Anda di halaman 1dari 5

Berdasarkan Asosiasi Ibu Meyusui Indonesia, terdapat beberapa regulasi yang mengatur hal ini,

yaitu:

1. UUD 1945
2. UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
3. UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
4. UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Azazi Manusia
5. UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan
6. UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
7. UU No. 7 Tahun 19996 tentang Pangan
8. UU No. 69 Tahun 1999 tentang Label dan Iklan Pangan
9. UU No. 36 Tahun 1990 tentang Pengesahan Konfensi tentang Hak-Hak Anak
10. Keputusan Menkes RI No. 450/MENKES/SK/IV/2004 tentang Pemberian ASI Secara
Eksklusif Pada Bayi di Indonesia
11. Keputusan Menkes RI No. 237/MENKES/SK/IV/1997 tentang Pemasaran Pengganti Air
Susu Ibu
12. Peraturan Bersama MenagPP, Menakertrans dan Menkes tentang Peningkatan Pemberian
ASI Selama Waktu Kerja di Tempat Kerja
13. Peraturan Kepala BPOM RI Tentang Penambahan Zat Gizi dan Non Gizi Dalam Produk
Pangan
14. Keputusan Kadinkes Provinsi DKI Jakarta tentang Pemberian ASI Secara Dini (Inisiasi
Menyusu Dini) bagi Ibu Melahirkan di Provinsi DKI Jakarta tahun 2008
15. Peraturan Kepala BPOM RI tentang Pengelompokan Produk Formula Bayi dan Formula
Lanjutan
16. Perda Kabupaten Klaten No. 7 Tahun 2008 tentang Inisiasi Menyusu Dini dan Air Susu
Ibu Eksklusif
17. Pedoman Peningkatan Penerapan 10 Langkah Menuju Keberhasilan Menyusui yang
Responsif Gender bagi Pusat dan Daerah
18. Rekomendasi tentang Pemberian Makan Bayi Pada Situasi Darurat
19. Alasan Medis yang Dapat Diterima Sebagai Dasar Penggunaan Pengganti ASI
20. International Code of Marketing of Breast-milk Substitutes
21. Konvensi Hak-Hak Anak
22. Melindungi Bayi Dalam Keadaan Darurat
23. Rangkuman Peraturan Perundangan di Indonesia Menyangkut ASI
24. Kode Etik Internasional Pemasaran Pengganti Air Susu Ibu

Dari aturan- aturan tersebut, dapat kita ambil contoh penerapan peraturan dalam rangka
pemberian donor ASI. Satu diantara contoh yang dapat kita ambil adalah UU No. 36/2009
tentang KESEHATAN pasal 128 ayat 1, 2, dan 3 yang berbunyi:

(1) setiap bayi berhak mendapatkan air susu ibu eksklusif sejak dilahirkan selama 6 (enam)
bulan, kecuali atas indikasi medis

(2) selama pemberian air susu ibu, pihak keluarga, pemerintah, pemerintah daerah dan
masyarakat harus mendukung ibu bayi secara penuh dengan penyediaan waktu dan fasilitas
khusus
(3) penyediaan fasilitas khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diadakan di tempat kerja
dan di tempat sarana umum

Ayat 2 dari pasal 128 di atas menyatakan bahwa pihak keluarga, pemerintah daerah, termasuk
masyarakat harus mendukung pemberian air susu ibu pada bayi. Hal ini menegaskan bahwa
pemberian donor ASI dapat dilakukan apabila ibu kandung tidak dapat memberikan hal tersebut
sehingga menyebabkan si bayi kehilangan haknya. Namun pemberian donor ASI ini harus
memenuhi syarat pemberian dan penerimaan donor ASI.

Regulasi standar kesehatan mengenai hal ini juga telah diatur oleh Ikatan Dokter Anak Indonesia
yaitu IDAI dengan melakukan standar-standar tertentu dalam menapis Ibu yang tidak
mempunyai kualitas dalam mendonorkan ASI

Donor ASI perlu diperkuat dengan informasi, konseling dan keterampilan memberikan bantuan
praktis. Ada beberapa syarat yang harus dilalui Ibu sebelum mendonorkan ASI nya.

Pendonor ASI

Ibu yang ingin mendonorkan ASI harus melalui beberapa tahap penapisan

Penapisan 1

 Memiliki bayi berusia kurang dari 6 bulan


 Sehat dan tidak mempunyai kontra indikasi menyusui.
 Produksi ASI sudah memenuhi kebutuhan bayinya dan memutuskan mendonasi ASI atas
dasar produksinya berlebih.
 Tidak menerima transfusi darah dalam 12 bulan terkahir
 Tidak menerima transplantasi organ/ jaringan dalam 12 bulan terakhir
 Tidak mengkonsumsi obat, termasuk insulin, hormon tiroid dan produk yang mungkin
mempengaruhi bayi. Obat atau suplemen
herbal harus dinilai kompatibilitasnya terhadap ASI
 Riwayat menderita penyakit menular, seperti hepatitis, HIV, HTLV2
 Tidak memiliki pasangan seksual yang berisiko terinfeksi penyakit, seperti HIV, HTLV2,
hepatitis B/C (termasuk penderita hemofilia yang rutin menerima komponen darah);
menggunakan obat ilegal, perokok, minum beralkohol

