0 penilaian0% menganggap dokumen ini bermanfaat (0 suara)
78 tayangan22 halaman
Ringkasan dokumen tersebut adalah:
1. Dokumen tersebut membahas tentang ar-radha'ah yang merupakan masdar dari radha'ah yang berarti menghisap payudara.
2. Dokumen tersebut juga membahas tafsir Al-Qur'an Surat Al-Baqarah ayat 233 tentang hak ibu untuk menyusui anaknya selama dua tahun dan kewajiban ayah untuk memberikan nafkah dan pakaian.
3. Dokumen tersebut
Ringkasan dokumen tersebut adalah:
1. Dokumen tersebut membahas tentang ar-radha'ah yang merupakan masdar dari radha'ah yang berarti menghisap payudara.
2. Dokumen tersebut juga membahas tafsir Al-Qur'an Surat Al-Baqarah ayat 233 tentang hak ibu untuk menyusui anaknya selama dua tahun dan kewajiban ayah untuk memberikan nafkah dan pakaian.
3. Dokumen tersebut
Hak Cipta:
Attribution Non-Commercial (BY-NC)
Format Tersedia
Unduh sebagai DOCX, PDF, TXT atau baca online dari Scribd
Ringkasan dokumen tersebut adalah:
1. Dokumen tersebut membahas tentang ar-radha'ah yang merupakan masdar dari radha'ah yang berarti menghisap payudara.
2. Dokumen tersebut juga membahas tafsir Al-Qur'an Surat Al-Baqarah ayat 233 tentang hak ibu untuk menyusui anaknya selama dua tahun dan kewajiban ayah untuk memberikan nafkah dan pakaian.
3. Dokumen tersebut
Hak Cipta:
Attribution Non-Commercial (BY-NC)
Format Tersedia
Unduh sebagai DOCX, PDF, TXT atau baca online dari Scribd
Disusun oleh Angga cipta sasmita (1061033) Mery triyana (1061153)
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN) JURAI SIWO METRO TAHUN 2011/2012
DAFTAR ISI
Cover ............................................................................................................ DaItar isi ....................................................................................................... Kata pengantar .............................................................................................. BAB I PENDAHULUAN ............................................................................. A. Latar Belakang .................................................................................. B. BAB II PEMBAHASAN .............................................................................. A. Pengertian Aradha`ah B. TaIsir Al-Baqarah 233 C. Asbabun Nuzul D. Hak upah susuan E. Pendapat Ulama F. Menusui anak hak atau kewajiban ibu G. Faedah Aradha`ah BAB III PENUTUP ...................................................................................... A. KESIMPULAN ........................................................................... DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................
BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang
BAB II PEMBAHASAN
A. PENGERTIAN RADHA`AH Ar-radha` merupakan masdar dari radha`ah. Jika dikatakan radha`ah ats-tsadya, berarti menghisab payudara. Adapun deIinisinya menurut syari`at ialah menghisab air susu atau meminumnya, yang terlepas dari kehamilan. Hukum susuan ditetapkan dalam Al-Qur`an, As-Sunnah dan Ijma. Berbagai nashnya sangan mansyur. Hukum-hukum yang menyertai susuan ialah pengharaman nikah, pembolehan berkhalwat dan memandangnya, status mahram dalam perjalanan, tidak adanya kewajiban naIkah dan waris dan perwalian nikah. Hikmah status mahram dan hubungan ini nyata sekali. Sebab ketika seseorang menghisab air susu dari wanita yang menyusuinya, maka pada saat itulah dagingnya tumbuh, sehingga ia seperti satu nasab dengannya. Karena itu para ulama memakruhkan penyusuan kepada wanita kaIir, Iasik dan buruk akhlaknya. Mereka menganjurkan memilih wanita yang baik akhlak dan Iisiknya untuk menyusui, karena penyusuan ini dapat mengubah tabiat. Yang lebih baik ialah tidak ada yang menyusuinya kecuali ibunya sendiri, karena itulah yang lebih baik, lebih bermanIaat dan lebih mengenai akibatnya, tidak menimbulkan pencampuradukan mahram, yang kemungkinan bisa menimbulakan keruwetan hubungan suami istri. Para ahli medis juga menganjurkan pemberian air susu ibu, terutama pada bulan pertama. Hikmah Allah di alam ini sudah nyata, ketika menjadikan makanan bayi berupa air susu ibu yang dapat dilihat berdasarkan pengalaman dan keputusan para ahli medis.
B. TAFSIR AL-BAQARAH 233
Dan ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun yang sempurna, bagi mereka yang berkehendak menyempurnakan penyusuan. Wajib bagi ayah si anak yang disusui itu memberikan rezeki (naIkah) kepada ibunya dan (juga member) pakaiannya secara makruI. Seseorang tidak dibebani kecuali sesuai dengan kesanggupannya. Janganlah ibu dibuat mudarat karena anaknya dan ayah diberati beban karena anaknya, dan yang menerima warisan(dari anak tersebut) begitu juga. Maka, jika keduanya menghendaki member susu atas dasar saling ridha, tidak ada dosa bagi mereka. Jika kamu berkehendak akan meminta anakmu disusukan kepada perempuan lain, maka tidak ada dosa bagimu, apabila kamu menyerahkannya dan member (upah) menurut yang makruI. Bertakwalah kamu kepada Allah, dan ketahuilah, sesungguhnya Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.
