Anda di halaman 1dari 26

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

ASI mengandung gizi tinggi yang sangat bermanfaat untuk kesehatan bayi.
Beberapa penelitian epidemiologis menyatakan bahwa ASI melindungi bayi dan anak
dari penyakit infeksi, misalnya diare, otitis media, dan infeksi saluran pernafasan akut
bagian bawah. Seorang ibu harus menyusui anaknya dari lahir hingga berusia 2 tahun.
Usia bayi 0-6 bulan seorang ibu harus memberikan ASI secara penuh tanpa nutrisi yang
lain seperti susu formula, bubur, dan lain-lain. Jadi, yang diberikan pada bayi umur 0-6
bulan adalah ASI eksklusif. Hal tersebut diperkuat oleh Sari dan Rimandini (2014)
bahwa pemberian kolostrum melalui ASI yang terus menerus, paling tidak selama 4
bulan (idealnya 4-6 bulan) merupakan perlindungan terbaik yang diberikan kepada bayi
terhadap penyakit. Dalam hal ini, Kenyataannya bahwa banyak bayi di Indonesia yang
tidak mendapatkan ASI eksklusif sangatlah memprihatinkan.

Untuk mencapai keberhasilan program ASI eksklusif, WHO dan United Nation
Childerns Fund (UNICEF) merekomendasikan metode tiga langkah. Langkah yang
pertama adalah menyusui sesegera mungkin setelah bayi dilahirkan. Kedua, tidak
memberikan makanan tambahan apapun pada bayinya, sampai dengan umur 6 bulan dan
langkah ketiga adalah menyusui sesering mungkin dan sebanyak yang diinginkan bayi.
Dengan tiga langkah metode diharapkan tujuan menyusui secara eksklusif dapat
tercapai. Di luar manfaat langsung itu, ASI juga memberikan kontribusi positif bagi
kesehatan jangka panjang bagi si anak. Remaja dan orang dewasa yang diberi ASI
semasa masih bayi kemungkinan obesitas dan mengidap diabetes tipe-II lebih rendah
dibanding yang tidak diberikan ASI. Manfaat lainnya, anak dengan ASI maksimal akan
lebih baik dalam tingkat kecerdasan mereka.

Soal kecerdasan ini, para peneliti dari JAMA Pediatrics pada 2013 lalu juga berani
menyebut ASI berdampak baik terhadap kemampuan bahasa dan intelligence quotient
(IQ) anak. Menurut hasil penelitian mereka, pemberian ASI pada bayi pada tahun
pertama kehidupan diperkirakan akan meningkatkan kemampuan pemahaman bahasa
sebanyak 2,5 poin dan IQ sampai empat poin.

The World Allience for Breastfeeding Action (WABA) memperkirakan 1 juta bayi
dapat diselamatkan setiap tahunnya bila diberikan ASI pada 1 jam pertama kelahiran,
kemudian dilanjutkan ASI Eksklusif sampai dengan 6 bulan, karena ASI selain
mengandung gizi yang cukup, lengkap, juga mengandung imun untuk kekebalan tubuh
bayi. WHO (2016) menyatakan hanya 38 % ibu menyusui di dunia yang memberikan ASI
secara Eksklusif (Kemenkes, 2017).
Persolannya, tidak semua ibu dapat menyusui dengan maksimal sampai usia anak-
anak mereka dua tahun. Ada yang terkendala fisik, penyakit, malas menyusui atau bahkan
karena “kesibukan bekerja”. Dari alasan inilah titik persoalan berawal. Meningkatnya
tenaga kerja perempuan menjadi salah satu kendala dalam mensukseskan program ASI
eksklusif. Tren jumlah angkatan kerja perempuan dari tahun 2012 sampai dengan 2014
menunjukkan adanya peningkatan. Berdasarkan data Kementerian Tenaga Kerja dan
Transmigrasi pada 2014 jumlah angkatan kerja perempuan yang terdiri dari golongan
umur 15 tahun, sementara itu sebesar 66 persen angkatan kerja adalah perempuan. Salah
satu stres yang dialami ibu bekerja itu sendiri, menjadi hambatan dalam memberikan ASI
eksklusif bagi anaknya (Rejeki,2008 dalam vicke 2012). Sebagai contoh tidak adanya
ruangan untuk memerah ASI membuat ibu menyusui harus rela memerah ASI-nya di
tempat yang kurang nyaman. Hal lainnya adanya gangguan-gangguan selama memerah
seperti rekan kerja yang penasaran dan rekan kerja pria yang ingin mengintip membuat
ibu merasa malu dan risih. Tidak adanya dukungan dari teman sesama ibu yang memiliki
anak seusia anaknya juga menambah rasa tertekan ibu yang sedang berjuang dalam
pemberian ASI. Hal lainnya adalah tidak adanya dukungan dari manajemen tempatnya
bekerja yang berpendapat pekerjaan lebih penting daripada memberikan ASI yang bagi
mereka dapat diganti dengan susu formula. Ada pula masalah dari lingkungan interen
keluarga seperti tanggapan negatif dari mertua yang masih beranggapan bahwa ASI
adalah darah dan jika diperah akan basi juga membuat ibu pejuang asi merasa mendapat
tekanan lagi. Ibu yang tetap memberikan ASI karena sadar betul akan kebaikan ASI yang
tidak tergantikan oleh nutrisi apapun. Selain itu, terdapat keinginan untuk memiliki ikatan
dan kelekatan dengan anaknya yang mereka yakini bisa terbentuk melalui proses
menyusui. Mereka juga meyakini bahwa memberikan ASI merupakan hak anak mereka
yang harus mereka penuhi. Berdasarkan peraturan pemerintah nomor 33 tahun 2012.
Tentang pemberian ASI eksklusif. Hak ibu menyusui dan anak untuk mendapatkan ASI
eksklusif sebetulnya dilindungi oleh negara meskipun dalam pelaksanaannya, peraturan
tersebut belum didukung oleh petunjuk pelaksanaan yang jelas serta sanksi yang tegas
bagi siapa saja yang melanggarnya, sehingga banyak tempat bekerja tidak membuat
regulasi khusus yang mendukung praktek pemberian ASI eksklusif. Hal ini menyebabkan
semakin lemahnya perlindungan bagi ibu menyusui ekskusif yang bekerja.
Stres dapat menghambat refleks hormon oksitosin. Hormon oksitosin berperan pada
refleks pengeluaran ASI (let down reflex). Pelepasan oksitosin dihambat oleh
katekolamin yang diproduksi jika ibu stres. Jika hormon oksitosin terhambat maka ASI
yang keluar pun ikut terhambat. Kondisi seperti ini jika terus berlangsung, dapat
menghambat pengosongan payudara, sehingga lama kelamaan produksi ASI pun akan
berkurang dan semakin lama, bisa menghentikan ASI. Hambatan dalam praktek
pemberian ASI dapat disebabkan oleh stres menyusui yang terjadi akibat tekanan dan
tidak adanya dukungan dari lingkungan kerjanya untuk tetap memberikan ASI bagi
bayinya pada ibu bekerja membuat peneliti tertarik untuk melihat keberhasilan ibu yang
bekerja di PT Dwi Lestari Nusantara, Cawang Otista tahun 2018 dalam memberikan ASI
kepada anaknya. Melalui penelitian ini, diharapkan dapat terlihat bagaimana ibu yang
bekerja dapat menenangkan dirinya dan dapat tetap memberikan ASI pada anaknya tanpa
masalah kekurangan produksi ASI. Penelitian berdasarkan keberhasilan ibu bekerja
mengatasi stress menyusui yang terjadi akibat stres harus menyusui sambil tetap bekerja
di kantor dengan minimnya dukungan dari lingkungan perusahaan ataupun lingkungan
keluarga, dapat menjadi pembuktian ilmiah bagi banyak ibu bekerja lainnya terutama
pada mereka yang bekerja di luar rumah dan bukan usaha milik sendiri bahwa masalah
stres menyusui pada ibu bekerja masih dapat diatasi dengan cara yang tepat, sehingga
tidak ibu bekerja tetap dapat memberikan ASI eksklusif bagi anaknya. Pada ibu yang
bekerja di luar rumah dan bukan bisnis milik sendiri, tentunya terikat dengan sistem yang
ada pada tempat mereka bekerja dan hal tersebut dapat menjadi tantangan tersendiri
dalam memberikan ASI eksklusif. Penulis memilih Ibu bekerja dari kalangan menengah
ke atas, agar dapat memastikan bahwa ibu memberi ASI karena kesadaran akan manfaat
ASI bukan karena faktor lain seperti ketidaksanggupan membeli susu formula. Selain itu
coping stress pada ibu bekerja ini dapat juga menjadi masukan bagi para ibu bekerja
lainnya dalam praktek pemberian ASI dan dasar dukungan terhadap perlindungan bagi
ibu bekerja yang menyusui agar dibuatkan regulasi khusus, serta fasilitas pendukung
menyusui di tempatnya bekerja.

