Anda di halaman 1dari 70

Stop Susu Formula buat Bayi!

http://health.kompas.com/read/2010/11/10/11474445/Stop.Susu.Formula.buat.Bayi.
JAKARTA, KOMPAS.com Pelarangan iklan susu formula bagi bayi di bawah usia satu tahun
bukan tanpa alasan. Rendahnya pemberian ASI bagi bayi dan tingginya risiko yang ditimbulkan oleh
susu formula adalah dua di antara banyaknya alasan yang bisa disebut. Selain, tentunya, iklan itu
melanggar kode etik pemasaran susu formula.
Baru-baru ini, Menteri Kesehatan Endang Rahayu Sedyaningsih membuat aturan pelarangan iklan
susu formula untuk anak usia di bawah satu tahun di berbagai media baik cetak, elektronik, maupun
media luar ruang. Aturan lain yang juga ditetapkan adalah melarang rumah sakit, tempat bersalin,
ataupun klinik kesehatan yang bekerja sama dengan produsen susu formula.
Aturan ini tentunya sangat disambut positif, terutama oleh kalangan praktisi kesehatan dan lembaga
swadaya masyarakat yang sering menjumpai berbagai pelanggaran kode etik susu formula. Di
antara mereka ada dr Dien Sanyoto Besar, SpA, IBCLC.
Ia sering melihat, papan nama di boks bayi di rumah sakit atau klinik bersalin menjadi papan iklan
susu formula. Di beberapa rumah sakit dan klinik bersalin memang tak jarang terlihat, bayi yang
baru lahir diberi susu formula menggunakan botol.
Belum lagi ketika bayi pulang dari rumah sakit, orangtua dibekali bingkisan berisi susu formula untuk
bayinya. "Lalu ASI-nya di mana? Menurut saya, ini tindakan yang kejam karena hak bayi tidak
dipenuhi dan bayi sudah diperebutkan oleh susu formula," kata dr Dien.
Akibatkan pemberian ASI turun
Sebetulnya, banyak negara sudah menerapkan secara ketat bahwa fasilitas kesehatan tidak boleh
digunakan sebagai tempat untuk promosi susu formula. Produk untuk bayi itu juga tidak
diperkenankan untuk diiklankan menggunakan media apa pun. Rumah sakit bahkan tidak
dibenarkan mendapatkan susu formula dengan potongan harga, apalagi diberikan secara gratis.
Praktik-praktik promosi seperti ini, tanpa disadari, akan berpengaruh terhadap pemberian ASI.
Sebuah studi yang mengamati hubungan antara iklan di majalah pengasuhan dan ASI antara tahun
1972 dan 2000 menemukan bahwa ketika frekuensi iklan untuk susu tambahan meningkat,
persentase pemberian ASI menurun.
Adapun studi yang dilakukan oleh US Congressional Accountability Office tahun 2006 menunjukkan
bahwa pemberian ASI pada mayoritas ibu yang menerima sampel susu formula gratis di rumah sakit
ternyata lebih rendah. Itu sebabnya, promosi susu formula tidak diperbolehkan mengingat efeknya
yang dapat memengaruhi pemberian ASI.

Praktik seperti ini juga tidak sesuai dengan kode etik pemasaran susu formula yang diterapkan oleh
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) sejak tahun 1981.
Tekad menteri kesehatan
"Kode etik pemasaran diperlukan karena pemberian ASI belum optimal. Diperkirakan, hal itu masih
menyumbang kematian sekitar 1,4 juta anak di bawah usia 5 tahun setiap tahunnya," ungkap David
Clark, legal officer dari UNICEF.
Pemberian ASI juga belum optimal di Indonesia. Hal ini pula yang membuat Menkes mengambil
langkah serius dalam hal pelarangan susu formula untuk anak usia di bawah setahun.
Larangan ini akan diterapkan pada tahun 2011. Saat ini, rancangan peraturan pemerintah (RPP)
terkait pelarangan itu sedang digodok oleh Kementerian Kesehatan. RPP ini, diutarakan Menkes
sebagaimana dikutip Sehatnews.com, sudah mendapat persetujuan dan presiden untuk dilanjutkan.
Diharapkan, RPP itu pada tahun depan sudah menjadi peraturan pemerintah (PP).
PP ASI sebagai amanat Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan akan mengatur
tentang pemberian ASI eksklusif bagi bayi, pembatasan susu formula, termasuk pembatasan
pengiklanan produk, dan pembentukan ruangan menyusui di perusahaan.
Untuk pembatasan susu formula, Menkes menyebutkan bahwa petugas kesehatan dilarang bekerja
sama dengan perusahaan yang memproduksi susu formula. Di PP itu akan diatur bahwa susu
formula bagi anak berusia di bawah setahun tidak boleh diiklankan.
Salah satu dokter anak penggiat ASI, dr Utami Roesli, SpA(K), IBCLC, mendukung rencana
pemerintah tersebut. "Semua yang menggantikan tempat ASI untuk bayi usia 6 bulan sampai 2
tahun tidak boleh diiklankan, termasuk susu formula. Susu formula itu bukan makanan pendamping
ASI," kata dr Utami dalam suatu kesempatan.
ASI makanan utama
Menurut dr Utami, makanan bagi bayi, terutama pada 6 bulan pertama, adalah air susu ibu (ASI).
Tidak ada yang bisa menggantikan kualitas nutrisi ASI bagi bayi, semahal apa pun susu formula.
ASI unik karena setiap ibu akan menghasilkan ASI yang berbeda, sesuai dengan kebutuhan
bayinya. ASI hari ini belum tentu sama dengan ASI esok hari. ASI untuk bayi prematur tidak akan
sama dengan bayi lahir cukup bulan.
Hal ini yang tidak mungkin diperoleh dari susu formula. Dari hari ke hari, komposisi susu formula
tetap seperti itu, tidak ada yang berubah.
Sayangnya, para ibu lupa akan kondisi ini sehingga tak sedikit yang kemudian menggantungkan
susu formula bagi bayinya. Akibatnya, pemberian ASI eksklusif bagi bayi pun melorot.

Disebutkan oleh dr Dien, Survei Demografi Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun 1997 menunjukkan
bahwa bayi-bayi yang mendapat ASI secara eksklusif masih sekitar 42 persen. Namun, tahun 2003,
jumlah itu turun menjadi 39 persen. Di satu pihak, penggunaan susu botol mengalami kenaikan tiga
kali lipat dan 10 persen menjadi 30 persen.
Hasil pengamatan yang dilakukan dr Dien di delapan provinsi di wilayah Indonesia, bekerja sama
dengan badan internasional pada tahun 2003-2005, menunjukkan bahwa hampir semua rumah sakit
yang dikunjungi memberikan susu botol pada hari pertama ketika bayi lahir.
Kalau hal ini terus terjadi, risiko bayi mengalami sakit pasti bertambah. Pasalnya, susu formula tidak
sesteril yang diperkirakan. "Susu bubuk formula bukanlah merupakan produk steril. Susu tersebut
bisa terkontaminasi saat di pabrik," imbuh David.
Belum lagi dengan sisi kehigienisan perlengkapan, seperti botol, dot, dan akses ke air bersih yang
dibutuhkan untuk membuat susu formula. Dengan kata lain, kemungkinan bayi mengalami sakit
menjadi lebih besar ketimbang diberikan ASI.
Berdasarkan pengalaman ibu bernama Rika, misalnya, hal tersebut bisa dilihat. Wanita karier ini
memiliki dua anak yang hanya mendapat ASI selama dua bulan. Ia beralasan bahwa, "ASI saya
tidak cukup, dan saya harus bekerja." Mereka pun diberi susu formula hingga usia dua tahun.
"Susu formula yang saya berikan sudah dilengkapi dengan berbagai zat gizi. Jadi, saya pikir tidak
masalah," pikir karyawati perusahaan minyak ini.
Yang kemudian membuat Rika heran, anaknya kerap sakit, entah itu batuk atau pilek. Dalam
setahun, ia bisa bolak-balik ke dokter anak karena daya tahan tubuh mereka rendah.
Masalah seperti inilah yang sering digarisbawahi oleh banyak ahli. Anak-anak yang diberi susu
formula lebih rentan terkena infeksi atau jatuh sakit dibandingkan dengan anak yang diberi ASI.
Jadi sebenarnya tidak ada alasan untuk tidak memberikan ASI bagi bayi Anda. Lagi pula, lanjut dr
Dien, "Sebanyak 99 persen ibu bisa menyusui. Jadi, PD saja deh," ujarnya. (Diana Yunita Sari)

Bagaimana Mengenali Tenaga Kesehatan yang Tidak Mendukung


Kegiatan Menyusui
Sebagian besar tenaga kesehatan menyatakan bahwa mereka mendukung kegiatan menyusui. Tetapi
banyak yang mendukung hanya ketika kegiatan menyusui berjalan lancar, sebagian malah tidak
mendukung walau menyusui berjalan lancar. Begitu proses menyusui, atau kondisi apapun pada ibu
yang baru melahirkan, tidak sempurna, terlalu banyak yang menyarankan berhenti menyusui atau

memberikan asupan tambahan selain ASI. Berikut ini adalah daftar sebagian petunjuk untuk
membantu Anda menilai apakah seorang tenaga kesehatan mendukung kegiatan menyusui,
setidaknya cukup mendukung sehingga seandainya terjadi masalah, dia akan terus berupaya agar
Anda dapat tetap meneruskan menyusui.
Mengenali Tenaga Kesehatan yang Tidak Mendukung Kegiatan Menyusui:
1.

Dia memberi Anda sampel susu formula atau brosur susu formula saat Anda
hamil, atau setelah persalinan. Sampel dan brosur seperti ini adalah ajakan
untuk menggunakan produk tersebut, dan membagi-bagikannya disebut pemasaran. Tidak
ada bukti bahwa susu formula satu lebih baik atau lebih buruk dibandingkan susu formula
yang lain bagi bayi normal. Brosur, CD, atau video-video yang mendampingi sampel-sampel
itu adalah sarana untuk secara halus (yang tidak terlalu halus) meremehkan kegiatan
menyusui dan mengagungkan susu formula. Kalau Anda tidak yakin, coba Anda renungkan,
mengapa perusahaan-perusahaan susu formula memakai taktik saling jegal untuk
memastikan bahwa dokter atau rumah sakit Anda membagikan brosur dan sampel mereka
dan bukan produk perusahaan lain? Bukankah Anda seharusnya tidak heran kalau para tenaga
kesehatan ini mempromosikan pemberian ASI?

2.

Dia mengatakan bahwa disusui ASI dan diminumi susu formula sama saja.
Kebanyakan bayi yang minum susu formula tumbuh sehat dan aman sementara tidak semua
bayi yang disusui tumbuh sehat dan aman. Tapi ini tidak berarti disusui dan diberi susu
formula sama saja. Susu formula adalah tiruan kasar dari apa yang kita pahami beberapa
tahun lalu tentang ASI, berarti hanya hasil perkiraan kasar tentang apa yang baru kita sibak
sedikit dan terus mengejutkan kita akan kehebatannya. Sebagai contoh, telah bertahun-tahun
kita tahu bahwa DHA dan ARA penting bagi perkembangan otak bayi, namun dibutuhkan
waktu bertahun-tahun untuk memasukkannya ke dalam susu formula. Namun tidak otomatis
penambahan kandungan tersebut ke dalam susu formula akan menghasilkan dampak yang
sama seperti kandungannya dalam ASI, karena susu formula diserap tubuh secara berbeda
dari ASI. Banyaknya perbedaan antara susu formula dan ASI membawa konsekuensikonsekuensi kesehatan penting. Banyak unsur dalam ASI tidak dijumpai dalam susu formula,
walaupun kita sudah tahu selama bertahun-tahun arti penting kandungan itu bagi bayi
misalnya, zat-zat antibodi dan sel-sel yang melindungi bayi dari infeksi, faktor-faktor
pertumbuhan yang membantu mematangkan sistem imunitas tubuh, otak, dan organ-organ
lain. Dan menyusui tidak sama dengan memberi susu formula, ini dua jenis relasi yang sama
sekali berbeda. Kalau Anda tidak mampu menyusui, itu suatu hal yang sangat disayangkan
(walaupun kondisi itu hampir selalu dapat dicegah), tapi menyiratkan bahwa menyusui itu
tidak penting adalah menyesatkan dan seratus persen keliru. Memang seorang bayi tidak
harus diberi ASI untuk dapat tumbuh bahagia, sehat dan baik, tetapi dengan memberikan ASI
sangat membantu mencapai hal tersebut.

3.

Dia mengatakan susu formula x adalah yang terbaik. Ini biasanya berarti dia telah
terlalu banyak mendengarkan perwakilan perusahaan susu formula tertentu. Ini juga bisa
berarti anak-anaknya paling cocok memakai susu formula itu. Ini semua berarti dia telah
berprasangka tanpa dasar yang sahih.

4.

Dia mengatakan bayi baru lahir tidak perlu segera disusui karena ibu masih (akan)
capek setelah bersalin dan bayi belum berminat menyusu. Memang tidak perlu, tapi menyusui
segera setelah melahirkan seringkali sangat bermanfaat (lihat artikel MenyusuiMengawali
dengan Benar/Breastfeeding-Starting Out Right dan Pentingnya Kontak Kulit/The Importance
of Skin to Skin Contact). Bayi dapat menyusu sementara ibunya berbaring atau tidur,
walaupun sebagian besar ibu tidak ingin tidur pada momen seperti ini. Bayi baru lahir belum
tentu ingin segera menyusu, tetapi hal ini bukanlah alasan untuk menghalangi mereka
mendapatkan kesempatan menyusu dini. Banyak bayi mulai menyusu satu atau dua jam
pasca persalinan, dan ini adalah saat yang paling kondusif untuk mengawali kegiatan
menyusui dengan baik, namun mereka tidak akan bisa menyusu kalau dipisahkan dari ibunya.
Jika Anda mendapati bahwa proses menimbang, mendapat tetes mata dan suntikan vitamin K
bagi bayi lebih diutamakan dibandingkan pemantapan proses menyusui, maka Anda bisa
mempertanyakan komitmen mereka terhadap kegiatan menyusui.

5.

Dia mengatakan bahwa tidak ada yang namanya bingung puting dan Anda sebaiknya
segera mulai mengenalkan dot pada bayi supaya dia mau minum lewat dot. Mengapa
buru-buru mengenalkan dot jika tidak ada yang namanya bingung puting? Berargumen seperti
itu sama halnya dengan menempatkan kereta di depan seekor kuda. Dot itulah, yang tidak
pernah dipakai oleh mamalia lain kecuali manusia, itu pun tidak lazim bagi manusia sebelum
akhir abad ke-19, yang perlu dibuktikan apakah benar tidak berbahaya. Tapi dot tidak terbukti
tidak merugikan proses menyusui. Tenaga kesehatan yang beranggapan bahwa penggunaan
puting buatan tidak berbahaya adalah mereka yang berpendapat bahwa menyusu lewat dot
adalah metode pemberian makan bayi yang normal secara fisiologis. Hanya karena tidak
semua bayi, atau mungkin meskipun sebagian besar bayi yang diberi minum lewat dot tidak
mengalami masalah menyusu, tidak berarti penggunaan puting buatan sejak dini tidak dapat
mendatangkan masalah bagi sebagian bayi. Masalah-masalah menyusui seringkali disebabkan
oleh kombinasi beberapa faktor, salah satunya bisa jadi penggunaan puting buatan, yang
menambah masalah yang sudah ada.

6.

Dia menyuruh Anda berhenti menyusui karena Anda atau bayi Anda sakit, atau Anda
akan menerima pengobatan atau menjalani tes medis. Ada situasi-situasi yang jarang,
langka, ketika menyusui tidak bisa dilanjutkan, tapi amat sangat sering tenaga kesehatan
keliru ketika beranggapan bahwa seorang ibu tidak bisa terus menyusui. Tenaga kesehatan
yang mendukung kegiatan menyusui akan berupaya sedapat mungkin untuk mencegah
terhentinya kegiatan menyusui (informasi di Daftar Obat bukanlah rujukan yang baik
keterangan tentang kontraindikasi disusun oleh perusahaan obat atas pertimbangan tanggung
jawab hukum bukannya memikirkan kepentingan ibu dan bayi). Ketika ibu harus
mengkonsumsi obat, tenaga kesehatan akan mencoba memakai obat yang tidak menuntut ibu
berhenti menyusui (faktanya, sangat sedikit obat yang mengharuskan ibu berhenti menyusui).
Amat sangat jarang terjadi hanya ada satu jenis obat yang bisa dipakai untuk kasus tertentu.
Jika pilihan pertama tenaga kesehatan adalah obat yang menuntut Anda berhenti menyusui,
Anda berhak kuatir bahwa dia tidak mempertimbangkan pentingnya menyusui.

7.

Dia terheran-heran saat mengetahui bayi Anda yang berusia 6 bulan masih
menyusu.
Banyak tenaga kesehatan berpendapat bahwa bayi harus minum susu formula setidaknya

sampai usia 9 bulan bahkan sampai 12 bulan (dan sekarang setelah perusahaan-perusahaan
susu formula menjual susu formula untuk anak berusia sampai 18 bulan bahkan tiga tahun,
sebentarv lagi beberapa tenaga kesehatan akan mendorong para ibu memakai susu formula
selama tiga tahun), tapi sekaligus mereka meyakini bahwa ASI dan menyusui tidak perlu lagi
dan bahkan merugikan jika dilanjutkan lebih dari 6 bulan. Mengapa yang tiruan lebih baik
daripada yang asli? Tidakkah seharusnya Anda bertanya-tanya dasar makna tersirat dari
penalaran ini? Di sebagian besar tempat di dunia, menyusui sampai anak berumur dua atau
tiga tahun dianggap umum dan normal, meskipun, akibat pemasaran formula yang gencar,
makin lama makin tidak lazim.
8.

Dia mengatakan bahwa setelah 6 bulan kandungan gizi dalam ASI sudah tidak
ada. Sekalipun misalnya hal ini benar, menyusui masih bermanfaat untuk ibu dan bayi.
Menyusui adalah interaksi istimewa antara dua orang yang saling mengasihi, sekalipun tidak
ada air susu yang dihasilkan. Tapi pendapat tenaga kesehatan itu tidak benar. ASI tetaplah
susu, di dalamnya masih terkandung lemak, protein, kalori, vitamin-vitamin dan tentunya zatzat antibodi dan unsur-unsur lain yang melindungi bayi dari berbagai infeksi, sebagian lebih
banyak jumlahnya daripada saat bayi masih kecil. Siapa saja yang menyampaikan pendapat
seperti itu kepada Anda pasti tidak tahu informasi dasar tentang menyusui.

9.

Dia mengatakan jangan pernah membiarkan bayi menyusu sampai tertidur. Mengapa
tidak? Kalau bayi juga bisa tertidur tanpa menyusu itu bagus, tapi salah satu keuntungan
menyusui adalah Anda punya cara mudah untuk menidurkan bayi yang lelah. Para ibu di
seluruh dunia sejak era munculnya mamalia telah melakukan itu. Salah satu kenikmatan besar
menjadi orangtua adalah membiarkan seorang anak tertidur dalam pelukan Anda, merasakan
kehangatan tubuhnya sementara rasa kantuk melelapkannya. Hal tersebut juga merupakan
salah satu kenikmatan menyusui, baik bagi ibu dan mungkin juga bayi, ketika bayi bisa jatuh
tertidur saat menyusu.

10. Dia mengatakan sebaiknya Anda tidak ikut tinggal di rumah sakit untuk menyusui
bayi Anda yang sedang sakit, karena lebih penting Anda istirahat di rumah. Istirahat
memang penting, dan rumah sakit yang mendukung menyusui akan mengatur sedemikian
rupa sehingga Anda dapat istirahat sambil tetap tinggal di rumah sakit untuk menyusui bayi
Anda. Kebutuhan bayi sakit untuk menyusu tidak kurang dari kebutuhan menyusu bayi sehat,
sebaliknya mereka butuh lebih banyak disusui.
11. Dia tidak berusaha memberikan bantuan saat Anda mengalami kesulitan
menyusui. Hampir semua masalah dapat dicegah atau diatasi, dan hampir selalu jawaban
terhadap masalah menyusui bukanlah memberikan susu formula. Sayang sekali, banyak
petugas kesehatan, khususnya dokter dan bahkan dokter anak sekalipun, tidak tahu cara yang
tepat untuk membantu. Tapi masih ada bantuan tersedia di luar sana. Berkeraslah untuk
memperoleh solusi. Tidak harus menyusui untuk menjadi ibu yang baik memang benar, tapi
kalimat itu bukanlah jawaban bagi masalah menyusui.

http://www.breastfeedinginc.ca/content.php?pagename=doc-HKHP-indo

Weekend lalu gue mengunjungi sobat gue yang baru sebulan melahirkan.
Alhamdulillah diberi anak perempuan sangat cantik yang dikasih nama Sabrina
Princesa Areta. Seperti biasa kami mengobrol ngaler ngidul seputar kehidupan setelah
punya anak. Kemudian sobat gue cerita kalo pada saat dia masih di rumah sakit
bersalin setelah melahirkan, dia selalu ditawari untuk memakai susu formula (sufor).
Terus terang saya kaget, kok bisa rumah sakit bersalin/rumah sakit ibu dan anak, yang
sangat ternama di kota Bandung, bisa menawarkan seorang ibu yang baru saja
melahirkan untuk memakai sufor. I mean, sobat gue baru aja ngelahirin gituh masih
lemes, letih, lesu, capek, sakit, ngilu (proses lahirannya normal) kok langsung aja
ditembak dan disuruh sih lebih tepatnya, untuk menggunakan sufor. Memang pada
hari pertama dan kedua ASI-nya sahabat saya itu hanya sedikit, tapi please-lah, itu
jangan dijadikan suatu alasan untuk menyuruh sang ibu menyusui untuk langsung
memakai sufor. Semua juga ada proses, namanya juga baru lahiran mungkin perlu
proses supaya ASI bisa keluar banyak.
Gue sih sangat gak habis pikir dengan tindakan rumah sakit bersalin/rumah sakit ibu
dan anak tersebut, karena gue berpendapat bahwa yang namanya rumah sakit bersalin
dan rumah sakit ibu dan anak seharusnya sangatconcern akan penggunaan ASI.
Seharusnya rumah sakit tersebut menjadi pihak yang memberikan edukasi atas
penggunaan dan manfaat ASI, bukan sebaliknya. Disini pihak rumah sakit setiap
harinya jualan sufor kepada sobat gue.
Jelas, pada saat sobat gue ditawari sufor dia sangat menolak. Setiap harinya suster
menawarkan sufor sobat gue langsung nolak. SI suster gencar banget lagi nawarnya,
pake banyak alasan seperti : supaya bayinya gak kuning, dicampur aja gak apa-apa
kok, kan ASI Ibu belum keluar banyak, bla bla bla Untungnya sobat gue
sebelum melahirkan udah banyak baca, browsing sana-sini jadi tau mengenai proses
keluarnya ASI dan manfaat ASI. Dan yang gue tangkep dari cerita dia, peran seorang
suami sangatlah penting untuk mendukung, menemani, memberikan semangat kepada
sang istri dikala sang istri di jejali banyak pihak untuk memakai sufor. Kenapa gue
bilang banyak pihak? karena jika pihak rumah sakit mendorong sang ibu menyusui
untuk menggunakan sufor dengan banyak alasan, maka impact-nya langsung terasa ke
keluarga di kedua pihak. Biasanya sebagian besar keluarga mengikuti saran dari
rumah sakit. Yah namanya rumah sakit yang sudah berbicara, akan sulit untuk
menyangkal. Thats why peran serta suami sangatlah penting.

