PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
ASI mengandung gizi tinggi yang sangat bermanfaat untuk kesehatan bayi.
Beberapa penelitian epidemiologis menyatakan bahwa ASI melindungi bayi dan anak
dari penyakit infeksi, misalnya diare, otitis media, dan infeksi saluran pernafasan akut
bagian bawah. Seorang ibu harus menyusui anaknya dari lahir hingga berusia 2 tahun.
Usia bayi 0-6 bulan seorang ibu harus memberikan ASI secara penuh tanpa nutrisi yang
lain seperti susu formula, bubur, dan lain-lain. Jadi, yang diberikan pada bayi umur 0-6
bulan adalah ASI eksklusif. Hal tersebut diperkuat oleh Sari dan Rimandini (2014)
bahwa pemberian kolostrum melalui ASI yang terus menerus, paling tidak selama 4
bulan (idealnya 4-6 bulan) merupakan perlindungan terbaik yang diberikan kepada bayi
terhadap penyakit. Dalam hal ini, Kenyataannya bahwa banyak bayi di Indonesia yang
tidak mendapatkan ASI eksklusif sangatlah memprihatinkan.
Untuk mencapai keberhasilan program ASI eksklusif, WHO dan United Nation
Childerns Fund (UNICEF) merekomendasikan metode tiga langkah. Langkah yang
pertama adalah menyusui sesegera mungkin setelah bayi dilahirkan. Kedua, tidak
memberikan makanan tambahan apapun pada bayinya, sampai dengan umur 6 bulan dan
langkah ketiga adalah menyusui sesering mungkin dan sebanyak yang diinginkan bayi.
Dengan tiga langkah metode diharapkan tujuan menyusui secara eksklusif dapat
tercapai. Di luar manfaat langsung itu, ASI juga memberikan kontribusi positif bagi
kesehatan jangka panjang bagi si anak. Remaja dan orang dewasa yang diberi ASI
semasa masih bayi kemungkinan obesitas dan mengidap diabetes tipe-II lebih rendah
dibanding yang tidak diberikan ASI. Manfaat lainnya, anak dengan ASI maksimal akan
lebih baik dalam tingkat kecerdasan mereka.
Soal kecerdasan ini, para peneliti dari JAMA Pediatrics pada 2013 lalu juga berani
menyebut ASI berdampak baik terhadap kemampuan bahasa dan intelligence quotient
(IQ) anak. Menurut hasil penelitian mereka, pemberian ASI pada bayi pada tahun
pertama kehidupan diperkirakan akan meningkatkan kemampuan pemahaman bahasa
sebanyak 2,5 poin dan IQ sampai empat poin.
The World Allience for Breastfeeding Action (WABA) memperkirakan 1 juta bayi
dapat diselamatkan setiap tahunnya bila diberikan ASI pada 1 jam pertama kelahiran,
kemudian dilanjutkan ASI Eksklusif sampai dengan 6 bulan, karena ASI selain
mengandung gizi yang cukup, lengkap, juga mengandung imun untuk kekebalan tubuh
bayi. WHO (2016) menyatakan hanya 38 % ibu menyusui di dunia yang memberikan ASI
secara Eksklusif (Kemenkes, 2017).
