Anda di halaman 1dari 10

MENYUSUI DARI PERSPEKTIF SOSIAL BUDAYA

Sitti Rabiah

Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar


Email : sttirabiahmanis@gmail.com

PENDAHULUAN
Makanan tidak hanya penting untuk memenuhi kebutuhan manusia akan makan, namun
makanan juga terkait erat dengan kebudayaan, termasuk tekhnologi, organisasi sosial dan juga
kepercayaan masyarakat. Makanan tidak akan memiliki makna apa-apa kecuali makanan itu
dilihat dalam kebudayaannya atau jaringan interaksi sosialnya (Nurti, 2017). Makanan pertama
yang diberikan dari kita lahir yaitu ASI melalui ibu yang menyusui bayinya. Menyusui adalah
proses pemberian air susu ibu (ASI) kepada bayi sejak lahir sampai berusia 2 tahun. Jika bayi
diberikan ASI saja sampai usia enam bulan tanpa menambahkan dan mengganti dengan makanan
atau minuman lainnya merupakan proses menyusui eksklusif. ASI merupakan makanan utama
dan paling sempurna bagi bayi. Dimana ASI mengandung hampir semua zat gizi dengan
komposisi sesuai dengan kebutuhan bayi untuk tumbuh dan berkembang secara opti-mal
(Pollard, 2016). Air Susu Ibu menjadi salah satu program World Health Organization (WHO)
dan Pemerintah RI yang gencar dikemukakan di sektor kesehatan untuk mengurangi morbiditas
dan mortalitas anak. ASI adalah sumber nutrisi yang primer bagi anak sejak dilahirkan sampai ia
mampu mencernakan asupan lain setelah usia enam bulan. Lemak, protein, karbohidrat, vitamin,
mineral, enzim, dan hormon yang terdapat dalam ASI tidak dapat digantikan oleh susu buatan
industri. ASI mengandung zat-zat kekebalan yang melindungi anak dari infeksi dan penyakit
kronis, serta mengurangi kemungkinan menderita gangguan kesehatan di kemudian hari seperti
obesitas, diabetes dan asma.

Jumlah produksi ASI bergantung pada besarnya diet ibu selama menyusui, ibu menyusui
harus mendapatkan tambahan zat sebesar 800 kkal yang digunakan untuk memproduksi ASI dan
untuk aktivitas ibu sendiri.3 Pada prinsipnya, makanan yang diberikan kepada ibu menyusui
harus mengandung cukup kalori (energi) untuk dapat mengganti energi yang dikeluarkan
maupun yang dibutuhkan untuk menghasilkan ASI. Komposisi yang terkandung dalam
makanan diusahakan
seimbang dan dapat memenuhi kebutuhan nutrisi untuk menjaga keadaan dan berat badan ibu
selama menyusui.

Selama pemberian ASI, pihak keluarga pemerintah daerah dan masyarakat harus
mendukung ibu secara penuh dengan penyediaan waktu dan fasilitas khusus. Penyediaan fasilitas
khusus dimaksudkan adalah pada lokasi tempat ibu menyusui tersebut bekerja. Diperhatikan agar
dapat menyusui, tubuh disiapkan mulai dari masa kehamilan, payudara membesar, dilanjutkan
dengan menyimpan cadangan energi berupa tambahan jaringan lemak, dan volume darah. Pada
ibu menyusui, Kebutuhan kalori proposional dengan jumlah air susu ibu yang dihasilkan, dan
lebih tinggi dibanding selama hamil (+ 500 kkal/hr) x Jumlah produksi ASI yang tergantung
pada besarnya cadangan lemak yang tertimbun selama hamil. Untuk menghasilkan 100 cc susu
dibutuhkan kalori sekitar 85 kkal, 850 cc susu = 750 kkal yg dibutuhkan dari makanan dan
cadangan endogen.

