Anak
dalam pasal tersendiri di bawah pembahasan bab “nikâh”. Namun, pembahasan
mereka umumnya berkisar pada dua hal pokok.
• Pembahasan tentang teknis penyusuan yang menyebabkan menjadi mahram
(haram dinikahi).
• Pembahasan mengenai hubungan upah penyusuan di antara pihak-pihak
terkait.
Sementara posisi persusuan sebagai hak anak untuk menjamin kesehatan dan cara
hidup yang baik, serta perlindungan kesehatan bagi ibu yang menyusui belum
banyak disinggung, bahkan terkesan “tak dipikirkan”.
Masalah Penyusuan
Anak (RADHA’AH)
Secara etimologis, ar-radhâ’ah atau ar-ridhâ’ah
adalah sebuah istilah bagi isapan susu, baik
isapan susu manusia maupun susu binatang.
Dalam pengertian etimologis tidak
dipersyaratkan bahwa yang disusui itu
(arradhî’) berupa anak kecil (bayi) atau bukan.
RADHA’AH
Menurut terminologis, sebagian ulama fiqh mendefinisikan ar-
radhâ’ah sebagai berikut:
وصول لبن آدمية إلى جوف طفل لم يزد سنه على حولين
Masuk ke dalam
Belu
s u
perut seorang bayi m be
Ai r S u (wushûluhu ilâ jawfi dua t rusia
a nu s i a thiflin) (dûn a hun
M at i n ) aa l-haw
d a m iyy layni
l a b a nu a )
(
Rukun Ar-radhâ’ah Asy-syar’iyyah
Sementara ayat ini menjelaskan dua hal penting berkaitan dengan penyusuan
anak.
• Pertama, dalam ayat ini ditekankan adanya jaminan hak upah dari sang
suami bagi sang istri muth allaqah [yang sudah ditalak] jika ia
menyusukan anak-anaknya, diluar kewajiban nafkah yang memang harus
diberikan selama belum habis masa‘iddah.
• Kedua, adanya kebolehan dan sekaligus hak upah bagi seorang
perempuan yang menyusukan anak orang lain, asalkan dimusyawarahkan
secara baik dan adil.
Hak Upah Susuan
Wahbah az-Zuhaily menjelaskan tiga kondisi sang
perempuan ketika menyusui
Kondisi ketiga, jika sang perempuan yang menyusui itu masih dalam ‘iddah talak
bâ`in, maka ia berhak menuntut upah dari susuannya. Ini didasarkan pada
kenyataan hukum bahwa status perempuan yang ditalak bâ’in sama dengan
perempuan yang tidak memiliki hubungan perkawinan [al-ajnabiyyah]: ia tidak
lagi memperoleh hak nafkah. Pendapat yang sama juga dikemukakan oleh ulama
Malikiyyah. Alasan mereka, surat ath-Thalâq [65] ayat 6 [fa`inardha’na la kum fa
â`tûhunna ujûrahunna] adalah pernyataan yang tegas tentang tuntutan hak upah
atas susuan bagi perempuan yang ditalak bâ`in.
hak upah susuan
Sedangkan mengenai besar upah susuan, fiqh tidak mengaturnya secara rinci
dalam bentuk angka atau prosentase. Ditentukan bahwa upah susuan yang harus
diberikan adalah upah mitsil, yakni upah kepatutan sosial yang pada umumnya
diterima oleh perempuan lain ketika ia menyusui seorang bayi ditempat dan
dimana upah itu diberikan. Keputusan tentang jumlah besar soal ini agaknya
diserahkan pada keputusan masyarakat sendiri dengan mempertimbangkan
keadilan sosial yang berlaku pada masanya dan saatnya.Tentu saja ukuran
keadilan menurut satu masyarakat dengan masyarakat lain berbeda-beda, karena
itu besar upahpun dapat berbeda-beda asalkan memenuhi rasa keadilan diantara
pihak yang terlibat.
Waktu
Dalam tradisi kita, dikenal luas istilah “penyapihan anak”.