Persolannya, tidak semua ibu dapat menyusui dengan maksimal sampai usia anak-
anak mereka dua tahun. Ada yang terkendala fisik, penyakit, malas menyusui atau bahkan
karena “kesibukan bekerja”. Dari alasan inilah titik persoalan berawal. Meningkatnya
tenaga kerja perempuan menjadi salah satu kendala dalam mensukseskan program ASI
eksklusif. Tren jumlah angkatan kerja perempuan dari tahun 2012 sampai dengan 2014
menunjukkan adanya peningkatan. Berdasarkan data Kementerian Tenaga Kerja dan
Transmigrasi pada 2014 jumlah angkatan kerja perempuan yang terdiri dari golongan
umur 15 tahun, sementara itu sebesar 66 persen angkatan kerja adalah perempuan. Salah
satu stres yang dialami ibu bekerja itu sendiri, menjadi hambatan dalam memberikan ASI
eksklusif bagi anaknya (Rejeki,2008 dalam vicke 2012). Sebagai contoh tidak adanya
ruangan untuk memerah ASI membuat ibu menyusui harus rela memerah ASI-nya di
tempat yang kurang nyaman. Hal lainnya adanya gangguan-gangguan selama memerah
seperti rekan kerja yang penasaran dan rekan kerja pria yang ingin mengintip membuat
ibu merasa malu dan risih. Tidak adanya dukungan dari teman sesama ibu yang memiliki
anak seusia anaknya juga menambah rasa tertekan ibu yang sedang berjuang dalam
pemberian ASI. Hal lainnya adalah tidak adanya dukungan dari manajemen tempatnya
bekerja yang berpendapat pekerjaan lebih penting daripada memberikan ASI yang bagi
mereka dapat diganti dengan susu formula. Ada pula masalah dari lingkungan interen
keluarga seperti tanggapan negatif dari mertua yang masih beranggapan bahwa ASI
adalah darah dan jika diperah akan basi juga membuat ibu pejuang asi merasa mendapat
tekanan lagi. Ibu yang tetap memberikan ASI karena sadar betul akan kebaikan ASI yang
tidak tergantikan oleh nutrisi apapun. Selain itu, terdapat keinginan untuk memiliki ikatan
dan kelekatan dengan anaknya yang mereka yakini bisa terbentuk melalui proses
menyusui. Mereka juga meyakini bahwa memberikan ASI merupakan hak anak mereka
yang harus mereka penuhi. Berdasarkan peraturan pemerintah nomor 33 tahun 2012.
Tentang pemberian ASI eksklusif. Hak ibu menyusui dan anak untuk mendapatkan ASI
eksklusif sebetulnya dilindungi oleh negara meskipun dalam pelaksanaannya, peraturan
tersebut belum didukung oleh petunjuk pelaksanaan yang jelas serta sanksi yang tegas
bagi siapa saja yang melanggarnya, sehingga banyak tempat bekerja tidak membuat
regulasi khusus yang mendukung praktek pemberian ASI eksklusif. Hal ini menyebabkan
semakin lemahnya perlindungan bagi ibu menyusui ekskusif yang bekerja.
Stres dapat menghambat refleks hormon oksitosin. Hormon oksitosin berperan pada
refleks pengeluaran ASI (let down reflex). Pelepasan oksitosin dihambat oleh
katekolamin yang diproduksi jika ibu stres. Jika hormon oksitosin terhambat maka ASI
yang keluar pun ikut terhambat. Kondisi seperti ini jika terus berlangsung, dapat
menghambat pengosongan payudara, sehingga lama kelamaan produksi ASI pun akan
berkurang dan semakin lama, bisa menghentikan ASI. Hambatan dalam praktek
pemberian ASI dapat disebabkan oleh stres menyusui yang terjadi akibat tekanan dan
tidak adanya dukungan dari lingkungan kerjanya untuk tetap memberikan ASI bagi
bayinya pada ibu bekerja membuat peneliti tertarik untuk melihat keberhasilan ibu yang
bekerja di PT Dwi Lestari Nusantara, Cawang Otista tahun 2018 dalam memberikan ASI
kepada anaknya. Melalui penelitian ini, diharapkan dapat terlihat bagaimana ibu yang
bekerja dapat menenangkan dirinya dan dapat tetap memberikan ASI pada anaknya tanpa
masalah kekurangan produksi ASI. Penelitian berdasarkan keberhasilan ibu bekerja
mengatasi stress menyusui yang terjadi akibat stres harus menyusui sambil tetap bekerja
di kantor dengan minimnya dukungan dari lingkungan perusahaan ataupun lingkungan
keluarga, dapat menjadi pembuktian ilmiah bagi banyak ibu bekerja lainnya terutama
pada mereka yang bekerja di luar rumah dan bukan usaha milik sendiri bahwa masalah
stres menyusui pada ibu bekerja masih dapat diatasi dengan cara yang tepat, sehingga
tidak ibu bekerja tetap dapat memberikan ASI eksklusif bagi anaknya. Pada ibu yang
bekerja di luar rumah dan bukan bisnis milik sendiri, tentunya terikat dengan sistem yang
ada pada tempat mereka bekerja dan hal tersebut dapat menjadi tantangan tersendiri
dalam memberikan ASI eksklusif. Penulis memilih Ibu bekerja dari kalangan menengah
ke atas, agar dapat memastikan bahwa ibu memberi ASI karena kesadaran akan manfaat
ASI bukan karena faktor lain seperti ketidaksanggupan membeli susu formula. Selain itu
coping stress pada ibu bekerja ini dapat juga menjadi masukan bagi para ibu bekerja
lainnya dalam praktek pemberian ASI dan dasar dukungan terhadap perlindungan bagi
ibu bekerja yang menyusui agar dibuatkan regulasi khusus, serta fasilitas pendukung
menyusui di tempatnya bekerja.