Gue gak membahas ibu yang baru melahirkan dan ASI-nya gak keluar sama sekali
yah, itu mah beda cerita. Yang gue bahas diatas adalah, kok rumah sakit
bersalin/rumah sakit ibu dan anak yang seharusnya menjadi pihak yang mendukung
penggunaan ASI dan yang seharusnya menjadi pihak yang memberikan edukasi atas
penggunaan dan manfaatnya ASI, malah jualan sufor. Selidik punya selidik ternyata
memang pihak rumah sakit tersebut berpartner dengan pihak sufor. thats why mereka
jualan dengan gencar.
Alhamdulillah sobat gue bisa tegas untuk menolak penggunaan sufor, tetap semangat
berusaha supaya ASI-nya keluar, dan sekarang dia 100% ASI.
http://missnots.wordpress.com/tag/susu-formula/

Tips Memilih Susu Formula untuk Bayi


http://id-id.facebook.com/note.php?note_id=252474244805894
Satu permasalahan yang tidaklah mudah begitu kita kehadiran anggota baru, alias si Baby adalah
pemilihan susu formula. Beruntunglah bagi ibu ibu yang ASInya sangat mencukupi dan waktu yang
memungkinkan ( hal ini akan sulit untuk dilakukan bila sang ibu bekerja ). Secara teori ya mudah,
cari susu formula dengan karakteristiknya mirip dengan ASI. Terus yang jadi pertanyaan, bagaimana
memilih susu formula dengan karakter mirip ASI ya ..?

Sangat disayangkan, mayoritas kita sebagai orang tua tidak paham betul dengan kandungan gizi
yang ada pada susu formula. Itulah mengapa banyak orang tua yang dibuat bingung kala harus
berhadapan dengan memilih susu yang tepat untuk Si Kecil, sang buah hati tercinta.

Tips memilih susu formula bayi


Hal pertama yang harus menjadi perhatian dalam memilih susu formula adalah tingkat usia bayi.
Sesuaikan tingkat usia bayi, yang pada umumnya dibagi menjadi 2 macam, 0-6 bulan dan 6-12
bulan atau susu formula lanjutan. Pada saat sekarang, banyak rumah sakit bersalin dan DSA ( baca:
Dokter Spesialis Anak ) yang menerapkan ASI eksklusif selama 6 bulan. Namun jika ada
permasalahan dengan ASI sang ibu, maka dokterpun akan menyarankan susu formula sebagai
pendamping ASI.

Kembali pada topic, penggolongan usia untuk susu formula bayi tersebut didasarkan pada kondisi
pencernaan bayi. Pada umumnya bayi usia 06 bulan, system pencernaannya belumlah sempurna
sedangkan pada usia diatas 6 bulan mayoritas sudah mulai membaik dan bahkan sudah mulai diberi
makanan tambahan. Dengan perbedaan dan permasalahan tersebut, kandungan gizi pada susu
formula untuk kedua kelompok usia itupun disesuaikan.

Hal kedua yang harus diperhatikan adalah terdapat 3 jenis susu formula bila dilihat dari tingkat
alergi bayi terhadap susu formula. Tiga jenis tersebut adalah susu formula biasa, susu kedelai dan
susu elemental.

Jika Si Kecil ketika dicoba pada salah satu susu formula yang menjadi pilihan kita dan tidak ada
masalah seperti alergi maka bisa dikatakan bahwa Si Kecil bisa mengkonsumsi susu formula biasa
yang terbuat dari susu sapi dan telah difortifikasi ( ditambah ) aneka zat gizi untuk mendekati
karakteristik gizi ASI dan angka kecukupan gizi bayi.

Jika Si Kecil mengalami masalah dengan susu formula biasa, pada umumnya dokter akan
menyarankan kita untuk menggunakan susu formula yang terbuat dari kacang kedelai. Hal ini terjadi
pada bayi yang mengalami alergi terhadap lemak dalam susu sapi.

Namun jika Si Kecil masih juga bermasalah dengan susu formula biasa ( dari susu sapi ) ataupun
susu formula dari kacang kedelai, maka si dokter akan menyarankan kita untuk menggunakan susu
elemental atau susu formula hidrolisa kasein. Susu ini pada dasarnya adalah susu formula yang
kandungan lemaknya diperkecil namun zat gizi yang lainnya di perbanyak.

Kita tidak boleh memaksakan ego kita untuk memberikan susu formula tertentu pada Si Kecil tanpa
memperhatikan permasalahan dan tingkat kecocokan susu formula dengan Si Kecil. Satu hal lagi
yang harus diperhatikan, sebagaimana dijelaskan diatas adalah carilah susu formula yang
karakteristiknya mirip dengan ASI. Jangan terpengaruh iklan yang mengatakan susu formula A , B
atau C mengandung zat zat tertentu, tanpa mengklarifikasi dengan ahli gizi atau dokter anak
langganan kita. Jangan pula kita terpengaruh dan memaksakan untuk membeli susu formula yang

mahal, tapi perhatikan kecukupan angka gizinya. Apalah arti susu formula yang diberikan mahal bila
jumlah dan angka kecukupan gizinya kurang dan jangan dibuat encer atau kurang dari takaran.

Tips Memilih Rumah Sakit Bersalin Yang Baik


Anda yang sedang hamil tentu harus pintar-pintar mencari rumah sakit bersalin yang baik untuk anda dan
bayi anda. Suami biasanya akan mulai mendiskusikan dan memilih yang terbaik bagi anda. Anda harus
benar-benar selektif karena salah-salah anda dan bayi anda bisa dalam keadaan yang sangat
berbahaya. Anda harus mengetahui beberapa tips untuk mencari rumah sakit yang terbaik bagi anda dan
anak anda. Beberapa tips yang bisa anda pilih ketika anda akan memilih rumah sakit bersalin yang
terbaik bagi anda adalah sebagai berikut:
Hal yang pertama yang harus anda perhatikan adalah apakah rumah sakit memberikan waktu kepada ibu
untuk memberikan ASI sesaat bayi baru lahir. Bayi harus mendapatkan ASI ketika sudah dilahirkan. ASI
mengandung nutrisi terlengkap dan terbaik sehingga bayi tidak membutuhkan nutrisi lainnya kecuali
ASI. Rumah sakit bersalin yang terbaik tentu akan mendukung air susu ibu agar bisa keluar dan bayi
harus dibawa kedekapan ibu untuk mencari dimana putting susu si ibu. IMD atau inisiasi menyusui dini
akan membuat bayi anda cerdas dan sehat. Hal kedua yang harus anda perhatikan adalah fasilitas rawat
gabung untuk bayi anda.
Biasanya rumah sakit bersalin akan memisahkan ibu dari bayi yang baru dilahirkan. Bayi akan diletakkan
diruangan bayi dan ibu akan ada diruang perawatan lain. Rumah sakit yang baik akan memberikan
layanan 24 jam pertama setelah bayi dilahirkan sehingga bayi akan mendapatkan asi yang terbaik dan
ibu akan lebih dekat dengan bayinya. Rumah sakit juga punya kebijaksanaan untuk tidak melakukan
rawat gabung jika memang tidak memungkinkan atau ada suatu masalah yang serius pada bayi atau ibu.
Hal yang ketiga adalah rumah sakit selalu mendukung pemberian ASI tanpa jadwal. Ibu harus mau
menyusui bayi ketika bayi merasa sangat lapar. Ibu bisa dengan leluasa memeluk bayi dan memberikan
asi tanpa ada harus ada batasan jadwal pemberian asi pada bayi anda. Rumah sakit tidak boleh
membatasi dengan jadwal pemberian asi. Ini tentu akan menyiksa anak bayi anda yang memang sedang
sangat membutuhkan asi.
Anda juga harus memperhatikan hal yang keempat. Jangan sampat rumah sakit memberikan empeng
atau dot pada bayi yang sedang menangis. Anda harus mencari rumah sakit yang menggunakan cara
lain untuk menghentikan tangisan bayi yaitu dengan cara menggunakan cangkir, pipa tabung atau pipet
untuk memberikan asi. Banyak cara yang tidak perlu menggunakan dot karena akan membuat
ketergantungan pada bayi anda
Hal yang terakhir yang harus anda perhatikan adalah carilah rumah sakit bersalin yang memiliki
kelompok pendukung ibu yang menyusui bayinya. Ibu memang sangat perlu memberikan asi karena
kandungan asi tidak bisa dibandingkan dengan kandungan susu formula termahal sekalipun.
Anda harus benar-benar mencari rumah sakit yang berkualitas dengan tenaga medis yang terpercaya.
Banyak rumah sakit yang tidak teliti sehingga banyak kasus bayi tertukar dengan keluarga lainnya. Ini
akan sangat merugikan anda. Banyak rumah sakit yang tidak aman, karena semua perawat bisa masuk
keruangan bayi dan mengambil bayi. Anda harus menghindarinya.

Sumber : Tips Memilih Rumah Sakit Bersalin Yang Baik http://bidanku.com/index.php?/tips-memilih-rumah-

sakit-bersalin-yang-baik#ixzz2eq67e9WM
Follow us: @bidanku on Twitter | bidanku on Facebook

http://bidanku.com/index.php?/tips-memilih-rumah-sakit-bersalin-yang-baik

Alasan Medis untuk Tidak Menggunakan Pengganti ASI


Ketika menyusui secara eksklusif tidak lagi menjadi suatu keharusan, biasanya para ibu
dengan mudahnya berpaling pada susu formula. Kode Etik Internasional tentang
Pemasaran Produk Pengganti ASI (breastmilk substitute) yang dikeluarkan oleh WHO
ditujukan untuk memberikan informasi pada orangtua tentang bahaya kesehatan akibat
penggunaan susu formula yang tidak tepat. Makalah ini memberikan beberapa contoh hasil
penelitian bertahun-tahun tentang pentingnya menyusui serta resiko yang ditimbulkan
akibat penggunaan susu formula.

REKOMENDASI WHO
WHO merekomendasikan para ibu untuk menyusui secara ekslusif selama 6 bulan,
melanjutkannya dengan pemberian Makanan Pendamping ASI (MP-ASI) dari bahan-bahan
lokal yang kaya nutrisi sambil tetap memberikan ASI / menyusui sampai anak berusia 2
tahun atau lebih. (World Health Assembly Resolution 54.2, 2001)

RESIKO PEMBERIAN SUSU


FORMULA UNTUK BAYI DAN
ANAK-ANAK
1.

Meningkatkan resiko asma

2.

Meningkatkan resiko alergi

3.

Menghambat perkembangan kognitif

4.

Meningkatkan resiko infeksi saluran pernapasan akut

5.

Meningkatkan resiko oklusi pada gigi anak

6.

Meningkatkan resiko infeksi dari susu formula yang terkontaminasi

7.

Meningkatkan resiko kurang gizi

8.

Meningkatkan resiko kanker pada anak-anak

9.

Meningkatkan resiko penyakit kronis

10.

Meningkatkan resiko diabetes

11.

Meningkatkan resiko penyakit kardiovaskular (jantung)

12.

Meningkatkan resiko obesitas

13.

Meningkatkan resiko infeksi saluran pencernaan

14.

Meningkatkan resiko kematian pada bayi dan akan-kanak

15.

Meningkatkan resiko infeksi telinga dan otitis media

16.

Meningkatkan resiko terkena efek samping dari kontaminasi lingkungan

1. Meningkatkan resiko asma


Sebuah penelitian di Arizona, Amerika Serikat yang menggunakan sampel 1.246

bayi sehat menunjukkan hubungan yang kuat antara menyusui dan gangguan pernafasan
pada bayi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa anak-anak di bawah umur 6 tahun yang
tidak disusui sama sekali, akan memiliki resiko gangguan pernafasan tiga kali lebih besar
dibandingkan dengan anak-anak yang disusui.
(Wright AL, Holberg CJ, Taussig LM, Martinez FD. Relationship of infant feeding
to recurrent wheezing at age 6 years. Arch Pediatr Adolesc Med 149:758-763,
1995)

Penelitian pada 2.184 anak yang dilakukan oleh Hospital for Sick Children di
Toronto, Kanada menunjukkan bahwa resiko asma dan gangguan pernapasan mencapai
angka 50% lebih tinggi pada bayi yang diberi susu formula, dibandingkan dengan bayi yang
mendapatkan ASI sampai dengan usia 9 bulan atau lebih.
(Dell S, To T. Breastfeeding and Asthma in Young Children. Arch
PediatrAdolesc Med 155: 1261-1265, 2001)

Para peneliti di Australia Barat melakukan penelitian terhadap 2602 anak-anak untuk
melihat peningkatan resiko asma dan gangguan pernafasan pada 6 tahun pertama. Anakanak yang tidak mendapatkan ASI beresiko 40% lebih tinggi terkena asma dan gangguan
pernafasan dibandingkan dengan anak-anak yang mendapatkan ASI eksklusif sekurangnya
4 bulan. Para peneliti ini merekomendasikan untuk memberikan ASI eksklusif sekurangnya
4 bulan untuk mengurangi resiko terkena asma dan gangguan pernafasan.
(Oddy WH, Peat JK, de Klerk NH. Maternal asthma, infant feeding, and the
risk for asthma in childhood. J. Allergy Clin Immunol. 110: 65-67, 2002)

Para ahli melihat pada 29 penelitian terbaru untuk mengevaluasi dampak


melindungi terhadap asma dan penyakit pernapasan atopik lainnya yang diberikan oleh
ASI. Setelah menggunakan kriteria penilaian yang ketat, terdapat 15 penelitian yang
memenuhi persyaratan untuk dievaluasi, dan ke-15 penelitian tersebut menunjukkan
manfaat/efek melindungi yang diberikan oleh ASI dari resiko asma. Para ahli
menyimpulkan, tidak menyusui atau memberikan ASI pada bayi akan meningkatkan resiko
asma dan penyakit pernafasan atopik.
(Oddy WH, Peat JK. Breastfeeding, Asthma and Atopic Disease: An
Epidemiological Review of Literature. J Hum Lact 19: 250-261, 2003)
Berikut adalah daftar pustaka tambahan mengenai penelitian ilmiah yang menghubungkan
resiko penyakit asma dengan penggunaan susu formula/tidak menyusui:

1.

Porro E, Indinnimeo L, Antognoni G, Midulla F, Criscione S. Early wheezing and


breastfeeding (Menyusui dan kejadian sesak napas dini). J Asthma 1993;30:23-8

2.

Burr ML, Limb ES, Maguire JM, Amarah L, Eldridge BA, Layzell JCM, Merret TG.
Infant feeding, wheezing, and allergy: a prospective study (Pemberian makan pada
bayi, sesak napas, dan alergi : Kajian prospektif). Arch Dis Child 1993;68:724-28

3.

Wright AL, Holberg CJ, Taussig LM, Martinez FD. Relationship of infant feeding to
recurrent wheezing at age 6 years (Hubungan antara pemberian makan pada bayi
terhadap kejadian sesak napas berulang pada usia 6 tahun). Arch Pediatr Adolesc
Med 1995;149:758-63

4.

Oddy WH, Holt PG, Sly PD, Read AW, Landau LI, Stanley FJ, Kendall GE, Burton
PR. Association between breastfeeding and asthma in 6 year old children: findings of a
prospective birth cohort study (Hubungan antara menyusui dan asma pada anak
usia 6 tahun : temuan pada studi lanjutan kelahiran prospektif). Br Med J
1999;319:815-9

5.

Gdlavevich M, Minouni D, Minouni M. Breastfeeding and the risk of bronchial asthma


in childhood: a systematic review with meta-analysis of prospective studies (Menyusui dan
resiko asmabronkial pada masa kanak-kanak : tinjauan sistematik dengan metaanalisis dari studi prospektif). J Pediatr 2001;139:261-6

2. Meningkatkan resiko alergi

Anak-anak di Finlandia yang mendapatkan ASI lebih lama memiliki resiko lebih
rendah untuk terkena penyakit atopik, eksim, alergi makanan dan gangguan pernafasan
karena alergi. Pada usia 17 tahun, resiko gangguan pernafasan karena alergi pada mereka
yang tidak mendapatkan ASI (atau mendapat ASI dalam jangka waktu pendek) adalah
65%, sementara pada mereka yang disusui lebih lama hanya 42%.
(Saarinen UM, Kajosarri M. Breastfeeding as a prophylactic against atopic
disease: Prospective follow-up study until 17 years old. Lancet 346: 10651069, 1995)

Bayi yang memiliki riwayat asma/gangguan pernafasan karena memiliki riwayat


alergi dari keluarganya, diteliti untuk penyakit dermatitis atopik dalam tahun pertama
kehidupannya. Menyusui eksklusif selama tiga bulan pertama diakui dapat melindungi bayi
dari penyakit dermatitis.
(Kerkhof M, Koopman LP, van Strien RT, et al. Risk factors for atopic dermatitis in
infants at high risk of allergy: The PIAMA study. Clin Exp Allergy 33: 13361341, 2003)

Pengaruh dari konsumsi harian ibu akan vitamin C dan E pada komposisi antioksidan di ASI sebagai zat yang melindungi bayi dari kemungkinan terkena penyakit atopik

diteliti. Makanan yang dikonsumsi oleh ibu yang menderita penyakit atopik dipantau selama
4 hari, kemudian diambil sampel ASI dari ibu yang memiliki bayi dengan usia 1 bulan. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa konsumsi vitamin C sehari-hari pada makanan ibu dapat
meningkatkan kadar vitamin C pada ASI. Semakin tinggi kadar vitamin C pada ASI dapat
menurunkan risiko terkena penyakit atopik pada bayi.
(Hoppu U, Rinne M, Salo-Vaeaenaenen P, Lampi A-M, Piironen V, Isolauri E. Vitamin C
in breast milk may reduce the risk of atopy in the infant. Eur J of Clin Nutr
59: 123-128, 2005)
Berikut adalah daftar pustaka tambahan mengenai penelitian ilmiah yang menghubungkan
resiko penyakit alergi dengan penggunaan susu formula/tidak menyusui
1.

Lucas A, Brooke OG, Morley R, Cole TJ, Bamford MF. Early diet of preterm infants
and development of allergic or atopic disease: randomized prospective study (Diet awal
pada bayi prematur dan perkembangan alergi atau penyakit atopik : studi
prospektif acak). Br Med J 1990;300:837-40

2.

Kajosaari M, Saarinen UM. Prophylaxis of atopic disease by six months total solid
food elimination (Profilaksis penyakit atopik dengan penundaan total enam bulan
makanan padat). Acta Pediatr Scand 1983;72:411-14

3.

Ellis MH, Short JA, Heiner DC. Anaphylaxis after ingestion of a recently introduced
hydrolyzed whey protein protein formula (Anafilaksis setelah penyerapan protein
whey terhidrolisasi baru pada protein susu formula bayi). J Pediatr 1991;118:74-7

4.

Saarinen UM, Kajosaari M. Breastfeeding as prophylaxis against atopic disease:


prospective follow-up study until 17 years old (Menyusui sebagai profilaksis terhadap
penyakit atopik : studi lanjutan hingga usia 17 tahun). Lancet 1995;346:1065-69

5.

Saylor JD, Bahna SL. Anaphylaxis to casein hydrolysate formula (Anafilaksis pada
susu formula kasein hidrolisat). J Pediatr 1991;118:71-4

6.

Marini A, Agosti M, Motta G, Mosca F. Effects of a dietary and environmental


prevention programme on the incidence of allergic symptoms in high atopic risk infants:
three years followup (Pengaruh program pencegahan lingkungan dan diet
terhadap kejadian gejala alergi pada bayi dengan resiko tinggi atopik : lanjutan
tiga tahun). Acta Pdiatr 1996;Suppl 414 vol 85:1-19

7.

Wright AL, Holberg CJ, Martinez FD, Halonen M, Morgan W, Taussig LM.
Epidemiology of physician diagnosed allergic rhinitis In childhood (Epidemiologi dari
diagnosis alergi rhinitis pada anak-anak). Pediatrics 1994:94:895-901

8.

Bloch AM, Mimouni D, Minouni M, Gdalevich M. Does breastfeeding protect against


allergic rhinitis during childhood? A meta-analysis of protective studies (Apakah menyusui
melindungi dari alergi rhinitis selama masa kanak-kanak? Sebuah meta-analisis
studi prospektif). Acta Paediatr 2002;91:275-9

3. Menghambat perkembangan kognitif

Untuk menentukan dampak dari memberikan ASI eksklusif dengan perkembangan


kognitif pada bayi prematur atau bayi dengan berat lahir rendah, digunakanlah metode
Bayley scale of infant development ketika bayi berumur 13 bulan dan Wechler
Preschool and Primary Scales of Intelligence pada anak ketika berumur 5 tahun.
Kesimpulan dari hasil penelitian tersebut adalah memberikan ASI secara eksklusif (tanpa
tambahan vitamin/supplemen apapun) pada bayi prematur atau bayi dengan berat lahir
rendah terbukti memberikan keuntungan yang signifikan pada perkembangan kognitif dan
pertumbuhan fisik yang lebih baik.
(Rao MR, Hediger ML, Levine RJ, Naficy AB, Vik T. Effect of breastfeeding on
cognitive development of infants born small for gestational age. Arch
Pediatr Adolesc 156: 651-655, 2002)

Menyusui terbukti dapat meningkatkan kualitas hidup seseorang, karena memiliki


pengaruh positif pada pendidikan dan perkembangan kognitif di masa kanak-kanak, tegas
sebuah penelitian di Inggris. Analisis regresi yang dilakukan pada sebuah penelitian
menyatakan bahwa menyusui secara signifikan berkorelasi positif dengan pendidikan dan
kecerdasan.
(Richards M, Hardy R, Wadsworth ME. Long-tern effects of breast-feeding in a
national cohort: educational attainment and midlife cognition function.
Publ Health Nutr 5: 631-635, 2002)

439 anak sekolah di Amerika Serikat yang lahir antara tahun 1991 1993 serta
memiliki berat badan lahir rendah (di bawah 1,500 gram) diberikan beberapa jenis tes
kognitif. Hasilnya, anak-anak yang memiliki berat badan lahir rendah dan tidak pernah
disusui cenderung memiliki nilai/hasil tes yang rendah pada tes IQ, kemampuan verbal,
kemampuan visual dan motorik dibandingkan mereka yang disusui/mendapatkan ASI.

