Anda di halaman 1dari 11

RADHA’AH DAN

PROBLEMATIKANYA
DI ERA MODERN
KELOMPOK 9

ANDE NUR HIDAYATULLOH


(200201110156)
AMELIYA SALWA NURDIANSYAH PUTRI
( 200201110110)
Radhaah dalam syariat islam
◦ Pengertian Radha’ah
Untuk memudahkan kita dalam memahami kajian tentang radha’ah serta supaya lebih
terarahnya penelitian ini, maka
penulis akan menguraikan terlebih dahulu defenisi dari radha’ah secara umum serta
apa-apa yang berhubungan dengan radha’ah itu sendiri. Secara bahasa radha’
adalah bentuk mashdar (kata kerja tanpa zaman) dari kata radha’a. Dikatakan
radha’atshadya artinya dia menetek susu ibu. Sedangkan secara istilah radha’ah berarti
meneteknya seorang anak yang berumur kurang dari dua tahun, dia menetek kepada
susu perempuan yang sedang melimpah air susunya, baik karena hamil atau yang
lainnya (Ali bin Sa’id bin Ali Al-Hajaj Al-Ghamidi, 2009).
Rukun dan Syarat Radha’ah
Rukun-rukun Radha’ahAda tiga yang harus terpenuhi didalam adha’ah (Abdul Rahman Aljaziri :tt):
1). Murdhi’, yaitu ibu yang menyusukan;
2)Laban, yaitu air susu:
3) Radhi’, yaitu anak yang menyusu.

Syarat-syarat Radha’ah
Berbeda dengan rukun-radha’ah yang disepakati para ulama untuk harus terpenuhi, maka di
dalam syarat-syarat radha’ah ini, para ulama berbeda pendapat. Penulis akan paparkan secara
global tentang pendapat para ulama didalam menetapkan syarat- radha’ah ini.Orang yang
menyusui ((‫المرضع‬Mengenai orang yang menyusui keadaannya disyaratkan sebagai berikut:
Pertama, perempuan. Maksudnya adalah yang menyusui itu adalah seorang manusia dan dari
jenis kelamin perempuan. Maka apabila seseorang menyusu kepada selain manusia maka tidaklah
berlaku hukum mahram padanya, seperti menyusu kepada seekor hewan.
Kedua, Hidup. Maksudnya adalah bahwa yang menyusui tersebut masih dalam
keadaan hidup ketika penyusuan itu berlangsung. Maka tidaklah menjadi mahram bagi
anak yang menyusu kepada orang yang telah meninggal bagaimanapun cara nya,
baik diminum langsung ataupun tidak melalui payudara wanita yang telah meninggal
itu secara langsung.
Ketiga, di dalam usia melahirkan Maksudnya adalah keadaan perempuan dalam
keadaan dimasa usia melahirkan. Kalau seandainya penyusuan dilakukan oleh wanita
yang berusia kurang dari sembilan tahun, atau perempuan yang sudah tua (tidak
beranak) maka penyusuan seperti itu tidak membawa pengaruh hokum (Abdul Fatah
Idris, Abu Ahmadi, 2004).
AIR SUSU
Air susu (‫لبن‬Mengenai air susu ada syarat-syarat yang harus terpenuhi, untuk bisa
menghasilkan hukum mahram. Dimana syarat-syarat nya adalah sebagai berikut:
Pertama, sebagai makanan pokok.Maksudnya adalah, bahwa air susu yang diminum
adalah berfungsi sebagai makanan pokok bagi yang menyusu. Dan air susu yang
diminum dapat menghilangkan rasa lapar bagi yang meminumnya.
Kedua, air susu haruslah murni.Kemurnian air susu dalam arti tidak bercampur dengan air
susu lain atau zat lain diluar air susu ibu
Orang yang menyusu ( radhi’)
◦ Adapun syarat-syarat bagi orang yang menyusu adalah:
◦ Pertama, dalam keadaan hidup. Artinya hidupnya si penyusu merupakan syarat
terjadinya penyusuan sebab hanya dengan hidupnya si penyusu proses penyusuan
dapat berjalan dengan sempurna
◦ Kedua, masih dalam usia menyusuMaksudnya bahwa anak yang menyusu itu masih
kecil atau umurnya tidak lebih dari dua tahun.
◦ Ketiga, perut si penyusu. Air susu yang diminum harus benar-benar sampai ke dalam
perut si anak (penyusu), sehingga dapat dirasakan akan manfaatnya
JUAL BELI ASI
◦ Air Susu Ibu atau ASI sangat penting bagi perkembangan tubuh bayi, maka
pemerintah juga mengatur pemberian ASI eksklusif pada bayi dalam Peraturan
Pemerintah No. 33 Tahun 2012 tentang Pemberian Air Susu Ibu Eksklusif terdapat dalam
pasal 6 menetapkan bahwa setiap Ibu yang melahirkan harus memberikan ASI Eksklusif
kepada bayi yang dilahirkannya.