B. Tujuan
Diketahuinya coping stress ibu bekerja dengan pemberian ASI pada ibu menyusui
di PT Dwi Lestari Nusantara Cawang Otista Tahun 2018
C. Rumusan Masalah
Bagaimana coping stress ibu bekerja dengan pemberian ASI pada ibu menyususi
di PT Dwi Lestari Nusantara Cawang Otista Tahun 2018 ?
D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoritis
Penelitian ini diharapkan memberikan informasi dan pengetahuan di bidang
psikososial, terutama psikososial klinis dan kesehatan karena akan diketahui coping stres
ibu bekerja dengan pemberian ASI pada ibu menyusui di PT Dwi Lestari Nusantara
Cawang Otista Tahun 2018.
2. Manfaat Praktis
a. Bagi Konselor ASI dan Petugas Kesehatan
Penelitian ini dapat digunakan sebagai masukan bagi petugas kesehatan dan
konselor ASI dalam upaya membantu ibu yang menyusui atau akan menyusui
eksklusif dalam mengatasi stres-nya.
b. Bagi Ibu Menyusui
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi ilmiah mengenai
strategi coping stress yang baik bagi ibu bekerja yang akan menyusui eksklusif,
sehingga prevalensi pemberian ASI eksklusif di Indonesia dapat meningkat.
c. Bagi Pemerintah dan Perusahaan
Penelitian ini diharapkan dapat menjadi acuan dalam memperjuangkan regulasi
yang jelas, serta fasilitas pendukung menyusui yang memadai di tempat bekerja.
BAB II
TINJAUAN TEORI
A. Coping Stress
1. Stress
Hans Seyle mengungkapkan bahwa stres adalah suatu bentuk respon tubuh yang
tidak spesifik terhadap segala tuntutan yang dialami dan diterima seseorang (Landy dan
Conte, 2004). Pengertian stres yang dikemukakan oleh Hans Seyle (dalam Landy dan
Conte, 2004) digolongkan dalam pengertian stres sebagai respon. Dalam pendekatan ini,
seseorang dapat mengalami stres atau tidak dipengaruhi oleh bagaimana ia bereaksi
terhadap stimulus (Cooper, 2001). Suatu keadaan dapat direspon secara berbeda oleh
individu, sehingga dalam pengertian ini, perbedaan dan keunikan individu mulai
diperhatikan sebagai salah satu faktor yang memperngaruhi terjadinya stres pada
seseorang (Ogden, 2007).
Lazarus (dalam Ogden, 2007) mengungkapkan stres tidak dapat hanya dipandang
sebagai stimulus atau respon saja. Stres adalah pola transaksi manusia dengan
lingkungan yang terjadi terus menerus.
Sumber atau penyebab terjadinya stress dinamakan stressor. Individu merasa stres
tergantung bagaimana ia menginterpretasi suatu situasi yang dihadapinya (Lazarus
dalam Nairne, 2003). Stres merupakan hal yang bersifat subjektif atau tergantung pada
cara individu memahami dan memandangnya serta sumber daya yang dimiliki individu.
Berdasarkan hal tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa stres adalah terganggunya
keseimbangan antara kondisi biologis, psikologis serta sosial akibat suatu kejadian
tertentu yang menyebabkan reaksi yang tidak menyenangkan dalam diri individu.
B. ASI EKSKLUSIF
1. Pengertian Menyusui Eksklusif
Pemberian ASI eksklusif adalah memberikan hanya ASI tanpa makanan dan
minuman lain kepada bayi sejak lahir sampai berusia 6 bulan kecuali obat dan
vitamin (Roesli, 2000). Bayi dianjurkan diberi ASI eksklusif selama 6 bulan pertama
kehidupannya. Kemudian, setelah 6 bulan, dilanjutkan dengan didampingi makanan
pendamping ASI selama dua tahun. Makanan padat, dapat diperkenalkan pada bayi
pada usia 6 bulan untuk melengkapi nutrisi ASI (Hegar, 2010).