(Smith MM, Durkin M, Hinton VJ, Bellinger D, Kuhn L. Influence of breastfeeding on


cognitive outcomes at age 6-8 year follow-up of very low-birth weight
infants. Am J Epidemiol 158:1075-1082, 2003)
Penelitian pada anak-anak yang lahir dari keluarga miskin di Filipina membuktikan

bahwa anak-anak yang mendapatkan ASI sampai umur 12-18 bulan memiliki nilai yang
lebih tinggi pada nonverbal intelligence test. Efek seperti ini akan lebih besar dampaknya
pada bayi yang lahir dengan berat badan lahir rendah (1.6 dan 9.8 poin lebih tinggi). Para
peneliti menyimpulkan, bahwa memberikan ASI/menyusui dalam jangka waktu yang lama
sangatlah penting, apalagi setelah mengenalkan Makanan Pendamping ASI (MP-ASI),
terutama untuk bayi berat badan lahir rendah.
(Daniels M C, Adair L S. Breast-feeding influences cognitive development of
Filipino children. J Nutr. 135: 2589-2595, 2005)
Berikut adalah daftar pustaka tambahan mengenai penelitian ilmiah yang menghubungkan
resiko perkembangan kognitif dengan penggunaan susu formula/tidak menyusui:
1.

(review): Andraca I, Uauy R. Breastfeeding for optimal mental development


(Menyusui mendorong perkembangan mental yang optimal). Simopoulos AP, Dutra
de Oliveira JE, Desai ID (eds): Behavioral and Metabolic Aspects of Breastfeeding (Aspek
Perilaku dan Metabolik dari Menyusui). World Rev Nutr Diet. Basel, Karger, 1995;78:127

2.

(review): Gordon N. Nutrition and cognitive function (Nutrisi dan Fungsi Kognitif).
Brain and Development 1997;19:165-70

3.

Morrow-Tlucak M, Haude RH, Ernhart CB. Breastfeeding and cognitive development


in the first 2 years of life (Menyusui dan perkembangan kognitif pada usia 2 tahun
pertama). Soc Sci Med 1988;26:635-9

4.

Taylor B, Wadsworth J. Breastfeeding and child development at five years


(Menyusui dan perkembangan pada usia 5 tahun). Dev Med Child Neurol
1984;26:73-80

5.

Lucas A, Morley R, Cole TJ, Lister G, Leeson-Payne C. Breastmilk and subsequent


intelligence quotient in children born preterm (Menyusui dan angka kecerdasan anak
yang lahir kurang bulan). Lancet 1992;339:261-4

6.

Nettleton JA. Are n-3 fatty acids essential nutrients for fetal and infant development
(Apakah asam lemak n-3 nutrisi esensial untuk perkembangan janin dan bayi). J
Am Diet Assoc 1993;93:58-64

7.

Rogan WJ, Gladen BC. Breastfeeding and cognitive development (Menyusui dan
perkembangan kognitif). Early Hum Dev 1993;31:181-93

8.

Silver LB, Levinson RB, Laskin CR, Pilot LJ. Learning disabilities as a probable
consequence of using chloride-deficient infant formula (Probabilitas gangguan belajar
sebagai konsekuensi penggunaan sufor rendah klorida). J Pediatr 1989;115:97-9

9.

Willoughby A, Moss HA, Hubbard VS, Bercu BB, Graubard BI, Vietze PM, et al.
Developmental outcome in children exposed to chloride deficient formula (Perkembangan
pada anak yang mengkonsumsi susu formula rendah klorida). Pediatrics
1987;79:851-7

10.

Wing CS. Defective infant formulas and expressive language problems: a case study
(Studi kasus: kerusakan susu formula bayi dan masalah bicara dan bahasa).
Language, Speech and Hearing Services in Schools 1990;21:22-7

11.

Crawford MA. The role of essential fatty acids in neural development: implications for
perinatal nutrition (Peranan asam lemak esensial pada perkembangan syaraf:
Implikasi untuk nutrisi perinatal). Am J Clin Nutr 1993;57(suppl):703S-10S

12.

Temboury MC, Otero A, Polanco I, Arribas E. Influence of breastfeeding on the


infants intellectual development (Pengaruh menyusui pada perkembangan
kecerdasan bayi). J Pediatric Gastroenterol Nutr 1994;18:32-36

13.

Pollock JI. Longterm associations with infant feeding in a clinically advantaged


population of babies (Hubungan jangka panjang pemberian makan pada populasi
bayi dengan kondisi klinis baik). Dev Med Child Neur 1994;36:429-40

14.

Makrides M, Neumann MA, Byard RW, Simmer K, Gibson RA. Fatty acid
composition of brain, retina and erythrocytes in breast and formula fed infants (Komposisi
asam lemak pada otak, retina, dan eritrokit pada bayi yang mengkonsumsi ASI
dan susu formula). Am J Clin Nutr 1994;60:189-94

15.

Anderson GJ, Connor WE, Corliss JD. Docosohexaenoic acid is the preferred dietary
n-3 fatty acid for the development of the brain and retina (Asam dokosolexanoat
sebagai asam lemak n-3 pilihan untuk perkembangan otak dan retina). Pediatr
Res 1990;27:87-97

16.

Neuringer M, Connor WE, Lin DS, Barstad L, Luck S. Biochemical and functional
effects of prenatal and postnatal fatty acid deficiency on retina and brain in rhesus monkeys
(Pengaruh biokimia dan fungsional dari kekurangan asam lemak prenatal dan

antenatal terhadap retina dan otak pada monyet resus). Proc Natl Acad Sc USA
1986;83:4021-5
17.

Florey C Du V, Leech AM, Blackhall A. Infant feeding and mental and motor
development at 18 months of age in first born singletons (Makanan bayi dan
perkembangan mental dan motorik pada usia 18 bulan pada anak
pertama/sulung). Int J Epidem 1995;24 (Suppl 1):S21-6

18.

Wang YS, Wu SY. The effect of exclusive breastfeeding on development and


incidence of infection in infants (Pengaruh menyusui eksklusif terhadap
perkembangan dan kejadian infeksi pada bayi). JHL 1996;12:27-30

19.

Greene LC, Lucas A, Livingstone BE, Harland PSEG, Baker BA. Relationship
between early diet and subsequent cognitive performance during adolescence (Hubungan
antara makanan pertama dan performa kognitif pada remaja). Biochem Soc Trans
1995;23:376S

20.

Riva E, Agostoni C, Biasucci G, Trojan S, Luotti D, Fiori L, et al. Early breastfeeding


is linked to higher intelligence quotient scores in dietary treated phenylketonuric children
(Menyusu usia dini dihubungkan dengan tingkat kecerdasan lebih tinggi pada
anak dengan diet khusus penyakit PKU). Acta Pdiatr 1996;85:56-8

21.

Niemel A, Jrvenp A-L. Is breastfeeding beneficial and maternal smoking harmful


to the cognitive development of children? (Apakah menyusui bermanfaat dan ibu
merokok berbahaya bagi perkembangan kognitif anak?) Acta Pdiatr
1996;85:1202-6

22.

Rodgers B. Feeding in infancy and later ability and attainment: a longitudinal study
(Pemberian makan pada bayi dan kemampuan dan pencapaian di masa
depannya: Kajian longitudinal). Devel Med Child Neurol 1978;20:421-6

23.

Horwood LJ, Fergusson DM. Breastfeeding and later cognitive and academic
outcomes (Menyusui dan pencapaian akademik dan kognitif di kemudian hari).
Pediatrics 1998;101:p. e9

24.

Paine BJ, Makrides M, Gibson RA. Duration of breastfeeding and Bayleys mental
developmental Index at 1 year of age (Durasi menyusui dan indeks perkembangan
mental Bayley pada usia 1 tahun). J Paediatr Child Health 1999;35:82-5

25.

Fergusson DM, Beautrais AL, Silva PA. Breastfeeding and cognitive development In
the first seven years of life (Menyusui dan perkembangan kognitif pada 7 tahun
pertama). Soc Sci Med 1982;16:1705-8

26.

Vestergaard M, Obel C, Henriksen TB, Srensen HT, Skajaa E, stergaard J.


Duration of breastfeeding and developmental milestones during the latter half of Infancy

(Durasi menyusui dan tahapan perkembangan selama 6 bulan kedua usia bayi).
Acta Paediatr 1999;88:1327-32
27.

Rao MR, Hediger ML, Levine RJ, Naficy AB, Vik T. Effect of breastfeeding on
cognitive development of infants born small for gestational age (Pengaruh menyusui
pada perkembangan kognitif bayi yang lahir kecil untuk usia gestasi). Acta
Paediatr 2002;91:267-74

28.

Lanting CI, Fidler V, Huisman M, Touwen BCL, Boersma ER. Neurological


differences between 9 year old children fed breastmilk or formula milk as babies
(Perbedaan neurologis antara anak usia 9 tahun yang diberi ASI atau susu
formula saat bayi). Lancet 1994;344:1319-22

29.

Lanting CI, Patandin S, Weisglas-Kuperus N, Touwen BCL, Boersma


ER.Breastfeeding and neurological outcome at 42 months (Menyusui dan
perkembangan syaraf pada usia 42 bulan). Acta Paediatr 1998;87:1224-9

4. Meningkatkan resiko infeksi saluran


pernafasan akut (ISPA)

Anak-anak di Brazil yang tidak disusui/mendapatkan ASI beresiko 16,7 kali lebih
tinggi terkena pneumonia dibandingkan anak-anak yang semasa bayinya disusui secara
eksklusif.
(Cesar JA, Victora CG, Barros FC, et al. Impact of breastfeeding on admission
for pneumonia during postneonatal period in Brazil: Nested
casecontrolled study. BMJ 318: 1316-1320, 1999)

Untuk menentukan faktor-faktor resiko dalam mendeteksi ISPA pada balita, sebuah
rumah sakit di India membandingkan 201 kasus dengan 311 kunjungan pemeriksaan.
Menyusui adalah salah satu dari sekian faktor yang dapat menurunkan tingkat risiko ISPA
pada balita.
(Broor S, Pandey RM, Ghosh M, Maitreyi RS, Lodha R, Singhal T, Kabra SK. Risk
factors for severe acute lower respiratory tract infection in under-five
children. Indian Pediatr 38: 1361-1369, 2001)

Beberapa sumber yang digunakan untuk meneliti hubungan antara menyusui dan
resiko ISPA pada bayi yang lahir cukup bulan. Analisis dari data-data yang diteliti

menunjukkan pada negara-negara berkembang, bayi yang diberikan susu formula


mengalami 3 kali lebih sering gangguan pernafasan yang membutuhkan perawatan intensif
di rumah sakit, dibandingkan dengan bayi yang diberikan ASI eksklusif selama 4 bulan atau
lebih.
(Bachrach VRG, Schwarz E, Bachrach LR. Breastfeeding and the risk of
hospitalization for respiratory disease in infancy. Arch Pediatr Adolesc Med.
157: 237-243, 2003)
Berikut adalah daftar pustaka tambahan mengenai penelitian ilmiah yang menghubungkan
resiko penyakit saluran pernafasan dengan penggunaan susu formula/tidak menyusui:
1.

Pullan CR, Toms GL, Martin AJ, Gardner PS, Webb JKG, Appleton DR.
Breastfeeding and respiratory syncytial virus infection (Menyusui dan kejadian infeksi
virus syncytial pada saluran pernapasan). Br Med J 1980;281:1034-6

2.

Chiba Y, Minagawa T, Mito K, Nakane A, Suga K, Honjo T, Nakao T. Effect of


breastfeeding on responses of systemic interferon and virus-specific lymphocyte
transformation with respiratory syncytial virus infection (Pengaruh menyusui pada
respon interferon sistemik dan transformasi spesifik-virus limfosit dengan infeksi
virus syncytial pada saluran pernapasan). J Med Virology 1987;21:7-14

3.

Wright AL, Holberg CJ, Martinez FD, Morgan WJ, Taussig LM. Breastfeeding and
lower respiratory tract illness in the first year of life (Menyusui dan penyakit saluran
pernapasan bagian bawah pada usia 1 tahun). Br Med J 1989;299:946-9

4.

Pisacane A, Graziano L, Zona G, Granata G, Dolezalova H, Cafiero M, et al.


Breastfeeding and acute lower respiratory infection (Menyusui dan infeksi saluran
pernapasan bagian bawah akut). Acta Pdiatr 1994;83:714-18

5.

Beaudry M, Dufour R, Marcoux S. Relation between infant feeding and infections


during the first six months of life (Hubungan antara pemberian makan pada bayi dan
infeksi selama 6 bulan pertama kehidupan). J Pediatr 1995;126:191-7

6.

Okamoto Y, Ogra PL. Antiviral factors in human milk: implications in respiratory


syncytial virus infection (Faktor antivirus dalam susu manusia: implikasi terhadap
infeksi virus syncytial pada saluran pernapasan). Acta Pdiatr Scand Suppl
1989;351:137-43

7.

Downham MAPS, Scott R, Sims DG, Webb JKG, Gardner PS. Breastfeeding
protects against respiratory syncytial virus infections (Menyusui memberikan

perlindungan terhadap infeksi virus syncytial pada saluran pernapasan). Br Med J


1976;2:274-6
8.

Yue Chen. Synergistic effect of passive smoking and artificial feeding on


hospitalization for respiratory illness in early childhood (Pengaruh sinergis dari merokok
pasif dan pemberian pengganti air susu ibu terhadap kejadian penyakit saluran
pernapasan selama masa kanak-kanak). Chest 1989;95:1004-07

9.

Wilson AC, Forsyth JS, Greene SA, Irvine L, Hau C, Howie PW. Relation of infant
diet to childhood health: seven year follow-up of cohort of children in Dundee infant feeding
study (Hubungan antara asupan bayi dengan kesehatan masa kanak-kanak: tindak lanjut
tujuh tahun setelahnya atas anak-anak pada kajian pemberian makan bayi di Dundee). Br
Med J 1998;316:21-5 (hasil penelitian juga menunjukkan tekanan darah yang lebih
tinggi pada anak-anak yang diberikan susu formula)

10.

Csar JA, Victora CG, Barros FC, Santos IS, Flores JA. Impact of breastfeeding on
admission for pneumonia during postneonatal period in Brazil: nested case-control study
(Pengaruh menyusui terhadap resiko pneumonia selama periode pasca-neonatal
di Brazil: studi kontrol-kasus tersarang). Br Med J 1999;318:1316-20

11.

Pisacane A, Impagliazzo N, De Caprio C, Criscuolo L, Inglese A, da Silva MCMP.


Breastfeeding and tonsillectomy (Menyusui dan tonsilektomi). BMJ. 1996 Mar
23;312(7033):746-7.

12.

Lpez-Alarcn M, Villalpando S, Fajardo A. Breastfeeding lowers the frequency and


duration of acute respiratory infection and diarrhea in infants under 6 months of age
(Menyusui dapat mengurangi frekuensi dan durasi infeksi saluran pernapasan
akut dan diare pada bayi di bawah 6 bulan). J Nutr 1997;127:436-43

5. Meningkatkan resiko oklusi gigi pada


anak

Salah satu keuntungan menyusui adalah membuat gigi anak tumbuh rapih dan
teratur. Penelitian yang dilakukan pada 1.130 balita (usia 3-5 tahun) untuk mengetahui
dampak dari tipe pemberikan makanan dan aktivitas menghisap yang tidak tepat terhadap
pertumbuhan gigi yang kurang baik. Aktivitas menghisap yang kurang baik (menghisap
botol) memberikan dampak yang substansial pada kerusakan gigi/oklusi gigi pada anak.
Terjadinya posterior cross-bite pada gigi anak lebih banyak ditemukan pada anak-anak
yang menggunakan botol susu serta anak-anak yang suka mengempeng. Persentase

terkena cross-bite pada anak ASI yang menyusu langsung 13% lebih kecil dibandingkan
mereka yang menyusu dari botol. Hasil penelitian menyimpulkan bahwa semakin awal bayi
menyusu dari botol dua kali lebih besar besar terkena risiko maloklusi/kerusakan pada gigi
dibandingkan bayi yang menyusu langsung/tidak menyusu dari botol.
(Viggiano D. et al. Breast feeding, bottle feeding, and non-nutritive
sucking; effects on occlusion in deciduous dentition. Arch Dis Child 89:11211123, 2004)
Berikut adalah daftar pustaka tambahan mengenai penelitian ilmiah yang menghubungkan
resiko kerusakan gigi dengan penggunaan susu formula/tidak menyusui
1.

Labbock MH, Hendershot GE. Does breastfeeding protect against malocclusion? An


analysis of the 1981 child health supplement to the national health interview survey
(Apakah menyusui melindungi dari maloklusi? Sebuah analisis pada 1981
suplemen kesehatan anak untuk survei wawancara kesehatan nasional). Am J
Prev Med 1987;3:227-32

2.

Palmer B. The influence of breastfeeding on the development of the oral cavity: A


commentary (Pengaruh menyusui terhadap perkembangan rongga mulut: suatu
komentar). J Hum Lact 1998;14:93-8

3.

Erickson PR, Mazhari E. Investigation of the role of human breastmilk in caries


development (Penelitian terhadap peranan air susu ibu pada perkembangan
karies). Pediatr Dent 1999;21:86-90

6. Meningkatkan resiko infeksi dari


susu formula yang terkontaminasi

Pada kasus tercemarnya susu formula dengan Enterobacter Sakazakii di Belgia,


ditemukan 12 bayi yang menderita Necrotizing Enetrocolitis (NEC) dan 2 bayi yang
meninggal setelah mengkonsumsi susu formula yang tercemar bakteri tersebut.
(Van Acker J, de Smet F, Muyldermans G, Bougatef A. Naessens A, Lauwers
S. Outbreak of necrotizing enterocolitis associated with
Enterobactersakazakii in powdered infant formulas. J Clin Microbiol 39: 293297, 2001)

Sebuah kasus di Amerika Serikat menyebutkan bahwa seorang bayi berusia 20 hari
meninggal dunia karena menderita panas, tachyardiadan mengalami penurunan fungsi
pembuluh darah setelah diberikan susu formula yang tercemar bakteri E-Sakazakii di NICU.
(Weir E, Powdered infant formula and fatal infection with Enterobacter
sakazakii. CMAJ 166, 2002)
Berikut adalah daftar pustaka tambahan mengenai penelitian ilmiah yang menghubungkan
resiko penyakit infeksi dengan susu formula yang tercemar

1.

Koo WWK, Kaplan LA, Krug-Wispe SK. Aluminum contamination of infant formulas
(Kontaminasi aluminium pada susu formula bayi). J Parenteral Enteral Nutrition
1988;12:170-3

2.

Davidsson L, Cederblad , Lnnerdal B, Sandstrm B. Manganese absorption from


human milk, cows milk and infant formulas in humans (Penyerapan mangan dari air
susu ibu, susu sapi dan susu formula bayi pada manusia). Am J Dis Child
1989;143:823-7

3.

Dabeka RW, McKenzie AD. Lead and cadmium levels in commercial infant foods and
dietary intake by infants 0-1 year old (Tingkat logam dan kadmium pada makanan
bayi komersil dan asupan pada bayi 0-1 tahun). Food Additives and Contaminants
1988;5:333-42

4.

Mytjens HL, Roelofs-Willemse H, Jaspar GHJ. Quality of powdered substitutes for


breastmilk with regard to members of the family Enterobacteriace (Kualitas bubuk
pengganti susu ibu berkaitan dengan famili Enterobactericea). J Clin Microbiol
1988;26:743-6

5.

Biering G, Karlsson S, Clark NC, Jonsdottir KE, Ludvigsson P, Steingrimsson O.


Three cases of neonatal meningitis caused by Enterobacter sakazakii in powdered milk
(Tiga kasus meningitis neonatal yang disebabkan oleh Enterobacter sakazakii
pada susu bubuk). J Clin Microbiol 1989;27:2054-6

6.

Westin JB. Ingestion of carcinogenic N-nitrosamines by infants and children


(Penyerapan bahan karsinogenik N-nitrosamina oleh bayi dan anak-anak). Arch
Environmental Health 1990;45:359-63

7.

Schwarz KB, Cox JM, Sharma S, Clement L, Witter F, Abbey H, et al. Prooxidant
effects of maternal smoking and formula In newborn Infants (Pengaruh prooksidan dari
ibu merokok dan susu formula pada bayi baru lahir). J Pediatr Gastroenterol Nutr
1997;24:68-74

7. Meningkatkan resiko kurang gizi /


gizi buruk

Pada tahun 2003 ditemukan bayi yang mengkonsumsi susu formula berbahan dasar
kedelai di Israel harus mendapatkan perawatan intensif di rumah sakit akibat
encephalopathy. Dua diantaranya meninggal akibat cardiomyopathy. Analisis dari kasus ini
menyebutkan bahwa tingkat tiamin pada susu formula tidak dapat diidentifikasikan. Pada
bayi yang mengkonsumsi susu formula berbasis kedelai sering ditemukan gejala
kekurangan tiamin, yang harus ditangani oleh terapi tiamin.
(Fattal-Valevski A, Kesler A, Seal B, Nitzan-Kaluski D, Rotstein M, Mestermen R,
Tolendano-Alhadef H, Stolovitch C, Hoffman C. Globus O, Eshel G. Outbreak of LifeThreatening Thiamine Deficiency in Infants in Israel Caused by a
Defective Soy-Based Formula. Pediatrics 115: 223-238, 2005)

8. Meningkatkan resiko kanker pada


anak-anak

Pusat Studi Kanker Anak di Inggris melakukan penelitian terhadap 3.500 kasus
kanker anak dan hubungannya dengan menyusui. Hasil penelitian menunjukkan adanya
pengurangan tingkat resiko terkena leukemia dan kanker lain apabila seorang anak
memperoleh ASI ketika bayi.
(UK Childhood Cancer Investigators. Breastfeeding and Childhood Cancer. Br J
Cancer 85: 1685-1694, 2001)

Studi pada 117 kasus acute lymphotic leukemia yang dilakukan di United Arab
Emirates menunjukkan bahwa menyusui secara eksklusif selama 6 bulan atau lebih akan
meminimalkan resiko terkena kanker leukemia dan lymphoma (getah bening) pada anak.
(Bener A, Denic S, Galadari S. Longer breast-feeding and protection against
childhood leukaemia and lymphomas. Eur J Cancer 37: 234-238, 2001)

Tidak menyusui adalah salah satu penyebab terbesar kanker pada ibu. Suatu
penelitian mengemukakan tingkat kerusakan genetis yang signifikan pada bayi usia 9-12
bulan yang sama sekali tidak disusui. Para peneliti menyimpulkan bahwa kerusakan genetis
berperan penting dalam pembentukan kanker pada anak atau setelah anak-anak tsb

tumbuh dewasa.
(Dundaroz R, Aydin HA, Ulucan H, Baltac V, Denli M, Gokcay E. Preliminary study on
DNA in non-breastfed infants. Ped Internat 44: 127-130, 2002)

Sebuah penelitian yang menggunakan bukti-bukti atas dampak menyusui pada risiko
terkena leukemia mempelajari 111 kasus yang 32 diantaranya mengemukakan hal tersebut.
Dari 32 kasus ini dipelajari 10 kasus utama dan ditemukan 4 kasus yang mengemukakan
hubungan antara menyusui dan leukemia. Kesimpulan yang diambil adalah: semakin lama
menyusui/memberikan ASI pada bayi, semakin kecil risiko terkena leukemia. Mereka
mencatat, diperlukan dana sebesar USD 1,4M tiap tahunnya untuk mengobati anak-anak
yang terkena leukemia.
(Guise JM et al. Review of case-controlled studies related to breastfeeding
and reduced risk of childhood leukemia. Pediatrics 116: 724-731, 2005)
Berikut adalah daftar pustaka tambahan mengenai penelitian ilmiah yang menghubungkan
resiko penyakit kanker pada anak-anak dengan penggunaan susu formula/tidak menyusui

1.

