Anda di halaman 1dari 14

MAKALAH PENYULUHAN

ASI VERSUS SUSU FORMULA

Penyaji:
Muhammad Darry Aprilio Pasaribu
140100214

Pembimbing:
dr. Lily Rahmawati, Sp.A., IBCLC

Supervisor:
dr. Hj. Sri Sofyani, M.Ked(Ped)., Sp.A(K)
dr. Lily Rahmawati, Sp.A., IBCLC
dr. Monalisa Elisabeth, M.Ked(Ped)., Sp.A
dr. Ika Citra Dewi Tanjung, M.Ked(Ped)., Sp.A

PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI DOKTER


DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN ANAK
FAKULTAS KEDOKTERAN USU / RSUP H. ADAM MALIK
MEDAN
2018
1

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur Saya panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, atas
berkat dan rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah
penyuluhan ini dengan judul “ASI Versus Susu Formula”.
Penulisan makalah penyuluhan ini adalah salah satu syarat untuk
menyelesaikan Kepaniteraan Klinik Senior Program Pendidikan Profesi Dokter di
Departemen Ilmu Kesehatan Anak, Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera
Utara.
Penulis menyadari bahwa penulisan makalah penyuluhan ini masih jauh
dari kesempurnaan, baik isi maupun susunan bahasanya. Untuk itu, penulis
mengharapkan saran dan kritik dari pembaca sebagai masukan dalam penulisan
makalah penyuluhan selanjutnya. Semoga makalah penyuluhan ini bermanfaat,
akhir kata penulis mengucapkan terima kasih.

Medan, 09 April 2018

Penulis
2

BAB I
PENDAHULUAN

1.1. LATAR BELAKANG


Susu formula adalah susu yang dibuat dari susu sapi atau susu buatan
yang diubah komposisinya menyerupai air susu ibu (ASI), namun tidak bisa sama
persis dengan ASI karena komposisi susu formula yang berasal dari susu sapi,
yang hanya cocok untuk anak sapi (Pudjiadi, 2002).
Menurut hasil Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun
2006-2007, data jumlah pemberian ASI eksklusif pada bayi di bawah usia dua
bulan hanya mencakup 67% dari total bayi yang ada. Persentase tersebut menurun
seiring dengan bertambahnya usia bayi, yaitu 54% pada bayi usia 2-3 bulan dan
19 persen pada bayi usia 7-9 dan yang lebih memprihatinkan, 13% bayi di bawah
dua bulan telah diberi susu formula dan satu dari tiga bayi usia 2-3 bulan telah
diberi makanan tambahan (Setiawirawan, 2009).
Masih banyak ibu menyusui yang beranggapan bahwa susu formula lebih
baik ketimbang air susu ibu (ASI). Jika dari kandungan gizi yang ada di
dalamnya, ASI jauh lebih baik ketimbang susu formula dan lebih aman
dikonsumsi. Kristina (2001), Wakil Ketua Ikatan Konselor Menyusui Indonesia
(IKMI) mengatakan, yang perlu diketahui oleh para ibu menyusui adalah bahwa
tidak ada satu pun susu formula yang bebas dari kuman. Menurut WHO dan Food
and Drugs Association (FDA) semua susu formula tidak steril dan berisiko
terkena bakteri termasuk sakazakii.
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Putri (2010) di Puskesmas
Sidomulyo kota Pekanbaru dengan judul “Gambaran Pengetahuan Ibu Tentang
Susu Formula Pada Bayi 0-6 Bulan” didapatkan hasil distribusi frekuensi
responden berdasarkan pengetahuan tentang kerugian susu formula sangat kurang
yakni 79% ibu tidak mengetahui kerugian dari susu formula. Teori menurut
Laurence Green menyatakan bahwa adanya hubungan antara pengetahuan dan
perilaku seseorang (Notoadmodjo, 2005). Sehingga dapat disimpulkan dengan
3