TaIsir Wal waalidaatu yuridhi`na aulaadahunna haulaini kamilaini li man araada ay yutimmar ra-dhaa`ata dan ibu-ibu menyusui anak-anaknya dua tahun yang sempurna, bagi mereka yang berkehendak menyempurnakan susuannya. Lazim para ibu, baik yang telah di thalaq (menjada) ataupun yang tidak ditalaq, menyusui bayinya sampai sempurna dua tahun. Tetapi waktu penyusuan dua tahun itu boleh dikurangi, jika ayah ibunya memandang hal itu lebih maslahat (baik). Itu terserah pada ijtihad (pertimbangan) mereka berdua. Menyusui anak wajib bagi para ibu, mengingat, bahwa air susu ibu adalah seutama-utama air susu. Semua dokter berpendapat demikian. Anak itu terbentuk dari darah si ibu dikala si anak didalam kandungan.setelah anak lahir, darah itu berpindah kepada air susu yang menjadi makanan si anak. Air susu ibulah yang sangat berpadan bagi makanan si anak. Secara lahiriah ayat ini menyatakan bahwa wajib bagi ibu menyusui anaknya, kecuali jika ada uzhur yang menghalangi seperti sakit dan sebagainya. Tetapi juga tidak ada halangan mencari pengganti air susu ibu, kalau tidak mendatangkan madharat. Sebab, wajib disini berdasarkan mashlahat, bukan ta`abud (ibadat). Menyusui anak adalah hak si ibu, karena itu si ayah tidak boleh menghalangi si ibu menyusui anaknya, walaupun telah ditalak. Segolongan ulama berpendapat, menyusui anak bukan kewajiban si ibu, kecuali si anak tidak mau menyusu kepada orang lain atau si ayah tidak sanggup membiayai orang lain untuk menyusui anaknya atau tidak sanggup membeli makanan lain pengganti air susu ibu atau tidak mendapatkan orang lain yang bersedia menyusui anaknya. Paham yang dipetik dari ayat ini, diantara hak para ibu, adalah hak menyusui anaknya 1 . Kata yang sempurna sesudah pernyataan dua tahun berIungsi untuk menguatkan jangka waktu penyusunan tersebut. Hikmah membatasi waktu pernyusuan selama dua tahun untuk memelihara kepentingan bayi. Air susu ibu itulah makanan yang sangat sesuai bagi si anak. Selain itu, si anak juga sangat membutuhkan perhatian yang sempurna, yang tidak diperoleh kecuali dari si ibu dalam masa penyusuan tersebut. Dan masa penyusuan itu boleh dikurangi, jika bapak ibunya memandang hal itu lebuh maslahat. Memberi air susu ibu dengan tempo dua tahun itulah yang menharamkan pernikahan. Para ulama, dengan berdasarkan ayat ini berpendapat, bahwa sekurang-kurangnya tempo mengandung adalah enam bulan. Jika waktu itu dikurangi oleh tempo menyusui selama dua tahun (24 bulan) dari 30 bulan, maka tinggal 6 bulan. Pendapat sekurang-kurangnya lama mengandung enam bulan diriwayatkan dari ali bin-abbas. wa `alal mauluudi lahuu rizquhunna wa kiswatuhunna bil ma`ruufi afib bagi ayah si anak yang disusui memberikan re:eki (nafkah) kepada ibunya dan (fuga memberi) pakaiannya secara makruf. Ayah wajib memberikan makanan dan pakaian yang cukup kepada si ibu (istri ) yang menyusui, supaya ia dapat melayani kebutuhan anak dengan sebaik-baiknya. Firman ini memberikan pengertian bahwa anak-anak di bangsakan kepada ayahnya, namun tidak berarti bahwa ibu tidak mempunyai hak apa-apa atas anaknya. Hendaklah belanja itu diberikan menurut yang makruI (lazim,layak dan baik), yang sepadan dengan si perempuan.