Schwartzbaum JA, George SL, Pratt CB, Davis B. An exploratory study of


environmental and medical factors potentially related to childhood cancer (Studi terhadap
faktor lingkungan dan medis yang potensial berhubungan dengan kanker pada
anak-anak). Med pediatr Oncol 1991;19:115-21

2.

Davis MK, Savitz DA. Graubard BI. Infant feeding and childhood cancer
(Pemberian makanan pada bayi dan kanker pada masa kanak-kanak). Lancet
1988;2:365-8

3.

Freudenheim JL, Marshall JR, Graham S, Laughlin R, Vena JE, Bandera E, et al.
Exposure to breastmilk in infancy and the risk of breast cancer (Pemberian air susu pada
bayi dan resiko kanker payudara). Epidemiology 1994;5:324-31

4.

Shu XO, Linet MS, Steinbuch M, Wen WQ, Buckley JD, Neglia JP, Potter JD et al.
Breastfeeding and the risk of childhood acute leukemia (Menyusui dan resiko leukemia
akut pada anak-anak). J Nat Cancer Institute 1999;91:1765-72

5.

Davis MK. Review of the evidence for an association between Infant feeding and
childhood cancer (Kajian terhadap bukti adanya hubungan antara pemberian
makan pada bayi dan kanker pada masa kanak-kanak). Int J Cancer
1998;Supplement II:29-33

9. Meningkatkan resiko penyakit kronis


Penyakit kronis dapat dipicu oleh respon auto-imun tubuh anak ketika

mengkonsumsi makanan yang mengandung protein gluten. Ivarsson dan tim-nya


melakukan penelitian terhadap pola menyusui 627 anak yang terkena penyakit kronis dan
1.254 anak sehat untuk melihat dampak menyusui pada konsumsi makanan yang
mengandung protein gluten serta resiko terkena penyakit kronis. Secara mengejutkan
ditemukan bukti bahwa 40% anak-anak bawah umur dua tahun (baduta) yang
disusui/mendapatkan ASI berisiko lebih kecil terhadap penyakit kronis, walaupun
mengkonsumsi makanan yang mengandung protein gluten.
(Ivarsson, A. et al. Breast-Feeding May Protect Against Celiac Disease Am J
Clin Nutr 75:914-921, 2002)
Rasa terbakar pada saat BAB dan penyakit Crohn adalah penyakit gastrointestinal

kronis yang sering terjadi pada bayi susu formula. Suatu meta-analisis pada 17 kasus yang
mendukung hipotesis bahwa menyusui mengurangi resiko penyakit Crohn dan ulcerative
colitis.
(Klement E, Cohen RV, Boxman V, Joseph A, Reif s. Breastfeeding and risk of
inflammatory bowel disease: a systematic review with metaanalysis. Am J Clin Nutr 80: 1342-1352, 2004)

Untuk memperjelas dampak dari pemberian MPASI yang terlalu dini (contoh:
dampak dari menyusui dibandingkan tidak menyusui; lama menyusui; dampak menyusui
dan hubungannya dengan pemberian makanan yang mengandung protein gluten) pada
resiko penyakit kronis, para peneliti melihat kembali literatur tentang menyusui dan penyakit
kronis. Mereka menemukan bahwa anak-anak yang menderita penyakit kronis hanya
mendapatkan ASI/disusui dalam jangka waktu pendek. Sementara anak-anak yang disusui
lebih lama resiko terkena penyakit kronis ini 52% lebih rendah. Para peneliti mendefinisikan
2 mekanisme perlindungan yang diberikan ASI, yaitu: (1) melanjutkan pemberian
ASI/menyusui menghambat penyerapan gluten pada tubuh, (2) ASI melindungi tubuh dari
infeksi intestinal. Infeksi dapat menyebabkan penurunan daya tahan tubuh bayi sehingga
gluten dapat masuk ke dalam lamina propria. Penelitian yang lain menyebutkan bahwa IgA
dapat menurunkan respon antibody terhadap gluten yang dicerna.
(Akobeng A K et al. Effects of breast feeding on risk of coeliac disease: a
systematic review and meta-analysis of observational studies. Arch
DisChild 91: 39-43, 2006)

10. Meningkatkan resiko diabetes


Untuk memastikan hubungan antara konsumsi susu sapi (dan susu formula bayi

berbahan dasar susu sapi) dan respon antibodi bayi pada protein susu sapi, peneliti di Italia
mengukur respon antibodi pada 16 bayi ASI dan 12 bayi usia 4 bulan yang mengkonsumsi
susu formula. Bayi susu formula meningkatkan antibodi beta-casein yang bisa
menyebabkan diabetes type 1, dibandingkan dengan bayi ASI. Para peneliti tersebut
menyimpulkan bahwa bayi yang mendapatkan ASI eksklusif sekurangnya 4 bulan beresiko
lebih rendah terhadap diabetes type 1, karena ASI dapat mencegah pembentukan anti-bodi
beta-casein.
(Monetini L, Cavallo MG, Stefanini L, Ferrazzoli F, Bizzarri C, Marietti G, Curro V, Cervoni
M, Pozzilli P, IMDIAB Group. Bovine beta-casein antibodies in breast-and
bottle-fed infants: their relevance in Type 1 diabetes. Hormone Metab
Res 34: 455-459, 2002)
Studi yang dilakukan pada 46 suku Indian Kanada yang menderita diabetes tipe II

dicocokkan dengan 92 jenis control penyakit diabetes. Kemudian dibandingkanlah resiko


pre dan post-natal dari suku Indian yang disusui dan yang tidak disusui. Menariknya,
ditemukan suatu fakta baru bahwa ASI dapat menurunkan resiko terkena penyakit diabetes
tipe II.
(Young TK, Martens PJ, Taback SP, Sellers EA, Dean HJ, Cheang M, Flett B. Type 2
diabetes mellitus in children: prenatal and early infancy risk factors
among native Canadians. Arch Pediatr Adolesc Med 156: 651-655, 2002)
Penggunaan susu formula, makanan pengganti ASI dan susu sapi yang lebih dini

pada bayi, adalah factor-faktor yang meningkatkan kemungkinan terkena diabetes tipe I
ketika dewasa. Sebayak 517 anak Swedia dan 286 anak Lithuania usia 15 tahun yang
didiagnosa menderita penyakit diabetes tipe I dibandingkan dengan pasien non-diabets.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa memberikan ASI secara eksklusif sekurangnya 5
bulan dan dilanjutkan sampai usia 7 atau 9 bulan (dengan MP-ASI) dapat mengurangi
resiko terkena diabetes.
(Sadauskaite-Kuehne V, Ludvigsson J, Padaiga Z, Jasinskiene E, Samuel U. Longer
breastfeeding is an independent protective factor against development
of type I diabetes mellitus in childhood. Diabet Metab Res Rev 20: 150-157,
2004)

Data yang didapatkan dari 868 anak penderita diabetes asal Cekoslovakia dan 1466
kunjungan dar pasien yang terkena diabetes, mengkonfirmasi bahwa resiko terkena
diabetes tipe I dapat dikurangi dengan memperpanjang lama/periode menyusui. Menyusui
bayi selama 12 bulan atau lebih mengurangi risiko terkena diabetes tipe I secara signifikan.
(Malcove H et al. Absence of breast-feeding is associated with the risk of
type 1 diabetes: a case-control study in a population with rapidly
increasing incidence. Eur J Pediatr 165: 114-119, 2005)
Berikut adalah daftar pustaka tambahan mengenai penelitian ilmiah yang menghubungkan
resiko penyakit diabetes pada anak-anak dengan penggunaan susu formula/tidak menyusui

1.

Working Group on Cows Milk Protein and Diabetes Mellitus of the American
Academy of Pediatrics. Infant feeding practices and their possible relationship to the
etiology of diabetes mellitus (Kelompok kerja AAP: untuk protein susu sapi dan diabetes
melitus. Praktek pemberian makan pada bayi dan kemungkinan hubungan dengan etiologi
diabetes melitus). Pediatrics 1994;94:752-4
Karjalainen J, Martin JM, Knip M, Ilonen J, Robinson BH, Savilahti E, et al. A bovine
albumin peptide as a possible trigger of insulin-dependent diabetes mellitus
(Kemungkinan peptida albumin sapi sebagai pencetus diabetes melitus
ketergantungan insulin). N Eng J Med 1992;327:302-7 (Editorial: 1992:327:348-9)

2.

Mayer EJ, Hamman RF, Gay EC, Lezotte DC, Savitz DA, Klingensmith J. Reduced
risk of IDDM among breastfed children (Penurunan resiko diabetes melitus
ketergantungan insulin pada bayi yang disusui). Diabetes 1988;37:1625-32

3.

Virtanen SM, Rsnen L, Ylnen K, Aro A, Clayton D, Langlholz B, et al. Early


introduction of dairy products associated with increased risk of IDDM in Finnish children
(Pengenalan awal produk susu dihubungkan dengan meningkatnya resiko
diabetes melitus ketergantungan insulin pada anak-anak Finlandia). Diabetes
1993;42:1786-90

4.

Virtanen SM, Rsnen L, Aro A, Lindstrm J, Sippola H, Lounamaa R, et al. Infant


feeding in Finnish children <7 yr of age with newly diagnosed IDDM (Pemberian makan
pada anak Finlandia kurang dari 7 tahun dengan diagnosis diabetes melitus
ketergantungan insulin). Diabetes Care 1991;14:415-17

5.

Gerstein HC. Cows milk exposure and type I diabetes mellitus (Pemberian susu
sapi dan diabetes melitus tipe 1). Diabetes Care 1994;17:13-9

6.

Kostraba JN, Cruickshanks KJ, Lawler-Heavner J, Jobim LF, Rewers MJ, Gay EC, et
al. Early exposure to cows milk and solid foods in infancy, genetic predisposition, and risk of

IDDM (Pemberian dini susu sapi dan makanan padat, sifat genetik bawaan, dan
resiko diabetes melitus ketergantungan insulin). Diabetes 1993;42:288-95
7.

Prez-Bravo F, Carrasco E, Gutierrez-Lpez MD, Martnez MT, Lpez G, Garca de


los Rios M. Genetic predisposition and environmental factors leading to the development of
insulin-dependent diabetes mellitus in Chilean children (Sifat genetik bawaan dan
faktor lingkungan berakibat pada perkembangan diabetes melitus
ketergantungan insulin pada anak-anak Chile). J Mol Med 1996;74:105-9

8.

Gimeno SGA, De Souza JMP. IDDM and milk consumption (Diabetes melitus
ketergantungan insulin dan konsumsi susu). Diabetes Care 1997;20:1256-60

9.

Hammond-McKibbon D, Karges W, Gaedigk R, Dosch H-M. Immunological


mechanisms that link cow milk protein and insulin dependent diabetes: a synopsis
(Sinopsis: Mekanisme immunologis yang menghubungi protein susu sapi dan
diabetes ketergantungan insulin). Can J Allergy and Clin Immunol 1997;2:136-46

10.

Shehadeh N. Gelertner L, Blazer S, Perlman R, Solovachik L, Etzioni A. Importance


of insulin content in infant diet: suggestion for a new infant formula (Pentingnya kandungan
insulin dalam diet bayi: saran bagi formula baru untuk bayi). Acta Paediatrica 2001;90:93
Hst A. Importance of the first meal on the development of cows milk allergy and
intolerance (Pentingnya makanan pertama pada perkembangan alergi dan
intoleransi susu sapi). Allergy Proc 1991;12:227-32

11. Meningkatkan resiko penyakit


kardiovaskular

Untuk mempertegas hubungan antara gizi bagi bayi dengan resiko kesehatan
setelah dewasa, peneliti dari Inggris mengukur tekanan darah pada sampel 216 remaja usia
13 sampai 16 tahun yang lahir prematur. Mereka yang mengkonsumsi susu formula pada
awal kehidupannya memiliki tekanan darah yang lebih tinggi dibandingkan mereka yang
mendapatkan ASI ketika bayi. Hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa pada bayi yang lahir
prematur maupun cukup bulan, ASI dapat mengendalikan tekanan darah pada batas
normal sampai mereka tumbuh dewasa.
(Singhal A, Cole TJ, Lucas A. Early nutrition in preterm infants and later
blood pressure: two cohorts after randomized trials. The Lancet 357: 413419, 2001)

Sebuah penelitian di UK mengevaluasi tingkat kolesterol pada 1.500 anak dan

remaja usia 13-16 tahun dan menyimpulkan bahwa ASI mencegah penyakit kardiovaskular
karena dapat mengurangi kadar total kolesterol dan kadar LDL (low-density lipid
cholesterol). Hasil penelitian ini menyebutkan, bayi yang memperoleh ASI terbukti dapat
mengendalikan metabolisme pengolahan lemak di tubuh dengan baik, yang menyebabkan
kadar kolesterol yang rendah dan menghindarkan dari resiko penyakit kardiovaskular.
(Owen GC, Whipcup PH, Odoki JA, Cook DG. Infant feeding and blood
cholesterol: a study in adolescents and systematic review. Pediatrics
110:597-608, 2002)
Sebuah studi di Inggris yang meneliti 4.763 anak-anak usia 7,5 tahun menyebutkan

bahwa anak-anak berusia 7 tahun dan tidak pernah mendapatkan ASI memiliki
kecenderungan tekanan systolic dan diastolic yang lebih tinggi dibandingkan anak-anak
yang mendapatkan ASI semasa bayinya. Ada pengurangan sebesar 0.2mmHg setiap 3
bulan apabila anak mendapatkan ASI eksklusif. Para peneliti menyarankan pemberian ASI
eksklusif sekurangnya 3 bulan, karena terbukti dapat mengurangi 1% populasi orang-orang
yang menderita penyakit tenakan darah tinggi, dan mengurangi 1,5% tingkat kematian
penduduk karena darah tinggi.
(Martin RM, Ness AR, Gunnelle D, Emmet P, Smith GD. Does breast-feeding in
infancy lower blood pressure in childhood? Circulation 109: 1259-1266,
2004)
Berikut adalah daftar pustaka tambahan mengenai penelitian ilmiah yang menghubungkan
resiko penyakit jantung dan tekanan darah tinggi dengan penggunaan susu formula/tidak
menyusui
1.

Osborn GR. Stages in development of coronary disease observed from 1,500 young
subjects. Relationship of hypotension and infant feeding to tiology (Tahapan
perkembangan penyakit koroner diobservasi dari 1500 orang remaja. Hubungan antara
hipotensi dan pemberian makanan pada bayi terhadap etiologi). Watson Smith Lecture,
delivered to the Royal College of Physicians of London, January 11, 1965
Bergstrm E, Hernell O, Persson L, Vessby B. Serum lipid values in adolescents are
related to family history, infant feeding, and physical growth (Nilai lipid serum pada
remaja dihubungkan dengan riwayat keluarga, pemberian makanan pada bayi,
dan pertumbuhan fisik). Atherosclerosis 1995;117:1-13

2.

Routi T, Rnnemaa T, Lapinleimu H, Salo P, Viikari J, Leino A, et al. Effect of


weaning on serum lipoprotein (a) concentration: the STRIP baby study (Pengaruh

penyapihan pada konsentrasi lipoprotein serum (a): studi bayi STRIP). Pediatric
Research 1995;38:522-27
3.

Singhal A, Cole T, Lucas A. Early nutrition in preterm infants and later blood
pressure: two cohorts after randomised trials (Nutrisi awal pada bayi prematur dan
tekanan darah dikemudian hari: dua kelompok populasi setelah studi acak).
Lancet 2001;357:413-9

12. Meningkatkan resiko obesitas

Untuk menentukan dampak pemberian makanan bayi pada obesitas masa kanakkanak, studi besar di Skotlandia meneliti indeks massa tubuh dari 32.200 anak usia 39-42
bulan. Setelah eliminasi faktor-faktor yang bias, status sosial ekonomi, berat lahir dan jenis
kelamin, prevalensi obesitas secara signifikan lebih tinggi pada anak-anak diberi susu
formula, mengarah pada kesimpulan bahwa pemberian susu formula terkait dengan
peningkatan risiko obesitas.
(Armstrong, J. et al. Breastfeeding and lowering the risk of childhood
obesity. Lancet 359:2003-2004, 2002)

Dalam rangka untuk menentukan faktor yang terkait dengan pengembangan


kelebihan berat badan dan obesitas, 6.650 anak-anak usia sekolah di Jerman yang berusia
antara lima sampai 14 tahun diperiksa. Mengkonsumsi ASI ditemukan sebagai pelindung
terhadap obesitas. Efek perlindungan ini lebih besar pada bayi yang secara eksklusif
disusui ASI.
(Frye C, Heinrich J. Trend and predictors of overweight and obesity in East
German children. Int J Obesitas 27: 963-969, 2003)

Tindak lanjut aktif dari 855 pasang ibu dan bayi di Jerman digunakan untuk
menentukan hubungan antara tidak menyusui dan peningkatan risiko kelebihan berat badan
dan obesitas. Setelah dua tahun tindak lanjut, 8,4 persen dari anak-anak kelebihan berat
badan dan 2,8 persen sangat kelebihan berat badan: 8,9 persen tidak pernah disusui,
sementara 62,3 persen disusui selama paling sedikit enam bulan.
Anak-anak yang mendapatkan ASI eksklusif lebih dari tiga bulan dan kurang dari enam
bulan memiliki 20 persen pengurangan resiko, sementara mereka yang telah ASI eksklusif
selama paling sedikit enam bulan memiliki 60 persen pengurangan resiko untuk menjadi
gemuk dibandingkan kepada mereka yang diberi susu formula.
(Weyerman M et al. Duration of breastfeeding and risk of overweight in

childhood: a prospective birth cohort study from Germany. Int J Obes


muka publikasi online 28 Februari 2006)
Berikut adalah daftar pustaka tambahan mengenai penelitian ilmiah yang menghubungkan
resiko obesitas dengan penggunaan susu formula/tidak menyusui
1.

Kramer MS. Do breastfeeding and delayed introduction of solid foods protect against
subsequent obesity? (Apakah menyusui dan penundaan pengenalan makanan
padat dapat melindungi dari obesitas di kemudian hari?) J Pediatr 1981;98:883-7

2.

Von Kries R, Sauerwald T, von Mutius E, Barnert D, Grunert V, von Voss H.


Breastfeeding and obesity: cross sectional study (Menyusui dan obesitas: studi silang
seksional). Br Med J 1999;319:147-50

3.

Tulldahl J, Pettersson K, Andersson SW, Hulthn. Mode of Infant feeding and


achieved growth In adolescence: early feeding patterns In relation to growth and body
composition In adolescence (Cara pemberian makanan pada bayi dan pencapaian
pertumbuhan pada remaja: pola pemberian makanan awal dihubungkan dengan
pertumbuhan dan komposisi tubuh pada saat remaja). Obesity Research
1999;7:431-7

4.

Gillman MW, Rifas-Shiman SL, Camargo CA, Berkey CS, Frasier AL, Rockett HRH,
et al. Risk of overweight among adolescents who were breastfed as infants (Resiko
kelebihan berat badan diantara remaja yang disusui saat bayi). J Am Med Assoc
2001;285:2461-7 (Editorial by WH Dietz, 2506-7)

13. Meningkatkan resiko infeksi saluran


pencernaan

Tujuh ratus tujuh puluh enam bayi dari New Brunswick, Kanada, diteliti untuk
mengetahui hubungan antara pernapasan dan penyakit gastrointestinal dengan menyusui
selama enam bulan pertama kehidupan. Meskipun angka pemberian ASI ekslusif rendah,
hasil menunjukkan efek perlindungan yang signifikan terhadap total penyakit selama enam
bulan pertama kehidupan. Bagi mereka yang disusui ASI , insidensi infeksi gastrointestinal
adalah 47 per persen lebih rendah; tingkat penyakit pernapasan adalah 34 persen lebih
rendah daripada mereka yang tidak disusui.
(Beaudry M, Dufour R, S. Marcoux. Relationship between infant feeding and
infections during the first six months of life. J Pediatr 126: 191-197, 1995)

Perbandingan antara bayi yang menerima ASI terutama selama 12 bulan pertama
kehidupan dan bayi yang secara eksklusif diberikan susu formula atau disusui ASI selama
selama tiga bulan atau kurang, menemukan bahwa penyakit diare dua kali lebih tinggi untuk
bayi yang diberikan susu formula dibandingkan mereka yang disusui ASI.
(Dewey KG, Heinig MJ, Nommsen-Rivers LA. Differences in morbidity between
breast-fed and formula-fed infants. J Pediatr 126: 696-702, 1995)

Dukungan menyusui di Belarus secara signifikan mengurangi insiden infeksi


gastrointestinal sampai dengan 40 persen.
(Kramer MS, Chalmers B, Hodnett ED, et al. Promotion of Breastfeeding
Intervention Trial (PROBIT): a randomized trial in the Republic of
Belarus. JAMA 285: 413-420, 2001)
Berikut adalah daftar pustaka tambahan mengenai penelitian ilmiah yang menghubungkan
resiko infeksi saluran pencernaan dengan penggunaan susu formula/tidak menyusui

1.

Koletzko S, Sherman P, Corey M, Griffiths A, Smith C. Role of infant feeding


practices in the developement of Crohns disease in childhood (Peranan praktek
pemberian makanan terhadap perkembangan penyakit Crohn pada masa
kanak-kanak). Br Med J 1989;298:1617-8

2.

Greco L, Auricchio S, Mayer M, Grimaldi M. Case control study on nutritional risk


factors in celiac disease (Studi kasus pada faktor-faktor resiko nutrisi pada penyakit
celiac). J Pediatr Gastroenterol Nutr 1988;7:395-8

3.

Duffy LC, Byers TE, Riepenhoff-Talty M, La Scolea L, Zielezny M, Ogra PL. The
effects of infant feeding on rotavirus-induced gastroenteritis (Pengaruh pemberian
makan pada gastroenteritis yang disebabkan oleh rotavirus). A prospective study.
Am J Pub Health 1986;76:259-63

4.