B. Tujuan
Diketahuinya coping stress ibu bekerja dengan pemberian ASI pada ibu menyusui
di PT Dwi Lestari Nusantara Cawang Otista Tahun 2018

C. Rumusan Masalah
Bagaimana coping stress ibu bekerja dengan pemberian ASI pada ibu menyususi
di PT Dwi Lestari Nusantara Cawang Otista Tahun 2018 ?

D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoritis
Penelitian ini diharapkan memberikan informasi dan pengetahuan di bidang
psikososial, terutama psikososial klinis dan kesehatan karena akan diketahui coping stres
ibu bekerja dengan pemberian ASI pada ibu menyusui di PT Dwi Lestari Nusantara
Cawang Otista Tahun 2018.
2. Manfaat Praktis
a. Bagi Konselor ASI dan Petugas Kesehatan
Penelitian ini dapat digunakan sebagai masukan bagi petugas kesehatan dan
konselor ASI dalam upaya membantu ibu yang menyusui atau akan menyusui
eksklusif dalam mengatasi stres-nya.
b. Bagi Ibu Menyusui
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi ilmiah mengenai
strategi coping stress yang baik bagi ibu bekerja yang akan menyusui eksklusif,
sehingga prevalensi pemberian ASI eksklusif di Indonesia dapat meningkat.
c. Bagi Pemerintah dan Perusahaan
Penelitian ini diharapkan dapat menjadi acuan dalam memperjuangkan regulasi
yang jelas, serta fasilitas pendukung menyusui yang memadai di tempat bekerja.
BAB II
TINJAUAN TEORI
A. Coping Stress
1. Stress
Hans Seyle mengungkapkan bahwa stres adalah suatu bentuk respon tubuh yang
tidak spesifik terhadap segala tuntutan yang dialami dan diterima seseorang (Landy dan
Conte, 2004). Pengertian stres yang dikemukakan oleh Hans Seyle (dalam Landy dan
Conte, 2004) digolongkan dalam pengertian stres sebagai respon. Dalam pendekatan ini,
seseorang dapat mengalami stres atau tidak dipengaruhi oleh bagaimana ia bereaksi
terhadap stimulus (Cooper, 2001). Suatu keadaan dapat direspon secara berbeda oleh
individu, sehingga dalam pengertian ini, perbedaan dan keunikan individu mulai
diperhatikan sebagai salah satu faktor yang memperngaruhi terjadinya stres pada
seseorang (Ogden, 2007).
Lazarus (dalam Ogden, 2007) mengungkapkan stres tidak dapat hanya dipandang
sebagai stimulus atau respon saja. Stres adalah pola transaksi manusia dengan
lingkungan yang terjadi terus menerus.
Sumber atau penyebab terjadinya stress dinamakan stressor. Individu merasa stres
tergantung bagaimana ia menginterpretasi suatu situasi yang dihadapinya (Lazarus
dalam Nairne, 2003). Stres merupakan hal yang bersifat subjektif atau tergantung pada
cara individu memahami dan memandangnya serta sumber daya yang dimiliki individu.
Berdasarkan hal tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa stres adalah terganggunya
keseimbangan antara kondisi biologis, psikologis serta sosial akibat suatu kejadian
tertentu yang menyebabkan reaksi yang tidak menyenangkan dalam diri individu.

2. Aspek Fisiologis dari Stres


Seyle (dalam Wade & Tavris, 2009) menggambarkan respon tubuh terhadap
segala jenis stresor eksternal sebagai general adaptation syndrome, tahapan rangkaian
tersebut adalah sebagai berikut:
a. Fase alarm (the alarm phase)
Fase saat tubuh menggerakkan sistem saraf simpatetik untuk menghadapi
ancaman langsung. Walter Cannon (1929, dalam Wade & Tavris, 2009)
menggambarkan perubahan-perubahan ini sebagai respon “flight or flight”
(melawan atau melarikan diri).
b. Fase penolakan (the resistance phase)
Saat tubuh berusaha menolak atau mengatasi stresor yang tidak dapat
dihindari. Pada fase ini, respon fisiologis yang terjadi pada fase alarm terus
berlangsung, sehingga tubuh rentan terhadap stresor-stresor lain.
c. Fase kelelahan (the exhaustion phase)
Saat stres yang berkelanjutan menguras energi tubuh, meningkatkan
kerentanan terhadap masalah fisik dan akhirnya dapat memunculkan penyakit.