1 8aca S46alAhqaaf 13 aa tukallafu nafsun illaa wus`ahaa seseorang tidak dibebani, kecuali dengan kesanggupannya. Kewajiban yang dibebankan kepada si ibu atas anak bayinya atau beban si ayah adalah sebatas kemampuannya dan tidak mendatangkan kesukaran. aa tu-dhaarra waalidatum bi walladihaa wa laa mauluudul lahuu bi waladihii fangan ibu dibuat madhrat karena anaknya dan ayah diberati beban karena anaknya. Haram hukumnya si ibu dan si ayah menimbulkan kemudharatan kepada yang lain disebabkan oleh si anak. Maka, tidaklah patut si ayah menarik anak dari si ibu yang telah mau menyusui dan memeliharanya dengan baik, dan tidak seyogianya si ibu tidak mau menyusui anak dan mendorong si ayah mencari orang yang akan menyusui si anaknya, sebagaimana tidak seyogianya memberatkan si ayah dengan harus memberi naIkah diluar kesanggupannya. Juga tidak seyogianya si ibu berlaku sembrono dalam mendidik anak, baik mengenai pendidikan jasmani (pertumbuhan Iisik) maupun akhlak dengan maksud menyakitkan hati si ayah. Sebaliknya, tidak patut si ayah mencegah si ibu menyusui anaknya, dan tidak layak menyempitkan (menyedikitkan) naIkahnya, atau menghalangi si ibu melihat anaknya sesudah dipisahkan akibat masa penyusuannya sudah berlalu. Wa alal waari-tsi mitslu dzaalika dan bagi mereka yang menerima harta arisan (afib melakukan) seperti itu fuga. Wajib bagi penerima harta warisan si anak dari kerabatnya untuk melakukan seperti apa yang wajib dilakuan si ayah yang telah meninggal yakni memberi naIkah,pakain, dan upah menyusui anak. Para ulama berbeda pendapat mengenai waris ini. Ada yang berkata : 'warisi anak kecil, maksudnya ibu bapaknya. Maka, apabila salah satu diantara keduanya meninggal dunia, wajiblah bagi yang lain (keluarga yang masih hidup) melakukan seperti apa yang wajib dijalankan oleh si ayah, yaitu memberi air susu dan memberikan naIkahnya. ain araada fi-shaalan an taradhim minhumaa wa ta-syaawurin fa laa junaaha alaihimaa fika kedua-duanya menghendaki penghentian air susu atas dasar saling meridhoi dan musyaarah, maka tidak ada dosa bagi mereka berdua Ibu dan ayah mempunyai hak yang sama atas anaknya dapat melepaskan anak dari persusuan sebelum usianya cukup dua tahun atau sesudahnya apabila keduanya telah sepakat dan sama-sama rela (meridhoi). Sebab, pembatasan waktu penyusuan selama dua tahun sebenarnya untuk kemaslahatan dan menolak kemudharatan. Apabila ibu bapaknya berpendapat ada manIaat dari pengurangan masa penyusuan, atau diperpanjang waktunya menjadi dua tahun lebih, bolehlah mereka melakukannya. Tetapi, jika salah seorang dari bapak ibu berbuat yang menyulitkan si anak, seperti si ibu tidak mengurus anaknya atau ayah sangat kikir dalam memberi upah kepada wanita lain yang menyusui, hal itu sama sekali tidak bisa dibenarkan. Keduanya tidak punya hak untuk berbuat demikian. Disini diperlukan kerelaan dan keikhlasan (keridhaan) si ibu untuk memelihara kemaslahatan si anak, walaupun ayah yang telah menjadi walinya. Mengingat kesempurnaan kasih sayangnya kepada si anak, biasanya si ibu tidak memikirkan sesuatu yang lain, kecuali untuk kebaikan anaknya. Menurut pendapat Abu Muslim, melepaskan anak dari susuan boelh diartikan dengan memisahkan si anak dari ibunya. Anak di bawa oleh si ayah untuk di serahkan kepada perempuan lain, sedangkan ibupun meridhai yang demikian. Al-Qur`an menyuruh kita bermusyawarah dalam mendidik anak. Baik ayah ataupun ibunya tidak boleh berbuat sewenang-wenang dalam pemeliharaan anak.
Wa in arattum an tastardhi`uu aula adakum fa laa junaaha alaikum i-dzaa sallamtum maa aataitum bil ma`ruufi fika kamu menghendaki akan meminta anakku disusui perempuan lain, maka tidak ada dosa bagimu melakukan hal itu. Tentu saja, apabila kamu memberikan upah kepada perempuan lain yang menyusui sesuai dengan ketentuan yang lazim berlaku (uruI) dengan memperhatikan kemaslahatan orang tuanya. Wat taqulahaa wa`lamuu annalaaha bi maa ta`maluuna ba-sihiir dan bertaqalah kepada Allah, dan ketahuilah baha Allah maha melihat apa yang kamu kerfakan. Apabila kamu menyelesaikan hak-h anak dengan jalan salingmerelakan (meridhai), dengan musyawarahserta kamu menjauhkan diri dari sikap memudarakan satu dengan yang lain, niscaya Allah akan menjadikan anak-nakmu itu sebagai penawar mata bagimu di dunia dan menjadi sebab kamu memperoleh pahala di akhirat. Jika kamu mengikuti hawa naIsumu, lalu satu pihak memudaratkan pihak lain, menjadilah anak-anak itu cobaan atau Iitnah bagimu didunia dan selayaknya kamu meneriman azab Allah di akhirat. Alangkah berat ancaman Allah terhadap yang tidak memberi perhatian kepada anak-anaknya. C. ASBABUN NUZUL
Pada ayat ini (Al Baqarah :233) menjelaskan tentang hukum radha'ah, yang mana mempunyai hubungan sangat erat dengan ayat sebelumnya, karena ayat sebelumnya menjelaskan tentang nikah, thalaq serta hal lain yang berkaitan dengan hukum keluarga (pernikahan). Sebagai akibat dari perilaku thalaq, maka tidak sedikit seorang istri merasa sakit hati dan ingin melampiaskan dendam. Pelampiasan ini mereka lakukan dengan cara bersikap acuh kepada anak mereka yang masih kecil bahkan sampai tidak mau untuk memberikan Air Susu Ibu yang sangat dibutuhkan oleh anak bayinya.