kurangnya pengetahuan tentang bahaya susu formula maka memberi peluang


besar terhadap perilaku ibu untuk memberikan susu formula.
Fenomena yang dapat ditemukan dimasyarakat menunjukkan bahwa
orang tua banyak yang memberikan susu formula pada bayi usia dibawah 6 bulan
karena dianggap memiliki nilai gizi yang tinggi. Hal tersebut sejalan dengan studi
pendahuluan yang dilakukan peneliti melalui wawancara dengan ibu yang
menyusui bayi usia 0-6 bulan yang datang berkunjung ke Puskesmas Sidomulyo,
peneliti menemukan 6 orang ibu menyusui, 3 orang dari ibu tersebut memberikan
ASI Eksklusif dan 3 orang ibu lainnya tidak memberikan ASI Eksklusif
melainkan memberikan susu formula. Menurut seorang ibu dengan bayi yang
diberikan susu formula mengatakan bahwa susu formula membuat anaknya lebih
gemuk dan sehat, sementara 2 orang ibu lainnya mengatakan bahwa susu formula
sama baiknya dengan ASI Eksklusif.
Susu formula yang diberikan pada bayi usia 0-6 bulan terus meningkat,
hal ini dapat dilihat dari masih rendahnya pemberian ASI Eksklusif. Berdasarkan
data Dinas
Kesehatan Kota Pekanbaru tahun 2012 menunjukkan bahwa pemberian
ASI Eksklusif untuk kota Pekanbaru hanya 65,24% dari 20 Puskesmas yang ada
di kota Pekanbaru (Dinkes Pekanbaru, 2012). Hal ini berdasarkan target nasional
menurut Deklarasi Millenium Development Goals (MDGs) yang menyatakan
target cakupan pemberian ASI Ekslusif 0-6 bulan adalah 80%.
Menurut Baskoro (2008), rendahnya pemberian ASI eksklusif
dikarenakan masih kurangnya pengetahuan ibu tentang pentingnya ASI, selain itu
faktor lain yang mempengaruhi yaitu, sosial budaya, jajaran kesehatan yang
belum sepenuhnya mendukung program pemberian ASI, ditambah lagi gencarnya
promosi susu formula di berbagai media massa. Akibat gencarnya promosi susu
formula ini dapat mempengaruhi ibu dalam menyusui. Fenomena menunjukkan
bahwa banyak ibu yang meyakini dengan memberikan susu formula maka
pertumbuhan bayi akan lebih cepat dan lebih pintar.
Meningkatnya perjuangan hak-hak asasi wanita dalam meniti karir untuk
bekerja diluar rumah pada titik-titik kritis dengan meninggalkan tugas utamanya
4

untuk memberikan ASI dan menggantikan dengan susu botol (formula).


Disamping itu propaganda susu formula demikian gencarnya sehingga mereka
yang merasa mampu dan terpelajar, merasa makin meningkat kedudukannya bila
dapat menggantikan ASI-nya dengan susu formula (Manuaba, 1998). Kesalahan
beranggapan bahwa minum susu merupakan suatu tren, yang kalau tidak
dilakukan, bisa-bisa dianggap ketinggalan zaman, setidaknya tertinggal dalam
menjalani pola hidup sehat (Luciana, 2008).
Alasan lain mengapa banyak ibu tidak menyusui terutama secara
eksklusif sangat bervariasi. Namun, yang paling sering dikemukakan sebagai
berikut: ASI tidak cukup, ibu bekerja dengan cuti hamil tiga bulan, takut ditinggal
suami, tidak diberi ASI tetap berhasil jadi orang, bayi akan tumbuh menjadi anak
yang tidak mandiri dan manja, susu formula lebih praktis, takut badan tetap
gemuk (Roesli, 2005).
Berdasarkan latar belakang di atas, penulis tertarik membuat makalah
penyuluhan dengan judul “ASI versus Susu Formula” untuk memberikan
informasi yang tepat kepada masyarakat mengenai manfaat ASI dibandingkan
susu formula.

1.2. MANFAAT PENULISAN


Beberapa manfaat yang diharapkan dari makalah penyuluhan ini adalah:
1. Penulis dan peserta penyuluhan memahami pentingnya ASI
dibandingkan susu formula
2. Penulis dan peserta penyuluhan mengetahui kandungan masing-masing
ASI maupun susu formula
5

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1.1. AIR SUSU IBU (ASI)


2.1.1. DEFINISI AIR SUSU IBU (ASI)
ASI adalah minuman alamiah untuk semua bayi cukup bulan selama usia
bulan-bulan pertama (Nelson, 2000). Sehingga dapat disimpulkan ASI adalah
makanan sempurna bagi bayi baru lahir, selain itu, payudara wanita memang
berfungsi untuk menghasilkan ASI (Chumbley, 2004).

