seandainya penyusuan anak

tersebut diserahkan kepada orang lain maka hal tersebut tidaklah dilarang, dengan

syarat upah sebelum penyusuan tersebut disepakati untuk selanjutnya dibayar. 13

Hal ini juga dijelaskan dalam surah ath-Tholaq 6.14

Dan Allah SWT memerintahkan agar hamba-hamba-Nya senantiasa bertaqwa

kepadaNya, karena Allah SWT Maha Mengetahui terhadap semua perbuatan

hambaNya.

Sedangkan dalam an-Nisa, Allah SWT menjelaskan mengenai perempuan-

perempuan yang menjadi mahram yaitu yang haram dinikahi oleh pria yang ada

hubungan muhrim dengannya, selain berdasarkan keturunan/nasab dalam ayat ini

juga disebutkan perihal hubungan sesusu.

III. KANDUNGAN HUKUM

1. Maksud "‫ "الوالدات‬didalam ayat 233 surah al-Baqarah

13
Karena masalah pembayaran upah ini akan berpengaruh pada perlakuan ibu susu terhadap bayi yang
disusuinya. Sudah semestinyalah orang tua dari bayi tersebut membayar upah yang telah disepakati
agar sang ibu susu memberikan perhatian dan kasih sayang terhadap bayinya. Lihat Ash-Shabuny,
Muhammad Ali, Rawai’u al-Bayan, Tafsir ayat Ahkam, Darul Kutub al-Islamiyah, Jakarta, 2001
M/1422 H, Cet 1, Juz I, hal 272-273.
14
Dalam ayat ini Allah menyuruh hamba-Nya yang beriman supaya tetap memberi tempat pada
isterinya yang dicerai Raj’i sampai habis masa ‘Iddah. Dan tempat itu sekedar kemampuannya. Jika
perempuan yang diceraikannya itu bertepatan hamil maka harus diberi belanja sampai melahirkan
kandungannya, dan setelah melahirkan harus menyusui bayinya, maka harus dibayar dengan upah
menyusui itu, kemudian bila akan menghentikan susuan itu maka harus bermusyawarah antara ibu dan
ayahnya dengan maksud dan cara yang sebaik-baiknya terutama untuk kepentingen bayinya, masing-
masing tidak boleh diberati dengan beban yang dia tidak akan sanggup menanggungnya. Allah
menjanjikan sesudah masa kesempitan atau kesusahan akan diberikan kelapangan dan keringanan
kekayaan. Bahreisy, Salim, H, Terjemah Singkat Tafsir Ibnu Katsir, PT Bina Ilmu, Surabaya, 1993,
Cet kelima, Jilid VIII, hal 153

9
Sebagian Ulama menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan al-

Waalidaat/para ibu dalam ayat tersebut tertentu bagi ibu-ibu yang sudah

dicerai suaminya.15

Sebagian lagi berpendapat yang dimaksud adalah para ibu yang masih

berstatus sebagai isteri dari bapak anaknya (tidak bercerai), pendapat inilah

yang menjadi pilihan al-Wahidy16 sebagaimana dikutip ar-Razy17 dan al-

Qurthuby18. Dalil mereka adalah bahwa perempuan yang sudah dicerai tidak

mendapatkan hak pakaian (al-Kiswah), mereka hanya berhak mendapatkan

Ujrah atau upah. Manakala dalam ayat tersebut disebutkan kalimat ( ّ‫رزقهن‬

ّ‫وتهن‬cc‫ )وكس‬tentunya yang dimaksud adalah para ibu yang masih berstatus

sebagai isteri (tidak dicerai).