Badan kesehatan dunia (WHO) (dalam Trihono, Suradi, Oswari, dan Hendarto,
2011) menganjurkan ASI eksklusif sejak bayi lahir sampai usia 6 bulan dan untuk
selanjutnya, bayi tetap diberi ASI beserta makanan pendamping ASI hingga usia 2
tahun atau lebih.
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Desain dan Waktu Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian jenis kualitatif deskriptif. Penelitian dilakukan
kepada Ibu menyusui dengan ciri yang lebih spesifik adalah ibu yang bekerja di luar
rumah dan bukan bisnis milik sendiri, karena jika mereka bekerja di luar rumah dan
bukan bisnis milik sendiri tentunya mereka terikat dengan sistem yang ada pada tempat
mereka bekerja dan ada tantangan tersendiri dalam memberikan ASI eksklusif. Dan
kriteria terakhir adalah ibu bekerja dari kalangan menengah ke atas, hal ini dipilih peneliti
agar dapat memastikan bahwa ibu memberikan ASI eksklusif sungguh karena kesadaran
akan manfaat ASI bukan karena faktor lain seperti ketidaksanggupan membeli susu
formula. Data diambil dengan teknik pengisian kuesioner dan wawancara dengan
menggunakan pendekatan cross sectional dimana proses pengambilan data ini dilakukan
pada satu waktu yang sama. Penelitian dilakukan pada tanggal ………………
B. Alat Ukur
Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini yaitu dengan cara wawancara
mendalam menggunakan teknik wawancara semi terstruktur. Peneliti tetap membuat
daftar pertanyaan sebagai panduan dalam melakukan wawancara agar tetap mengacu
pada fokus penelitian dan mendalam.
BAB IV
HASILPENELITIAN DAN PEMBAHASAN
2. Data Responden
Responden merupakan ibu bekerja yang masih dalam proses pemberian ASI
kepada anaknya yang berusia 1 Tahun 5 Bulan. Disamping itu data responden
mengenai usia, jenis pekerjaan, jam kerja, jenis transportasi untuk ke kantor, dan
jarak tempuh dari rumah ke kantor dan sebaliknya juga dapat memberikan dampak,
tekanan dan kesulitan pula pada responden :
B. Pembahasan
1. Bentuk Coping Stres Responden
Secara umum responden menggunakan bentuk coping stres berdasarkan
klasifikasi strategi problem focused coping atau coping yang berfokus pada masalah
saja. Berikut adalah gambaran bentuk coping stres yang digunakan oleh subjek 1 yang
diurutkan berdasarkan yang paling sering digunakannnya.
“Tiap hari tuh saya udah perkirain biasanya untuk diminum anak saya
kira-kira berapa botol perharinya, dan kalo pun masih kurang misalnya stok
dirumah, biasanya saya sebelum tidur pumping lagi buat persediaan anak saya
waktu saya kerja besok, dan untungnya sih dari pihak keluarga saya gak rewel
dan gak komentar yang aneh-aneh kayak buat saya ngedown dalam proses
pemberian ASI gini sambil kerja, ya ngedukunglah intinya mah keluarga inti
saya, walaupun ada juga yang komentar dikit-dikit sampe gondok sendiri kadang
saya” Padahal gak keluarga inti banget tapi komentar, kan heran ya.
Hahahhaahha..
a.2. Suppression of Competting
Bentuk coping stres lain yang juga seringkali digunakan oleh subjek
adalah suppression of competing atau berkonsentrasi penuh pada usaha yang
lebih mendekati pemecahan masalah dan mengesampingkan hal-hal yang
dianggap tidak perlu (Carver, dkk, 1989). Suppression of competing seringkali
digunakan subjek dalam situasi penuh tekanan, sehingga ketenangan dan
motivasi sangat dibutuhkan untuk dapat memproduksi ASI. Sebagai contoh
ketika subjek harus mengejar target untuk menyediakan ASI perah bagi anaknya
dengan beban pekerjaan yang cukup berat di kantor dan ketidaktersediaannya
fasilitas di kantor subjek. Subjek harus mempertahankan dirinya agar tetap rileks
saat memerah ASI agar produksi ASI tidak terganggu. Salah satu cara yang
seringkali dilakukan oleh subjek adalah berusaha fokus pada target dan
menenangkan diri dengan memerah sambil mendengarkan musik. Seperti dalam
kutipan wawancara berikut:
“Ya biasanya mah saya biar rileks pumping itu sambil dengerin lagu
sama video call anak saya yang dirumah lewat neneknya/tantenya. Itu sih
menurut saya obat paling ampuh buat rileks”
Subjek selalu menanamkan dalam pikirannya bahwa produksi ASI nya
selalu cukup dan subjek terus mengkomunikasikannya kepada anak. Hal ini
dilakukan subjek untuk tetap fokus dalam berjuang memenuhi kebutuhan ASI
anak. Bagi subjek, demi anak ia harus berjuang. Dalam tekanan seperti apapun,
subjek menanamkan hal ini dalam dirinya agar ia tetap bisa memproduksi ASI.