3. Pengertian Coping Stres


Coping stres menurut Lazarus dan Launier tahun 1978 adalah proses
pengelolaan stressor yang dinilai melelahkan atau melebihi sumber daya seseorang
sebagai upaya untuk mengelola tuntutan lingkungan dan internal (Lazarus & Launier,
1978 dalam Ogden, 2007). Dalam konteks terhadap stress, coping menggambarkan
cara individu berinteraksi dengan stressor. Folkman, dkk (dalam Lyons &
Chamberlain, 2006) mendefinisikan coping stres sebagai upaya yang melibatkan
kognitif dan perilaku seseorang untuk mengelola tuntutan internal dan eksternal dari
situasi yang melelahkan atau melebihi sumber daya orang tersebut.
Stres bisa diikuti dengan ketegangan fisik maupun psikologis. Ketegangan ini
menyebabkan perasaan tidak nyaman. Situasi seperti ini menyebabkan individu
melakukan sesuatu untuk meredakan stres-nya. Tindakan yang dilakukannya ini
disebut dengan coping (Sarafino, 2006).

4. Tipe Strategi Coping


Lazarus dan Folkman (dalam Lyons & Chamberlain, 2006) membagi dua cara
strategi coping, yaitu coping yang berfokus pada masalah (problem focused coping)
dan coping yang berfokus pada emosi emotional focused coping). Pada coping yang
berfokus pada masalah seseorang biasanya berusaha untuk menekan atau mengurangi
kondisi yang menyebabkan terjadinya masalah dan meningkatkan sumber dayanya
untuk menyelesaikan permasalahan. Pada coping yang berfokus pada emosi,
seseorang biasanya menghindari suatu hal yang menyebabkan masalah dalam dirinya,
sehingga ia tidak menyelesaikan masalah melainkan hanya menghindari masalah.
Carver, Weintraub & Scheier (1989) mengklasifikasikan strategi coping
tersebut menjadi seperti di bawah ini:
a. Coping yang Berfokus pada Masalah (Problem Focused Coping) :
1) Active coping : Pengambilan langkah aktif untuk menghilangkan tekanan,
menghindari tekanan dan memperbaiki dampaknya.
2) Planning : Membuat rencana bagaimana mengatasi tekanan, memikirkan
tindakan.
3) Suppression of competing : Berkonsentrasi penuh pada usaha yang lebih
mendekati pemecahan masalah, mengesampingkan hal-hal yang dianggap tidak
perlu.
4) Restraint coping : Menahan diri dalam melakukan respon (tindakan) sampai ada
waktu yang dirasa tepat.
5) Seeking social support for instrumental action : Upaya mencari dukungan sosial
(dari orang lain), berupa bimbingan, nasehat, dan informasi.
b. Coping yang Berfokus pada Emosi (Emotional Focused Coping).
1. Positive reinterpretation and growth : Memandang ulang masalah secara positif
dan mencari manfaat positif dari masalah yang dihadapi.
2. Acceptance : Menerima stressor, dalam arti mengakomodasinya, karena
mungkin keadaan permasalahan tersebut sulit diubah.
3. Denial : Menyangkal realita agar tidak terlalu menyakiti perasaan (menjaga agar
emosi stabil).
4. Behavioral disengagement : Agak menyerah (dalam hal tindakan) dalam
melakukan suatu usaha mengatasi permasalahan.
5. Mental disengagement : Agak menyerah (secara mental), bahkan menggunakan
aktivitas alternatif untuk melupakan masalah.
6. Turning to religion : Kembali pada ajaran agama untuk mendapatkan kekuatan
dan pikiran positif.
7. Focus on and venting emotion : Memfokuskan pada segala sesuatu yang
menyedihkan dan mengekspresikan perasaan tersebut.
8. Seeking social support for emotional reason : Mencari dukungan sosial, untuk
membantu emosi kita, misalnya mencari rasa simpati, pengertian, dan dukungan
moral.

Wade & Tavris (2009) memberikan beberapa cara-cara sukses mengatasi


stres yang dibagi kedalam beberapa kategori sebagai berikut,
a. Strategi fisik.
Cara yang paling sederhana dalam mengatasi tekanan fisiologis dari stress
adalah dengan menenangkan diri dan mengurangi rangsangan fisik tubuh melalui
meditasi atau relaksasi. Cara efektif lain adalah dengan pemijatan sehingga tubuh
dapat menjadi lebih tenang. Hendrix, dkk (1991, dalam Wade & Tavris, 2009)
mengatakan bahwa olahraga juga dapat mengurangi stres. Semakin sering orang
berolahraga, maka kecemasan, depresi, dan sensitivitas mereka berkurang.
b. Strategi yang berorientasi terhadap masalah.
Pada strategi yang berorientasi terhadap masalah, terdapat emotion-focused
coping yang berfokus pada emosi yang muncul akibat dari masalah yang dihadapi
baik marah, cemas, atau duka cita. Pada coping yang berfokus pada emosi
seseorang tidak memfokuskan diri untuk menyelesaikan masalah, namun hanya
melampiaskan emosi yang disebabkan oleh masalah. Selain itu ada problem-
focused coping. Pada strategi coping yang berfokus pada masalah, seseorang
berusaha untuk tahu cara mengatasi permasalahannya dan melakukan suatu hal
untuk mengatasi masalahnya tersebut.
c. Strategi kognitif.
Saat kita tidak dapat menyelesaikan suatu masalah, kita dapat mengubah
cara pikir mengenai masalah tersebut.
1) Menilai atau meninjau kembali situasinya (reappraisal). Masalah dapat diubah
menjadi tantangan dan kehilangan dapat diubah menjadi keuntungan yang tidak
terduga.
2) Belajar dari pengalaman.
3) Membuat perbandingan sosial. Pada situasi sulit, orang yang sukses
bertahan seringkali membandingkan kondisi mereka dengan orang
lain yang mereka rasa kurang beruntung dibandingkan mereka.
d. Strategi sosial.
Dukungan sosial juga dapat menjadi strategi coping stres bagi diri kita.
Dukungan sosial dapat kita dapatkan dengan mengandalkan teman dan keluarga,
menemukan kelompok dukungan, dan membantu orang lain. Dukungan sosial
meningkatkan kesehatan sebagian karena kita memililki locus of control internal
dan perasaan optimisme.

B. ASI EKSKLUSIF
1. Pengertian Menyusui Eksklusif
Pemberian ASI eksklusif adalah memberikan hanya ASI tanpa makanan dan
minuman lain kepada bayi sejak lahir sampai berusia 6 bulan kecuali obat dan
vitamin (Roesli, 2000). Bayi dianjurkan diberi ASI eksklusif selama 6 bulan pertama
kehidupannya. Kemudian, setelah 6 bulan, dilanjutkan dengan didampingi makanan
pendamping ASI selama dua tahun. Makanan padat, dapat diperkenalkan pada bayi
pada usia 6 bulan untuk melengkapi nutrisi ASI (Hegar, 2010).
Badan kesehatan dunia (WHO) (dalam Trihono, Suradi, Oswari, dan Hendarto,
2011) menganjurkan ASI eksklusif sejak bayi lahir sampai usia 6 bulan dan untuk
selanjutnya, bayi tetap diberi ASI beserta makanan pendamping ASI hingga usia 2
tahun atau lebih.