Oleh sebab itulah ayat ini diturunkan sebagai perempuan-perempuan yang ditalak untuk tetap memberikan perhatian dan kasih sayang dengan sepenuh hati dan kerelaan kepada anaknya. D. HAK UPAH SUSUAN
Jika seorang perempuan menyusui anaknya sendiri, apakah ia berhak menuntut upah atas susuannya itu? Kepada siapakah sang perempuan itu menuntut upahnya?
Jawabannya, tentu tergantung dari kondisi sang perempuan itu sendiri dalam hubungannya dengan suami. Wahbah az-Zuhaily dalam konteks ini menjelaskan beberapa kondisi sang perempuan ketika menyusui, dan masing-masing terdapat hukumnya, yang semuanya berkaitan dengan kewajiban naIkah.
ondisi pertama, menurut ulama HanaIiyyah, SyaIi`iyyah, dan Hanabilah, jika sang perempuan yang menyusui itu masih dalam ikatan perkawinan atau di tengah tengah iddah dari talak rafiy, maka ia tidak berhak menuntut upah secara spesiIik dari susuannya. Karena dalam kondisi ini, sang suami masih berkewajiban memberikan naIkah kepada sang istri, maka istri tidak boleh menuntut upah |ufrah| yang lain meskipun sebagai imbangan menyusui. Kebutuhan menyusui bisa dimasukkan ke dalam jumlah besarnya nafaqah sehari- hari.
kondisi kedua, jika sang perempuan yang menyusui sudah ditalak dan selesai dari iddah, atau dalam iddah waIat, disepakati oleh para ulama bahwasang perempuan boleh menuntut upah atas susuannya itu, dan ayah dari anak yang disusuinya wajib memberikan upah itu secara adil. Sebab, bagi istri yang sudah ditalak dan habis iddahnya atau dalam iddah waIat dalam ketentuan fiqh sudah tidak ada lagi naIkah yang harus diterimanya dari sang suami. Hal ini didasarkan pada Surat ath- Thalaq |65| ayat 6, |. fa`in ardhana la kum fa a`tuhunna ufurahunna atamiru baynakum bi marufin. | |. kemudian jika mereka menyusukan |anak-anak|mu untukmu, maka berikanlah kepada mereka upahnya; dan musyawarahkanlah di antara kamu |segala sesuatu| dengan baik. |. Menurut sebagian ulama HanaIiyah, pada kondisi ketiga, jika sang perempuan yang menyusui itu masih dalam iddah talak ba`in, maka ia berhak menuntut upah dari susuannya.
Ini didasarkan pada kenyataan hukum bahwa status perempuan yang ditalak bain sama dengan perempuan yang tidak memiliki hubungan perkawinan |al- afnabiyyah|: ia tidak lagi memperoleh hak naIkah. Pendapat yang sama juga dikemukakan oleh ulama Malikiyyah. Alasan mereka, surat ath-Thalaq |65| ayat 6 |fa`in ardhana la kum fa a`tuhunna ufurahunna| adalah pernyataan yang tegas tentang tuntutan hak upah atas susuan bagi perempuan yang ditolak ba`in. Dalam ayat yang sama, terutama pada laIadz |'. a in taasartum fa saturdliu lahuukhra| |. dan jika kamu menemui kesulitan, maka perempuan lain boleh menyusukan |anak itu| untuknya|, sang ayah juga wajib memberikan upah yang adil kepadanya, apabila mereka memang istirdha |meminta bantuan orang lain untuk menyusukan anaknya|.
Sampai kapan hak upah susuan itu berlaku? Mengenai batasan waktu Pemberlakuan hak upah susuan, para ahli hukum Islam bersepakat hanya dua tahun saja dari usia anak. Tidak adanya perbedaan ini karena ketegasan |sharih al- lafdhi a al-mana| surat al-Baqarah |2| ayat 233. Ayat ini menegaskan bahwa seorang ayah wajib memberikan upah susuan kepada perempuan yang menyusuinya sampai dengan usia anak dua tahun. Ini dibebankan karena sang ayah berkewajiban memberikan naIkah kepada anak dan istrinya. Sedangkan mengenai besar upah susuan, fiqh tidak mengaturnya secara rinci dalam bentuk angka atau prosentase. Ditentukan bahwa upah susuan yang harus diberikan adalah upah mitsil, yakni upah kepatutan-sosial yang pada umumnya diterima oleh perempuan lain ketika ia menyusui seorang bayi di tempat dan di mana upah itu diberikan. Keputusan tentang jumlah besar soal ini agaknya diserahkan pada keputusan masyarakat sendiri dengan mempertimbangkan keadilan social yang berlaku pada masanya dan saatnya. Tentu saja ukuran keadilan menurut satu masyarakat dengan masyarakat lain berbeda-beda, karena itu besar upah pun dapat berbeda-beda asalkan memenuhi rasa keadilan di antara pihak yang terlibat.