Penapisan 2

 Harus menjalani skrining meliputi tes HIV, human T-lymphotropic virus (HTLV), dan
sifilis, hepatitis B dan hepatitis C dan CMV (bila akan diberikan pada prematur)
 Apabila ada keraguan terhadap status pendonor, tes dapat dilakukan setiap 3 bulan.
 Setelah melalui tahapan penapisan, ASI harus diyakini bebas dari virus atau bakteri
dengan cara pasteurisasi atau pemanasan.
Dilema Etik
1. Segi medis
Dari segi medis, masalah yang ditekankan dalam hal donor ASIP adalah mengenai kualitas
dari ASI perah yang diberikan. ASI perah yang didonorkan kepada bayi lain harus memiliki
standar kebersihan yang mencukupi dan tidak mengandung bibit penyakit yang dapat menular ke
bayi yang menerima donor ASI perah tersebut. Ada beberapa penyakit yang dapat menular
melalui pemberian ASI seperti HIV, Hepatitis B dan C, HTLV dan CMV. Penyakit-penyakit
tersebut sangat dikhawatirkan dapat menular melalui pendonoran ASI perah, apalagi bayi yang
akan menerima donor ASI perah tersebut adalah bayi yang memiliki kekurangan dalam hal fisik,
seperti bayi prematur, dan lain-lain. Hal ini yang menyebabkan beberapa dokter tidak
menyarankan untuk pemberian donor ASI perah.

2. Ekono-sosio kultural
Dari segi ekono-sosio kultural, ada beberapa hal yang menjadi dilema yaitu:
a. Biaya yang diperlukan skrining meliputi tes HIV, human T-lymphotropic virus (HTLV), dan
hepatitis B dan hepatitis C dan CMV (bila akan diberikan pada prematur) tidak sedikit, selain itu
pada pendonor yang meragukan tes ini harus diberikan setiap 3 bulan sekali. Permasalahan ini
dan banyaknya Ibu yang harus memberikan ASI eksklusif dan ditambah tidak semua Ibu
memiliki keadaan ekonomi yang sama membuat hal ini sulit untuk dilakukan, terutama dalam
menjamin keamanan dari ASI pendonor.
b. Belum adanya badan yang melakukan seleksi masal bagi pendonor dan melakukan regulasi
secara masif. Di Indonesia sendiri baru AIMI (Asosiasi Ibu Menyusui Indonesia) yang
menggalakkan donor ASI ini dan baru tercapai di kota-kota besar. Selain itu hal ini baru sebatas
edukasi dan perluasan regulasi belum secara konkrit mengatur kualitas pendonor dan ASI
pendonor.
c. Saat ini banyak pendonor yang menawarkan secara online pada ibu-ibu yang membutuhkan di
internet dan belum ada perlindungan konsumen yang melindungi hal tersebut.

3. Islamic perspektif
Indonesia merupakan penduduk dengan mayoritas muslim. Dalam pengaturan ASI ini
dikatakan bahwa seorang Ibu yang memberikan Air Susunya kepada bayi yang bukan anaknya
maka antara anak kandung dan anak yang disusuinya akan menjadi saudara sepersusuan,
dianggap mahram dan tidak boleh menikah, sebagaimana dicantumkan didalam Qur’an Surah
An-Nisa ayat 23 Allah SWT berfirman:
‫ض ٰـ َع ِة‬ َّ َ‫ضعۡ نَ ُك ۡم َوأَخ ََوٲتُڪُم ِمن‬
َ ‫ٱلر‬ َ ‫ى أ َ ۡر‬ ُ ُ ‫وأ ُ َّم َه ٰـت‬...
ٓ ِ‫ڪ ُم ٱلَّ ٰـت‬ َ
“(Diharamkan atas kamu mengawini) ibu-ibumu yang menyusui kamu dan saudara perempuan
sepersusuan” (QS An Nisa: 23).
Meninjau lebih jauh, menurut kajian normatif, melalui teori yang dikemukakan oleh Abu
Hanifah bahwa ASI harus murni, tidak tercampur dengan benda lain. Teori Ibn Hazm bahwa
persusuan adalah persusuan yang dilakukan secara langsung terhadap puting seorang perempuan
atau Ibu. Disamping itu, teori Maqashid as-syari’ah, tujuan ditetapkannya hukum Islam, yakni
terkait dengan berdirinya bank ASI, yaitu untuk membantu bayi yang sangat membutuhkan ASI.
Pratik donor ASI yang terjadi di Indonesia maupun di negara lain tidak dapat membawa
konsekuensi hukum mahram antara perempuan pemilik ASI atau pendonor dengan anak
pengguna ASI tersebut sebab praktik pendonoran ASI tidak memiliki beberapa kriteria dan
syarat bagi terwujudnya hubungan mahram persusuan. Beberapa hal yang dianggap tidak
memenuhi kriteria tersebut adalah:
a. Penyusuan tidak dilakukan secara langsung,
b. ASI tidak murni, dan
c. Tidak ada penyaksian proses pendonoran dan penyususan secara langsung.