Kajian mengenai makanan, kebiasaan makan dan gizi, terutama aspek sosial, budaya dan
ekonomi makanan pada berbagai kelompok manusia bukanlah hal yang baru dalam sejarah
antropologi. Studi-studi awal tentang makanan lebih banyak menyorot masalah kebiasaan makan
sebagai suatu bentuk tingkah laku berpola yang sangat terkait dengan kebudayaan, yang
mencakup juga kepercayaan dan pantangan makan yang berkembang dalam sekelompok
masyarakat, dan juga berkaitan dengan faktor lingkungan sebagai sumber perolehan bahan
pangan yang utama.

Faktor yang Mempengaruhi dalam Pemberian ASI

Faktor yang mempengaruhi dalam pemberian ASI diantaranya usia ibu, pendidikan ibu,
pengetahuan ibu, pekerjaan ibu dan paritas ibu (Septia,2012). Teknik menyusui merupakan salah
satu faktor yang mempengaruhi produksi ASI di mana bila teknik menyusui tidak benar dapat
menyebabkan puting lecet dan menjadikan ibu enggan menyusui dan bayi jarang menyusu
karena bayi enggan manyusu akan berakibat kurang baik, karena isapan bayi sangat berpengaruh
pada rangsangan produksi ASI selanjutnya, namun sering kali ibu-ibu kurang mendapatkan
informasi tentang manfaat Asi dan tentang teknik menyusui yang benar (Roesli, 2011). Teknik
menyusui yang tidak dikuasai oleh ibu maka akan berdampak pada ibu dan bayi itu sendiri.
Dampak pada ibu berupa mastitis, payudara bergumpal, putting sakit, sedangkan pada bayi dapat
dipastikan, bayi tidak mau menyusu yang berakibat bayi tidak akan mendapat ASI (Sulistyowati,
2011). Penelitian
Menurut Gapmelezzy dan Ekowati (2009) menyebutkan bahwa teknik menyusui yang benar
ditentukan oleh pengetahuan ibu yang baik. Pengetahuan yang baik tentang pentingnya ASI dan
cara-cara menyusui akan membentuk sikap yang positif, selanjutnya akan terjadi perilaku
menyusui yang benar.

Paritas adalah jumlah anak yang pernah dilahirkan oleh seorang ibu. Seorang ibu
denngan bayi pertamanya mungkin akan mengalami kesulitan ketika menyusui yang sebetulnya
hanya karena tidak tahu cara yang sebanarnya dan apabila ibu mendengar ada pengalaman
menyusui yang kurang baik yang dialami orang lain, hal tersebut mungkin ibu ragu untuk
memberikan ASI pada bayinya. Ibu primipara yang pertama kai melahirkan akan memerlukan
lebih banyak informasi dan dukungan untuk menyusui karena me-nyusui merupakan pengalaman
pertamanya. Wulandari (2007) menyatakan bahwa pengalaman memegang peranan penting
dalam meningkatkan pengetahuan. Pengetahuan dalam hal ini dilihat dari jumlah anak yang
dilahirkan. Ibu yang melahirkan anak lebih dari satu kali cenderung untuk memiliki tingkat
pengetahuan yang lebih baik dalam hal pemberian ASI eksklusif. Hal tersebut menunjukkan ibu
mul-tipara yang memberikan ASI eksklusif lebih besar daripada ibu primipara (Alam & Syahrir,
2016).