Bentuk suppression of competing ini terlihat dalam kutipan wawancara berikut:
“ Intinya mah apapun hambatannya, saya pikir kalau buat anak ya harus emang
berjuang dong”
a.4. Planning
Planning atau membuat rencana bagaimana mengatasi tekanan dan
memikirkan tindakan (Carver, dkk, 1989) juga merupakan salah satu bentuk
coping yang digunakan oleh subjek. Bentuk coping ini biasa dilakukan oleh
subjek pada saat subjek harus mempersiapkan diri menghadapi tekanan-tekanan
yang akan diterimanya saat akan memenuhi kebutuhan ASI anaknya. Bentuk
coping planning yang dilakukan subjek di awal adalah pada saat subjek
memutuskan untuk memberikan ASI eksklusif dan merencanakan memberi ASI
meskipun harus tetap bekerja. Subjek memikirkan management ASI perah
perharinya agar mampu mencukupi kebutuhan anak. Hal ini dapat dilihat dari
kutipan wawancara berikut:
“Saya sih emang dari awal punya tekat kuat, kalo anak saya harus ASI
sampai 2 tahun nanti, ya di usia dia waktu 6 bulan aja berhasil tuh full ASI
sambil kerja masa kesini-sininya gak kan. Anak saya sekarang masih ASI juga
ditambah sekarang dia udah pakai susu formula juga, karena saya juga konsul ke
dokter kalo udah di atas 6 bulan enggak apa-apa ditambah sufor dan pemberian
ASI tetap berjalan. Dulu mah waktu saya pertama-tama kerja dalam posisi
pemberian ASI juga, terus ninggalin anak dirumah kan bener-bener punya target
sendiri tiap pulang dari kantor harus bawa 300ml, dirumah juga sebelum tidur
pumping lagi buat persediaan anak dan waktu sebelum kerja masih dalam masa
cuti melahirkan, untungnya saya juga udah kejar target nyetok sebanyak-
banyaknya, belajar dari pengalam teman-teman dan saran keluarga sih begitu.
Hehee”
Dalam penelitian ini, didapatkan bentuk coping stress ibu yang
memberikan ASI. Hal ini dipengaruhi oleh banyak hal seperti lingkungan,
dukungan, tekanan, serta sumber daya yang dimiliki oleh responden. Seperti
yang dikatakan Lazarus (dalam Nairne, 2003) Individu merasa stres tergantung
bagaimana ia menginterpretasi suatu situasi yang dihadapinya. Stres merupakan
hal yang bersifat subjektif atau tergantung pada cara individu memahami dan
memandangnya serta sumber daya yang dimiliki individu, sehingga tekanan
yang dapat mempengaruhi reponden hingga merasa stress. Hubungan stres
dengan terganggunya praktek pemberian ASI dirasakan oleh responden.
Responden mengaku harus menjaga dirinya tetap dalam kondisi tenang dan
nyaman agar produksi ASI nya tidak terhambat. Hal ini dapat terjadi karena stres
dapat menghambat refleks hormon oksitosin. Hormon oksitosin berperan pada
refleks pengeluaran ASI (let down reflex). Pelepasan oksitosin dihambat oleh
katekolamin yang diproduksi jika ibu stres. Jika hormon oksitosin terhambat
maka ASI yang keluar pun ikut terhambat. Kondisi seperti ini jika terus
berlangsung, dapat menghambat pengosongan payudara, sehingga lama
kelamaan produksi ASI pun akan berkurang dan semakin lama, bisa
menghentikan ASI. Pengosongan payudara merupakan perangsangan
diproduksinya ASI kembali. Maka, jika ASI semakin sering dikeluarkan atau
payudara semakin sering dikosongkan, ASI akan terus diproduksi dan begitu
pula sebaliknya (Lawrence, 2005). Coping stres yang tepat, dapat membantu ibu
untuk tetap dapat memberikan ASI dengan lancar dan baik kepada bayinya.