Hanson LA, Lindquist B, Hofvander Y, Zetterstrom R. Breastfeeding as a protection


against gastroenteritis and other infections (Menyusui sebagai perlindungan terhadap
gastroenteritis dan infeksi lainnya). Acta Pediatr Scand 1985;74:641-2

5.

Ruiz-Palacios GM, Calva JJ, Pickering LK, Lopez-Vidal Y, Volkow P, Pezzarossi H, et


al. Protection of breastfed infants against Campylobacter diarrhea by antibodies in human
milk (Perlindungan pada bayi yang disusui terhadap diare Campylobacter dari
antibodi dalam air susu ibu). J Pediatr 1990;116:707-13

6.

Cruz JR, Gil L, Cano F, Caceres P, Pareja G. Breastmilk anti-Escherichia coli heat
labile toxin IgA antibodies protect against toxin-induced infantile diarrhea (Anti-

Escherichia coli dalam air susu melumpuhkan racun antibodi IgA melindungi
dari diare yang disebabkan oleh racun). Acta Pediatr Scand 1988;77:658-62
7.

Gillin FD, Reiner DS, Wang C-S. Human milk kills parasitic intestinal protozoa (Susu
manusia membunuh protozoa parasit dalam saluran pencernaan). Science
1983;221:1290-2

8.

France GL, Marmer DJ, Steele RW. Breastfeeding and Salmonella infection
(Menyusui dan infeksi Salmonella). Am J Dis Child 1980;134:147-52

9.

Haffejee IE. Cows milk-based formula, human milk and soya feeds in acute infantile
diarrhea: A therapeutic trial (Pemberian formula berbasis susu sapi, susu manusia
dan susu kedelai pada diare akut pada bayi: Percobaan terapi). J Pediatr
Gastroenterol Nutr 1990;10:193-8

10.

Lerman Y, Slepon R, Cohen D. Epidemiology of acute diarrheal diseases in children


in a high standard of living rural settlement in Israel (Epidemiologis dari penyakit diare
akut pada anak-anak yang tinggal dalam suatu lingkungan perumahan standar
tinggi di Israel). Pediatr Infect Dis J. 1994;13:116-22

11.

Howie PW, Forsyth JS, Ogston SA, Clark A, Du V Florey C. Protective effect of
breastfeeding against infection (Efek perlindungan dari menyusui terhadap penyakit
infeksi). Br Med J 1990;300:11-6

12.

Duffy LC, Riepenhoff-Talty M, Byers TE, La Scolea LJ, Zielezny MA, Dryja DM et al.
Modulation of rotavirum enteritis during breastfeeding (Modulasi rotavirum enteritis
selama masa menyusui). Am J Dis Child 1986;140:1164-8

13.

13. Haddock RL, Cousens SN, Guzman CC. Infant diet and salmonellosis (Pola
makan anak dan salmonelosis). Am J Pub Health 1991;81:997-1000

14.

Scariati PD, Grummer-Strawn LM, Fein SB. A longitudinal analysis of infant morbidity
and the extent of breastfeeding in the United States (Suatu analisis longitudal terhadap
tingkat kematian anak dan pengaruh menyusui di Amerika Serikat). Pediatrics
1997;99, June 1997;e5 (juga berlaku untuk otitis media)

15.

Heacock HJ, Jeffery HE, BAker JL, Page M. Influence of breast versus formula milk
on physiological gastroesophageal reflux In healthy, newborn Infants (Pengaruh air susu
ibu dan susu formula terhadap refluks fisiologis gastroesofageal pada bayi sehat
baru lahir). J Pediatr Gastroenterol Nutr 1992:14:41-6

16.

Kramer MS, Chalmers B, Hodnett ED, Sevkovskaya Z, Dzikovich I, Shapiro S, et al.


Promotion of breastfeeding intervention trial (Peningkatan percobaan intervensi
menyusui). JAMA 2001;285:413-20

17.

MacFarlane PI, Miller V. Human milk in the management of protracted diarrha of


infancy (Susu manusia dalam manajemen diare berkepanjangan pada bayi). Arch
Dis Child 1984;59, 260-65

14. Meningkatkan resiko kematian

Dibandingkan dengan pemberian ASI eksklusif, anak-anak yang sebagian disusui


ASI memiliki 4,2 kali peningkatan risiko kematian karena untuk penyakit diare. Tidak disusui
dikaitkan dengan 14,2 kali peningkatan risiko kematian akibat penyakit diare pada anakanak di Brazil.
(Victora CG, Smith PG, Patrick J, et al. Infant feeding and deaths due to
diarrhea: a case-controlled study. Amer J Epidemiol 129: 1032-1041, 1989)

Bayi di Bangladesh yang disusui secara sebagian atau tidak disusui sama sekali,
memiliki resiko kematian 2,4 kali lebih besar akibat infeksi saluran pernafasan akut
dibandingkan bayi yang mendapatkan ASI eksklusif. Pada anak-anak yang mendapatkan
campuran lebih banyak ASI dibandingkan susu formula, resiko kematian karena
pernapasan akut infeksi yang sama dengan anak-anak ASI eksklusif.
(Arifeen S, Black RE, Atbeknab G, Baqui A, Caulfield L, Becker S, Exclusive
breastfeeding reduces acute respiratory infenction and diarrhea deaths
among infants in Dhaka slums. Pediatrics 108: e67, 2001)

Para peneliti meneliti 1.204 bayi yang meninggal antara 28 hari dan satu tahun dari
penyebab selain dari anomali bawaan atau tumor ganas dan 7.740 anak-anak yang masih
hidup di satu tahun untuk menghitung angka kematian dan apakah bayi tersebut
mendapatkan ASI serta efek durasi-respons.
Anak-anak yang tidak pernah disusui memiliki 21 persen lebih besar resiko kematian dalam
periode pasca-neonatal daripada mereka yang disusui. Semakin lama disusui, semakin
rendah resikonya. Mendukung kegiatan menyusui memiliki potensi untuk mengurangi
sekitar 720 kematian pasca-neonatal di Amerika Serikat setiap tahun. Di Kanada ini akan
mengurangi sekitar 72 kematian.
(Chen A, Rogan WJ. Breastfeeding and the risk of postneonatal death in
the United States. Pediatrics 113: 435-439, 2004)

Penelitian penting dari Ghana dirancang untuk mengevaluasi apakah waktu yang
tepat untuk inisiasi menyusui dan praktek menyusui berhubungan dengan resiko kematian
bayi. Studi ini melibatkan 10.947 bayi yang selamat melewati hari kedua dan yang ibunya
dikunjungi selama periode neonatal.
Menyusui dimulai pada hari pertama pada 71 persen bayi dan 98,7 persen dimulai pada
hari ketiga. Menyusui dilakukan secara eksklusif oleh 70 persen selama periode
neonatal. Resiko kematian neonatal empat kali lipat lebih tinggi pada bayi yang diberi susu
berbasis cairan atau makanan padat selain ASI. Terdapat tanda bahwa respon-dosis
terhadap resiko peningkatan kematian bayi dibandingkan dengan inisiasi menyusui yang
tertunda dari satu jam pertama sampai tujuh hari. Inisiasi setelah hari pertama terkait
dengan 2,4 kali lipat peningkatan risiko kematian. Penulis menyimpulkan bahwa 16 persen
kematian bayi dapat dicegah jika semua bayi disusui sejak hari pertama dan 22 persen
dapat dicegah bila menyusui dimulai selama satu jam pertama.
(Edmond KM, Zandoh C, Quigley MA, Amenga-Etego S, Owusu-Agyei S, Kirkwood
BR. Delayed breastfeeding initiation increases risk of neonatal
mortality. Pediatrics 117: 380-386, 2006)
Berikut adalah daftar pustaka tambahan mengenai penelitian ilmiah yang menghubungkan
resiko kematian dengan penggunaan susu formula/tidak menyusui

1.

Mitchell EA, Scragg R, Stewart AW, Becroft DMO, Taylor BJ, For RPK, et al. Results
from the first year of the New Zealand cot death study (Hasil tahun pertama kajian
kematian saat tidur di Selandia Baru). NZ Med J 1991;104:71-6

2.

Arnon SS, Damus K, Thompson B, Midura TF, Chin J. Protective role of human milk
against sudden death from infant botulism (Peranan perlindungan air susu manusia
terhadap kejadian meninggal mendadak akibat botulisme pada bayi). J Pediatr
1982;100:568-73

15. Meningkatkan resiko otitis media


dan infeksi saluran telinga

Jumlah otitis media akut meningkat secara signifikan dengan menurunnya durasi
dan eksklusivitas menyusui. Bayi Amerika yang diberikan ASI eksklusif selama empat bulan
atau lebih mengalami penurunan 50 persen dibandingkan dengan bayi yang tidak

disusui. Penurunan sebesar 40 persen kejadian dilaporkan berasal dari bayi ASI yang
diberikan tambahan (makanan/susu formula) lain sebelum usia empat bulan.
(Duncan B, Ey J, Holberg CJ, Wright AL, martines M, Taussig LM. Exclusive
breastfeeding for at least 4 months protects againsts otitis
media. Pediatrics 91: 867-872, 1993)
Antara usia enam dan 12 bulan insiden pertama otitis media lebih besar untuk bayi

susu formula daripada untuk bayi ASI eksklusif. Untuk bayi ASI eksklusif insidensi ini
meningkat dari 25 persen menjadi 51 persen dibandingkan kenaikan dari 54 persen
menjadi 76 persen untuk bayi ang hanya diberikan susu formula. Para penulis
menyimpulkan bahwa menyusui bahkan untuk jangka pendek (tiga bulan) akan secara
signifikan mengurangi episode dari otitis media selama masa kanak-kanak.
(Duffy LC, Faden H, Wasielewski R, Wolf J, Krystofik D. Exclusive breastfeeding
protects against bacterial colonization and day care exposure to otitis
media. Pediatrics 100: E7, 1997)
Berikut adalah daftar pustaka tambahan mengenai penelitian ilmiah yang menghubungkan
resiko infeksi saluran telinga dengan penggunaan susu formula/tidak menyusui
1.

Saarinen UM. Prolonged breastfeeding as prophylaxis for recurrent otitis media


(Menyusui lebih lama sebagai profilaksis (pencegahan) otitis media berulang).
Acta Pediatr Scand 1982;71:567-71

2.

Teele DW, Klein JO, Rosner B. Epidemiology of otitis media during the first seven
years of life in children in greater Boston: a prospective cohort study (Epidemiologi otitis
media selama tujuh tahun pertama kehidupan pada anak di Boston: studi
lanjutan prospektif). J Infect Dis 1989;160:83-94

3.

Duncan B, Ey J, Holberg CJ, Wright AL, Martinez FD, Taussig LJ. Exclusive
breastfeeding for at least 4 months protects against otitis media (Menyusui secara
eksklusif selama minimal 4 bulan memberikan perlindungan terhadap otitis
media). Pediatrics 1993;91:867-72

4.

Owen MJ, Baldwin CD, Swank PR, Pannu AK, Johnson DL, Howie VM. Relation of
infant feeding practices, cigarette smoke exposure and group child care to the onset and
duration of otitis media with effusion in the first two years of life (Hubungan antara
praktek pemberian makanan pada bayi, ekspos terhadap asap rokok, dan
tempat penitipan/perawatan anak umum terhadap kejadian dan durasi otitis
media dengan efusi pada dua tahun pertama kehidupan). J Pediatr 1993;123:70211

5.

Harabuchi Y, Faden H, Yamanaka N, Duffy L, Wolf J, Krystofik D. Human milk


secretory IgA antibody to nontypeable Hmophilus influenz: Possible protective effects
against nasopharyngeal colonization (Susu manusia sekretori antibodi IgA pada
influenza Haemophilus nontypeable: pengaruh protektif terhadap kolonisasi
nasopharyngeal). J Pediatr 1994;124:193-8

6.

Aniansson G, Alm B, Andersson B, Hkansson A, Larsson P, Nyln O, et al. A


prospective cohort study on breastfeeding and otitis media in Swedish infants (Studi
lanjutan prospektif pada menyusui dan otitis media pada bayi Swedia). Pediatr
Infect Dis J 1994;13:183-8

7.

Paradise JL, Elster BA, Tan L. Evidence in infants with cleft palate that breast milk
protects against otitis media (Bukti pada bayi dengan celah langit-langit mulut: air
susu ibu memberikan perlindungan terhadap otitis media). Pediatrics 1994;94:85360

8.

Sassen ML, Brand R, Grote JJ. Breastfeeding and acute otitis media (Menyusui
dan otitits media akut). Am J Otolaryn 1994;15:351-7

9.

Dewey KG, Heinig J, Nommsen-Rivers LA. Differences in morbidity between


breastfed and formula fed infants (Perbedaan kejadian sakit pada bayi yang disusui
dan bayi yang diberi susu formula). J Pediatr 1995;126:696-702 (risk also increased in
FF infant for diarrhea)

10.

Scariati PD, Grummer-Strawn LM, Fein SB. A longitudinal analysis of infant morbidity
and the extent of breastfeeding in the United States (Analisis longitudinal terhadap
kejadian sakit pada bayi dan masa menyusui di Amerika Serikat). Pediatrics
1997;99:e5

16. Meningkatkan resiko efek samping


kontaminasi lingkungan

Sebuah studi Belanda menunjukkan bahwa pada usia enam tahun, perkembangan
kognitif dipengaruhi oleh paparan pra-lahir terhadap poliklorinasi bifenil (PCB) dan
dioksin. Efek buruk paparan pra-lahir pada hasil neurologis juga ditunjukkan dalam
kelompok susu formula tetapi tidak dalam kelompok yang diberikan ASI. Meskipun terjadi
paparan PCB mealui ASI, studi ini menemukan bahwa pada usia 18 bulan, 42 bulan, dan
pada usia enam tahun suatu efek yang menguntungkan dari menyusui ASI terlihat pada
kualitas gerakan, dalam hal kelancaran, dan dalam tes perkembangan kognitif.

Data memberikan bukti bahwa paparan PCB saat pra-lahir telah memberikan efek negatif
secara halus pada neurologis dan perkembangan kognitif anak sampai usia
sekolah. Penelitian ini juga memberikan bukti menyusui ASI melawan perkembangan
merugikan dari efek PCB dan dioksin.
(Boersma ER, lanting CI. Environmental exposure to polychlorinated
biphenyls (PCBs) and dioxins. Consequences for longterm neurological
and congnitive development of the child. Adv Exp Med Biol 478:271-287,
2000)

Penelitian yang lain dilakukan di Belanda untuk menentukan efek paparan pra- lahir
terhadap poliklorinasi bifenil (PCB), mempelajari bayi yang disusui ASI dan bayi yang
diberikan susu formula pada saat mereka berusia sembilan tahun.
Dengan mengukur latency pendengaran P300 (waktu reaksi terhadap rangsangan yang
masuk, yang diketahui dipengaruhi secara negatif oleh PCB) mereka menemukan bahwa
mereka yang diberi susu formula atau yang disusui ASI selama kurang dari enam sampai
16 minggu, mengalami latency yag loebih besar dan mekanisme melambat di tengah sistem
saraf yang mengevaluasi dan memproses rangsangan. Di sisi lain, proses menyusui
mempercepat mekanisme ini.
(Vreugedenhill HJI, Van Zanten GA, Brocaar MP, Mulder PGH, Weisglas Kuperus,
N. Prenatal exposure to polychlorinated biphenols and breastfeeding:
opposing effects on auditory P300 latencies in 9-year old Dutch
children. Devlop Med & Anak Neurol 46: 398-405, 2004)
Berikut adalah daftar pustaka tambahan mengenai penelitian ilmiah yang menghubungkan
resiko infeksi akibat efek samping kontaminasi lingkungan dengan penggunaan susu
formula/tidak menyusui

1.

Setchell KDR, Zimmer-Nechmias L, Cai J, Heubi JE. Exposure of infants to phytooestrogens from soy-based infant formula (Paparan fitoestrogen pada bayi dari susu
formula berbasis kedelai). Lancet 1997;350:23-27

2.

Fitzpatrick M, Mitchell K, et al. Soy formulas and the effects of Isoflavones on the
thyroid (Susu kedelai formula dan pengaruh isoflavon pada tiroid). N Z Med J. 2000
Feb 11;113(1103):24-6.

3.

Keating JP, Schears GJ, Dodge PR. Oral water intoxication in infants (Keracunan
air pada bayi). Am J Dis Child 1991;145:985-90

4.

Bruce RC, Kiegman RM. Hyponatremic seizures secondary to oral water intoxication
in infancy: association wiht commercial bottled drinking water (Kejang hiponatremik akibat
keracunan air minum pada bayi: hubungan dengan minuman botol komersial). Pediatrics
1997;100; p e4
Finberg L. Water intoxication (Keracunan air). (editorial). Am J Dis Child 1991;145:981-2

5.

Shannon MW, Graef JW. Lead intoxication in infancy (Keracunan logam timbal
pada bayi). Pediatrics 1992;89:87-90

RESIKO PEMBERIAN SUSU


FORMULA UNTUK IBU
1.

Meningkatkan resiko kanker payudara

2.

Meningkatkan resiko kelebihan berat badan (overweight)

3.

Meningkatn resiko kanker ovarium dan kanker endometrium

4.

Meningkatkan resiko osteoporosis

5.

Mengurangi kedekatan ibu dan anak (bonding kurang)

6.

Meningkatkan resiko peradangan pada tulang (rheumatoid arthritis)

7.

Meningkatan resiko stress dan keresahan pada ibu

8.

Meningkatkan resiko diabetes

1. Meningkatkan resiko kanker


payudara

Menyusui mengurangi resiko kanker payudara pada ibu dan infeksi, alergi, dan
autoimun pada bayi. Kehadiran mediator dari sistem kekebalan bawaan ASI, termasuk
defensins, cathelicidins, dan reseptor seperti-tol (TLRs), diekstrak dan dianalisa dari

pecahan whey dari kolostrum dan susu masa-transisi dan susu matang (n = 40) dari ibu-ibu
normal (n =18) dan dari ibu dengan autoimun atau penyakit alergi.
Para penulis menunjukkan bahwa sistem kekebalan tubuh bawaan ASI sangat kompleks
dan memberikan perlindungan bagi payudara ibu dan pengembangan jaringan saluran
pencernaan bayi yang baru lahir.
(Armogida, Sheila A.; Yannaras, Niki M.; Melton, Alton L.; Srivastava, Maya
D. Identification and quantification of innate immune system mediators
in human breast milk. Alergi dan Asma Proc 25: 297-304, 2004
)

Para peneliti dari Inggris mengevaluasi kemungkinan hubungan antara insiden


kanker dan proses menyusui selama masa kanak-kanak. Studi ini melibatkan hampir 4.000
orang dewasa yang pada awalnya disurvei pada tahun 1937-1939. Data yang dimasukkan
di meta-analisis menunjukkan bahwa tingkat kanker payudara didiagnosis pada wanita
premenopause adalah sekitar 12 persen lebih rendah di antara wanita yang telah disusui
saat bayi.
(Martin R, Middleton N, Gunnell D, Owen C, Smith G. Breastfeeding and Cancer:
The Boyd Orr Cohort and a Systematic Review with Meta-Analysis. Jurnal
Institut Kanker Nasional. 97: 1446-1457, 2005)
Berikut adalah daftar pustaka tambahan mengenai penelitian ilmiah yang menghubungkan
resiko penyakit kanker payudara dengan penggunaan susu formula/tidak menyusui

1.

Layde PM, Webster LA, Baughman AL, Wingo PA, Rubin GL, Ory HW and the
cancer and steroid hormone study group. The independent associations of parity, age at
first full term pregnancy, and duration of breastfeeding with the risk of breast cancer
(Hubungan independen antara keseimbangan, usia kehamilan pertama, dan durasi
menyusui dengan resiko kanker payudara). J Clin Epidemiol 1989;42:963-73
Ing R, Ho JHC, Petrakis NL. Unilateral breastfeeding and breast cancer (Menyusui
unilateral dan kanker payudara). Lancet July 16, 19977;124-27

2.

McTiernan A, Thomas DB. Evidence for a protective effect of lactation on risk of


breast cancer in young women (Bukti pengaruh perlindungan dari laktasi terhadap
resiko kanker payudara pada wanita muda). Am J Epidemiol 1986;124:353-74

3.

Yuan J-M, Yu MC, Ross RK, Gao Y-T, Henderson BE. Risk factors for breast cancer
in Chinese women in Shanghai (Faktor resiko kanker payudara pada wanita China di
Shanghai). Cancer Res 1988;58:99-104

4.

Yoo K-Y, Tajima K, Kuroishi T, Hirose K, Yoshida M, Miura S, Murai H. Independent


protective effect of lactation against breast cancer: a case-control study in Japan
(Pengaruh perlindungan independen dari laktasi terhadap kanker payudara:
studi kasus di Jepang). Am J Epidemiol 1992;135:726-33

5.

Reuter KL, Baker SP, Krolikowski FJ. Risk factors for breast cancer in women
undergoing mammography (Faktor resiko kanker payudara pada wanita yang
menjalani mamografi). Am J Radiol 1992;158:273-8

6.

United Kingdom National Case-Control Study Group. Breastfeeding and risk of


breast cancer in young women (

7.

Menyusui dan resiko kanker payudara pada wanita muda


). Br Med J 1993;307:17-20

8.

Newcomb PA, Storer BE, Longnecker MP, Mittendorf R, Greenberg ER, Clapp RW,
et al. Lactation and a reduced risk of premenopausal breast cancer (Laktasi dan
penurunan resiko kanker payudara premenopause). N Eng J Med 1994;330:81-7

9.

Tao S-C, Yu MC, Ross RK, Xiu K-W. Risk factors for breast cancer in Chinese
women of Beijing (Faktor resiko kanker payudara pada wanita China di Beijing). Int
J Cancer 1988;42:495-98

10.

Siskind V, Schofield F, Rice D, Bain C. Breast cancer and breastfeeding: results from
an Australian case-control study (Kanker payudara dan menyusui: hasil studi kasus
Australia). Am J Epidemiol 1989;130:229-36

11.

Romieu I, Hernndez-Avila M, Lazcano E, Lopez L, Romero-Jaime R. Breast cancer


and lactation history in Mexican women (Kanker payudara dan riwayat laktasi pada
wanita Meksiko). Am J Epidemiol 1996;143:543-52

12.

Furberg H, Newman B, Moorman P, Millikan R. Lactation and breast cancer risk


(Laktasi dan resiko kanker payudara). Int J Epidemiol 1999;28:396-402

13.