Penyapihan
Yakni, masa pemutusan atau pemberhentian penyusuan anak
dari ibunya. Oleh masyarakat, cara ini dilakukan dengan
berbagai bentuk. Diantaranya adalah dengan memisahkan
[paksa] anak dari pergaulan ibunya seharihari, atau sang ibu
memakan makanan yang membuat rasa air susunya tidak
disukai oleh anak, sehingga sang anak tidak lagi mau menyusu.
Waktu Penyapihan
Batas waktu ini berkait dengan batas maksimum kesempurnaan
menyusui. Karena itu, sifat batas waktu ini tidak imperatif
[ghairumulzimunbih], tetapi lebih sebagai keutamaan dan
kesempurnaan.
Atas dua pertimbangan ini, Allah memberikan keringanan [rukhshah] bisa menyapih anak
kurang dari usia dua tahun, setelah dimusyawarahkan diantara bapak dan ibu. Sebab diakui
dalam kenyataan kehidupan anak-anak ada di antara mereka yang sudah mampu memakan
makanan yang keras [taghaddi] sebelum berusia dua tahun. Akan tetapi, dalam konteks ini
diperlukan pertimbangan yang masak dan kehati-hatian yang tinggi dari orang tua. Karena
merekalah yang paling menyayangi dan mengetahui rahasia anak. Orang tua dilarang
melakukan hal-hal yang memadharat- kan anak. Demikian juga anak tidak boleh menjadi
madlarat bagi kehidupan orang tuanya.
Menyusui: Hak Anak
atau Kewajiban Ibu?
hak atau kewajiban
• Ahmad Mushthafa al-Maraghiy, dalam kitab tafsirnya, para ahli “menyusui” dianggap sebagai kewajiban syara’
hukum Islam bersepakat bahwa menyusui dalam pandangan yang harus dipenuhi oleh setiap perempuan
syara’ hukumnya wajib bagi seorang ibu kandung. Kelak sang (ibu kandung).
ibu dimintai pertanggung jawaban di hadapan Allah atas
kehidupan anaknya.
• Wahbah az-Zuhaily memperjelas, kewajiban ini terkena baik
bagi ibu yang masih menjadi istri [ar-radhî’] maupun istri yang
Kewajiban legal-formal normatif ataukah
sudah ditalak [al-muthallaqah] dalam masa ‘iddah. kewajiban moral-kemanusiaan?
• Ibnu Abi Hatim dan Sa’id Ibn Zubair ketika membicarakan surat
al-Baqarah ayat 233 juga mengatakan hal yang sama bahwa
laki-laki yang menceraikan istrinya dan memiliki seorang anak,
Hakim
maka ibu anak itulah yang lebih berhak untuk menyusukan
anaknya. bisa memaksa kaum ibu atau tidak
• Demikian juga Waliyullah ad-Dihlawy, dengan pertimbangan untuk memenuhi kewajiban itu?
rasional menyatakan bahwa ibu adalah orang yang diberi otoritas
untuk memelihara bayi dan lebih menyayangi anak.
hak atau kewajiban
MADZHAB JUMHUR
MALIKIYAH ULAMA
• Hakim tidak boleh
memaksakannya, kecuali dalam
• Hakim boleh memaksa
kondisi dharûrat
• Hukum menyusui tidak wajib
• Kewajiban menyusui anak lebih
bagi sang ibu yang sudah
kepada kewajiban moral
ditalak bâ‘in oleh sang suami
kemanusiaan [diyânatan]
dibanding legal-formal
[qadhâ‘an]
• Perintah anjura n [mandûb]
hak atau kewajiban
Memperkuat pendapatnya, yang oleh ulama lain dijadikan landasan
hukum wajib “menyusui”, jumhur ulama menafsirkan ayat [yurdhi’na
awlâda hunna], kedalam dua pengertian yang berkaitan.
• Sebagian mereka menyatakan bahwa kendatipun kalimat tersebut
berbentuk kalâm khabar, tetapi bermakna insyâ`. Artinya, meski ayat
tersebut memiliki arti perintah
• Arti perintah yang terkandung dalam kalimat tersebut tidak termasuk
perintah wajib.
hak atau kewajiban
Ahli hukum Islam bersepakat bahwa pekerjaan menyusui bisa menjadi wajib