Sebagian lagi berpendapat bahwa kalimat tersebut berlaku untuk umum, sama

ada sudah dicerai atau masih berstatus sebagai isteri, sesuai dengan zhahir

lafz atau tekstualitas dari kalimat tersebut, dan tidak ada dalil yang

15
Ini adalah pendapat Mujahid, ad-Dhahhak dan as-Sady, mereka bersandar dengan kedudukan bahwa
ayat yang sebelumnya berbicara tentang hukum perempuan-perempuan yang di cerai (‫ )المطلّقات‬dan
sebagai kelanjutan dari ayat tersebut, ayat ini sebagai penyempurnaan bagi yang sebelumnya. Dan
bahwa Allah SWT mewajibkan bagi kaum bapak untuk memberi nafkah/ongkos untuk ibu dari anak-
anaknya, seandainya mereka masih berstatus sebagai suami isteri tentunya hal tersebut tidak perlu
diwajibkan disini, karena memang sudah menjadi konsekwensi sebagai seorang suami wajib memberi
ongkos bagi isterinya. Lihat Ash-Shabuny, Muhammad Ali, Rawai’u al-Bayan, Tafsir ayat Ahkam,
Darul Kutub al-Islamiyah, Jakarta, 2001 M/1422 H, Cet 1, Juz I, hal 276.
16
Beliau adalah salah seorang ulama tafsir yang memiliki nama lengkap Abi al-Hasan ‘Ali bin Ahmad
al-Wahidy (W. 468 H), penulis kitab Tafsir yang diberi judul Kitab al-Wajiz fi Tafsiir al-Qur’an
al-‘Aziz, dicetak dan diterbitkan Dar elFikr Beirut bersama dengan kitab tafsir al-Muniratau Maraah
al-Labiid karangan Syeikh Nawawi Banten. Beliau juga menulis kitab tentang sebab-sebab turunnya
ayat/Asbaab an-Nuzul.
17
Penulis kitab tafsir Mafaatih al-Ghaib atau at-Tafsir al-Kabiir yang memiliki nama lengkap
Muhammad bin Umar bin al-Husain bin al-Hasan ar-Razy (W. 606 H)
18
Muhammad bin Ahmad al-Anshary al-Qurthuby (W. 671 H) terkenal dengan kitab tafsirnya al-
Jami’ li Ahkam al-Qur’an.

10
menunjukkan takhsish atau kekhususan ayat tersebut. Pendapat ini

diperpegangi beberapa ulama diantaranya Abu Hayyan dalam kitab al-Bahr

al-Muhiith.19

2. Kaum Ibu Wajib Menyusui Bayinya

Sebagian ulama berpendapat bahwa seorang ibu wajib menyusui bayinya

berdasarkan zhahir ayat ّ‫عن أوالدهن‬cc‫دات يرض‬cc‫ والوال‬karena itu merupakan

sebuah amr (perintah) dengan memakai bentuk khabar,20 sehingga yang

dimaksud adalah ‫ ليرضعن أوالدهن‬yang berarti “hendaklah mereka menyusui

anak-anaknya”. Ini adalah pendapat dari kalangan mazdhab Maliky yang

mengatakan bahwa bagi para ibu yang masih berstatus sebagai isteri dari

bapak anaknya wajib hukumnya menyusui anaknya tersebut, demikian juga

wajib menyusui jika anaknya tersebut tidak mau menyusu kepada perempuan

lain. Adapun perempuan yang telah dithalaq dengan thalaq ba’in21 maka tidak

wajib hukumnya bagi mereka menyusui bayinya dan kewajiban memberikan

susu dikenakan kepada bapaknya dengan jalan mengupah orang untuk

19
Lihat Ash-Shabuny, Muhammad Ali, Rawai’u al-Bayan, Tafsir Ayat Ahkam, Darul Kutub al-
Islamiyah, Jakarta, 2001 M/1422 H, Cet 1, Juz I, hal 276.
20
Pembicaraan atau kalam didalam bahasa Arab menurut para ahli ilmu bayan (hermeuneutika) tidak
terlepas dari dua, yaitu khabar dan insya. Khabar menurut definisi mereka adalah sebuah pernyataan
yang mengandung kebenaran dan kebohongan berbeda dengan Insya yang hanya mengandung
kebenaran. Termasuk dalam kategori Insya adalah kata-kata yang bersifat perintah (amr). Lihat al-
Jarimy, Ali dan Amin, Mushthofa, al-Balaghah al-Wadhihah, Dar al-Ma’arif, Mesir, 1957 M/1377 H,
cet 12, hal 137 dst.
Namun terkadang didalam pembicaraan ada yang terkesan khabar padahal sebuah Insya’, hal ini
banyak terdapat didalam ayat-ayat al-Qur’an.
21
Thalaq terbagi kepada dua, yaitu Ba’in dan Raj’i. Ba’in adalah thalaq yang tidak ada rujuk lagi
setelahnya, permasalahan ini bisa dilihat pembahasannya dalam kitab-kitab fiqh.