Dalam konteks terhadap stres, coping menggambarkan cara individu
berinteraksi dengan stressor. Folkman, dkk (dalam Lyons & Chamberlain, 2006)
mendefinisikan coping stres sebagai upaya yang melibatkan kognitif dan
perilaku seseorang untuk mengelola tuntutan internal dan eksternal dari situasi
yang melelahkan atau melebihi sumber daya orang tersebut. Lazarus dan
Folkman (dalam Lyons & Chamberlain, 2006) membagi dua cara strategi
coping, yaitu coping yang berfokus pada masalah (problem focused coping) dan
coping yang berfokus pada emosi (emotional focused coping). Dalam coping
yang berfokus pada masalah seseorang biasanya berusaha untuk menekan atau
mengurangi kondisi yang menyebabkan terjadinya masalah dan meningkatkan
sumber dayanya untuk menyelesaikan permasalahan. Sedangkan, dalam coping
yang berfokus pada emosi, seseorang biasanya menghindari suatu hal yang
menyebabkan masalah dalam dirinya, sehingga ia tidak menyelesaikan masalah
melainkan hanya menghindari masalah. Meskipun demikian, responden juga
mengatakan tidak adanya fasilitas yang baik dan regulasi yang jelas mengenai
peraturan menyusui eksklusif dari perusahaan tempat bekerja, sehingga
responden seringkali merasa terhambat dan repot dalam memberikan ASI sambil
bekerja. Hal ini terlihat ironis mengingat sudah adanya peraturan pemerintah
nomor 33 tahun 2012. Tentang pemberian ASI eksklusif yang secara jelas juga
sebenarnya telah melindungi hak ibu bekerja untuk menyusui yang dapat dilihat
pada pasal 30, 34, dan 35. Akan tetapi, ternyata praktek di lapangan tidak sesuai.
Masih banyak perusahaan yang tidak menaati peraturan pemerintah tersebut.
Adanya anggapan bahwa memberikan susu botol kepada anak sebagai salah satu
simbol bagi kehidupan tingkat sosial yang lebih tinggi, terdidik, dan mengikuti
perkembangan zaman. Hal ini, menjadi tekanan sendiri bagi responden ditambah
banyaknya iklan yang menyesatkan dari produksi makanan bayi maupun susu
formula. Responden membuktikan dengan melakukan copingstres yang tepat,
responden dapat mengatasi segala hambatan yang dihadapinya serta
menunjukkan bahwa dirinya akan mampu mencapai keberhasilan memerankan
peran sebagai ibu bekerja yang juga memberikan ASI kepada anaknya. Oleh
karena itu, memahami coping stres menjadi penting agar seseorang belajar dari
pengalaman untuk mengatasi kesulitannya ataupun sekedar membantu mereka
bertahan dalam kesulitan (Wade & Tavris, 2009). Dalam penelitian ini, diperoleh
juga data mengenai motivasi ibu untuk memberikan ASI meskipun ia harus
menyusui sambil bekerja. Ditemukan bahwa semakin kuat motivasi
menyusuinya membuat ibu berusaha melakukan segala bentuk coping stres
untuk mengatasi hambatan yang dimilikinya. Maka, penting bagi tempat bekerja
atau perusahaan untuk memfasilitasi ibu menyusui dan memberikan regulasi
yang jelas bagi ibu menyusui agar stres menyusui pada ibu bekerja menjadi
berkurang dan performansi kerja ibu menyusui dapat tetap stabil.