2. Manfaat Pemberian ASI Eksklusif


Bagi ibu dan bayi, ASI Eksklusif menyebabkan mudahnya terjalin ikatan kasih
sayang yang mesra antara ibu dan bayi baru lahir. Hal ini merupakan keuntungan
awal dari menyusui secara ekslusif. Bagi bayi tidak ada perbedaan yang lebih
berharga dari ASI. Hanya seorang ibu yang dapat memberikan makanan terbaik bagi
bayinya. Selain dapat meningkatkan kesehatan dan kepandaian secara optimal, ASI
juga membuat anak potensial memiliki perkembangan sosial yang baik. Tidak
diragukan lagi bahwa bayi yang diberikan ASI, terutama ASI eksklusif memiliki
banyak manfaat bagi bayi, ibu, dan negara. Manfaat utama yang diperoleh dari ASI,
yaitu ia bisa mendapatkan nutrisi terlengkap dan terbaik baginya. Selain itu, ASI
juga dapat melindungi bayi dari berbagai penyakit dan elergi, serta meringankan
kerja pencernaannya, dan lain sebagainya (Khasanah, 2011 dalam winda 2018).

3. Gambaran Pemberian ASI di Indonesia.


Berdasarkan peraturan pemerintah nomor 33 tahun 2012. Tentang pemberian
ASI eksklusif. Hak ibu menyusui dan anak untuk mendapatkan ASI eksklusif
sebetulnya dilindungi oleh negara meskipun dalam pelaksanaannya, peraturan
tersebut belum tersosialisasikan dengan baik dan tidak didukung dengan sanksi yang
kuat bagi siapa saja yang melanggarnya. Berikut adalah uraian peraturan pemerintah
dalam tentang permberian ASI eksklusif.
a. Inisiasi Menyusui Dini
Dalam Pasal 9, pada ayat 1 dikatakan bahwa tenaga kesehatan dan
penyelenggara fasilitas pelayanan wajib melakukan inisiasi menyusui dini. Pada
bayi yang baru lahir selama 1 jam. Pada ayat 2 juga dijelaskan bagaimana cara
melakukan inisiasi dini sesuai standarat yang benar.
b. Rawat Gabung
Pada pasal 10, ayat 1 dan 2 dikatakan bahwa penyelenggara fasilitas kesehatan
wajib menempatkan ibu dan bayi dalam satu ruangan kecuali ada indikasi dokter
untuk memudahkan ibu dalam memberikan ASI eksklusif.
c. ASI Eksklusif 6 Bulan
Pada pasal 2 dijelaskan bahwa pengaturan pemberian ASI eksklusif bertujuan
untuk menjamin hak bayi untuk mendapatkan ASI eksklusif selama 6 bulan. Serta
memberikan perlindungan kepada ibu dalam memberikan ASI eksklusif kepada
bayinya. Pada pasal 6 dikatakan bahwa setiap ibu harus memberikan ASI
eksklusif kepada bayi yang baru dilahirkannya.
Sebenarnya, ibu bekerja yang menyusui juga dilindungi hak menyusuinya
oleh pemerintah. Hal ini dapat dilihat melalui peraturan perundangan sebagai
berikut:
a. Pada pasal 30, ayat 1 dikatakan bahwa pengurus tempat kerja dan penyelengara
tempat umum harus mendukung program pemberian ASI eksklusif. Pada ayat 3
dikatakan bahwa pengurus tempat kerja dan penyelenggara sarana umum harus
menyediakan fasilitas khusus untuk menyusui/ memerah ASI.
b. Pada pasal 34, dikatakan bahwa pengurus tempat kerja wajib memberikan
kesempatan pada ibu bekerja untuk memberikan ASI eksklusif kepada bayi,
atau memerah ASI selama waktu kerja di tempat kerja.
c. Pada pasal 35, juga pemerintah mengharuskan pengurus tempat kerja untuk
membuat peraturan internal yang mendukung keberhasilan program ASI
eksklusif.
Meskipun peraturan pemerintah tersebut sudah dirumuskan. Namun,
petunjuk pelaksanaannya belum diterbitkan, sehingga peraturan ini belum mampu
ditegakkan secara tegas. Selain itu peraturan pemerintah ini juga belum
disosialisasikan dengan baik, pelaksanaannya pun belum sepenuhnya didukung
dengan peraturan pemerintah daerah, sehingga sanksi atas segala bentuk
pelanggaran ataupun penghalangan dalam praktek pemberian ASI eksklusif bisa
dikatakan kurang tegas, sebagian rumah sakit di beberapa kota besar di Indonesia
telah memberlakukan praktek rumah sakit sayang ibu dan bayi. Tercatat, ada 26
rumah sakit terbaik dari 26 provinsi yang telah memenuhi 10 kriteria sebagaimana
tercantum dalam Keputusan Menteri Kesehatan nomor 273/1997 tentang Air Susu
Ibu (ASI) Eksklusif. Di antaranya adalah tidak memasang iklan susu formula serta
mendukung upaya ibu untuk memberikan ASI.

4. Gambaran Pemberian ASI di Luar Negeri


Berbeda dengan di Indonesia, sebagian Negara di luar Negeri seperti Kanada
memberikan perlindungan yang lebih ketat pada hak ibu menyusui dan anak untuk
mendapatkan ASI eksklusif, bahkan tempat kerjanya pun memberlakukan cuti bagi
ibu menyusui hingga 54 minggu dan para ibu menyusui tersebut tetap mendapatkan
gajinya selama cuti menyusui sebagai hak atas karyawan (Association of Registered
Nurses of Newfoundland and Labrador et al, 2006).
Provinsi-provinsi di Kanada saling bekerja sama dengan pemerintah dan
sektor-sektor lain seperti swasta, pendidikan, dan organisasi sukarela untuk
membantu melindungi hak ibu menyusui dan bayi mendapatkan ASI eksklusif. Di
Kanada provinsi Newfoundland dan Labrador contohnya saling bekerja sama
memajukan program menyusui di wilayahnya. Kedua provinsi ini menetapkan
kebijakan untuk melindungi, mempromosikan, dan mendukung menyusui bagi
kemajuan kesehatan Kanada. Kedua provinsi ini sungguh-sungguh mendedikasikan
sumber daya keuangan untuk pengembangan dan implementasi dari program ini.
Mereka membatasi iklan produk susu formula. Mereka sungguh-sungguh memantau
inisiasi-inisiasi terkait dan memastikan bahwa praktek pemberian ASI eksklusif
berjalan dengan baik dan membatasi pemberian susu formula (Association of
Registered Nurses of Newfoundland and Labrador et al, 2006).