Tryggvadttir L, Tulinius H, Eyfjord JE, Sigurvinsson T. Breastfeeding and reduced


risk of breast cancer in an Icelandic cohort study (Menyusui dan penurunan resiko
kanker payudara pada studi kelompok populasi di Islandia). Am J Epidemiol
2001;154:37-42

2. Meningkatkan resiko kelebihan berat


badan

Sebuah kelompok dibentuk di Brasil, terdiri dari 405 wanita di enam dan sembilan
bulan setelah melahirkan untuk menentukan hubungan antara penumpukan berat badan
dan praktek menyusui. Ketika wanita yang memiliki 22 persen lemak tubuh dan menyusui
selama 180 hari dibandingkan dengan mereka yang telah menyusui hanya 30 hari, setiap
bulan masa menyusui mengurangi rata-rata 0,44 kg berat badan. Di kesimpulan para
penulis mengkonfirmasi hubungan antara menyusui dan berat badan setelah melahirkan
dan bahwa dukungan durasi yang lebih lama dapat memberikan kontribusi untuk penurunan
penumpukan berat badan setelah melahirkan.
(Kac G, Benicio MHDA, Band-Melndez G, Valente JG, Struchiner CJ. Breastfeeding
and postpartum weight retention in a cohort of Brazilian women. Am J
Clin Nutr 79: 487-493, 2004)
Berikut adalah daftar pustaka tambahan mengenai penelitian ilmiah yang menghubungkan
penurunan berat badan dengan penggunaan susu formula/tidak menyusui

1.

Dewey KG, Heinig MJ, Nommsen LA. Maternal weight loss patterns during
prolonged lactation (Pola penurunan berat badan maternal selama laktasi jangka
panjang). Am J Clin Nutr 1993;58:162-6

3. Meningkatkan resiko kanker ovarium


dan kanker endometrium

Tidak menyusui telah dikaitkan dengan peningkatan resiko kanker ovarium. Sebuah
studi kasus terkontrol yang cukup besar Italia mempelajari 1.031 wanita dengan kanker
ovarium epitelial dibandingkan dengan 2.411 wanita yang dirawat di rumah sakit yang sama
untuk berbagai spektrum akut kondisi non-neoplastik, tidak terkait dengan faktor-faktor
resiko yang diketahui untuk kanker ovarium. Hasilnya menunjukkan tren terbalik dengan
resiko meningkatkan durasi menyusui dan jumlah anak yang disusui. Tambahan analisis
oleh subtipe histologis menunjukkan bahwa peran proteksi dari menyusui akan lebih besar
untuk neoplasma serius.
(Chiaffarino F, Pelucchi C, Negri E, Parazzini F, Franceschi S, Talamini R, Montella F,

Ramazzotti V, La Vecchia C. Breastfeeding and the risk of epithelial ovarian


cancer in an Intalian population. Gynecol Oncol. 98: 304 -308, 2005)

Untuk menentukan hubungan antara menyusui dan kanker endometrium,


penelitian kasus-terkontrol di sebuah rumah sakit di Jepang membandingkan kasus wanita
dengan kanker endometrium (155) dan kelompok yang terkontrol (96) dipilih dari para
wanita yang menghadiri klinik rawat jalan untuk skrining kanker rahim. Para wanita ini
diwawancarai untuk mengetahui praktik menyusui, penggunaan alat kontrasepsi, serta
potensi faktor resiko kanker endometrium. Para penulis mengamati resiko kanker
endometrium lebih tinggi pada wanita yang belum pernah menyusui, dan menyimpulkan
bahwa menyusui mengurangi risiko kanker endometrium pada wanita Jepang.
(Okamura C, Tsubono Y, Ito K, Niikura H, Takano T, Nagase S, Yoshinaga K, Terada Y,
Murakami T, Sato S, Aoki D, Jobo T, Okamura K, N. Yaegashi Tohoku. Lactation and
risk of endometrial cancer in Japan: a case-control study. J Exp Med 208:
109-115, 2006)
Berikut adalah daftar pustaka tambahan mengenai penelitian ilmiah yang menghubungkan
resiko penyakit kanker ovarium dan kanker endometrium dengan penggunaan susu
formula/tidak menyusui

1.

Hartge P, Schiffman MH, Hoover R, McGowan L, Lesher L, Norris HJ. A case control
study ofepithelial ovarian cancer (Studi kasus kanker ovarium epitelia). Am J
Obstet Gynecol 1989;161:10-6

2.

Gwinn ML, Lee NC, Rhodes PH, Layde PM, Rubin GL. Pregnancy, breastfeeding
and oral contraceptives and the risk of epithelial ovarian cancer (Kehamilan,
menyusui dan kontrasepsi oral dan resiko kanker ovarium epitelia). J Clin
Epidemiol 1990;43:559-68

3.

Rosenblatt KA, Thomas DB, and the WHO collaborative study of neoplasia and
steroid contraceptives. Lactation and the risk of epithelial ovarian
cancer (Kolaborasi studi Rosenblatt KA, Thomas DB, dan WHO pada kontrasepsi
steroid dan neoplasia. Laktasi dan resiko kanker ovarium epitelia). International J
Epidemiol 1993;22:192-7

4.

Petterson B, Hans-Olov A, Berstrm R, Johansson EDB. Menstruation span-a timelimited risk factor for endometrial carcinoma (Faktor resiko terbatas menstruasi
dengan cakupan waktu tertentu untuk karsinoma endometrial). Acta Obstet
Gynecol Scand 1986;65:247-55

5.

Rosenblatt KA, Thomas DB, and the WHO collaborative study of neoplasia and
steroid contraceptives. Prolonged Lactation and endometrial cancer (Kolaborasi studi
Rosenblatt KA, Thomas DB, dan WHO pada kontrasepsi steroid dan neoplasia.
Laktasi jangka panjang dan kanker endometrium). Int J Epidemiol 1995;24:499-503

4. Meningkatkan resiko osteoporosis


Penelitian longitudinal menunjukkan bahwa baik kehamilan dan laktasi berhubungan

dengan hilangnya kepadatan mineral tulang hingga ke lima persen, dan bahwa kehilangan
tersebut akan pulih setelah penyapihan. Penelitian silang telah menunjukkan bahwa wanita
dengan banyak anak dan periode total durasi laktasi memiliki kepadatan mineral tulang
yang sama atau lebih tinggi dan risiko fraktur yang sama atau lebih rendah daripada teman
sebaya mereka yang tidak pernah melahirkan dan menyusui. Tren ini telah diamati dan
ditemukan di penampang studi kasus-terkontrol. Hubungan kausal masih belum ditentukan.
(Karlsson MK, Ahlborg HG, Karlsson C. Maternity and mineral density. Acta
Orthopaedica 76: 2-13, 2005)
Berikut adalah daftar pustaka tambahan mengenai penelitian ilmiah yang menghubungkan
resiko penyakit osteoporosis dengan penggunaan susu formula/tidak menyusui
1.

Aloia JF, Cohn SH, Vaswani A, Yeh JK, Yuen K, Ellis K. Risks factors for
postmenopausal osteoporosis (Faktor resiko osteoporosis pasca menopause). Am J
Med 1985;78:95-100

2.

Melton LJ, Bryant SC, Wahner HW, OFallon WM, Malkasian GD, Judd HL, Riggs
BL. Influence of breastfeeding and other reproductive factors on bone mass later in life
(Pengaruh menyusui dan faktor reproduktif lainnya pada massa tulang di usia
lanjut). Osteoporosis Int 1993;3:76-83

3.

Cumming RG, Klineberg RJ. Breastfeeding and other reproductive factors and the
risk of hip fractures in elderly women (Menyusui dan faktor resiko lainnya dan resiko
retak tulang panggul pada wanita usia lanjut). International J Epidemiol 1993;22:68491

4.

Blaauw R, Albertse EC, Beneke T, Lombard CJ, Laubscher R, Hough FS. Risk
factors for the development of osteoporosis in a South African population (Faktor resiko
perkembangan osteoporosis di populasi Afrika Selatan). S Afr Med J 1994;84:32832

5.

Krieger N, Kelsey JL, Holford TR. OConnor T. An epidemiologic study of hip


fractures in potmenopausal women (Studi epidemiologi terhadap retak tulang
panggul pada wanita pasca menopause). Am J Epidemiol 1982;116:141-8

5. Mengurangi jarak alami kelahiran


anak

Kuesioner digunakan untuk memperoleh data dari ibu-ibu menyusui di Nigeria untuk
menentukan dampak dari praktik menyusui pada amenorrheoa laktasi. Pemberian ASI
eksklusif yang dipraktekkan oleh 100 persen dari ibu-ibu yang pulang dari rumah
sakit. Kemudian turun menjadi 3,9 persen setelah enam bulan. Menyusui dengan menuruti
isyarat bayi dipraktikkan oleh 98,9 persen dari ibu tersebut. Dalam enam minggu 33,8
persen dari ibu kembali mengalami mensus dan meningkat menjadi 70,2 persen pada
enam bulan. Durasi amenorrheoa laktasi lebih panjang di ibu yang menyusui eksklusif
daripada mereka yang tidak. Tak satu pun dari 178 ibu-ibu yang berpartisipasi dalam survei
menjadi hamil.
(Egbuonu Aku, Ezechukwu CC, Chukwuka JO, Ikechebelu JI. Breastfeeding, return
of menses, sexual activity and contraceptive practices among mothers
in the first six months of lactation in Onitsha, South Eastern Nigeria. J
Obstet Gynaecol. 25: 500-503, 2005)
Berikut adalah daftar pustaka tambahan mengenai penelitian ilmiah yang menghubungkan
jarak alami kelahiran anak dengan penggunaan susu formula/tidak menyusui

1.

Thapa S, Short RV, Potts M. Breastfeeding, birth spacing, and their effects on child
survival (Menyusui, jarak kelahiran, dan pengaruhnya pada keselamatan bayi).
Nature 1988;335:679-82

2.

Short. Breastfeeding (contraceptive effect) (Menyusui (pengaruh kontrasepsi)).


Scientific American 1984;250:35-41

3.

Gross BA. Is the lactational amenorrhea method a part of natural family planning?
Biology and policy (Apakah metode amenorrhea laktasi bagian dari program
keluarga berencana alami?). Am J Obstet Gynecol 1991;165:2014-9

4.

Kennedy KI, River R, McNeilly AS. Consensus statement on the use of breastfeeding
as a family planning method (Pernyataan konsensus atas penerapan menyusui
sebagai metode keluarga berencana). Contraception 1989;39:477-96

6. Meningkatkan resiko rheumatoid


arthritis

Faktor-faktor resiko hormon dan reproduksi wanita dan dipelajari dalam kelompok
121.700 wanita yang terdaftar dalam Nurses Health Study. Menyusui selama lebih dari 12
bulan berbanding terbalik dengan perkembangan rheumatoid arthritis. Efek ini ditemukan
terkait dengan dosis. Mereka yang lebih singkat menyusui memiliki resiko yang lebih tinggi.
(Karlson E W et al. Do breastfeeding and other reproductive factors
influence future risk of rheumatoid arthritis?: Results from the Nurses
Health Study. Arthiritis & Rematik 50: 3.458-3.467, 2004)

7. Meningkatkan stres dan kecemasan

Untuk mengetahui apakah ada hubungan antara praktik menyusui, stres, dan
suasana hati dan tingkat serum kortisol, prolaktin dan ACTH (hormon
adrenocorticotrophic) pada ibu, penulis membandingkan tanggapan emosional dari 84
ibu yang menyusui secara eksklusif, 99 ibu yang hanya memberikan susu formula dan 33
wanita sehat non pasca-melahirkan. Respon para ibu tersebut dipelajari pada empat
sampai enam minggu pasca melahirkan.
Secara keseluruhan ibu menyusui memiliki suasana hati lebih positif, melaporkan peristiwa
lebih positif, dan merasakan stres yang lebih sedikit daripada yang memberikan susu
formula. Para ibu menyusui memiliki depresi dan kemarahan yang lebih rendah daripada
yang memberikan susu formula dan kadar prolaktin serum berbanding terbalik dengan stres
dan suasana hati pada ibu yang memberikan susu formula.
(Groer M W. Differences between exclusive breastfeeders, formulafeeders, and controls: a study of stress, mood and endocrine
variables. Biol. Res Nurs. 7: 106-117, 2005)

8. Meningkatkan resiko dibetes pada


ibu

Menyusui juga mengurangi risiko ibu diabetes tipe II dalam kehidupan di kemudian
hari. Semakin lama durasi menyusui, semakin menurunkan insiden diabetes, menurut studi

yag dilaksanakan di Harvard. Para peneliti mempelajari 83.585 ibu di Nurses Health Study
(NHS) dan 73.418 ibu di Nurses Health Studi II (NHS II), dan menentukan bahwa setiap
tahun menyusui akan mengurangi resiko diabetes ibu sebesar 15 persen.
(Stuebe PM, Rich-Edwards JW, Willett WC, Duration of lactation and incidence
of type 2 diabetes. JAMA 294: 2601-2610, 2005)
Sumber:

Risks of Formula Feeding: a Brief Annotated Bibliography, (INFACT Canada, 2nd rev.
2006), prepared by Elisabeth Sterken, BSc, MSc, Nutritionist

Risks of Artificial Feeding, compiled by dr. Jack Newman (rev.


2002),http://www.kellymom.com/newman/risks_of_formula_08-02.html

http://aimi-asi.org/alasan-medis-pengganti-asi/

Derita bayi dari susu formula

Penderitaan Bima bayi yang baru lahir, tidak berhenti saat Intan dan suaminya membawa
anaknya pulang dari salah satu rumah sakit di Depok, Jawa Barat. Setelah 7 hari menjalani
perawatan usai kelahiran, anak itu terus menangis, menagih agar diberi minum. Awalnya
tangisan itu diyakini sebagai sesuatu yang lumrah. Belakangan, tangisan itu justru
membuat tanda tanya bagi Intan dan suaminya karena disertai muntah jika habis meminum
susu formula.
Di awal kelahirannya, Bima mendapatkan dua asupan yaitu ASI dan susu formula
hypoalergic. Karena terus menangis, Intan memutuskan untuk membawanya ke dokter
yang berpraktek di rumah sakit yang berbeda dengan tempat melahirkan anaknya yang
tidak jauh dari rumah dari kediamannya di Komplek Atsiri Permai, Citayam, Jawa Barat.
Selama beberapa hari, anaknya mengalami kolik atau menangis tanpa henti sampai
berjam-jam karena perut kejang. Dokter yang menanganinya menyarankan agar susu
formula yang selama ini dinikmatinya yang berjenis hypoalergic untuk diganti dengan susu
formula biasa atau lebih bagus jika diberikan ASI. Tetapi, intan hanya punya pilihan
menuruti dokter karena ASI yang dihasilkan kurang.

Tidak ada perubahan terhadap anaknya, Intan mencoba untuk membawa dokter spesial
anak ke rumah sakit lainnya lagi. Paling tidak, sejak kelahiran anak pertamanya yang saat
ini usianya mencapai 2 bulan, Intan sudah membawa anaknya pada tiga rumah sakit dan
tiga dokter yang berbeda. Tetapi hampir semua dokter menyarankan dengan mengganti
susu yang dikonsumsi dari merek A ke merek B atau C.
Selain itu, kata Intan, setelah konsultasi terakhir, dia tetap disarankan agar asupan formula
biasa diganti kembali dengan susu hipolaergic meski sebelumnya dokter memprioritaskan
agar diberikan ASI terlebih dahulu dan menjalankan diet makanan.
"Alasannya, kalau tidak, kelanjutan dari susu formula dengan 100 persen susu sapi tidak
terhidrolisir akan menyebabkan radang telinga (conge). Jika susunya tidak diganti dan
mengalami gangguan hidung yang mengeluarkan suara ngrok," ungkapnya.
Tetapi hampir dua bulan, anak pertamanya tersebut tidak kunjung sembuh, Dokter pun
menyarankan anaknya melakukan tes feses atau tes laboratorium kotoran dilakukan untuk
mencari tahu penyebab diare. Dokter pun menyarankan untuk menggunakan susu formula
jenis hypoalergic dengan merek yang lain.
"Walau diare dan penderitaanya berkurang, tapi saat ini harga hipoalergic yang beredar
paling murah seharga Rp 120 ribu sedang yang mahal bisa mencapai Rp 400 ribu perkaleng ukuran 400 gram yang habis dalam tiga hari. Jika diakumulasi per-bulan setidaknya
belasan kaleng akan diberikan ke bayi yang mengalami alergi susu sapi. Dan banyak
pantangan dan harus hati-hati untuk pemberian makanan," katanya.
Wakil Ketua Umum Asosiasi Menyusui Indonesia Nia Umar mengatakan bayi yang baru
dilahirkan harus diupayakan diberikan air susu ibu sebagai asupannya. Paling tidak ASI
eksklusif harus diberikan kepada bayi hingga berusia 6 bulan. Hal ini karena pada rentan
usia 6 sampai 9 bulan, ususnya mudah ditembus protein asing.
"Usus tersebut seperti kain kasa yang memiliki lubang-lubang. Jika diberi susu formula,
usus tersebut bisa tembus hingga ke dasar. Namun ada mukjizat dibalik ASI, dengan
kandungan sel antibodi sIgA dalam jumlah tinggi berperan melapisi permukaan pada usus
bayi," katanya.
Nia menegaskan protein susu sapi merupakan alergen yang dapat menimbulkan gangguan
pada bayi. Alergen merupakan bahan penyebab terjadinya alergi. "Bayi baru lahir itu sulit
untuk mencerna susu formula karena saluran pencernaannya juga belum sempurna."
Dia mengatakan dampak adanya alergi susu pada bayi bisa akibat faktor konsumsi susu
sapi ketika ibu dalam hamil, saat awal bayi diberikan susu formula serta proses persalinan.

"Jika bayi dilahirkan melalui proses sesar, kemungkinan alergi susu sapi pada bayi yang
dilahirkan tersebut akan terjadi. Tapi pada dasarnya, proses selama hamil maupun
melahirkan juga mempengaruhi ASI ibunya kelak," ungkapnya.

http://www.merdeka.com/khas/derita-bayi-dari-susu-formula.html

B.16 Tips Memilih Susu Formula untuk Bayi


</li>
</ul>Satu permasalahan yang tidaklah mudah begitu kita kehadiran anggota baru, alias si Baby adalah
pemilihan susu formula. Beruntunglah bagi ibu ibu yang ASInya sangat mencukupi dan waktu yang
memungkinkan ( hal ini akan sulit untuk dilakukan bila sang ibu bekerja ). Secara teori ya mudah, cari
susu formula dengan karakteristiknya mirip dengan ASI. Terus yang jadi pertanyaan, bagaimana memilih
susu formula dengan karakter mirip ASI ya ?
<!more>
Sangat disayangkan, mayoritas kita sebagai orang tua tidak paham betul dengan kandungan gizi yang
ada pada susu formula. Itulah mengapa banyak orang tua yang dibuat bingung kala harus berhadapan
dengan memilih susu yang tepat untuk Si Kecil, sang buah hati tercinta.
Hal pertama yang harus menjadi perhatian dalam memilih susu formula adalah tingkat usia bayi.
Sesuaikan tingkat usia bayi, yang pada umumnya dibagi menjadi 2 macam, 0-6 bulan dan 6-12 bulan
atau susu formula lanjutan. Pada saat sekarang, banyak rumah sakit bersalin dan DSA ( baca: Dokter
Spesialis Anak ) yang menerapkan ASI eksklusif selama 6 bulan. Namun jika ada permasalahan dengan
ASI sang ibu, maka dokterpun akan menyarankan susu formula sebagai pendamping ASI. Kembali pada
topic, penggolongan usia untuk susu formula bayi tersebut didasarkan pada kondisi pencernaan bayi.
Pada umumnya bayi usia 06 bulan, system pencernaannya belumlah sempurna sedangkan pada usia
diatas 6 bulan mayoritas sudah mulai membaik dan bahkan sudah mulai diberi makanan tambahan.
Dengan perbedaan dan permasalahan tersebut, kandungan gizi pada susu formula untuk kedua
kelompok usia itupun disesuaikan.
Hal kedua yang harus diperhatikan adalah terdapat 3 jenis susu formula bila dilihat dari tingkat alergi
bayi terhadap susu formula. Tiga jenis tersebut adalah susu formula biasa, susu kedelai dan susu
elemental.

Jika Si Kecil ketika dicoba pada salah satu susu formula yang menjadi pilihan kita dan tidak ada masalah
seperti alergi maka bisa dikatakan bahwa Si Kecil bisa mengkonsumsi susu formula biasa yang terbuat
dari susu sapi dan telah difortifikasi ( ditambah ) aneka zat gizi untuk mendekati karakteristik gizi ASI
dan angka kecukupan gizi bayi.
Jika Si Kecil mengalami masalah dengan susu formula biasa, pada umumnya dokter akan menyarankan
kita untuk menggunakan susu formula yang terbuat dari kacang kedelai. Hal ini terjadi pada bayi yang
mengalami alergi terhadap lemak dalam susu sapi.
Namun jika Si Kecil masih juga bermasalah dengan susu formula biasa ( dari susu sapi ) ataupun susu
formula dari kacang kedelai, maka si dokter akan menyarankan kita untuk menggunakan susu elemental
atau susu formula hidrolisa kasein. Susu ini pada dasarnya adalah susu formula yang kandungan
lemaknya diperkecil namun zat gizi yang lainnya di perbanyak.
Kita tidak boleh memaksakan ego kita untuk memberikan susu formula tertentu pada Si Kecil tanpa
memperhatikan permasalahan dan tingkat kecocokan susu formula dengan Si Kecil. Satu hal lagi yang
harus diperhatikan, sebagaimana dijelaskan diatas adalah carilah susu formula yang karakteristiknya
mirip dengan ASI. Jangan terpengaruh iklan yang mengatakan susu formula A , B atau C mengandung
zat zat tertentu, tanpa mengklarifikasi dengan ahli gizi atau dokter anak langganan kita. Jangan pula
kita terpengaruh dan memaksakan untuk membeli susu formula yang mahal, tapi perhatikan kecukupan
angka gizinya. Apalah arti susu formula yang diberikan mahal bila jumlah dan angka kecukupan gizinya
kurang dan jangan dibuat encer atau kurang dari takaran.
Smoga tips ini berguna bagi kita semua dalam rangka memberikan perawatan yang baik untuk buah hati
kita. Tetap semangat untuk berbagi informasi saran dan kritiknya ditunggu.
Sumber :
<ul>
<li>Diambil dari beberapa sumber seperti : rangkuman mailling list nakita, yahoo answer, tabloid nova
dan konsultasi dengan DSA.

http://posyanduwijayakusuma.wordpress.com/tips-memilih-susu-formula-untuk-bayi/

rumah sakit yang menerapkan pemberian susu formula kepada bayi baru lahir

Perlindungan Hukum Atas Pemberian ASI


Eksklusif

Bagaimana pengaturan tentang ASI eksklusif? Apakah ibu dapat mengajukan gugatan? Apa saja
peraturannya? Apakah ASI eksklusif ini merupakan hak asasi ibu dan anak?

1.