E. PENDAPAT PARA ULAMA : Para ulama saling berbeda pendapat tentangukuran penyusuan yang karenanya diharamkan pernikahan. Segolongan ulama salaI dan khalaI berpendapat, bahwa sedikit atau banyak sudah menjadi pengharaman nikah. Pendapat ini diriwayatkan dari Alu, Ibnu Abbas, Sa`id bin Al-Musayyab, Al-Hasan Al- Bashry,Az-Zuhry, Qatadah, Al-Auza`y dan Ats-Tsaury. Ini juga merupakan pendapat malik dan Abu HaniIah. Hujjah mereka, karena Allah mengaitkan pengharaman dengan sebutan Ar- radha`ah, Al-Qur`an memutlakan dan tidak membatasinya dengan sesuatu apapun. Maka selagi didapatkan nama ini, maka di situlah didapatkan hukumnya. Golongan lainberpendapat, bahwa pengharaman tidak dapat ditetapkan juka kurang dari tiga hisapan. Ini merupakan pendapat Abu Tsaur, Ibnu-Mundzir dan Daud. Hujjah mereka adalah hadist sahih dari nabi shallallahu alaihi wa sallam, beliau bersabda, tidak diharamkan pernikahan dengan sekali atau dua kali hisapan. (diriwaykan muslim). Pengertian hadits ini, juka penyusuan lebih dari tiga kali hisapan, maka baru ditetapkan pengharaman jadi batasan ada tiga kali hisapan dan seterusnya. Golongan ketiga berpendapat bahwa pernikahan tidak dapat ditetapkan kurang dari lima kali hisapan. Ini merupakan pendapat Abdullah bin Mas`ud, Abdullah bin az-zubair, atha`,thawus, ini juga merupakan pendapat asy-syaIi`y, ahmad dan ibn hazm. Dalil mereka apa yang disebutkan dalam sahih muslim, dari aisyah radiallahhu anha, dia berkata, 'tadinya yang diturunkan dalam Al-Qur` an ialah sepuluh hisapan yang di ketahui, sehingga diharamkan pernikahan, kemudian dihapus menjadi lima hisapan yang diketahui. Kemudian Rasulullah Saw. Meninggal dunia, dan itulah yang dibaca dari Al-Qur`an. Begitupula yang disebutkan dalam sahih muslim sehubungan dengan kisah sahlah, istri Abu hudzaiIah, ketika dia berkata 'dulu kami menganggap salim adalah anak kami. Dia berlindunmg bersama kami dan Abu hudzaiIah di satu rumah dan dia melihat kelebihanku. Sementara Allah sudah menurunkan seperti yang telah ku ketahui. Maka apa pendapat engkau tentang dirinya? ' Rasulullah Saw menjawab, 'susuilah dia ' maka aku menyusui dengan lima kali hisapan. Tadinya dia dianggap sama kedudukannya dengan anaknya dari penyusuan. Golongan yang ketiga ini menanggapi dalil-dalil yang digunakan dua golongan sebelumnya, dengan menyatakan : orang yang mengangggap sedikit dan banyaknya penyusuan sudah mengaharamkan pernikahan, maka untuk menjawabnya cukup dengan hadist sahih di atas, ' tidak diharamkan pernikahan dengan sekali atau dua kali hisapan. Untuk menanggapi tiga golongan ini, bahwa dalil mereka dapat dipahami. Apa yang dinyatakan harus lebih didahulukan. Pengalaman tentang hadis lima kali hisapan, merupakan pengamalan terhadap semua hadist. F. MENYUSUI: HAK ANAK ATAU KEWAJIBAN IBU?
Dijelaskan oleh Ahmad MushthaIa al-Maraghiy, dalam kitab taIsirnya, para ahli hokum Islam |slamic furists| bersepakat bahwa menyusui dalam pandangan syara hukumnya wajib bagi seorang ibu kandung. Kelak sang ibu dimintai pertanggunganjawab |almasuliyyah| di hadapan Allah atas kehidupan anaknya 2 .
2 hmad MushthaIa al-Maraghiy, Tafsir al-Maraghiy, Juz I, |Beirut: Dar Ihya` at-Turats al-Arabiy, t.t.|, hlm. 185.
Oleh Wahbah az-Zuhaily diperjelas, kewajiban ini terkena baik bagi ibu yang masih menjadi istri dari bapak anak yang disusui |ar-radhi| maupun istri yang sudah ditalak |al-muthallaqah| dalam masa iddah 3 . Ibnu Abi Hatim dan Sa`id Ibn Zubair ketika membicarakan surat al- Baqarah |2| ayat 233 juga mengatakan hal yang sama bahwa laki-laki yang menceraikan istrinya dan memiliki seorang anak, maka ibu anak itulah yang lebih berhak untuk menyusukan anaknya 4 . Demikian juga Waliyullah ad-Dihlawy, dengan pertimbangan rasional menyatakan bahwa ibu adalah orang yang diberi otoritas untuk memelihara bayi dan lebih menyayangi anak.