5. Faktor yang Mempengaruhi Pemberian ASI.


Banyak hal yang menyebabkan ASI Eksklusif tidak diberikan khususnya bagi
ibu-ibu di Indonesia, hal ini bisa dipengaruhi oleh (Siregar, 2004):
a. Hubungan kerabat yang luas di daerah pedesaan menjadi renggang setelah
adanya perubahan struktur masyarakat dan keluarga-keluarga pindah ke kota.
b. Kemudahan-kemudahan yang didapat sebagai hasil kemajuan teknologi,
mendorong ibu untuk mengganti ASI dengan makanan olahan lain.
c. Iklan yang menyesatkan dari produksi makanan bayi menyebabkan ibu
beranggapan bahwa makanan-makanan itu lebih baik daripada ASI.
d. Para ibu sering keluar rumah baik karena bekerja maupun karena tugas-tugas
sosial, maka susu formula adalah satu-satunya jalan keluar dalam pemberian
makanan bagi bayi yang ditinggalkan dirumah.
e. Adanya anggapan bahwa memberikan susu botol kepada anak sebagai salah
satu simbol bagi kehidupan tingkat sosial yang lebih tinggi, terdidik dan
mengikuti perkembangan zaman.
f. Ibu takut bentuk payudara rusak apabila menyusui dan kecantikannya akan
hilang.
g. Belum semua petugas paramedis diberi pesan dan diberi cukup informasi agar
menganjurkan setiap ibu untuk menyusui bayi mereka, serta praktek yang
keliru dengan memberikan susu formula botol kepada bayi yang baru lahir.
h. Sering juga ibu tidak menyusui bayinya karena terpaksa, baik karena faktor
intern dari ibu seperti terjadinya bendungan ASI yang mengakibatkan ibu
merasa sakit sewaktu bayinya menyusu, luka-luka pada puting susu yang sering
menyebabkan rasa nyeri, kelainan pada puting susu dan adanya penyakit
tertentu. Disamping itu juga karena faktor dari pihak bayi seperti bayi lahir
sebelum waktunya (prematur) atau bayi lahir dengan berat badan yang sangat
rendah, serta bayi yang dalam keadaan sakit.
i. Kurangnya pengertian dan pengertahuan ibu tentang manfaat ASI dan
menyusui menyebabkan ibu – ibu mudah terpengaruh dan beralih kepada susu
formula.

C. STRES DAN TUBUH


1. Mekanisme Tubuh Saat Stres
Para peneliti modern mempelajari bagaimana mekanisme tubuh pada saat
stres. Pada saat seseorang dalam kondisi stres, hipotalamus dalam otak
mengirimkan pesan ke kelenjar endokrin dalam dua jalur besar. Seperti yang telah
diamati oleh Seyle (dalam Wade & Tavris, 2009) di jalur pertama, hipotalamus
mengaktifkan bagian simpatetik dari sistem saraf otonom yang menstimulasi
adrenal medulla untuk memproduksi epinephrine dan norepinephrine. Hasilnya
adalah banyak perubahan tubuh yang berhubungan dengan “lawan atau lari”, di
jalur yang lain, pesan berjalan menuju ke aksis HPA (hypothalamus pituitary
adrenal cortex) yang kemudian akan mengeluarkan kortisol dan hormon lain yang
meningkatkan gula darah dan melindungi jaringan tubuh dari peradangan.

2. Hubungan Stres dengan Terganggunya Praktek Pemberian ASI.


Pada payudara, terutama pada puting susu terdapat banyak ujung saraf
sensoris. Perangsangan pada payudara akibat hisapan bayi saat menyusu akan
menimbulkan impuls yang menuju hipotalamus, salah satu organ dalam otak kita.
Impuls dari hipotalamus selanjutnya akan diteruskan ke hipofisis bagian depan
yang mengeluarkan hormon prolaktin dan ke hipofisis bagian belakang yang
berfungsi mengeluarkan hormon oksitosin. Hormon prolaktin dialirkan oleh darah
ke kelenjar payudara, maka terjadilah refleks pembentukan ASI (Roesli, 2009).
Stres dapat menghambat refleks hormon oksitosin. Hormon oksitosin
berperan pada refleks pengeluaran ASI (let down reflex). Pelepasan oksitosin
dihambat oleh katekolamin yang diproduksi jika ibu stres. Jika hormon oksitosin
terhambat maka ASI yang keluar pun ikut terhambat. Kondisi seperti ini jika terus
berlangsung, dapat menghambat pengosongan payudara, sehingga lama kelamaan
produksi ASI pun akan berkurang dan semakin lama, bisa menghentikan ASI.
Pengosongan payudara merupakan perangsangan diproduksinya ASI kembali.
Maka, jika ASI semakin sering dikeluarkan atau payudara semakin sering
dikosongkan, ASI akan terus diproduksi dan begitu pula sebaliknya (Lawrence,
2005). Menurut Lazarus, dkk (dalam Ogden, 2007) tujuan dari coping adalah
meminimalisir stresor yang dirasakan oleh individu. Oleh karena itu, memahami
coping stres menjadi penting agar seseorang belajar dari pengalaman untuk
mengatasi kesulitannya ataupun sekedar membantu mereka bertahan dalam
kesulitan (Wade & Tavris, 2009). Coping stres yang tepat, dapat membantu ibu
untuk tetap dapat memberikan ASI dengan lancar dan baik kepada bayinya.

BAB III
METODE PENELITIAN
A. Desain dan Waktu Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian jenis kualitatif deskriptif. Penelitian dilakukan
kepada Ibu menyusui dengan ciri yang lebih spesifik adalah ibu yang bekerja di luar
rumah dan bukan bisnis milik sendiri, karena jika mereka bekerja di luar rumah dan
bukan bisnis milik sendiri tentunya mereka terikat dengan sistem yang ada pada tempat
mereka bekerja dan ada tantangan tersendiri dalam memberikan ASI eksklusif. Dan
kriteria terakhir adalah ibu bekerja dari kalangan menengah ke atas, hal ini dipilih peneliti
agar dapat memastikan bahwa ibu memberikan ASI eksklusif sungguh karena kesadaran
akan manfaat ASI bukan karena faktor lain seperti ketidaksanggupan membeli susu
formula. Data diambil dengan teknik pengisian kuesioner dan wawancara dengan
menggunakan pendekatan cross sectional dimana proses pengambilan data ini dilakukan
pada satu waktu yang sama. Penelitian dilakukan pada tanggal ………………

B. Alat Ukur
Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini yaitu dengan cara wawancara
mendalam menggunakan teknik wawancara semi terstruktur. Peneliti tetap membuat
daftar pertanyaan sebagai panduan dalam melakukan wawancara agar tetap mengacu
pada fokus penelitian dan mendalam.