Pengaturan mengenai pemberian air susu ibu ("ASI") eksklusif diatur dalam Pasal
128 UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan (UU Kesehatan) yang
berbunyi:

(1) Setiap bayi berhak mendapatkan air susu ibu eksklusif sejak dilahirkan
selama 6 (enam) bulan, kecuali atas indikasi medis.
(2) Selama pemberian air susu ibu, pihak keluarga, Pemerintah, pemerintah
daerah, dan masyarakat harus mendukung ibu bayi secara penuh dengan
penyediaan waktu dan fasilitas khusus.
(3) Penyediaan fasilitas khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diadakan
di tempat kerja dan tempat sarana umum.

Selanjutnya, dalam Pasal 129 UU Kesehatan diatur bahwa:

(1) Pemerintah bertanggung jawab menetapkan kebijakandalam rangka


menjamin hak bayi untuk mendapatkan air susu ibu secara eksklusif.
(2) Ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur
dengan Peraturan Pemerintah.

Pemberian ASI eksklusif juga telah diatur dalam Peraturan Bersama Menteri
Negara Pemberdayaan Perempuan, Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi,
dan Menteri Kesehatan No. 48/MEN.PP/XII/2008, PER.27/MEN/XII/2008,
dan 1177/MENKES/PB/XII/2008 Tahun 2008 tentang Peningkatan
Pemberian Air Susu Ibu Selama Waktu Kerja di Tempat Kerja (Peraturan
Bersama). Dalam Peraturan Bersama tersebut antara lain disebutkan bahwa
Peningkatan Pemberian ASI selama waktu kerja di tempat kerja adalah program
nasional untuk tercapainya pemberian ASI eksklusif 6 (enam) bulan dan dilanjutkan
pemberian ASI sampai anak berumur 2 (dua) tahun (lihat Pasal 1 angka 2).

Kemudian, berdasarkan Peraturan Bersama, Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi


bertugas dan bertanggung jawab mendorong pengusaha/pengurus serikat
pekerja/serikat buruh agar mengatur tata cara pelaksanaan pemberian ASI dalam
Peraturan Perusahaan atau Perjanjian Kerja Bersama dengan mengacu pada
ketentuan Peraturan Perundang-undangan Ketenagakerjaan (lihat Pasal 3 ayat [2]
huruf a).

Selain itu, sampai dengan artikel jawaban ini dibuat, pemerintah telah menyusun
rancangan peraturan pemerintah tentang pemberian ASI Eksklusif (RPP ASI
Eksklusif) yang diamanatkan Pasal 129 UU Kesehatan di atas. RPP ASI Eksklusif ini
cukup mengundang pro-kontra di masyarakat, khususnya di antara pengusaha dan
kelompok masyarakat yang giat mempromosikan ASI eksklusif. Pro-kontra ini dapat
disimak antara lain melalui pemberitaan hukumonline sebagai berikut:
-

Pengusaha Keberatan RPP ASI Eksklusif.

AIMI Protes Pengusaha Tolak RPP ASI

Dalam artikel hukumonline antara lain ditulis bahwa beberapa hal yang diatur di
RPP di antaranya mengenai tanggung jawab pemerintah dan daerah dalam hal
promosi susu formula dan produk lain, mengatur pemberian ASI eksklusif selama
enam bulan pertama, pojok ASI di tempat kerja maupun sarana umum serta
kelonggaran bagi karyawan perempuan yang menyusui.

2.

Kami tidak paham maksud pertanyaan Anda mengenai apakah ibu dapat
mengajukan gugatan. Namun, dalam konteks pelanggaran terhadap pemberian ASI,
UU Kesehatan mengatur adanya sanksi pidana yaitu dalam Pasal 200 dan Pasal
201, yang berbunyi sebagai berikut:

Pasal 200

Setiap orang yang dengan sengaja menghalangi program pemberian air susu
ibu eksklusif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 128 ayat (2) dipidana penjara
paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus
juta rupiah).

Pasal 201

(1) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 190 ayat (1),
Pasal 191, Pasal 192, Pasal 196, Pasal 197, Pasal 198, Pasal 199, dan Pasal
200 dilakukan oleh korporasi, selain pidana penjara dan denda terhadap
pengurusnya, pidana yang dapat dijatuhkan terhadap korporasi berupa
pidana denda dengan pemberatan 3 (tiga) kali dari pidana denda
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 190 ayat (1), Pasal 191, Pasal 192,
Pasal 196 , Pasal 197, Pasal 198, Pasal 199, dan Pasal 200.
(2) Selain pidana denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1), korporasi dapat
dijatuhi pidana tambahan berupa:
a.

pencabutan izin usaha; dan/atau

b.

pencabutan status badan hukum.

Selain itu, ibu atau pihak lain yang merasa dirugikan dalam kegiatan pemberian ASI
eksklusif juga dapat menuntut ganti rugi kepada pihak yang melanggar ketentuan
UU Kesehatan terkait pemberian ASI eksklusif menggunakan gugatan perdata
dengan gugatan perbuatan melawan hukum (Pasal 1365 KUHPerdata). Lebih jauh
simak artikel-artikel berikut:
-

Doktrin Gugatan Wanprestasi dan PMH;

Bagaimana Menuntut Ganti Rugi Jika Menjadi Korban Tindak Pidana?

3.

Lihat jawaban nomor 1 dan 2 di atas.

4.

Sebelumnya, mari kita simak apa yang dimaksud dengan hak asasi. Hak Asasi
Manusia, sesuai dengan Pasal 1 angka 1 UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak
Asasi Manusia (UU HAM) adalah;

... seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia
sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang
wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum dan
Pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan
martabat manusia.

Kemudian, dalam Pasal 52 UU HAM diatur mengenai hak anak yaitu:

... hak asasi manusia dan untuk kepentingannya hak anak itu diakui dan
dilindungi oleh hukum bahkan sejak dalam kandungan.

Jadi, pemberian ASI eksklusif kepada bayi adalah hak asasi yang diatur dan
dilindungi undang-undang.

Dasar hukum:
1.

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek,Staatsblad 1847 No. 23)

2.

Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia

3.

Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan

4.

Peraturan Bersama Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan, Menteri Tenaga


Kerja dan Transmigrasi, dan Menteri Kesehatan No. 48/MEN.PP/XII/2008,
PER.27/MEN/XII/2008, dan 1177/MENKES/PB/XII/2008 Tahun 2008 tentang
Peningkatan Pemberian Air Susu Ibu Selama Waktu Kerja di Tempat Kerja.

http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt4ed4e8aa733c1/perlindungan-hukum-ataspemberian-asi-eksklusif

Hukum dan ASI: UU Kesehatan Melindungi Hak Bayi


Mendapatkan ASI
Posted on September 15, 2012by GrowUp Clinic

HUKUM DAN ASI:

UU KESEHATAN MELINDUNGI HAK BAYI MENDAPATKAN ASI


Berbagai tindakan yang dengan sengaja menghalangi program pemberian air susu
ibu (ASI) eksklusif dapat dikenai pidana penjara paling lama satu tahun dan denda
paling banyak seratus juta Rupiah. Pasal yang mengatur hal tersebut sudah
tercantum dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2009
Tentang Kesehatan, yang disahkan oleh Presiden RI, DR H Susilo Bambang
Yudhoyono bersama Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia RI, Andi Mattalatta
pada 13 Oktober 2009.

ASI adalah hak anak Dalam UU kesehatan baru ini, hak bayi untuk mendapat
ASI eksklusif dijelaskan dalam Pasal 128 Ayat 1 yang berbunyi, Setiap bayi berhak
mendapatkan air susu ibu eksklusif sejak dilahirkan selama 6 (enam) bulan, kecuali
atas indikasi medis. Dengan adanya UU ini, jelas sudah bahwa seorang anak yang
baru dilahirkan dalam kondisi normalartinya tidak memerlukan tindakan
penanganan khususberhak mendapatkan ASI secara eksklusif. Lebih lanjut di ayat
selanjutnya ditegaskan lagi, Selama pemberian air susu ibu, pihak keluarga,

pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat harus mendukung ibu bayi secara
penuh dengan penyediaan waktu dan fasilitas khusus.
Seorang ibu sangat membutuhkan dukungan dari orang-orang sekitar terutama dari
keluarga seperti suami, orangtua, atau orang di lingkungan kerjanya. d Demi
kelancaran pemberian ASI pada bayinya. Ayat 3 berbunyi, Penyediaan fasilitas
khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diadakan di tempat kerja dan tempat
sarana umum. Pada kenyataannya, belum banyak dijumpai fasilitas umum yang
menyediakan tempat khusus bagi ibu menyusui (breastfeeding room). Hal tersebut
tampaknya juga belum tersosialisasikan pada perusahaan-perusahaan, tempat
dimana banyak terdapat ibu bekerja yang sedang melaksanakan ASI eksklusif.
Setidaknya menilik ayat 3 tadi, perusahaan dapat menyediakan tempat khusus yang
bersih dan nyaman sebagai tempat dimana seorang ibu menyusui dapat memompa
ASI-nya untuk kemudian menyimpannya ke dalam botol dan diberikan pada
bayinya sepulang dari bekerja.
Peran pemerintah pun secara tegas dinyatakan dalam Pasal 129 ayat (1) yang
menyatakan bahwa Pemerintah bertanggung jawab menetapkan kebijakan dalam
rangka menjamin hak bayi untuk mendapatkan air susu ibu secara eksklusif.
Kebijakan yang berupa pembuatan norma, standar, prosedur dan kriteria tersebut
tersebut selanjutnya akan diatur dalam Peraturan Pemerintah [Pasal 239 ayat (2)].
Peraturan Pemerintah tersebut harus sudah ditetapkan paling lambat 1 (satu) tahun
sejak tanggal pengundangan UU Kesehatan (Pasal 202) ini yaitu tanggal 13 Oktober
2009, sehingga PP paling lambat sudah harus dikeluarkan pada 13 Oktober 2010.
Kelebihan dalam UU Kesehatan ini adalah adanya sanksi pidana yang dinyatakan
secara tegas dalam Pasal 200.

Peraturan Pemerintah (PP)


Peraturan Pemerintah (PP) Republik Indonesia Nomor 33 tahun 2012 mengenai
Pemberian ASI Eksklusif telah disahkan. Ini tentu menjadi sebuah kabar gembira
bagi para ibu, khususnya ibu menyusui yang mendambakan dapat memberikan Air
Susu Ibu (ASI) secara eksklusif kepada buah hati tercintanya. Pengesahan PP Nomor
33 tahun 2012 tentang pemberian ASI eksklusif telah diputuskan 1 Maret 2012.
Peraturan pemerintah ini dilahirkan guna menjamin pemenuhan hak bayi untuk
mendapatkan sumber makanan terbaik sejak dilahirkan sampai berusia 6 bulan.
Di samping itu, kebijakan ini juga untuk melindungi ibu dalam memberikan ASI
eksklusif kepada bayinya. Di dalam peraturan tersebut dibahas mengenai Program
Inisiasi Menyusu Dini (IMD) dan ASI Eksklusif, pengaturan penggunaan susu
formula dan produk bayi lainnya, sarana menyusui di tempat kerja dan sarana
umum lainnya, dukungan Masyarakat, tanggung jawab pemerintah, Pemerintah
Daerah baik Provinsi maupun Kabupaten/Kota dalam serta pendanaannya.
Keberhasilan pemberian ASI Eksklusif, perlu dukungan berbagai pihak mulai dari
Pemerintah, Pemda Provinsi dan Kabupaten/Kota, Penyelenggara Pelayanan
Kesehatan, Tenaga Kesehatan, masyarakat serta keluarga terdekat ibu.

Sanksi pidana
Terkait dengan Pasal 128 tadi, UU Kesehatan ini kemudian menetapkan sanksi yang
tercantum dalam Pasal 200, yakni Setiap orang yang dengan sengaja menghalangi
program pemberian air susu ibu eksklusif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 128
ayat (2) dipidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp
100.000.000,00 (Seratus Juta Rupiah).
Lebih lanjut dalam Pasal 201 dinyatakan bahwa bila tindak pidana tersebut
dilakukan oleh korporasi, selain pidana penjara dan denda terhadap pengurusnya,
pidana yang dapat dijatuhkan terhadap korporasi berupa pidana denda dengan
pemberatan 3 (tiga) kali dari pidana denda yang disebutkan dalam Pasal 200. Itu
artinya pidana denda bagi korporasi yang melanggar Pasal 200 adalah paling
banyak Rp. 300.000.000 (tiga ratus juta Rupiah).
Dalam Pasal 201 ayat (2) disebutkan pula bahwa selain pidana denda, korporasi
dapat dijatuhi pidana tambahan berupa: pencabutan izin usaha; dan/atau
pencabutan status badan hukum. Dengan adanya UU ini terlebih dengan sanksi
pidana bagi perorangan maupun lembaga yang menghalangi hak anak akan ASI,
dapat menjadi payung sebagai upaya pemeliharaan kesehatan bayi, mempersiapkan
generasi yang sehat dan cerdas, serta dapat menurunkan angka kematian bayi dan
menurunkan risiko kanker pada ibu.
Kontroversi Undang Undang Kesehatan tentang ASI
Disebutkan dalam Pasal 128 ayat (1) bahwa setiap bayi berhak mendapatkan Air
Susu Ibu (ASI) Eksklusif sejak dilahirkan selama 6 bulan kecuali atas indikasi medis.
Dalam penjelasan pasal ini disebutkan bahwa yang dimaksud dengan pemberian air
susu ibu eksklusif adalah pemberian hanya air susu ibu selama 6 bulan,dan dapat
terus dilanjutkan sampai dengan 2 (dua) tahun dengan memberikan makanan
pendamping air susu ibu (MP-ASI) sebagai tambahan makanan sesuai dengan
kebutuhan bayi. Sedangkan kriteria apakah indikasi medis itu dijelaskan bahwa
yang dimaksud dengan indikasi medis dalam ketentuan ini adalah kondisi
kesehatan ibu yang tidak memungkinkan memberikan air susu ibu berdasarkan
indikasi medis yang ditetapkan oleh tenaga medis

Lebih lanjut lagi dinyatakan bahwa selama pemberian air susu ibu, pihak keluarga,
pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat harus mendukung ibu bayi secara
penuh dengan penyediaan waktu dan fasilitas khusus yang diadakan di tempat kerja
dan sarana umum [Pasal 128 ayat (2) dan ayat (3)]
Kontroversi Pasal 128: Tidak dijelaskan secara terperinci, apa sajakah kriteria
indikasi medis yang dapat menyebabkan seorang ibu tidak dapat memberikan ASI.
Dalam penjelasan hanya disebutkan bahwa indikasi medis ini ditetapkan oleh
tenaga medis. AIMI menyarankan bahwa yang dimaksud dengan indikasi medis
tersebut hendaknya mengacu pada ketentuan World Health Organization (WHO)
No. WHO/NMH/NHD/09.01 WHO/FCH/CAH/09.01 regarding Acceptable medical
reasons for use of breast-milk substitutes tahun 2009.
Kriteria fasilitas khusus di tempat kerja dan sarana umum untuk mendukung
pemberian ASI dan ibu menyusui hendaknya dijabarkan lebih lanjut dalam
peraturan pelaksana undang-undang dalam bentuk Peraturan Pemerintah,
walaupun hal ini tidak dinyatakan dalam Pasal 128 UU Kesehatan.
Pasal 200:
Berbeda dengan beberapa peraturan perundangan yang memuat ketentuan pidana
yang biasanya diawali dengan kalimat barang siapa, ketentuan pidana dalam UU
Kesehatan ini dimulai dengan kalimat setiap orang. Perbedaannya adalah kalimat
barang siapa berarti orang perorangan dan badan hukum. Sedangkan setiap
orang berarti orang perorangan. Namun demikian, bukan berarti bila tindak pidana
dilakukan oleh korporasi/badan hukum maka tidak ada sanksi pidana baginya,
sesuai dengan ketentuan tentang badan hukum, maka pengurusnyalah yang
bertanggung jawab atas dugaan pidana tersebut (misalnya dalam perseroan
terbatas, yang bertanggung jawab adalah direktur). Lebih lanjut dalam Pasal 201
dinyatakan bahwa bila tindak pidana tersebut dilakukan oleh korporasi, selain
pidana penjara dan denda terhadap pengurusnya, pidana yang dapat dijatuhkan
terhadap korporasi berupa pidana denda dengan pemberatan 3 (tiga) kali dari
pidana denda yang disebutkan dalam Pasal 200 [berarti pidana denda bagi
korporasi yang melanggar Pasal 200 adalah paling banyak Rp. 300.000.000 (tiga
ratus juta Rupiah)]. Dalam Pasal 201 ayat (2) disebutkan pula bahwa selain pidana

denda, korporasi dapat dijatuhi pidana tambahan berupa: a. pencabutan izin usaha;
dan/atau b. pencabutan status badan hukum.
Promosi susu Formula
Klausul yang menyatakan tenaga kesehatan dapat memberikan susu formula bayi
untuk memenuhi kebutuhan bayi rupanya menjadi perdebatan. Klausul yang
terdapat diantara pasal 88 dan 89 RUU kesehatan itu menimbulkan reaksi.
Pencantuman kata susu formula dianggap tidak tepat dan justru membuat
masyarakat salah pengertian. Oleh karena itu, gabungan lembaga dan masyarakat
peduli ASI menolak dengan tegas RUU tersebut. Penyebutan susu formula dalam
suatu Undang-undang sama saja dengan penyebutan suatu jenis obat, dan hal
tersebut tidak dibenarkan. Klausul tersebut juga akan menimbulkan kerancuan,
masyarakat akan mengidolakan susu formula. Padahal pemberian susu formula
bukan hal yang tepat untuk menyembuhkan mal nutrisi. Donasi dari ibu akan jauh
lebih baik. Justru susu formula yang menjadi penyebab gizi buruk pada anak.
Pemakaian susu formula bagi anak tidak tepat, susu formula hanya cocok bagi anak
sapi. Selain mempermasalahkan klausul penggunaan susu formula untuk memenuhi
kebutuhan bayi, gabungan lembaga dan masyarakat peduli ASI juga meminta DPR
mencabut penjelasan pasal 88 ayat (2) yang berbunyi Pemberian Air Susu Ibu dapat
berupa pemberian ASI ekslusif dan non eksklusif. Pasalnya penjelasan tersebut
bertentangan dengan SK Menteri Kesehatan No: 450/MENKES/SK/IV /2004 yang
menetapkan pemberian ASI secara ekslusif sejak lahir sampai dengan berumur
enam bulan. Terdapat kejanggalan pada klausul tersebut. Pasalnya pada draft awal
RUU kesehatan, tidak dicantumkan mengenai penggunaan susu formula untuk
memenuhi kebutuhan gizi.
Tidak secara spesifik disebutkan tentang pengaturan promosi susu formula, namun
promosi susu formula haruslah memenuhi ketentuan dalam Pasal 110 yang
berbunyi: Setiap orang dan/atau badan hukum yang memproduksi dan
mempromosikan produk makanan dan minuman dan/atau yang diperlakukan
sebagai makanan dan minuman hasil olahan teknologi dilarang menggunakan katakata yang mengecoh dan/atau disertai klaim yang tidak dibuktikan kebenarannya
UU Kesehatan ini berlaku pada tanggal diundangkan yaitu 13 Oktober 2009. Dengan
adanya UU Kesehatan baru ini, maka Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992

tentang Kesehatan dicabut dan dinyatakan tidak berlaku, sedangkan semua


peraturan pelaksanaan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan
dinyatakan masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan
dalam UU Kesehatan ini. Dimasukkannya pasal-pasal yang menyangkut pemberian
asi sebagaimana disebutkan di atas merupakan suatu langkah maju bagi upaya
peningkatan dan perlindungan pemberian ASI di Indonesia. Namun demikian, tetap
diperlukan adanya peraturan pelaksana yang lebih spesifik mengatur tentang
perlindungan pemberian ASI bagi ibu menyusui. Pasal-pasal tentang ASI dalam UU
Kesehatan ini dapat menjadi suatu landasan yang kuat untuk diterbitkannya
peraturan perundangan yang mengatur tentang pemasaran susu formula
http://growupclinic.com/2012/09/15/hukum-dan-asi-uu-kesehatan-melindungi-hak-bayimendapatkan-asi/

Pengaturan mengenai pemberian air susu ibu ("ASI") eksklusif diatur dalam Pasal 128 UU No. 36 Tahun
2009 tentang Kesehatan (UU Kesehatan) yang berbunyi:

(1) Setiap bayi berhak mendapatkan air susu ibu eksklusif sejak dilahirkan selama 6 (enam) bulan, kecuali
atas indikasi medis.
(2) Selama pemberian air susu ibu, pihak keluarga, Pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat harus
mendukung ibu bayi secara penuh dengan penyediaan waktu dan fasilitas khusus.
(3) Penyediaan fasilitas khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diadakan di tempat kerja dan tempat
sarana umum.

Selanjutnya, dalam Pasal 129 UU Kesehatan diatur bahwa:

(1) Pemerintah bertanggung jawab menetapkan kebijakan dalam rangka menjamin hak bayi untuk
mendapatkan air susu ibu secara eksklusif.

(2) Ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Pemberian ASI eksklusif juga telah diatur dalam Peraturan Bersama Menteri Negara Pemberdayaan
Perempuan, Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi, dan Menteri Kesehatan No. 48/MEN.PP/XII/2008,
PER.27/MEN/XII/2008, dan 1177/MENKES/PB/XII/2008 Tahun 2008 tentang Peningkatan Pemberian Air
Susu Ibu Selama Waktu Kerja di Tempat Kerja (Peraturan Bersama). Dalam Peraturan Bersama tersebut
antara lain disebutkan bahwa Peningkatan Pemberian ASI selama waktu kerja di tempat kerja adalah
program nasional untuk tercapainya pemberian ASI eksklusif 6 (enam) bulan dan dilanjutkan pemberian ASI
sampai anak berumur 2 (dua) tahun (lihat Pasal 1 angka 2).

Kemudian, berdasarkan Peraturan Bersama, Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi bertugas dan
bertanggung jawab mendorong pengusaha/pengurus serikat pekerja/serikat buruh agar mengatur tata cara
pelaksanaan pemberian ASI dalam Peraturan Perusahaan atau Perjanjian Kerja Bersama dengan mengacu
pada ketentuan Peraturan Perundang-undangan Ketenagakerjaan (lihat Pasal 3 ayat [2] huruf a).

Selain itu, sampai dengan artikel jawaban ini dibuat, pemerintah telah menyusun rancangan peraturan
pemerintah tentang pemberian ASI Eksklusif (RPP ASI Eksklusif) yang diamanatkan Pasal 129 UU
Kesehatan di atas. RPP ASI Eksklusif ini cukup mengundang pro-kontra di masyarakat, khususnya di antara
pengusaha dan kelompok masyarakat yang giat mempromosikan ASI eksklusif.
dalam konteks pelanggaran terhadap pemberian ASI, UU Kesehatan mengatur adanya sanksi pidana yaitu
dalam Pasal 200 dan Pasal 201, yang berbunyi sebagai berikut:

Pasal 200

Setiap orang yang dengan sengaja menghalangi program pemberian air susu ibu eksklusif sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 128 ayat (2) dipidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak
Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).