Dari sejumlah pendapat di atas, dapat dikatakan bahwa 'menyusui dianggap sebagai kewajiban syara yang harus dipenuhi oleh setiap perempuan (ibu kandung). Pendapat ini tentu mengagetkan karena dari sejumlah ayat al-Qur`n yang berbicara tentang persusuan tak satu pun yang menunjukkan kewajiban ini. Karena itu, perlu klariIikasi tentang bentuk kewajiban itu: apakah itu kewajiban legal-Iormal normative ataukah kewajiban moral-kemanusiaan? Dan dalam posisi tersebut, apakah hakim bisa memaksa kaum ibu atau tidak untuk memenuhi kewajiban itu?
Pada tataran ini, para ulama juga masih berbeda pendapat. Madzhab Malikiyah, misalnya, berpendapat bahwa hakim boleh memaksa sang ibu untuk menyusui anaknya. Akan tetapi, berdasarkan surat ath-Thalaq |65| ayat 6, terutama pada diktum [fa`in ardhana la kum fa`tuhunna ufurahunna|, madzhab Malikiyyah bersikap bahwa hukum menyusui tidak wajib bagi sang ibu yang sudah ditalak ba`in oleh sang suami. Sementara jumhur ulama mempunyai pendapat lain, bahwa hakim
3 AWahbah az-Zuhayli, p. Cit., hlm. 698. Baca juga Muhammad Husain adz-Dzahabiy, asy-syariah al- slamiyyah, |Mesir: Daral-Kutub al-Haditsah, 1968|, hlm. 398. Bandingkan juga dengan Ahmad MushthaIa al-Maraghi, p. Cit., hlm. 185.
4 Jalaluddin as-Suyuthi, p. Cit., hlm. 687.
tidak boleh memaksakannya, kecuali dalam kondisi dharurat 5 . Dalam pandangan jumhur ulama, kewajiban menyusui anak bagi seorang ibu lebih merupakan kewajiban moral kemanusiaan |diyanatan| ketimbang legal-Iormal |qadha`an|.10 Maksudnya, kalau si ibu tidak mau melakukannya, suami atau pengadilan sekalipun tidak berhak memaksanya untuk menyusui. Menurut mereka, surat al- Baqarah |2| ayat 233 adalah perintah anjuran |mandub| bagi sang ibu untuk meyusui anaknya. Dengan kata lain, menyusui anak adalah hak bagi ibu, tetapi juga hak bagi anak untuk memperoleh susuan yang memadai. Kecuali kalau si anak tidak mau menerima air susu selain ibunya, atau si ayah tidak sanggup membayar upah ibu susuan, maka baru menjadi wajib bagi ibu untuk menyusuinya. Argumentasi bahwa menyusui adalah hak bagi ibu sekaligus juga hak bagi anak terdapat dalam surat ath-Thalaq |65| ayat 6: |a in taasartum fa saturdhiulahu ukhra|. 11 Dalam ayat itu dinyatakan 'fika kamu menemui kesulitan, maka perempuanlain boleh menyusukan [anak itu] untuknya.
Memperkuat pendapatnya, yang oleh ulama lain dijadikan landasan hukum wajib 'menyusui, jumhur ulama menaIsiri ayat |yurdhina aladahunna|, ke dalam dua pengertian yang berkaitan. Pertama, sebagian mereka menyatakan bahwa kendatipun kalimat tersebut berbentuk kalam khabar, tetapi bermakna insya`. Artinya, meski ayat tersebut memiliki arti perintah, namun, kedua, arti perintah yang terkandung dalam kalimat tersebut tidak termasuk perintah wajib.12 Dengan demikian, meskipun 'menyusui diperintahkan oleh Allah SWT, tetapi perintah itu menunjukkan pada dorongan moral kemanusiaan untuk menyelamatkan dan memberikan perlindungankesehatan bagi sang anak. Meski begitu, para ahli hukum Islam memberikan ketegasan lain. Mereka bersepakat bahwa pekerjaan menyusui bisa menjadi wajib bagi seorang ibu kandung secara pasti jika terjadi dalam tiga keadaan berikut. Pertama, jika si anak
3 Menurut al-Hamawy, darurat merupakan limit akhir keterpaksaan yang jika tidak menerjang sesuatu meski dilarang iaterancam jiwanya. Baca asyiyah al-amay ala al-Asybah a an-Nadhair li bn Nufaym, hlm. 108. Pendapat ini juga selarasdengan sebagian pendapat dari kalangan ulama Malikiyyah, SyaIi`iyyah, dan Hanabilah.
tidak mau menerima air susu selain air susu ibunya sendiri. Kewajiban ini tentu lebih untuk menyelamatkan kehidupan anak dari kerusakan jasmani maupun rohani. edua, jika tidak ditemukan perempuan lain yang bisa meyusui, maka wajib bagi ibu kandung untuk menyusui anaknya agar kehidupan dan kesehatan anak terjamin. Dan ketiga, jika tidak diketahui bapak anak itu, dan si anak itu tak memiliki biaya untuk membayar perempuan yang menyusuinya, maka ibu kandung wajib menyusuinya agar si anak tersebut tidak meninggal dunia.