2.1.2. KANDUNGAN AIR SUSU IBU (ASI)


ASI mengandung banyak nutrisi, antar lain albumin, lemak, karbohidrat,
vitamin, mineral, faktor pertumbuhan, hormon, enzim, zat kekebalan, dan sel
darah putih, dengan porsi yang tepat dan seimbang. Komposisi ASI bersifat
spesifik pada tiap ibu, berubah dan berbeda dari waktu ke waktu yang disesuaikan
dengan kebutuhan bayi saat itu (Roesli, 2005).
Kandungan yang paling penting dalam ASI adalah kolostrum. Kolostrum
merupakan cairan encer dan sering berwarna kuning atau dapat pula jernih yang
kaya zat anti-infeksi (10-17 kali lebih banyak dari susu matang) dan protein, dan
keluar pada hari pertama sampai hari ke-4/ke-7. Kolostrum membersihkan zat sisa
dari saluran pencernaan bayi dan mempersiapkannya untuk makanan yang akan
datang. Jika dibandingkan dengan susu matang, kolostrum mengandung
karbohidrat dan lemak lebih rendah, dan total energi lebih rendah. Volume
kolostrum 150-300 mL/24 jam.
Kandungan lemak ASI merupakan makanan terbaik otak bayi. Lemak
ASI mudah dicerna dan diserap bayi karena mengandung enzim lipase yang
mencerna lemak. Susu formula tidak mengandung enzim, sehingga bayi kesulitan
menyerap lemak susu formula. Lemak utama ASI adalah lemak ikatan panjang
(omega-3, omega-6, DHA, dan asam arakhidonat) suatu asam lemak esensial
untuk myelinisasi saraf yang penting untuk pertumbuhan otak. Lemak ini sedikit
6

pada susu sapi. Kolesterol ASI tinggi sehingga dapat memenuhi kebutuhan
pertumbuhan otak. Kolesterol juga berfungsi dalam pembentukan enzim
metabolisme kolesterol yang mengendalikan kadar kolesterol di kemudian hari
sehingga dapat mencegah serangan jantung dan arteriosklerosis pada usia muda.
Karbohidrat utama ASI adalah laktosa (gula) dan kandungannya lebih
banyak dibanding dengan susu mamalia lainnya atau sekitar 20-30 % lebih
banyak dari susu sapi. Salah satu produk dari laktosa adalah galaktosa yang
merupakan makanan vital bagi jaringan otak yang sedang tumbuh.
Laktosa meningkatkan penyerapan kalsium yang sangat penting untuk
pertumbuhan tulang. Laktosa juga meningkatkan pertumbuhan bakteri usus yang
baik yaitu, Lactobacillis bifidus. Fermentasi laktosa menghasilkan asam laktat
yang memberikan suasana asam dalam usus bayi sehingga menghambat
pertumbuhan bakteri patogen.
Protein utama ASI adalah whey (mudah dicerna), sedangkan protein
utama susu sapi adalah kasein (sukar dicerna). Rasio whey dan kasein dalam ASI
adalah 60:40, sedangkan dalam susu sapi rasionya 20:80. ASI tentu lebih
menguntungkan bayi, karena whey lebih mudah dicerna dibanding kasein.
ASI mengandung alfa-laktalbumin, sedangkan susu sapi mengandung
lactoglobulin dan bovine serum albumin yang sering menyebabkan alergi. Selain
itu, pemberian ASI eksklusif dapat menghindarkan bayi dari alergen karena
setelah 6 bulan usus bayi mulai matang dan bersifat lebih protektif.
ASI juga mengandung lactoferin sebagai pengangkut zat besi dan sebagai
sistem imun usus bayi dari bakteri patogen. Laktoferin membiarkan flora normal
usus untuk tumbuh dan membunuh bakteri patogen. Zat imun lain dalam ASI
adalah suatu kelompok antibiotik alami yaitu lysosyme.
Protein istimewa lainnya yang hanya terdapat di ASI adalah taurine yang
diperlukan untuk pertumbuhan otak, susunan saraf, juga penting untuk
pertumbuhan retina. Susu sapi tidak mengandung taurine sama sekali.
ASI sebagai imunisasi aktif merangsang pembentukan daya tahan tubuh
bayi. Selain itu, ASI juga berperan sebagai imunisasi pasif yaitu dengan adanya
7

SIgA (secretory immunoglobulin A) yang melindungi usus bayi pada minggu


pertama kehidupan dari alergen.
ASI mengandung vitamin, mineral dan zat besi yang lengkap dan mudah
diserap oleh bayi.