C. Populasi dan Sampel


Populasi dan sampel pada penelitian ini yaitu ibu menyusui yang bekerja di PT Dwi
Lestari Nusantara berjumlah 1 orang.

BAB IV
HASILPENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Proses Pengambilan Data


1. Pelaksanaan
Dalam proses pengambilan data, penulis mencari responden sesuai dengan kriteria
yang sudah ditentukan antara lain ibu yang bekerja penuh di jam kerja (tidak sistem
shift), bekerja bukan pada usaha milik pribadi, ibu yang menyusui (anak berusia
sekitar 1-2 tahun) dan penghasilan ibu menengah ke atas. Dari hasil pencarian penulis
mendapatkan 1 responden yang sesuai dengan kriteria yang sudah ditetapkan.
Setelah melakukan proses pendekatan melalui media handphone penulis melakukan
wawancara dengan responden.
Berikut adalah daftar pelaksanaan wawancara langsung dengan responden :

No Inisial Hari, Tanggal/Jam Tempat


1. CD Tempat makan daerah PGC, Jakarta Timur

2. Data Responden
Responden merupakan ibu bekerja yang masih dalam proses pemberian ASI
kepada anaknya yang berusia 1 Tahun 5 Bulan. Disamping itu data responden
mengenai usia, jenis pekerjaan, jam kerja, jenis transportasi untuk ke kantor, dan
jarak tempuh dari rumah ke kantor dan sebaliknya juga dapat memberikan dampak,
tekanan dan kesulitan pula pada responden :

No Inisial Usia Usia saat Anak Pekerjaan Transportasi Jam Waktu


(Tahun) menyusui Ke pilihan kerja tempuh
(Tahun)
1 CD 28 27 1 Sekretaris Ojek Online ±8 ± 50
Presiden / Mobil jam menit
Direktur

B. Pembahasan
1. Bentuk Coping Stres Responden
Secara umum responden menggunakan bentuk coping stres berdasarkan
klasifikasi strategi problem focused coping atau coping yang berfokus pada masalah
saja. Berikut adalah gambaran bentuk coping stres yang digunakan oleh subjek 1 yang
diurutkan berdasarkan yang paling sering digunakannnya.

a. Problem Focused Coping


a.1 Active Coping
Bentuk coping stres yang sering subjek gunakan adalah active coping atau
pengambilan langkah aktif untuk menghilangkan tekanan, menghindari tekanan
dan memperbaiki dampaknya (Carver, dkk, 1989). Bentuk coping stres ini sering
kali digunakan dalam situasi harus segera mengambil langkah untuk
mengusahakan pemenuhan kebutuhan ASI anaknya. Sebagai contoh, ketika
sedang berada di kantor demi memenuhi kebutuhan ASI anaknya, responden
harus mau mencuri-curi kesempatan memerah kapan saja dimana saja. Hal ini
dapat dibuktikan dari kutipan wawancara berikut:
“Biasanya sih saya pumping itu pake 1 ruangan bos trus saya kunci,
pernah juga sih waktu itu di kantor emang lagi ada tender juga dan banyak orang
juga kan jadinya di kantor, yaudah saya harus pumpingnya di kamar mandi aja
deh, saya kalo pumping pake yang manual. Jadi saya biasanya tiap hari berusaha
pake baju yang ada bukaan kancing di depan gitu. Tapi kalo udah kepepet pake
baju gak pake kancing depan, yaudah saya angkat aja itu bajunya dengan
pedenya kalo lagi merah. Hahaha, yang penting saya merah dan secepat
mungkin saya mesti pumping ASI. Soalnya kan kalo saya udah dicariin ya harus
sigap juga, namanya kerjaan kan tetep aja ya.”
Bentuk active coping juga digunakan oleh subjek ketika subjek berusaha
menghindari konflik keluarga dengan mengatur distribusi ASI nya sendiri.
Dengan memberikan ASI eksklusif kepada anaknya, subjek selalu memastikan
bahwa anaknya mendapatkan nutrisi yang terbaik. Usaha subjek menghindari
konflik keluarga demi memberikan yang terbaik untuk anaknya ini terlihat dari
kutipan wawancara berikut:

“Tiap hari tuh saya udah perkirain biasanya untuk diminum anak saya
kira-kira berapa botol perharinya, dan kalo pun masih kurang misalnya stok
dirumah, biasanya saya sebelum tidur pumping lagi buat persediaan anak saya
waktu saya kerja besok, dan untungnya sih dari pihak keluarga saya gak rewel
dan gak komentar yang aneh-aneh kayak buat saya ngedown dalam proses
pemberian ASI gini sambil kerja, ya ngedukunglah intinya mah keluarga inti
saya, walaupun ada juga yang komentar dikit-dikit sampe gondok sendiri kadang
saya” Padahal gak keluarga inti banget tapi komentar, kan heran ya.
Hahahhaahha..
a.2. Suppression of Competting
Bentuk coping stres lain yang juga seringkali digunakan oleh subjek
adalah suppression of competing atau berkonsentrasi penuh pada usaha yang
lebih mendekati pemecahan masalah dan mengesampingkan hal-hal yang
dianggap tidak perlu (Carver, dkk, 1989). Suppression of competing seringkali
digunakan subjek dalam situasi penuh tekanan, sehingga ketenangan dan
motivasi sangat dibutuhkan untuk dapat memproduksi ASI. Sebagai contoh
ketika subjek harus mengejar target untuk menyediakan ASI perah bagi anaknya
dengan beban pekerjaan yang cukup berat di kantor dan ketidaktersediaannya
fasilitas di kantor subjek. Subjek harus mempertahankan dirinya agar tetap rileks
saat memerah ASI agar produksi ASI tidak terganggu. Salah satu cara yang
seringkali dilakukan oleh subjek adalah berusaha fokus pada target dan
menenangkan diri dengan memerah sambil mendengarkan musik. Seperti dalam
kutipan wawancara berikut:
“Ya biasanya mah saya biar rileks pumping itu sambil dengerin lagu
sama video call anak saya yang dirumah lewat neneknya/tantenya. Itu sih
menurut saya obat paling ampuh buat rileks”
Subjek selalu menanamkan dalam pikirannya bahwa produksi ASI nya
selalu cukup dan subjek terus mengkomunikasikannya kepada anak. Hal ini
dilakukan subjek untuk tetap fokus dalam berjuang memenuhi kebutuhan ASI
anak. Bagi subjek, demi anak ia harus berjuang. Dalam tekanan seperti apapun,
subjek menanamkan hal ini dalam dirinya agar ia tetap bisa memproduksi ASI.
Bentuk suppression of competing ini terlihat dalam kutipan wawancara berikut:
“ Intinya mah apapun hambatannya, saya pikir kalau buat anak ya harus emang
berjuang dong”

a.3 Seeking Social Support for Emotional Reason.