◦ Dengan adanya jual beli ASI tersebut maka bisa mengakibatkan terjadinya hubungan
kemahraman dengan adanya saudara sepersusuan di kemudian hari saat anak-anak
tersebut dewasa nanti dan dikhawatirkan mereka menikah satu sama lain padahal
tanpa sepengetahuan mereka ada hubungan nasab dari Ibu sepersusuan serta bisa
terjadi hubungan persaudaraan. Karena pernikahan seperti itu di haramkan oleh
agama Islam dan sangat bertentangan dengan ajaran Islam.
madzhab Syafi‘i
marupakan salah satu madzhab yang membolehkan jual beli ASI. Adapun pendapat-pendapatnya
sebagai berikut:
1. Seorang wanita boleh menampung air sususnya dalam suatu wadah dan menjualnnya kepada ibu-
ibu yang membutuhkannya dengan berdasar pada keumuman firman Allah Swt. dalam surat al-
Baqarah ayat 275:28“…… Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba….”
2. ASI itu suci dan bisa diambil manfaatnya (intifa‘), sehingga boleh memperjualbelikan air susu yang
sudah diperah, seperti hal nya air susu hewan.29
3. Dalam prinsip fiqih, benda yang tidak haram dikonsumsi berarti tidak haram juga mengonsusmsi hasil
penjualannya.30
4. ASI/ seorang wanita yang berasal dari air susunya sendiri merupakan sesuatu yang halal
diperjualbelikan. Secara logika, tidak ada perbedaan antara susu manusia dan susu hewan yang
dagingnya dikonsumsi oleh manusia.31 Apabila air susu hewan boleh diperjualbelikan untuk
dikonsumsi manusia, maka air susu manusia juga demikian. Oleh sebab itu itu, mengambil upah dari
menyusui anak dibenarkan oleh syara‘, sebagaimana terdapat dalam potongan firman Allah Swt.
surat al-Baqarah ayat 233, yang telah disebutkan sebelumya.32 Ayat tersebut menjelaskan bahwa
bagi para ibu supaya menyusui anak-anaknya dengan sempurna, yaitu dua tahun penuh dan tidak
ada lagi penyusuan setelahnya.
Maka mengenai transaksi jual beli ASI atau donor ASI agar jual beli tersebut sesuai dengan syariat
hukum islam harus dilakukan dengan jujur memenuhi rukun dan syarat dalam jual beli.
BANK ASI
◦ menurut Qardhawi, tidak ada proses penyusuan melalui Bank ASI. Cara al-wajur dan
as-sa’uth hanyalah melalui cara wajar, bukan proses menghisap dari puting payudara
ibu susuan. Sehingga hukum Bank ASI menurut ulama kontemporer seperti Al-Qardhawi
boleh, karena tidak akan menjadikan saudara susuan dan mengharamkan
perkawinan.
◦ Selanjutnya para ulama berbeda pendapat di dalam menentukan batasan umur
ketika orang menyusui yang bisa menyebabkan kemahraman. Namun mayoritas
ulama mengatakan bahwa batasannya adalah jika seorang bayi berumur dua tahun
ke bawah
◦ Selanjutnya Madzhab Syafi'i dan Hanbali mengatakan bahwa susuan yang
mengharamkan adalah jika telah melewati 5 kali susuan secara terpisah.
Di Indonesia, persoalan bank ASI pun telah mendapatkan tanggapan oleh MUI dan
dalam Musyawarah Nasional Majelis Ulama Indonesia VIII di Jakarta, bertepatan
dengan tanggal 27 Juli 2010 M/17 Sya’ban 1431 H, MUI mengeluarkan fatwa tentang
Bank ASI. Mendirikan Bank ASI hukumnya boleh dengan syarat sebagai berikut:
Dilakukan dengan musyawarah antara orang tua bayi dengan pemilik ASI sehingga
ada kesepakatan dua belah pihak, termasuk pembiayaannya.Ibu yang mendonorkan
ASI-nya harus dalam keadaan sehat dan tidak sedang hamil.Bank tersebut mampu
menegakkan dan menjaga ketentuan syari’at Islam.Berpedoman pada fatwa MUI di
atas, tugas Bank ASI sebenarnya adalah hanya sebagai media yang menjembatani
pertemuan antara bayi dengan calon ibu susuan, bukan menampung donor ASI nya.

Anda mungkin juga menyukai