2.1.3. MANFAAT PEMBERIAN AIR SUSU IBU (ASI)


Menurut Roesli (2004) manfaat ASI bagi bayi yaitu:
1. ASI sebagai nutrisi
Dengan tatalaksana menyusui yang benar, ASI sebagai makanan tunggal akan
cukup memenuhi kebutuhan tumbuh bayi normal sampai usia 6 bulan.
2. ASI meningkatkan daya tahan tubuh
Bayi yang mendapat ASI eksklusif akan lebih sehat dan lebih jarang sakit,
karena ASI mengandung berbagai zat kekebalan.
3. ASI meningkatkan kecerdasan
ASI mengandung nutrien khusus yaitu taurin, laktosa dan asam lemak ikatan
panjang (DHA, AHA, omega-3, omega-6) yang diperlukan otak bayi agar
tumbuh optimal. Nutrien tersebut tidak ada atau sedikit sekali terdapat pada
susu sapi. Oleh karena itu, pertumbuhan otak bayi yang diberi ASI eksklusif
selama 6 bulan akan optimal.
4. Menyusui meningkatkan jalinan kasih sayang.
Perasaan terlindung dan disayangi pada saat bayi disusui menjadi dasar
perkembangan emosi bayi dan membentuk kepribadian yang percaya diri dan
dasar spiritual yang baik.

2.2. SUSU FORMULA


2.2.1. DEFINISI SUSU FORMULA


Susu formula menurut WHO (2004), yaitu susu yang diproduksi oleh
industri untuk keperluan asupan gizi yang diperlukan bayi. Susu formula
kebanyakan tersedia dalam bentuk bubuk. Perlu dipahami susu cair steril
sedangkan susu formula tidak steril. Pemberian susu formula diindikasikan untuk
8

bayi yang karena sesuatu hal tidak mendapatkan ASI atau sebagai tambahan jika
produksi ASI tidak mencukupi kebutuhan bayi. Penggunaan susu formula ini
sebaiknya meminta nasehat kepada petugas kesehatan agar penggunaannya tepat
(Nasar, dkk, 2005).
Walaupun memiliki susunan nutrisi yang baik, tetapi susu sapi sangat
baik hanya untuk anak sapi, bukan untuk bayi. Oleh karena itu, sebelum
dipergunakan untuk makanan bayi, susunan nutrisi susu formula harus diubah
hingga cocok untuk bayi. Sebab, ASI merupakan makanan bayi yang ideal
sehingga perubahan yang dilakukan pada komposisi nutrisi susu sapi harus
sedemikian rupa hingga mendekati susunan nutrisi ASI (Khasanah, 2011).

2.2.2. KANDUNGAN SUSU FORMULA


Susu formula yang dibuat dari susu sapi telah diproses dan diubah
kandungan komposisinya sebaik mungkin agar kandungannya sama dengan ASI
tetapi tidak 100% sama. Proses pembuatan susu formula, kandungan karbohidrat,
protein dan mineral dari susu sapi telah diubah kemudian ditambah vitamin serta
mineral sehingga mengikuti komposisi yang dibutuhkan sesuai untuk bayi
berdasarkan usianya (Suririnah, 2009).
Menurut Khasanah (2011) ada beberapa kandungan gizi dalam susu
formula yaitu, lemak disarankan antara 2,7-4,1 g tiap 100 ml, protein berkisar
antara 1,2-1,9 g tiap 100 ml dan karbohidrat berkisar antara 5,4-8,2 g tiap 100

ml.


Sutomo dan Anggraini (2010) menjelaskan susu formula mempunyai


beberapa kelemahan, antara lain; kurang praktis karena harus dipersiapkan
terlebih dahulu, tidak dapat bertahan lama, mahal dan tidak selalu tersedia, cara
penyajian harus tepat dapat menyebabkan alergi.
Susu formula banyak kelemahannya karena terbuat dari susu sapi
sehingga dijelaskan Khasanah (2011) antara lain; kandungan susu formula tidak
selengkap ASI, pengenceran yang salah, kontaminasi mikroorganisme,
menyebabkan alergi, bayi bisa diare dan sering muntah, menyebabkan bayi
9

terkena infeksi, obesitas atau kegemukan, pemborosan, kekurangan zat besi dan
vitamin, mengandung banyak garam.