11
menyusui bayi tersebut. Terkecuali jika sang ibu tidak keberatan untuk

menyusuinya, namun wajib bagi ayah bayi tersebut memberikan upah

penyusuan tersebut.22

Berbeda dengan pandangan kalangan mazdhab maliky, mayoritas

ulama berpendapat bahwa amr (perintah) disini tidak bersifat wajib melainkan

sunat yang berarti tidak wajib hukumnya bagi ibu menyusui anaknya,

terkecuali jika anaknya tersebut tidak mau menyusu selain kepadanya, atau

sang bapak tidak mampu mengupah orang lain untuk menyusukan anaknya

tersebut. Mereka yang mengikuti pendapat ini berpegang kepada firman Allah

SWT :

QS. ath-Tholaq 6(( ‫وإن تعاسرتم فسترضع له أخرى‬

Seandainya hukum menyusui itu wajib niscaya pembebanan syari’at

diberikan kepada si ibu. Hukum sunat ini dikarenakan air susu ibu (ASI) lebih

cocok bagi si bayi dan kasih sayang ibu terhadap bayinya melebihi kasih

sayang orang lain terhadapnya.23

3. Masa Penyusuan Yang Menyebabkan Haram Menikah24

22
Ash-Shabuny, Muhammad Ali, Rawai’u al-Bayan, Tafsir ayat Ahkam, Darul Kutub al-Islamiyah,
Jakarta, 2001 M/1422 H, Cet 1, Juz I, hal 276. Untuk pembahasan yang lebih mendalam silahkan rujuk
kitab tafsir Ahkam al-Qur’an karangan Ibnu al-‘Araby dan kitab Jami’ li Ahkam al-Qur’an karangan
al-Qurthuby. Rincian masalah bisa dilihat dalam kitab-kitab fiqh.
23
Ash-Shabuny, Muhammad Ali, Rawai’u al-Bayan, Tafsir ayat Ahkam, Darul Kutub al-Islamiyah,
Jakarta, 2001 M/1422 H, Cet 1, Juz I, hal 277.
24
Tidak ada khilafiyah pada penyusuan dibawah dua tahun, yang menjadi perbedaan pendapat para
mujtahid adalah penyusuan diatas dua tahun, sebagaimana disebutkan Ibnu Rusydi. Lihat al-Andalusy,
Muhammad bin Ahmad Ibnu Rusydi, Bidayah al-Mujtahid, Maktabat Daar Ihya, Indonesia, tt, Juz II,
hal. 27.

12
Mayoritas fuqaha kalangan mazdhab Maliky, Syafi’I dan imam

Ahmad berpendapat bahwa penyusuan yang menyebabkan haram dan berlaku

hukum seperti hukum sedarah sebagaimana sabda Nabi SAW

‫يحرم من ال ّرضاع ما يحرم من النّسب‬

Diharamkan lantaran sesusu apa-apa yang diharamkan lantaran

sedarah/senasab adalah yang terjadi di dalam usia maksimal dua tahun.

Mereka berdalil dengan firman Allah SWT :

‫والوالدات يرضعن أوالدهنّ حولين كاملين‬

Dan dengan hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu ‘Abbas Ra bahwa

Rasulullah SAW bersabda:

25
‫ال رضاع إالّ ما كان فى الحولين‬

Bukanlah (termasuk) penyusuan terkecuali yang terjadi didalam masa usia

dua tahun.

Sedangkan imam Abu Hanifah berpendapat bahwa masa berlakunya

penyusuan sampai dua tahun setengah berdasarkan firman Allah SWT:

‫وحمله وفصاله وثالثون شهرا‬

Al-Allamah al-Qurthuby mengatakan bahwa pendapat yang shahih adalah

pendapat yang pertama, berdasarkan firman Allah SWT:

‫حولين كاملين‬

25
Hadits ditakhrij oleh ad-Daraquthny, lihat kutipannya dalam Ash-Shabuny, Muhammad Ali,
Rawai’u al-Bayan, Tafsir ayat Ahkam, Darul Kutub al-Islamiyah, Jakarta, 2001 M/1422 H, Cet 1, Juz
I, hal 277.

13
dan ini menunjukkan bahwa tidak ada akibat hukum bagi penyusuan diatas

dua tahun, juga berdasarkan hadits Nabi SAW: “Tidak ada penyusuan kecuali

didalam usia dua tahun”. Hadits serta ayat yang diatas tadi menafikan

penyusuan bagi orang yang sudah tua, dan tidak menjadi penyebab haram

menikah. Pendapat ini diriwayatkan dari Sayyidatina ‘Aisyah Ra,

diperpegangi oleh al-Laits bin Sa’d. sebuah riwayat menyebutkan bahwa Abu

Musa al-Asy’ari dahulunya berpendapat bahwa penyusuan diatas usia dua

tahun termasuk radha’, namun akhirnya beliau rujuk/mencabut kembali

pendapatnya tersebut.26

4. Jumlah penyusuan yang menyebabkan haram

Para Ulama berselisih tentang jumlah penetekan yang menjadikan

seorang menjadi mahram. Sebagian dari mereka berpendapat bahwa asalkan

pernah menetek,27 maka ia menjadi mahram, sesuai bunyi ayat yang tidak

mengikat. Sedang sebagian yang lain berpendapat, jika penetekan dilakukan

kurang dari tiga kalli, maka ia tidak menjadi haram.28 Mereka bersandar

kepada hadits yang diriwayatkan oleh Muslim dari Aisyah Ra yang berbunyi:

26
lihat kutipannya dalam Ash-Shabuny, Muhammad Ali, Rawai’u al-Bayan, Tafsir ayat Ahkam, Darul
Kutub al-Islamiyah, Jakarta, 2001 M/1422 H, Cet 1, Juz I, hal 277. Ibnu Rusydi menyebutkan bahwa
imam Daud pendiri madzhab Zhahiry berpendapat penyusuan orang dewasa tetap menyebabkan
tahrim. Lihat al-Andalusy, Muhammad bin Ahmad Ibnu Rusydi, Bidayah al-Mujtahid, Maktabat Daar
Ihya, Indonesia, tt, Juz II, hal. 27.
27
Ini adalah pendapat kalangan madzhab Maliky, diriwayatkan dari sayyidina Ali dan Ibnu Mas’ud
radhiyallahu ‘anhum. Ini juga pendapat Ibnu Umar dan Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhum. Seperti ini
pula pendapat Abu Hanifah, ats-Tsaury dan al-Auza’i. lihat al-Andalusy, Muhammad bin Ahmad Ibnu
Rusydi, Bidayah al-Mujtahid, Maktabat Daar Ihya, Indonesia, tt, Juz II, hal. 27.
28
Ini adalah pendapat Abu ‘Ubaid dan Abu Tsaur. Ibid.

14
‫صتان‬
ّ ‫صة والم‬
ّ ‫ال تح ّرم الم‬

“Tidak mengharamkan sekali pengisapan atau dua kali” dan Qatadah

meriwayatkan dari Ummul-Fadhil bahwa Rasulullah saw bersabda:

‫صتان‬
ّ ‫صة والم‬
ّ ‫ال تح ّرم ال ّرضعة وال ّرضعتان والم‬

“Tidak mengharamkan (menjadikan Maharam) sekali penetekan atau dua

kali dan sekali pengisapan atau dua kali”

Disamping kedua pihak tersebut, ada pihak ketiga yang berpendapat bahwa

penetekanan kurang dari lima kali tidak menjadikan seorang perempuan

mahram bagi yang diteteki. Mereka ini bersandar kepada sebuah hadits yang

diriwayatkan oleh Muslim dari Aisyah Ra bahwa dahulunya dalam ayat ini

terselip kata:

‫عشر رضعات معلومات يح ّرمن‬

“Sepuluh kali penetekan menjadika seseorang Mahram” kemudian kata-kata

itu dimansukhkan29 dengan kata-kata:

‫عشر رضعات معلومات يح ّرمن‬

“lima kali penetekan menyebabkan seseorang menjadi Mahram”

29
Naskh dan Mansukh adalah sebuah istilah dalam ilmu ushul tafsir yang secara sederhana berarti
“menghapuskan yang sudah ditetapkan dengan yang baru”. Naskh dan mansukh banyak terdapat
dalam al-Qur’an. Para Ulama membagi permasalahan ini menjadi beberapa bagian:
(1).Naskh/penghapusan hukum saja, namun ayatnya masih termaktub dalam al-Qur’an. (2) Naskh ayat
saja, namun hukumnya masih diberlakukan. (3) Naskh ayat serta hukumnya. Penjelasan lebih rinci
lihat: al-Maliky, as-Sayyid ‘Alwi bin as-Sayyid ‘Abbas, Faidul Khabiir, Daar ats-Tsaqofah, Beirut, tt,
hal 145 dst.

15
Dan tatkala Rasulullah Saw wafat, kata-kata terakhir ini tetap dibaca orang

sebagai bagian dari ayat tersebut.30 Termasuk dalam golongan ketiga ini Imam

Syafi’I dan beberapa Sahabatnya.31

5. Nafkah/Ongkos Menyusui Yang Harus Diberikan

Firman Allah SWT ‫المعروف‬cc‫وتهنّ ب‬cc‫ه رزقهنّ وكس‬cc‫ وعلى المولود ل‬Dan

kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara

yang ma’ruf (QS. Al-Baqarah 233), menunjukkan bahwa wajib hukumnya

bagi ayah si bayi memberikan ongkos untuk perempuan yang menyusukan

bayi tersebut. Ongkos tersebut berdasarkan kemampuan si ayah karena firman

Allah SWT ‫عها‬cc‫ف نفس إالّ وس‬ccّ‫ ال تكل‬Seseorang tidak dibebani mrlainkan

menurut kadar kesanggupannya, serta firmanNya:

‫لينفق ذو سعة من سعته ومن قدر عليه رزقه فلينفق مما آتاه هللا‬

Hendaklah orang yang diberi keluasan harta menafkahkan sekedar

keluasannnya, dan orang yang diberi kemampuan rizqi hendaklah

menafkahkan apa-apa (rezqi) yang telah Allah berikan kepadanya ( QS. ath-

Tholaq 7)
30
Maksudnya ayat tersebut tetap dibaca oleh mereka yang tidak tahu bahwa sudah dinasakh, padahal
ayat yang kedua itupun juga dinasakh. Yang pertama dinasakh ayat serta hukumnya sedangkan yang
kedua menurut kalangan mazdhab Syafi’i hukumnya tetap, yang dinasakh hanya ayatnya saja. Lihat:
al-Maliky, as-Sayyid ‘Alwi bin as-Sayyid ‘Abbas, Faidul Khabiir, Daar ats-Tsaqofah, Beirut, tt, hal
151 dst.
31
Dikutip dari . Bahreisy, Salim, H, Terjemah Singkat Tafsir Ibnu Katsir, PT Bina Ilmu, Surabaya,
1993, Cet kelima, Jilid II, hal 345 – 346. Sebenarnya masih ada pendapat lain lagi yang mengatakan
bahwa yang mengharamkan adalah sepuluh kali penyusuan, sebagaimana disebutkan Ibnu Rusydi
dalam Bidayah al-Mujtahid. Namun beliau tidak menyebutkan asal-usul pendapat ini. Ada
kemungkinan ini berkaitan dengan masalah takhshish ayat Rhada’ah tersebut.

16
6. Hukum memberi nafkah kepada anak

Para Fuqaha berpendapat bahwa seorang ayah wajib memberi nafkah

terhadap anaknya, hal ini berdasarkan firman Allah SWT: ‫وعلى المولود له‬

ّ‫ رزقهن‬karena Allah SWT telah mewajiblan ongkos isteri yang telah dicerai
disebabkan menyusui anaknya, maka wajib pula memberi ongkos terhadap

anak selama masih kecil dan belum sampai usia taklif.

Al-Jashshas dalam kitab tafsirnya mengatakan bahwa ayat diatas mengandung

dua makna:

1. Sang ibu lebih berhak untuk menyusui anaknya didalam usia dua

tahun dan tidak boleh bagi sang ayah menyusukan kepada orang lain

selama ibunya mau menyusuinya.

2. Kewajiban sang ayah memberi ongkos penyusuan hanya dalam masa

dua tahun.

Dan didalam ayat tersebut terdapat sebuah petunjuk/dalil bahwa tidak ada

seorang pun yang berserikat dengan sang ayah dalam hal kewajiban memberi

ongkos penyusuan, karena Allah SWT telah mewajibkan kepada si ayah untuk

memberikan kepada ibu bayinya nafkah/ongkos penyusuan, padahal keduanya

sama-sama warits/orang tua bagi si anak. Maka yang demikian menjadi dalil

dikhususkannya sang ayah dalam hal pemberian nafkah/ongkos, bukan orang

17
lain. demikian pula hukum memberikan ongkos/nafkah bagi anak yang masih

kecil (belum mukallaf).32

BAB III

PENUTUP

Dalam menetapkan sebuah kesimpulan hukum dengan menyandarkan

langsung kepada ayat al-Qur’an dan tekstual Hadits, ternyata bukanlah sebuah

perkara mudah. Ada banyak hal yang harus dipelajari, ada banyak teori dan istilah

yang wajib ditelaah dan dianalisa.

Ketidaksamaan informasi yang diterima, perbedaan teori yang dianut, ternyata

akan menghasilkan sebuah kesimpulan yang berbeda. Hal ini bisa kita lihat dari
32
Pembahasan lengkap mengenai hal ini, silahkan lihat Ahkam al-Qur’an karangan al-Jashshash.

18
banyaknya perbedaan pendapat para mujtahid dan fuqaha dalam memberikan

keputusan hukum pada masalah Rhada’ah. Meski ayat yang menjadi landasan sama,

namun ternyata produk hukumnya berbeda. Disinilah letak kebijakan kita dalam

menghadapi sebuah perbedaan.

Pada akhirnya kepada Allah jualah kita kembalikan semuanya.

Wallahu a’lam bishshowab.

19

Anda mungkin juga menyukai