Ketegasan preIerensial ini dikuatkan oleh pendapat ulama SyaIi`iyyah. Menurut mereka, sang ibu kandung justru wajib memberikan air susunya kepada sang bayi, terutama, pada masa awal keluarnya dari rahim. Sebab, sang bayi yang baru lahir biasanya tidak bisa hidup tanpa air susu ibunya.Dari perbincangan para ulama di sini jelaslah bahwa tugas 'menyusui adalah tugas para ibu |kaum perempuan|, karena secara biologis merekalah yang dapat mengalirkan air susu sebagai minuman atau makanan bagi para bayi |anak|. Namun, apakah tugas ini semata- mata tugas kemanusiaan yang didorong oleh kesadaran regenerasi umat manusia atau kewajiban legal-normatiI kodrati selaku orang yang melahirkannya, ternyata para ulama bersilang pendapat. Dari kompilasi pendapat yang terlacak, ada benang merah yang bisa kita tarik atas perbedaan pandang ini. Kita bisa memahami bahwa meskipun dikatakan wajib syariy, tetapi kewajiban ini dalam dinyatakan sebagai tugas kemanusiaan, tetapi mempertimbangkan kebutuhan dlarury bagi sang anak untuk mempertahankan kehidupannya, tugas moral ini bisa menjadi kewajiban legal bagi perempuan |bukan ibu kandung|. Tetapi di atas semua itu, adalah suatu kebajikan yang patut dilakukan oleh kaum perempuan untuk menyusui seorang anak. Dan adalah pemaksaan yang tidak manusiawi jika ibu kandung serta merta dikenai kewajiban legal menyusui anaknya, tanpa ada keseimbangan kewajiban pertanggungan dengan sang bapak. Al-Qur`n menjelaskan bahwa penyusuan tidak boleh menjadi sumber kesusahan bagi kedua orang tua. Asalkan suami isteri mempunyai keinginan yang sama dengan cukup tersedianya perbekalan (jaminan) untuk si ibu dalam menyusui, mereka bisa memungut perempuan lain untuk menyusui anaknya.
G. FAIDAH RADHA`A Apa yang disebut dengan ardha`ah, yang kemudian menyangkut bilangannya dan apapula ukurannya ? Pembuat syari`at menyebutkan aradha`ah dan menyerahkannya kepada pengertian yang dikenal manusia serta bagaimana mereka menganggapnya sebagai satu radha`ah. Maka radha`ah (satu penyusuan) ialah satu kali dari aradha`at (beberapa penyusuan), seperti kata al-aklaha dengan kata al-akalat, atau asy-syurbah dengan asy-surbat. Manusia tidak menganggap satu kali makan kecuali menurut kewajiban yang sempurna,baik diselingi dengan berdiri atau sedikit kesibukan atau di penggal oleh suatu penghalang kemudian kembali lagi makan karena pelakunya belum menyempurnakan makan itu. Begitu pula yang terjadi dengan aradha`ah. Yang benar, penyusuan tidak dianggap sebagai satu penyusuan kecuali karena bayi yang menyusu, kemudian dia meninggalkannya tanpa ada penghalang atau kesibukan, tapi karena kesenangan hati dan karena membutuhkannya. Ini merupakan pendapat asy-syaIi`y dan merupakan riwayat kedua dari al imam ahmad. Ibnul-qayyim mendukung pendapat ini seperti yang dinyatakannya didalam al-hadyu, juga merupakan pilihan seyaikh kami, abdurahman ali sak`dy. Jika wanita yang menyusui memindahkan bayi dari satu payudara ke payudara lain atau ada sesuatu yang mengganggunya kemudian bayi itu tidak menyusu, maka hisapan ini dianggap satu kali penyusuan. Para ulama juga saling berbeda pendapat tentang waktu penyusuan yang dikaitkan denga pengharaman pernikahan. Ada beberapa pendapat tentang masalah ini. Namun yang layak untuk dikaji. Dan didiskusikan karena mengacu pada dalil, ada empat pendapat : 1. Penyusuan yang dapat dipertimbangankan ialah yang dilakukan selama dua tahun. 2. Yang dilakukan pada masa kecil tanpa dibatasi dengan waktu tertentu. 3. Penyusuan tetap mengharamkan pernikahan mesikipun terhadap orang yang suudah baliqh. 4. Penyusuan tidak mengharamkan pernikahan kecuali yang dilakukan terhadap anak kecil, kecuali jika ada kebutuhan untuk menyusui orang yang sudah besar yang biasa ditemui dan silit berhijab darinya. Yang pertama merupakan pendapat asy-SyaIi`y dan ahmad serta dua rekan abu haniIah, l-hurairah, ibnu abbas, ibnu umar, diriwayatkan dari asy-syakdy suIyan, ishaq dan ibnul-mundzir. Mereka berhujah dengan Iirman Allah, Para ibu hendaklah menyusui anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan.(al-baqarah:233) Kesempurnaan penyusuan ditetapkan selama dua tahun, sehingga tidak ada hukum penyusuan itu setelah dua tahun dan tidak dapat dikaitkan dengan pengharaman pernikahan. Mereka juaga berhujjah dengan hadist, 'sesungguhnya penyusuan itu terjadi karena kelaparan. Jangka waktu kelaparan ialah selama dua tahun. Mereka juga berhujjah dengan riwayat ad-daruquthny dengan isnad shahih, dari ibnu abbas, dia memarIu`kannya, 'tidak ada penyusuan kecuali yang dilakukan selma dua tahun. Begitu pula yang disebutkan dalam sunan Abu Daud, dari hadist ibnu mas`ud, dia memarIu`kannya, ' tidak diharamkan pernikahan karena penyusuan kecuali yang menumbuhkan daging dan menguatngkan tulang. Sementara penyusuan orang yang sudah besar tidak menumbuhkan daging dan menguatkan tulang. Yang berpegang kepada pendapat kedua ialah para istri rasulullah Saw kecuali aisyah. Ini juga merupakan pendapat yang diriwayatkan dari ibnu umar, ibnul- nusaiyab, merupakan pilihan pendapat syaikhul-islam ibnu taimiyah. Dalil mereka ialah hadist yang disebutkan di slam ash-shahihain, bahwa rasulullah Sawbersabda sesungguhnya penyusuan itunterjadi karena kelaparan.hal ini mengharuskan keumuman, bahwa selagi makanan pendapat yang bagus dan sumber pengambilannya pun juga kuat. Yang berpegang kepada pendapat ketigan ulama slaI dan khalaI, diantaranya aisyah, juga diriwayatkan dari Ali, Urwah, Atha`. Al-Laits bin sa`ad, Daud dan Ibnu Hazm, yang menyatakan di dalam Al-Muhalla dan dia menyanggah hujjah golongan lain yang berbeda. Jika aisyah menginginkan seorang lelaki untuk bertemu dengannya, maka dia memerintahkan saudaranya, ummu kultsum atau putri-putri saudaranya untuk menyusui orang tersebut. Dalill mereka adalah hadits sahih dari rasulullah Saw, bahwa sahlah binti suhail berkata,wahai rasulullah, sesungguhnya salim adalah mantann budak abu haniIah yang berada dirumah kami hingga dia dewasa sebagaiman kedewasaan seorang laki-laki. Maka beliau bersabda, ' susuilah dia, sehingga engkau menjadi haram bagi dirinya. ' maka salim memiliki kedudukan yang sama dengan anaknya karena penyusuan. (diriwayatkan muslim)
BAB III PENUTUP A. KESIMPULAN
tidak ada makanan atau minuman yang tepat bagi seorang anak yang baru lahir selain air susu ibu. Dengan begitu, kebutuhan air susu ibu betul-betul mempertaruhkan kehidupan sang anak. Maka, adalah menjadi hak |asasi| bagi seorang anak untuk memperoleh air susu ibu secara memadai. Posisi ini haruslah disesuaikan dengan penempatan radhaah pada konteks hak-hak anak dalam literatur fiqh. Sementara posisi bapak |suami|--yang secara biologis tidak mungkin bias 'menyusui--adalah memberikan perlindungan kepada keduanya (ibu dan anak), baik yang bersiIat ekonomi maupun non-ekonomi, sehingga penyusuan ini dapat berjalan sesuai dengan kebutuhan anak. Bapak |suami| secara ekonomi wajib memberikan naIkah baik kepada ibu |istrinya| maupun kepada anaknya. Kepada anaknya, bapak mempunyai lima kewajiban naIkah, yaitu upah susuan, upah pemeliharaan, naIkah kehidupan sehari-hari, upah tempat pemeliharaan, dan upah pembantu jika membutuhkannya. Lima hal ini diberikan kepada siapa saja yang melakukan kerja 'menyusui dan memelihara anak, termasuk kepada istrinya sendiri.
DAFTAR PUSTAKA
Muhammad Ali as-Shabuniy, at-Tibyan fiy Ulum al-Quran, (Makkah: t.p., 1980), hlm. 1146.
Wahbah az-Zuhayli, p. Cit., hlm. 699. Baca juga Muhammad Ali as-Shabuniy, Raa`i al-Bayan: Tafsir Ayat al-Ahkam min al-Qur`an, |Makkah al-Mukarramah: t.p., t.t.|, hlm. 353.
TaIsir Rahmat, H.oemar Bakry, mutiara. Hal 71
Abdullah bin Abdurrahman Ali Basam, Syara Hadits pilihan Bukhari- Muslim,2002, darul Ialah.
al-Khathib, al-qna fiy ill Alfadh Abi Syufa, Juz I, |Mesir: Dar Ihya al-Kutub al-Arabiyyah, t.t.|, hlm. 196.
Muhammad Husain ad-Dzahabiy, asy-syariah al-slamiyyah, |Mesir: Dar al- Kutub al-Haditsah, 1968|, hlm. 398.