2.2.3. DAMPAK NEGATIF PEMBERIAN SUSU FORMULA


Roesli (2008) menjelaskan berbagai dampak negatif yang terjadi pada
bayi akibat dari pemberian susu formula, antara lain:
1. Gangguan saluran pencernaan (muntah, diare)
Judarwanto (2007) menjelaskan bahwa anak yang diberi susu formula lebih
sering muntah/gumoh, kembung, “cegukan”, sering buang angin, sering rewel,
susah tidur terutama malam hari. Saluran pencernaan bayi dapat terganggu
akibat dari pengenceran susu formula yang kurang tepat, sedangkan susu yang
terlalu kental dapat membuat usus bayi susah mencerna, sehingga sebelum
susu dicerna oleh usus akan dikeluarkan kembali melalui anus yang
mengakibatkan bayi mengalami diare (Khasanah, 2011).
2. Infeksi saluran pernapasan
Gangguan saluran pencernaan yang terjadi dalam jangka panjang dapat
mengakibatkan daya tahan tubuh berkurang sehingga mudah terserang infeksi
terutama ISPA (Judarwanto, 2007). Susu sapi tidak mengandung sel darah
putih hidup dan antibiotik sebagai perlindungan tubuh dari infeksi. Proses
penyiapan susu formula yang kurang steril dapat menyebabkan bakteri mudah
masuk (Khasanah, 2011).
3. Meningkatkan risiko serangan asma
ASI dapat melindungi bayi dari penyakit langka botulism, penyakit ini merusak
fungsi saraf, menimbulkan berbagai penyakit pernapasan dan kelumpuhan otot
(Nasir, 2011). Peneliti sudah mengevaluasi efek perlindungan dari pemberian
ASI, bahwa pemberian ASI melindungi terhadap asma dan penyakit alergi lain.
Sebaliknya, pemberian susu formula dapat meningkatkan meningkatkan resiko

tersebut (Oddy, dkk, 2003) dalam (Roesli, 2008). 


4. Meningkatkan kejadian karies gigi susu


Kebiasaan bayi minum susu formula dengan botol saat menjelang tidur dapat
10

menyebabkan karies gigi (Retno, 2001). ASI mengurangi penyakit gigi


berlubang pada anak (tidak berlaku pada ASI dengan botol), karena menyusui
lewat payudara ada seperti keran, jika bayi berhenti menghisap, otomatis ASI
juga akan berhenti dan tidak seperti susu botol. Sehingga ASI tidak akan
mengumpul pada gigi dan menyebabkan karies gigi (Nasir, 2011).
5. Menurunkan perkembangan kecerdasan kognitif
Susu formula mengandung glutamate (MSG-Asam amino) yang merusak
fungsi hypothalamus pada otak-glutamate adalah salah satu zat yang dicurigai
menjadi penyebab autis (Nasir, 2011). Penelitian Smith, dkk (2003) dalam
Roesli (2008), bayi yang tidak diberi ASI mempunyai nilai lebih rendah dalam
semua fungsi intelektual, kemampuan verbal dan kemampuan visual motorik
dibandingkan dengan bayi yang diberi ASI.
6. Meningkatkan resiko kegemukan (obesitas)
Kelebihan berat badan pada bayi yang mendapatkan susu formula diperkirakan
karena kelebihan air dan komposisi lemak tubuh yang berbeda dibandingkan
bayi yang mendapatkan ASI (Khasanah, 2011). Penelitian yang dilakukan oleh
Amstrong, dkk (2002) dalam Roesli (2008) membuktikan bahwa kegemukan
jauh lebih tinggi pada anak-anak yang diberi susu formula. Kries dalam Roesli
(2008) menambahkan bahwa kejadian obesitas mencapai 4,5-40% lebih tinggi

pada anak yang tidak pernah diberikan ASI. 


7. Meningkatkan resiko penyakit jantung dan pembuluh darah


ASI membantu tubuh bayi untuk mendapat kolesterol baik, artinya melindungi
bayi dari penyakit jantung pada saat sudah dewasa. ASI mengandung
kolesterol tinggi (fatty acid) yang bermanfaat untuk bayi dalam membangun
jaringan- jaringan saraf dan otak. Susu yang berasal dari sapi tidak
mengandung kolesterol ini (Nasir, 2011). Hasil penelitian Singhal, dkk (2001)
dalam Roesli, 2008; menyimpulkan bahwa pemberian ASI pada anak yang
lahir prematur dapat menurunkan darah pada tahun berikutnya.
8. Meningkatkan resiko infeksi yang berasal dari susu formula yang tercemar
Pembuatan susu formula di rumah tidak menjamin bebas dari kontaminasi
11