Pasal 201

(1) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 190 ayat (1), Pasal 191, Pasal 192, Pasal
196, Pasal 197, Pasal 198, Pasal 199, dan Pasal 200 dilakukan oleh korporasi, selain pidana penjara dan
denda terhadap pengurusnya, pidana yang dapat dijatuhkan terhadap korporasi berupa pidana denda
dengan pemberatan 3 (tiga) kali dari pidana denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 190 ayat (1), Pasal
191, Pasal 192, Pasal 196 , Pasal 197, Pasal 198, Pasal 199, dan Pasal 200.
(2) Selain pidana denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1), korporasi dapat dijatuhi pidana tambahan
berupa:
a. pencabutan izin usaha; dan/atau
b. pencabutan status badan hukum.

Selain itu, ibu atau pihak lain yang merasa dirugikan dalam kegiatan pemberian ASI eksklusif juga dapat
menuntut ganti rugi kepada pihak yang melanggar ketentuan UU Kesehatan terkait pemberian ASI eksklusif
menggunakan gugatan perdata dengan gugatan perbuatan melawan hukum (Pasal 1365 KUHPerdata).

http://www.kopimaya.com/forum/archive/index.php/t-3196.html

Hak Ibu Menyusui di Indonesia


Alangkah bahagia apabila kita telah menjadi seorang ibu, menjadi ibu adalah anugerah tersendiri
bagi perempuan. Sebagai seorang ibu tentunya kita menginginkan yang terbaik untuk anak, salah
satunya termasuk memberikan ASI eksklusif selama 6 bulan. Namun, sering kali aktifitas menyusui
terhalang berbagai masalah ketika cuti melahirkan yang dimiliki sang ibu habis. Cuti melahirkan di
Indonesia yang hanya 3 bulan, lalu apa yang terjadi saat ibu menyusui harus kembali bekerja?

Untungnya, Negara mendukung aktivitas hak ibu menyusui saat bekerja. Bentuk dukungan tersebut
terlihat dari peraturan-peraturan yang memberikan waktu/kelonggaran dan fasilitas yang layak bagi
ibu untuk menyusui bayinya. Negara juga menjamin hak ibu menyusui agar dapat terus memberikan
ASI eksklusif selama 6 bulan meskipun harus bekerja.
Berikut adalah peraturan dan Undang-Undang yang mengatur hal tersebut:

Konvensi ILO No. 183 tahun 2000 pasal 10 mengenai Ibu Menyusui

1.

Perempuan harus diberi hak istirahat harian atau pengurangan jam kerja harian untuk
menyusui anaknya.

2.

Berapa lama istirahat menyusui atau pengurangan jam kerja harian ini akan diberikan,
banyaknya dalam sehari, lamanya tiap-tiap istirahat dan cara-cara pengurangan jam kerja
harian ini diatur berdasarkan hukum dan kebiasan nasional. Istirahat dan pengurangan jam
kerja harian ini harus dihitung sebagai jam kerja dan dibayar.

Negara anggota wajib menjamin hak ibu menyusui untuk tidak bekerja. Indonesia baru mengadopsi
peraturan ini, belum meratifikasinya.

Pasal 83 Undang Undang No. 13/2003 tentang Ketenagakerjaan

Pekerja/buruh perempuan yang anaknya masih menyusui harus diberi kesempatan sepatutnya
untuk menyusui anaknya jika hal itu harus dilakukan selama waktu kerja.

Pasal 128 Undang - Undang No. 39/2009 tentang Kesehatan

1.

Setiap bayi berhak mendapatkan ASI eksklusif sejak dilahirkan selama 6 (enam) bulan,
kecuali atas indikasi medis

2.

Selama pemberian ASI, pihak keluarga, pemerintah, pemerintah daerah dan masyarakat
harus mendukung ibu bayi secara penuh dengan penyediaan waktu dan fasilitas khusus

3.

Penyediaan fasilitas khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diadakan di tempat kerja
dan di tempat sarana umum

Pasal 2 Peraturan Bersama Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan, Menteri Tenaga Kerja dan
Transmigrasi dan Menteri Kesehatan No. 48/MEN.PP/XII/2008, PER.27/MEN/XII/2008 dan
1177/MENKES/ PB/XII/2008 tahun 2008 tentang Peningkatan Pemberian Air Susu Ibu Selama
Waktu Kerja di Tempat Kerja
Tujuan peraturan bersama ini adalah untuk memberi hak ibu menyusui yang berupa kesempatan
dan fasilitas kepada ibu bekerja untuk memberikan/memerah ASI selama waktu kerja dan
menyimpan ASI perah tersebut.
Karena sifatnya imbauan, perusahaan yang tidak menyediakan ruang menyusui atau pojok ASI tidak
diberikan sanksi.

Pasal 49 ayat 2 Undang-undang No. 49/1999 tentang Hak Asasi Manusia

Wanita berhak untuk mendapatkan perlindungan khusus dalam pelaksanaan pekerjaan atau
profesinya terhadap hal-hal yang dapat mengancam keselamatan dan atau kesehatannya
berkenaan dengan fungsi reproduksi wanita.
perlindungan khusus terhadap fungsi reproduksi yang dimaksud disini adalah pelayanan
kesehatan yang berkaitan dengan haid, hamil, melahirkan dan pemberian kesempatan untuk
menyusui anak.
Dengan diaturnya hak ibu menyusui di peraturan peraturan perundangan di atas, Ibu mempunyai
pegangan untuk menuntut haknya. Namun sayangnya, masih ada peraturan peraturan yang belum
tersosialisasi dengan baik. Seorang ibu yang tidak mendapatkan haknya untuk memerah ASI atau
menyusui bayinya dapat melakukan pendekatan, pemberian pemahaman mengenai pentingnya ASI
kepada pihak manajemen atau pimpinannya. Para Ibu juga bisa memperjuangkan hak menyusui
lewat serikat pekerja apabila perusahaan Anda memiliki serikat.
Sumber :
Asosiasi Ibu Menyusui Indonesia [http://aimi-asi.org/]

http://www.gajimu.com/main/tips-karir/Tentang-wanita/hak-ibu-menyusui-di-indonesia

http://health.kompas.com/index.php/read/2011/02/11/08110773/Inilah.Merek.Susu.Formula.Ama
n.

Analisis perilaku konsumen dalam pemilihan susu formula di rumah


sakit ibu dan anak hermina jatinegara/ -- 2003
Master Theses from MBIPB / 2010-08-25 08:01:48
Oleh : Siti Maesaroh , MB-IPB
Dibuat : 2008-10-08, dengan 8 file
Keyword : Perilaku Konsumen, Susu Formula, RSIA Hermina-Jatinegara, Atribut, Thurstone, Markov Chain,
Brand Awarness, Brand Switching, Loyalitas, Rekomendasi Dokter.
Subjek : MANAJEMEN PEMASARAN
Nomor Panggil (DDC) : 4(E13) Mae a
RINGKASAN EKSEKUTIF
SITI MAESAROH, 2003. Analisis Perilaku Konsumen Dalam Pemilihan Susu Formula di Rumah Sakit Ibu dan
Anak Hermina Jatinegara. Di bawah bimbingan UJANG SUMARWAN dan IDQAN FAHMI.

Peraturan WHO tahun 1981 dan SK Menkes No.273/MENKES/SK/IV/1997 tanggal 10 April 1997 melarang
susu formula bayi usia 0-12 bulan diiklankan secara umum melalui berbagai media, selain melalui media
ilmu kesehatan yang mendapat persetujuan dari Menteri Kesehatan. Pengenalan susu formula di pasaran
dilakukan oleh tenaga kesehatan antara lain dokter, bidan, dan instansi pelayanan kesehatan antara lain
rumah sakit, puskesmas. Oleh sebab itu keputusan konsumen untuk membeli susu formula sangat
bergantung pada sejauh mana proses pengenalan produk yang dilakukan oleh tenaga kesehatan atau
instansi pelayanan kesehatan.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui proses pengambilan keputusan konsumen dalam pembelian susu
formula bayi usia 0-12 bulan dan mengetahui atribut-atribut yang mempengaruhinya. Selain itu
menganalisis brand switching terhadap pemilihan merek susu formula dan menganalisis pengaruh dokter
atau tenaga kesehatan sebagai kelompok acuan terhadap konsumen dalam pemilihan merek susu formula.
Sumber data penelitian ini diperoleh dari 200 responden ibu-ibu yang memiliki bayi usia 0-12 bulan yang
membeli susu formula dalam satu bulan terakhir yang datang ke Rumah Sakit Ibu dan Anak Hermina
Jatinegara. Selain itu sumber data diperoleh dari 30 dokter spesialis anak yang bekerja/praktek di Rumah
Sakit Ibu dan Anak Hermina Jatinegara Group. Analisis statistik yang digunakan dalam penelitian ini meliputi
analisis deskriptif, analisis asosiatif, analisis Markov Chain, analisis Thurstone Case V, analisis korespondensi,
dan analisis median.
Hasil penelitian memperlihatkan profil responden usia terbanyak berada antara usia 26-35 tahun, dengan
jumlah keluarga kurang dari 4 orang, berpendidikan sarjana, bekerja, dan berpenghasilan lebih dari Rp.1
juta. Usia tersebut merupakan tingkatan usia produktif wanita yang memungkinkan mempunyai seorang
bayi, meskipun bukan anak pertama.
Hasil analisis menunjukkan bahwa kebutuhan akan susu formula bayi cukup besar, walaupun sebagian besar
responden masih tetap memberikan ASI kepada bayinya. Selain itu, diketahui bahwa dokter sebagai sumber
informasi dan mempunyai pengaruh positif terhadap responden untuk memberi susu formula, tetapi
pengambil keputusan dalam pembelian susu formula tetap responden itu sendiri.
Faktor-faktor yang menjadi pertimbangan konsumen dalam pemilihan susu formula bayi usia 0-12 bulan
dapat dikelompokkan dalam tiga prioritas dan sembilan atribut yaitu prioritas pertama terdiri dari
kandungan gizi (zat gizi tambahan), kelengkapan zat gizi, cocok buat anak, prioritas kedua meliputi
rekomendasi dokter, kemudahan dalam memperoleh, dan prioritas ketiga terdiri dari merek, bentuk
kemasan, ukuran kemasan, dan harga. Berdasarkan sembilan atribut tersebut mengindikasikan bahwa
komposisi atribut-atribut yang paling dipentingkan dalam memilih susu formula, ternyata concern terhadap
kandungan zat gizi (zat-zat gizi tambahan seperti DHA, AA, Omega 3, Laktoferin, Prebiotik). Banyaknya
komponen zat gizi tambahan dipersepsikan dapat menentukan tingkat kualitas susu formula, sehingga
diharapkan dapat mendekati komponen Air Susu Ibu (ASI). Sedangkan sisanya tersebar ke atribut lain
terutama yang berhubungan dengan kualitas produk yaitu kelengkapan zat gizi, cocok buat anak, dan
rekomendasi dokter. Sedangkan masalah kemasan, merek, kemudahan memperoleh, dan harga tidak
banyak yang mempertimbangkan. Hal tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa dalam pemilihan susu
formula, mayoritas responden concern terhadap kualitas, sedangkan minoritas responden concern terhadap
harga.
Alasan responden membeli susu formula merek tertentu, sebagian besar responden menyatakan saran
dokter pasti yang terbaik. Hal ini memberikan indikasi bahwa peran dokter memang sangat besar dalam
mempengaruhi konsumen memutuskan pembelian merek susu formula tertentu.
Perilaku konsumen dalam menentukan pembelian susu formula bayi berkaitan dengan merek susu formula
yang digunakan, bentuk, dan ukuran kemasan susu formula serta alasannya memilih kemasan tersebut.
Selain itu, hal lain yang menentukan responden membeli susu formula adalah kebutuhan susu formula
dalam sebulan, tempat pembelian, merek susu formula yang dikonsumsi, dan loyalitas terhadap merek yang
digunakan.
Sebagian besar responden sering membeli susu formula bayi dalam kemasan kaleng, dengan alasan karena
tidak ada pilihan lain dan lebih praktis, sedangkan sisanya membeli susu formula kemasan karton/kardus
karena alasan harga lebih murah. Adapun ukuran kemasan yang disukai adalah ukuran kemasan 400 gr, 800
gr, dan 900 gr. Hal ini disebabkan karena hampir semua merek susu formula bayi menyediakan ketiga
ukuran kemasan tersebut, paling sering dan mudah dijumpai di tempat berbelanja, dan dianggap lebih
murah dibandingkan dengan membeli susu formula ukuran kecil.

Analisis berdasarkan kebutuhan susu formula sebulan didapatkan bahwa sebagian responden membeli susu
formula sebanyak 4-6 kaleng per bulan bagi yang memilih kaleng atau sebanyak 1-3 kotak/kardus per bulan
bagi yang kotak. Banyaknya kemasan yang dibeli tergantung pada ukuran kemasan, semakin besar ukuran
susu yang dibeli, semakin sedikit jumlah kemasan yang dibeli. Setiap kali pembelian untuk yang memilih
kemasan kaleng sebanyak dua kaleng sekaligus, sedangkan yang memilih kemasan kardus/karton sebanyak
satu kotak. Harga susu formula yang paling sering dibeli berkisar Rp.40.000,- sampai dengan Rp.60.000,Tempat pembelian yang disukai responden adalah supermarket/swalayan dengan alasan tempat tersebut
lebih nyaman, tersedianya barang-barang kebutuhan lain, dan tempat rekreasi keluarga.
Merek susu formula yang dikonsumsi terbagi dalam dua kelompok yaitu susu formula bayi usia 0-6 bulan
dan 6-12 bulan. Dari kelompok bayi usia 0-6 bulan merek susu formula yang banyak dikonsumsi adalah
S26, sedangkan untuk kelompok bayi usia 6-12 bulan adalah Promil yang merupakan susu lanjutan dari
S26.
Dalam penelitian ini terlihat pula hubungan antara kesadaran akan merek (brand awareness) dengan merek
yang dikonsumsi, dengan hasil bahwa tidak selalu merek yang terlintas dalam pikiran responden (top of
mind) digunakan konsumen. Begitu pula sebaliknya, ada beberapa merek yang tidak terlintas dalam pikiran
responden, tetapi ada responden yang menggunakannya.
Penelitian ini menganalisis terjadinya brand switching dalam penggunaan susu formula. Terjadinya
perpindahan merek penggunaan susu formula tersebut lebih disebabkan karena susu formula tidak cocok
dengan bayinya, sehingga bayi mengalami gangguan kesehatan seperti diare. Namun apabila merek susu
formula tersebut telah cocok dengan bayinya, maka kosumen enggan beralih ke merek susu formula
lainnya. Hal ini dapat menunjukkan tingkat loyalitas konsumen dalam pemilihan merek susu formula
tersebut. Selain itu, loyalitas dapat dilihat pula dari tindakan yang dilakukan konsumen dalam pembelian
susu formula apabila merek susu formula yang dicari tidak ditemui di tempat pembelian, sebagian besar
responden lebih mencari ditempat lain. Tindakan loyalitas yang lain dapat dilihat dari kontinuitas konsumen
dengan tetap menggunakan merek susu formula yang sama dengan bertambahnya usia bayi.
Pada penelitian ini diketahui pula seberapa jauh pengetahuan dokter sebagai kelompok acuan terhadap
ketentuan WHO tahun 1981 dan Surat Keputusan Menkes tahun 1997 tentang larangan susu formula bayi
usia 0-12 bulan untuk diiklankan. Disamping itu untuk mengetahui persepsi dokter terhadap iklan susu
formula dan faktor-faktor yang menjadi pertimbangan dokter dalam merekomendasikan pemilihan merek
susu formula kepada bayinya.
Hasil penelitian memperlihatkan bahwa masih terdapat sebagian dokter yang belum mengetahui adanya
ketentuan WHO dan Menkes RI yang melarang susu formula untuk diiklankan langsung kepada konsumen
dan merekapun setuju untuk selanjutnya pemasaran susu formula diiklankan Sedangkan untuk dokterdokter yang telah mengetahui terhadap ketentuan tersebut, tetap konsisten bahwa susu formula tersebut
tidak perlu diiklankan.
Merek susu formula yang pertama kali diingat oleh dokter merupakan brand awareness bagi dokter itu
sendiri, sehingga merek tersebut yang sering direkomendasikan kepada pasiennya. Hal ini sesuai dengan
hasil penelitian terhadap ibu-ibu responden, dimana merek yang paling banyak dikonsumsi adalah S26.
Perilaku dokter dalam menganjurkan pemberian susu formula merek tertentu dengan berbagai alasan.
Sebagian besar dokter yang menganjurkan pemberian susu formula merek tertentu mengemukakan bahwa
bayi mengalami gangguan kesehatan, seperti diare. Sedangkan bagi dokter yang tidak menganjurkan
pemberian susu formula merek tertentu, dengan alasan bahwa dokter tidak boleh menganjurkan untuk
merekomendasikan susu formula tersebut, karena dikhawatirkan akan terjadi konflik kepentingan.
Promosi yang dilakukan tenaga pemasar dari perusahaan produsen susu formula terbanyak dilakukan satu
minggu sekali. Adapun jadwal kunjungan terakhir yang dilakukan tenaga pemasar, sebagian besar dokter
mengemukakan kurang dari satu minggu yang lalu, dan perusahaan susu formula yang sering mengunjungi
dokter adalah PT. Nestle. Jenis informasi yang disampaikan kepada dokter lebih banyak berkaitan dengan
kandungan susu dan kelebihan produk susu formula. Alat bantu yang digunakan tenaga pemasar dalam
mempromosikan produknya adalah brosur dan leaflet. Sebagian besar dokter beranggapan bahwa alat bantu
tersebut belum efektif, sehingga masih diperlukan informasi tambahan dalam bentuk presentasi dari
perusahaan produsen dan adanya daftar yang jelas mengenai kelebihan dan kekurangan brand, disamping
sumber informasi lainnya berasal dari media cetak.

Dalam menganjurkan penggunaan produk susu formula tertentu pada pasien, dokter lebih
mempertimbangkan kepada kandungan nutrisi yang lengkap dan harga yang terjangkau. Persepsi dokter
terhadap atribut susu formula dari enam perusahaan yaitu PT. Nestle Indonesia, PT Nutricia Indonesia, PT.
Sari Husada, PT. Wyeth Indonesia, PT. Mead Johnson, dan PT. Abbot Indonesia diperoleh hasil bahwa dokter
setuju dengan atribut-atribut yang dimiliki keenam perusahaan produsen susu formula tersebut, yaitu harga
terjangkau, kandungan nutrisi yang lengkap, pengganti ASI, merek terkenal, baik untuk kesehatan,
mengandung DHA, Zat Besi, Kalsium dan Protein. Sedangkan terhadap atribut tidak ada efek samping
dokter memiliki persepsi cenderung ragu-ragu.
Berdasarkan uraian dan analisis yang telah dikemukakan, maka dapat disimpulkan bahwa: Dalam pemilihan
merek susu formula bayi, ibu-ibu mempertimbangkan beberapa atribut yaitu pertama kandungan gizi (zat
gizi tambahan), kedua kelengkapan zat gizi, ketiga cocok buat anak, keempat rekomendasi dokter, kelima
kemudahan dalam memperoleh, keenam merek susu formula, ketujuh ukuran kemasan, kedelapan bentuk
kemasan (kaleng/kotak), dan terakhir harga. Terlihat bahwa kandungan dan kelengkapan gizi menjadi
pertimbangan utama bagi seorang ibu, karena pada dasarnya susu formula adalah makanan utama bagi
bayi, terlebih lagi bagi mereka yang tidak menggunakan ASI. Meskipun demikian kecocokan buat bayi juga
tetap harus diperhatikan, karena hal ini menyangkut kesehatan bayi. Kualitas susu formula yang baik adalah
yang memiliki komponen mendekati ASI. Dalam pemilihan susu formula, responden menganggap bahwa
merek bukan merupakan faktor penting, namun apabila responden tersebut telah menemui suatu merek
tertentu dan merasa cocok, maka sebagian besar responden tetap konsisten (loyal) dalam penggunaan
merek susu formula tersebut. Sebagian kecil responden berpindah ke merek susu formula lain dengan
alasan tidak cocok dengan bayinya, dalam hal ini bayi mengalami gangguan kesehatan seperti diare.
Rekomendasi dokter dalam pemilihan merek susu formula menjadi pertimbangan responden, namun bukan
segala-galanya atau hanya dijadikan sebagai bahan referensi saja. Dokter juga merupakan sumber
informasi bagi responden apabila memerlukan informasi tambahan disamping keluarga maupun teman.
Penelitian ini memiliki beberapa kelemahan yang mungkin mempengaruhi hasil penelitian secara umum, di
antaranya adalah : Pertama keterbatasan waktu sehingga jumlah sampel yang diambil tidak terlalu besar
jika dibandingkan dengan jumlah pembeli/pengguna susu formula bayi awal dan lanjutan yang ada di
Rumah Sakit Ibu dan Anak Hermina Jatinegara, sehingga kurang merepresentasikan jumlah sebenarnya dari
pengguna susu formula bayi awal dan lanjutan, dan penelitian ini hanya dilakukan sejak 1 Februari 2003 s/d
15 Maret 2003. Kedua kurangnya pemahaman konsumen mengenai pengertian susu formula bayi dan
pengelompokannya yang berdasarkan usia bayi. Ketiga metode pengambilan sampel yang digunakan dalam
penelitian ini adalah nonprobability sampling, sehingga hasil penelitian tersebut tidak dapat diambil
kesimpulan untuk mewakili kondisi yang ada. Keempat keterbatasan tempat untuk penelitian, yaitu hanya di
Rumah Sakit Ibu dan Anak Hermina Jatinegara.
Saran yang disampaikan guna memperbaiki kelemahan-kelemahan di atas diperlukan upaya-upaya sebagai
berikut : Pertama melakukan penelitian dengan metode yang sama tetapi lokasi bukan di Rumah Sakit.
Kedua perlu penelitian dengan menggunakan metode probability sampling. Ketiga penelitian selanjutnya
sebaiknya dilakukan tidak hanya untuk atribut merek, harga, bentuk kemasan (kaleng/kotak), ukuran
kemasan, kandungan gizi (zat gizi tambahan), kelengkapan zat gizi, kemudahan dalam memperoleh,
rekomendasi petugas kesehatan/dokter, dan cocok buat anak tetapi untuk atribut-atribut yang lain dan/atau
untuk susu formula bayi jenis lain, agar produsen lebih dapat memahami konsumennya. Keempat untuk
atribut-atribut yang dianggap responden relatif kurang penting dibandingkan dengan atribut kelengkapan
zat gizi, tetap harus menjadi prioritas perusahaan, karena sering dijadikan kriteria evaluatif oleh konsumen
pada saat membeli suatu produk.

http://elibrary.mb.ipb.ac.id/gdl.php?mod=browse&op=read&id=mbipb-12312421421421412sitimaesar-543

Anda mungkin juga menyukai