Bentuk coping stres lain yang juga digunakan oleh subjek adalah seeking
social support for emotional reason atau mencari dukungan sosial untuk
membantu emosi kita. Misalnya mencari rasa simpati, pengertian, dan dukungan
moral (Carver, dkk, 1989). Bentuk coping coping ini dilakukan subjek ketika
produksi ASI nya dirasa
menurun dan membuatnya tertekan. Situasi menekan yang membuatnya
harus menghibur dirinya sendiri dan menaikkan lagi semangatnya agar dapat
kembali fokus membuat bentuk coping ini digunakan. Hal ini dapat dilihat dari
kutipan wawancara berikut.
“Saya sih waktu itu pernah chat-chatan juga sesama teman saya yang
emang kerja dan sambil stok ASI juga, bahkan udah berhasil temen saya ini
pemberian ASI untuk anaknya sampai 2 tahun, bener-bener dapet motivasi
banget sih saya, kayak di dukung gitu loh. Jadi makin semangat dan gak putus
asa walaupun kadang ASI nya keluar dikit. Trus juga untungnya dari keluarga
sih ngedukung juga dan selalu kasih saran-saran sama kata-kata yang positif buat
saya, ya saya masih beruntunglah dari pihak keluarga mah. Soalnya ada juga
pengalaman teman saya, malah dari keluarganya aja udah gak gitu dukung,
gimana dia gak stress nagdepinnya kan ditambah omongan-omongan yang
emang gak bikin motivasi juga. Makin dikitlah itu pengeluaran ASI”

a.4. Planning
Planning atau membuat rencana bagaimana mengatasi tekanan dan
memikirkan tindakan (Carver, dkk, 1989) juga merupakan salah satu bentuk
coping yang digunakan oleh subjek. Bentuk coping ini biasa dilakukan oleh
subjek pada saat subjek harus mempersiapkan diri menghadapi tekanan-tekanan
yang akan diterimanya saat akan memenuhi kebutuhan ASI anaknya. Bentuk
coping planning yang dilakukan subjek di awal adalah pada saat subjek
memutuskan untuk memberikan ASI eksklusif dan merencanakan memberi ASI
meskipun harus tetap bekerja. Subjek memikirkan management ASI perah
perharinya agar mampu mencukupi kebutuhan anak. Hal ini dapat dilihat dari
kutipan wawancara berikut:
“Saya sih emang dari awal punya tekat kuat, kalo anak saya harus ASI
sampai 2 tahun nanti, ya di usia dia waktu 6 bulan aja berhasil tuh full ASI
sambil kerja masa kesini-sininya gak kan. Anak saya sekarang masih ASI juga
ditambah sekarang dia udah pakai susu formula juga, karena saya juga konsul ke
dokter kalo udah di atas 6 bulan enggak apa-apa ditambah sufor dan pemberian
ASI tetap berjalan. Dulu mah waktu saya pertama-tama kerja dalam posisi
pemberian ASI juga, terus ninggalin anak dirumah kan bener-bener punya target
sendiri tiap pulang dari kantor harus bawa 300ml, dirumah juga sebelum tidur
pumping lagi buat persediaan anak dan waktu sebelum kerja masih dalam masa
cuti melahirkan, untungnya saya juga udah kejar target nyetok sebanyak-
banyaknya, belajar dari pengalam teman-teman dan saran keluarga sih begitu.
Hehee”
Dalam penelitian ini, didapatkan bentuk coping stress ibu yang
memberikan ASI. Hal ini dipengaruhi oleh banyak hal seperti lingkungan,
dukungan, tekanan, serta sumber daya yang dimiliki oleh responden. Seperti
yang dikatakan Lazarus (dalam Nairne, 2003) Individu merasa stres tergantung
bagaimana ia menginterpretasi suatu situasi yang dihadapinya. Stres merupakan
hal yang bersifat subjektif atau tergantung pada cara individu memahami dan
memandangnya serta sumber daya yang dimiliki individu, sehingga tekanan
yang dapat mempengaruhi reponden hingga merasa stress. Hubungan stres
dengan terganggunya praktek pemberian ASI dirasakan oleh responden.
Responden mengaku harus menjaga dirinya tetap dalam kondisi tenang dan
nyaman agar produksi ASI nya tidak terhambat. Hal ini dapat terjadi karena stres
dapat menghambat refleks hormon oksitosin. Hormon oksitosin berperan pada
refleks pengeluaran ASI (let down reflex). Pelepasan oksitosin dihambat oleh
katekolamin yang diproduksi jika ibu stres. Jika hormon oksitosin terhambat
maka ASI yang keluar pun ikut terhambat. Kondisi seperti ini jika terus
berlangsung, dapat menghambat pengosongan payudara, sehingga lama
kelamaan produksi ASI pun akan berkurang dan semakin lama, bisa
menghentikan ASI. Pengosongan payudara merupakan perangsangan
diproduksinya ASI kembali. Maka, jika ASI semakin sering dikeluarkan atau
payudara semakin sering dikosongkan, ASI akan terus diproduksi dan begitu
pula sebaliknya (Lawrence, 2005). Coping stres yang tepat, dapat membantu ibu
untuk tetap dapat memberikan ASI dengan lancar dan baik kepada bayinya.
Dalam konteks terhadap stres, coping menggambarkan cara individu
berinteraksi dengan stressor. Folkman, dkk (dalam Lyons & Chamberlain, 2006)
mendefinisikan coping stres sebagai upaya yang melibatkan kognitif dan
perilaku seseorang untuk mengelola tuntutan internal dan eksternal dari situasi
yang melelahkan atau melebihi sumber daya orang tersebut. Lazarus dan
Folkman (dalam Lyons & Chamberlain, 2006) membagi dua cara strategi
coping, yaitu coping yang berfokus pada masalah (problem focused coping) dan
coping yang berfokus pada emosi (emotional focused coping). Dalam coping
yang berfokus pada masalah seseorang biasanya berusaha untuk menekan atau
mengurangi kondisi yang menyebabkan terjadinya masalah dan meningkatkan
sumber dayanya untuk menyelesaikan permasalahan. Sedangkan, dalam coping
yang berfokus pada emosi, seseorang biasanya menghindari suatu hal yang
menyebabkan masalah dalam dirinya, sehingga ia tidak menyelesaikan masalah
melainkan hanya menghindari masalah. Meskipun demikian, responden juga
mengatakan tidak adanya fasilitas yang baik dan regulasi yang jelas mengenai
peraturan menyusui eksklusif dari perusahaan tempat bekerja, sehingga
responden seringkali merasa terhambat dan repot dalam memberikan ASI sambil
bekerja. Hal ini terlihat ironis mengingat sudah adanya peraturan pemerintah
nomor 33 tahun 2012. Tentang pemberian ASI eksklusif yang secara jelas juga
sebenarnya telah melindungi hak ibu bekerja untuk menyusui yang dapat dilihat
pada pasal 30, 34, dan 35. Akan tetapi, ternyata praktek di lapangan tidak sesuai.
Masih banyak perusahaan yang tidak menaati peraturan pemerintah tersebut.
Adanya anggapan bahwa memberikan susu botol kepada anak sebagai salah satu
simbol bagi kehidupan tingkat sosial yang lebih tinggi, terdidik, dan mengikuti
perkembangan zaman. Hal ini, menjadi tekanan sendiri bagi responden ditambah
banyaknya iklan yang menyesatkan dari produksi makanan bayi maupun susu
formula. Responden membuktikan dengan melakukan copingstres yang tepat,
responden dapat mengatasi segala hambatan yang dihadapinya serta
menunjukkan bahwa dirinya akan mampu mencapai keberhasilan memerankan
peran sebagai ibu bekerja yang juga memberikan ASI kepada anaknya. Oleh
karena itu, memahami coping stres menjadi penting agar seseorang belajar dari
pengalaman untuk mengatasi kesulitannya ataupun sekedar membantu mereka
bertahan dalam kesulitan (Wade & Tavris, 2009). Dalam penelitian ini, diperoleh
juga data mengenai motivasi ibu untuk memberikan ASI meskipun ia harus
menyusui sambil bekerja. Ditemukan bahwa semakin kuat motivasi
menyusuinya membuat ibu berusaha melakukan segala bentuk coping stres
untuk mengatasi hambatan yang dimilikinya. Maka, penting bagi tempat bekerja
atau perusahaan untuk memfasilitasi ibu menyusui dan memberikan regulasi
yang jelas bagi ibu menyusui agar stres menyusui pada ibu bekerja menjadi
berkurang dan performansi kerja ibu menyusui dapat tetap stabil.