mikroorganisme patogen. Penelitian menunjukkan bahwa banyak susu formula


yang terkontaminasi oleh mikroorganisme patogen (Sidi et al., 2004). Kasus
wabah Enterobacteri zakazakii di Amerika Serikat, dilaporkan kematian bayi
berusia 20 hari yang mengalami demam, takikardia, menurunnya aliran darah
dan kejang pada usia 11 hari (Weir (2002) dalam Roesli, 2008).
9. Meningkatkan risiko kurang gizi
Pemberian susu formula yang encer untuk menghemat pengeluaran dapat
mengakibatkan kekurangan gizi karena asupan kurang pada bayi secara tidak
langsung. Kurang gizi juga akan terjadi jika anak sering sakit, terutama diare
dan radang pernafasan (Roesli, 2008).

10. Meningkatkan resiko kematian


Chen dkk (2004) dalam Roesli (2008), bayi yang tidak pernah diberi ASI
berisiko meninggal 25% lebih tinggi dalam periode sesudah kelahiran daripada
bayi yang mendapat ASI. Pemberian ASI yang lebih lama akan menurunkan
resiko kematian bayi. Praptiani (2012), menyusui adalah tindakan terbaik
karena memberikan susu melalui botol dapat meningkatkan resiko kesehatan
yang berhubungan dengan pemberian susu formula diantaranya yaitu;
Peningkatan infeksi lambung, infeksi otitis media, infeksi perkemihan, resiko
penyakit atopik pada keluarga yang mengalami riwayat penyakit ini, resiko
kematian bayi secara mendadak, dan risiko diabetes melitus bergantung
insulin.
12

BAB III
KESIMPULAN

Pemberian ASI jauh lebih baik dibandingkan pemberian susu formula


pada anak. Hal tersebut dikarenakan kandungan nutrisi dalam ASI sangat banyak.
Disamping itu susu formula memiliki beberapa kelemahan, seperti; kurang praktis
karena harus dipersiapkan terlebih dahulu, tidak dapat bertahan lama, mahal dan
tidak selalu tersedia, cara penyajian harus tepat dapat menyebabkan alergi
sehingga susu formula memiliki beberapa dampak negatif bagi perkembangan
fisiologis anak nantinya.
13

DAFTAR PUSTAKA

Baskoro, A. (2008). ASI panduan praktis ibu menyusui. Yogyakarta:


Banyumedia.

Dinas Kesehatan Kota Pekanbaru. (2012). Laporan cakupan pemberian ASI


Eksklusif.

Khasanah, Nur. (2011). ASI atau susu formula ya? Yogyakarta: Flash Book.

Luciana, B. (2008). Minum susu bukan kewajiban (diperoleh tanggal 09 April


2018 dari http://www.depkes.go.id).

Manuaba, I. B. G. (1998). Ilmu kebidanan penyakit kandungan dan keluarga


berencana untuk pendidikan bidan. Jakarta: EGC.

Nasar, dkk. (2005). Makanan bayi dan ibu menyusui. Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama.

Notoatmodjo, S. (2005). Promosi kesehatan, teori dan aplikasinya. Jakarta: Rineka


Cipta.

Pudjiaji. (2002). Psikologi pendidikan. Jakarta: Rineka Cipta.

Putri, R. S. (2010). Gambaran pengetahuan ibu tentang susu formula pada bayi 0-
6 bulan di Puskesmas Sidomulyo. Tidak dipublikasikan: Karya Tulis Ilmiah
Program D III Kebidanan Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Payung Negeri.
Diperoleh tanggal 8 Juni 2015.

Roesli, U. (2005). Mengenal ASI Eksklusif. Jakarta: Trumbus Agriwidya.

Roesli. (2008). Inisiasi menyusu dini. Jakarta: Pustaka Bunda.

Setiawirawan, Y. F. (2010). Pemodelan lama pemberian ASI Eksklusif pada


rumah tangga miskin dengan metode regresi pohon di Sulawesi Tengah. Tidak
dipublikasikan: Program Sarjana Jurusan Statistika ITS Surabaya.

Suririnah. (2009). Buku pintar kehamilan dan persalinan. Jakarta: PT. Gramedia
Pustaka Utama.

Anda mungkin juga menyukai