Hubungan Pemberian ASI Eksklusif dalam Perspektif Sosial Budaya

Inisiasi Menyusui Dini (IMD) adalah suatu upaya mengembalikan hak bayi yang selama
ini terenggut oleh para praktisi kelahiran yang pada saat membantu proses persalinan.
Pemahaman dan pelaksanaan yang baik tentang Inisiasi Menyusui Dini merupakan dasar utama
dan kuat dalam proses tumbuh kembang anak dan pemenuhan Air Susu Ibu sejak bayi lahir
sampai usia 6 bulan akan meningkatkan poin kecerdasan intelektual yang lebih tinggi sebesar
12,9 pada usia 9 tahun. Berbagai faktor disinyalir sebagai penyebab rendahnya perilaku IMD di
Indonesia, antara lain karena faktor tingkat pendidikan, sikap, dan motivasi ibu menyusui yang
kurang dipengaruhi oleh perilaku dan tindakan bidan serta dukungan dari keluarga. Faktor lain
yang mempengaruhi keberhasilan pemberian ASI eksklusif adalah kemampuan untuk melakukan
penyusuan segera (immediate breastfeeding) yang saat ini lebih dikenal dengan istilah Inisiasi
Menyusui Dini (IMD). Rekomendasi pemberian ASI eksklusif sampai usia 6 bulan tampaknya
masih terlalu sulit untuk dilaksanakan. Sasaran program perbaikan gizi masyarakat untuk
meningkatkan ASI eksklusif hingga 80% tampak terlalu tinggi. Padahal, pemberian asi eksklusif
pada bayi akan memberikan dampak yang luas terhadap status gizi bayi dan ibu dikemudian hari.
seorang suami yang mampu
memperlihatkan rasa sayang dan perhatian kepada ibu bisa mengakibatkan seorang ibu merasa
lebih nyaman dan menghasilkan ASI yang berlimpah, serta akan meningkatkan rasa percaya diri
ibu. Seperti yang terdapat dalam beberapa cuplikan hasil in depth interview berikut ini (Fajar et
al., 2018).

“ Alhamdulillah, bapa’e banyak bantu...dio yang masa’i daun katu untuk ningkatkan asi- ku….
(wd) ”
“ …ASI saya banyak karena mas Yudi sering membelikan cemilan kacang-kacangan… (ss) ”

Dukungan suami berupa kehadiran saat melahirkan dapat memberikan keuntungan


emosional atau berpengaruh pada tingkah laku ibu yaitu pemberian ASI eksklusif. supporting
father atau dukungan suami akan memberikan dukungan kepada ibu saat melahirkan dan
membangun kepercayaan diri ibu agar mau dan mampu menyusui. Dukungan ibu/ibu mertua
juga memberikan hubungan yang signifikan terhadap pemberian ASI eksklusif pada bayi. Ibu
yang dipengaruhi oleh ibu/ibu mertua yang tidak mendukung pemberian ASI eksklusif akan
lebih mudah berisiko untuk tidak memberikan ASI eksklusif pada bayinya. Hal ini karena adanya
peran orang tua/mertua lebih besar dari peran suami.

Kekuatan Psikologis Ibu untuk Menyusui

Menyusui adalah proses alami bagi seorang ibu untuk menghidupi dan menyejahterakan
anak pascamelahirkan. Proses menyusui yang tidak mudah memerlukan kekuatan agar dapat
berhasil. Dalam penelitian teridentifikasi bahwa kekuatan yang menyebabkan ibu berhasil
menyusui lebih dari 6 bulan adalah kesadaran diri, dukungan, afeksi positif, sikap yang kuat dan
baik, tujuan yang terarah, dan kesejahteraan (Wattimena et al., 2012).

1. Kesadaran Diri. Ibu yang berhasil menyusui lebih dari 6 bulan mempunyai kesadaran diri
untuk memaknai ASI. Ia menyadari akan kelebihan yang luar biasa dalam kandungan gizi,
kekebalan, dan kedekatan yang terbentuk antara ibu dan anak. Hal-hal ini yang
membanggakan dan memberi pengharapan agar anak mereka tumbuh menjadi anak yang
cerdas.
2. Dukungan. Ibu yang berhasil menyusui merasa bahwa dukungan suami maupun orang-
orang sekitar menambah semangat sehingga membantu keberhasilan menyusui.
3. Afeksi. Berbekal kesadaran diri dan dukungan, berkembang afeksi positif terhadap
menyusui. Ibu merasa kasih sayang, bangga, serta kaya akan kenangan dan kebahagiaan
karena merasa menjadi ibu sesungguhnya, meskipun ada kalanya merasa kurang nyaman
dengan dirinya.
4. Sikap. Afeksi positif terhadap ASI membuat ibu bersikap kuat dan bajik. Ia bertekad
bulat menyusui sampai 2 tahun dengan atau tanpa bekerja dan siap mental. Niat dan
percaya diri berpengaruh pada keluarnya ASI.
5. Tujuan. Dengan menyusui, ibu menolong anaknya. Sebaliknya, anak pun menolong ibu
untuk merasa nyaman dan mengubah kepribadian. Selain itu, ibu jugamengajarkan
kepada anak suatu prinsip hidup.
6. Kesejahteraan. Ibu yang berhasil menyusui lebih dari 6 bulan menciptakan kesejahteraan
ibu dan anak. Ia menikmati anak yang sehat. Ikatan erat antara keduanya menjadi
penghibur