BAB V
RENCANA PROGRAM

A. Rencana Program
Berdasarkan hasil penelitian dari coping stress ibu bekerja dengan pemberian ASI,
penulis mempunyai rencana program untuk mencegah hal-hal yang tidak diinginkan
seperti ibu mengalami stress berat, pekerjaan terabaikan dan anak yang dalam masa
menyusui tidak terpenuhi kecukupan ASInya. Berikut adalah rencana program dari hasil
penelitian ini :
1. Menyediakan ruangan khusus kepada ibu menyusui untuk dapat melakukan
rutinitasnya memerah, tidak di toilet atau tempat lain yang tidak nyaman. Sebenarnya
untuk ruangan ini tidak perlu yang besar, yang terpenting adalah bersih dan nyaman
bagi ibu menyusui. Selain diberikan AC, mungkin ruangannya bisa juga di cat warna
biru/pink supaya identik dengan rasa santai juga harmonis sehingga mempengaruhi
setiap ibu dalam proses memerah. Serta diberikan pengharum ruangan supaya
ruangan selalu segar
2. Memberikan waktu khusus kepada ibu menyusui dalam memerah, misalnya 2-3 kali
sehari dengan durasi 20 menit tiap memerah, tujuannya dari hal ini agar ibu lebih
tenang, fokus dan tidak terburu-buru pada saat memerah
3. Mensosialisasikan pemberian ASI kepada pegawainya dengan membuat brosur atau
poster sehingga menumbuhkan kesadaran dan pemahaman para pegawai untuk
mendukung pemberian ASI. Salah satu cara untuk meningkatkan pengetahuan dan
kepedulian dengan advokasi dengan melibatkan stakeholder terkait kepada penentu
kebijakan di tempat kerja

BAB VI
PENUTUP

A. Kesimpulan
Dari penelitian ini, dapat disimpulkan ibu bekerja yang memutuskan untuk
tetap memberikan ASI tidaklah mudah. Tekanan-tekanan pekerjaan yang banyak,
tidak adanya regulasi yang jelas mengenai ibu menyusui dari perusahaan, kurangnya
dukungan dari lingkungan sekitar, kurangnya pengetahuan mengenai menyusui, dan
lain-lain menjadi stressor tersendiri bagi ibu menyusui dalam keadaan bekerja yang
memutuskan untuk tetap memberikan ASI bagi anak mereka. Meskipun demikian
motivasi dari dalam diri ibu menyusui dapat membuat mereka tetap bertahan
menghadapi segala tekanan. Dampak dari stres seperti terganggunya produksi ASI,
perasaan sedih, perasaan tidak tenang (gelisah), dan perasaan berjuang sendiri dapat
menggagalkan proses pemberian ASI eksklusif. Meskipun demikian, ibu menyusui
yang bekerja mampu memunculkan 4 bentuk coping stres berdasarkan 2 klasifikasi
strategi coping yang telah diungkapkan oleh Carver, dkk (1989) yang muncul sebagai
usaha untuk menghadapi stressor. Bentuk coping stres itu di antaranya adalah 4
bentuk problem focused coping atau coping yang berfokus pada masalah seperti,
active coping, planning, suppression of competing dan seeking social support for
instrumental actionserta 4 bentuk emotional focused coping atau coping yang
berfokus pada emosi seperti, bentuk coping positive reinterpretation and growth,
acceptance, turning to religion, dan seeking social support for emotional reason.

B. SARAN
1. Bagi pemerintah penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai dasar
memberikan perlindungan terhadap ibu menyusui yang bekerja agar hak ibu dan
hak bayi dapat terpenuhi dengan melihat kesulitan ibu bekerja melakukan coping
agar dapat memperjuangkan ASI bagi anaknya.
2. Bagi pihak perusahaan Ada baiknya jika penelitian ini dapat dijadikan dasar untuk
memberikan regulasi yang jelas bagi karyawan yang menyusui agar mereka
menjadi lebih tenang baik dalam bekerja maupun dalam memenuhi kebutuhan
ASI anaknya.
3. Bagi ibu yang bekerja, hendaknya tetap dapat meningkatkan pengetahuannya
tentang pemberian ASI sambil bekerja melalui media massa maupun bertanya
kepada tenaga medis sehingga diharapkan tidak akan tugasnya baik sebagai
seorang ibu maupun sebagai pekerja.
4. Bagi suami yang memiliki istri bekerja, hendaknya selalu memberikan dorongan,
dukungan dan motivasi kepada istrinya untuk memberikan ASI kepada anaknya,
diantaranya dengan melalui ikut berpartisipasi mengurus anak dan membantu
pekerjaan rumah tangga.
5. Bagi peneliti selanjutnya diharapkan penelitian ini bisa dijadikan sebagai acuan
penelitian yang lebih baik lagi kedepannya.

Anda mungkin juga menyukai