BAB V
RENCANA PROGRAM
A. Rencana Program
Berdasarkan hasil penelitian dari coping stress ibu bekerja dengan pemberian ASI,
penulis mempunyai rencana program untuk mencegah hal-hal yang tidak diinginkan
seperti ibu mengalami stress berat, pekerjaan terabaikan dan anak yang dalam masa
menyusui tidak terpenuhi kecukupan ASInya. Berikut adalah rencana program dari hasil
penelitian ini :
1. Menyediakan ruangan khusus kepada ibu menyusui untuk dapat melakukan
rutinitasnya memerah, tidak di toilet atau tempat lain yang tidak nyaman. Sebenarnya
untuk ruangan ini tidak perlu yang besar, yang terpenting adalah bersih dan nyaman
bagi ibu menyusui. Selain diberikan AC, mungkin ruangannya bisa juga di cat warna
biru/pink supaya identik dengan rasa santai juga harmonis sehingga mempengaruhi
setiap ibu dalam proses memerah. Serta diberikan pengharum ruangan supaya
ruangan selalu segar
2. Memberikan waktu khusus kepada ibu menyusui dalam memerah, misalnya 2-3 kali
sehari dengan durasi 20 menit tiap memerah, tujuannya dari hal ini agar ibu lebih
tenang, fokus dan tidak terburu-buru pada saat memerah
3. Mensosialisasikan pemberian ASI kepada pegawainya dengan membuat brosur atau
poster sehingga menumbuhkan kesadaran dan pemahaman para pegawai untuk
mendukung pemberian ASI. Salah satu cara untuk meningkatkan pengetahuan dan
kepedulian dengan advokasi dengan melibatkan stakeholder terkait kepada penentu
kebijakan di tempat kerja
BAB VI
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari penelitian ini, dapat disimpulkan ibu bekerja yang memutuskan untuk
tetap memberikan ASI tidaklah mudah. Tekanan-tekanan pekerjaan yang banyak,
tidak adanya regulasi yang jelas mengenai ibu menyusui dari perusahaan, kurangnya
dukungan dari lingkungan sekitar, kurangnya pengetahuan mengenai menyusui, dan
lain-lain menjadi stressor tersendiri bagi ibu menyusui dalam keadaan bekerja yang
memutuskan untuk tetap memberikan ASI bagi anak mereka. Meskipun demikian
motivasi dari dalam diri ibu menyusui dapat membuat mereka tetap bertahan
menghadapi segala tekanan. Dampak dari stres seperti terganggunya produksi ASI,
perasaan sedih, perasaan tidak tenang (gelisah), dan perasaan berjuang sendiri dapat
menggagalkan proses pemberian ASI eksklusif. Meskipun demikian, ibu menyusui
yang bekerja mampu memunculkan 4 bentuk coping stres berdasarkan 2 klasifikasi
strategi coping yang telah diungkapkan oleh Carver, dkk (1989) yang muncul sebagai
usaha untuk menghadapi stressor. Bentuk coping stres itu di antaranya adalah 4
bentuk problem focused coping atau coping yang berfokus pada masalah seperti,
active coping, planning, suppression of competing dan seeking social support for
instrumental actionserta 4 bentuk emotional focused coping atau coping yang
berfokus pada emosi seperti, bentuk coping positive reinterpretation and growth,
acceptance, turning to religion, dan seeking social support for emotional reason.
B. SARAN
1. Bagi pemerintah penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai dasar
memberikan perlindungan terhadap ibu menyusui yang bekerja agar hak ibu dan
hak bayi dapat terpenuhi dengan melihat kesulitan ibu bekerja melakukan coping
agar dapat memperjuangkan ASI bagi anaknya.
2. Bagi pihak perusahaan Ada baiknya jika penelitian ini dapat dijadikan dasar untuk
memberikan regulasi yang jelas bagi karyawan yang menyusui agar mereka
menjadi lebih tenang baik dalam bekerja maupun dalam memenuhi kebutuhan
ASI anaknya.
3. Bagi ibu yang bekerja, hendaknya tetap dapat meningkatkan pengetahuannya
tentang pemberian ASI sambil bekerja melalui media massa maupun bertanya
kepada tenaga medis sehingga diharapkan tidak akan tugasnya baik sebagai
seorang ibu maupun sebagai pekerja.
4. Bagi suami yang memiliki istri bekerja, hendaknya selalu memberikan dorongan,
dukungan dan motivasi kepada istrinya untuk memberikan ASI kepada anaknya,
diantaranya dengan melalui ikut berpartisipasi mengurus anak dan membantu
pekerjaan rumah tangga.
5. Bagi peneliti selanjutnya diharapkan penelitian ini bisa dijadikan sebagai acuan
penelitian yang lebih baik lagi kedepannya.