D. Solusi / Penyelesaian Dilema Etik


1. Segi medis
Untuk menjaga kualitas ASI yang akan didonor dan kesehatan bayi yang akan menerima
donor ASI, maka perlu adanya penapisan bagi ibu yang akan mendonorkan ASI-nya. Penapisan
tersebut untuk menyingkirkan ASI yang berasal dari ibu yang memiliki kontraindikasi seperti ibu
yang memiliki resiko terinfeksi penyakit HIV, Hepatitis B dan C, HTLV dan CMV; ibu yang
mngonsumsi obat-obatan, alkohol atau merokok. Agar penapisan ini dapat berjalan sesuai
standar kesehatan yang berlaku, maka harus ada lembaga atau organisasi yang khusus mengatur
permasalahan mengenai donor ASI perah ini sendiri. Selain itu, pemberian edukasi kepada ibu-
ibu yang tidak dapat menyusui sendiri agar tidak serta-merta memberikan donor ASI perah
kepada bayinya tanpa penapisan terlebih dahulu atau tidak diketahui secara jelas asal-usulnya
untuk menghindari kemungkinan timbulnya permasalahan kesehatan pada bayi tersebut.

2. Ekono-sosio kultural
Untuk mengatasi masalah yang sudah disebutkan di atas, sangat dibutuhkan adanya peran
dari pemerintah baik dari segi dana maupun jasa, melihat mahalnya biaya untuk melakukan
penapisan dan penyeleksian masal, serta belum meratanya kegiatan tersebut ke daerah daerah
terpencil. Untuk masalah donor ASI online, sebaiknya dilakukan edukasi sejak awal bagi ibu-ibu
untuk tidak memberikan donor ASI perah kepada bayinya jika tidak diketahui secara jelas asal-
usulnya atau diadakan kerjasama dengan tim dokter sebagai perantara, sehingga ASI perah yang
berasal dari pendonor online ditampung terlebih dahulu untuk diseleksi sebelum diberikan
kepada yang membutuhkan.

3. Islamic perspektif
Masalah ini sebenarnya masih diperdebatkan dikalangan ‘ulama dengan dalil sulitnya
untuk melihat hubungan mahram antara pendonor dan yang menerima donor. Namun jika
memang donor ASI perah sangat dibutuhkan, perlu adanya syarat yang sangat ketat, yaitu
pendataan identitas secara lengkap antara pendonor dan penerima donor. Setiap ASI yang
dikumpulkan di bank ASI harus disimpan di tempat khusus dengan menulis nama pemiliknya
dan dipisahkan dari ASI-ASI yang lain. Setiap bayi yang meminum ASI tersebut harus dicatat
identitasnya secara lengkap dan frekuensi mengkonsumsi ASI dari pendonor yang sama. Jika
bayi sudah 5 kali meminum ASI yang sama, maka kedua keluarga harus dipertemukan dan diberi
sertifikat hubungan sepersusuan. Sehingga selanjutnya jelas terjadi pengharaman pernikahan
diantara mereka seperti saudara kandung yang menjadi mahram mereka.

E. Kesimpulan
Melihat dilema yang ada saat ini, sangat dianjurkan kepada ibu-ibu yang baru saja
melahirkan untuk tetap menyusui bayinya dengan ASI-nya sendiri agar terjamin kualitasnya
tanpa mengkhawatirkan permasalahan yang akan muncul kedepannya. Namun jika memang
tidak memungkinkan untuk menyusui sendiri, ada 2 alternatif yang dapat digunakan yaitu
menggunakan donor ASI perah atau dengan menggunakan susu formula. Jika ingin
menggunakan donor ASI perah, sebaiknya memperhatikan kemungkinan masalah yang akan
muncul baik dari segi medis, ekono-sosio kultural, maupun dari segi agama sehingga tidak akan
menjadi kekhawatiran tersendiri kedepannya.

F. Referensi
Brent, N., 2013. The Risks and Benefits Of Human Donor Breast Milk diunduh dari http:// The risks and
benefits of human donor breast milk. [Pediatr Ann. 2013] – PubMed – NCBI.htm pada 20
November 2015
Fahnani, A., 2012. Bank Air Susu (ASI) Dalam Tinjauan Hukum Islam. IAIN Walisongo, Semarang
Istianah, 2010. Donor ASI (Air Susu Ibu) dan Implikasinya Terhadap Hubungan Kemahraman.
Universitas Islam Negeri, Yogyakarta
Kementerian Kesehatan RI, 2015. Mari Dukung! Menyusui dan Bekerja. Pusat Data dan Informasi
Kementerian Kesehatan RI, Jakarta Selatan
Keputusan Menkes RI No. 237/MENKES/SK/IV/1997 tentang Pemasaran Pengganti Air Susu Ibu
Tasya, A. Rangkuman Peraturan Perundangan Di Indonesia Menyangkut Air Susu Ibu (ASI). Asosiasi
Ibu Menyusui Indonesia , Jakarta

Anda mungkin juga menyukai