Hubungan Sosial Budaya dengan Asupan Makanan Ibu Muda Menyusui

Lingkungan setempat/budaya adalah faktor yang berhubungan dengan nilai-nilai dan


pandangan masyarakat yang lahir dari kebiasaan yang ada, dan pada akhirnya mendorong
masyarakat untuk berperilaku sesuai dengan tuntutan budaya. Misalnya budaya yang baru
berkembang sekarang ini adalah pandangan untuk tidak mengkonsumsi bahan makanan yang
dipantang oleh budaya, karena dapat berdampak bagi kesehatan bayi. Pola konsumsi makan
merupakan hasil budaya masyarakat yang bersangkutan dan mengalami perubahan terus menerus
sesuai dengan kondisi lingkungan dan tingkat kemajuan budaya masyarakat. Pola konsumsi ini
diajarkan dan bukan diturunkan secara herediter dari nenek moyang sampai generasi mendatang.
Kebudayaan suatu masyarakat mempunyai kekuatan yang cukup besar untuk mempengaruhi
seseorang dalam memilih dan mengolah pangan yang akan dikonsumsi. Kebudayaan menuntun
orang dalam cara bertingkah laku dan memenuhi kebutuhan dasar biologisnya termasuk
kebutuhan terhadap pangan. Pola makan yang seimbang, yaitu sesuai dengan kebutuhan disertai
pemilihan bahan makanan yang tepat akan melahirkan status gizi yang baik. Pada banyak
masyarakat, usia atau kondisi seseorang dapat dipakai sebagai alasan untuk melarang makanan-
makanan tertentu. Sebagai contoh, permasalahan gizi pada ibu hamil di Indonesia tidak terlepas
dari factor budaya setempat. Hal ini disebabkan karena adanya kepercayaan-kepercayaan dan
pantangan-pantangan
terhadap beberapa makanan. Sebagian masyarakat di Indonesia masih berpantang makan
makanan tertentu seperti udang atau kepiting dan buah nenas, walaupun menurut kesehatan
pantangan makanan tertentu tidak dibenarkan apalagi kalau makanan tersebut bergizi.
Masyarakat secara umum masih memiliki kebiasaan atau kepercayaan yang membudaya
terhadap makanan pada ibu hamil, seperti banyak pantangan dan tidak pengaruh makan dengan
gizi seimbang terhadap kualitas ASI yang diberikan kepada bayi, sehingga masih ibu muda
menyusui sebagian masih mengikuti sosial budaya yang ada di masyarakat tersebut (Rafsanjani,
2018).

Tradisi dan Lingkungan Sosial Memengaruhi Dukungan Menyusui pada Bayi Berat Badan
Lahir Rendah

Berat badan lahir rendah (BBLR) menjadi salah satu penyebab tingginya angka kematian
bayi di dunia. Setiap tahun sekitar 20 juta BBLR lahir di dunia dan 96,5% berada di negara
berkembang termasuk Indonesia. Penyebab kelahiran bayi BBLR sebagian besar karena
kelahiran prematur (67%) dan kecil masa kehamilan (KMK) (33%). Bayi prematur memiliki
organ dalam yang belum sempurna perkembangannya. Bayi prematur yang disertai BBLR akan
sangat rentan terhadap masalah kesehatan yang berakibat kesakitan dan kematian. Menyusui
menjadi salah satu rekomendasi World Health Organization (WHO) tahun 2003 untuk
penanganan BBLR. Bayi BBLR yang tidak mendapatkan air susu ibu (ASI) dan mendapatkan
susu formula dua kali berisiko mengalami infeksi, seperti necrotizing enterocolitis, diare, dan
infeksi saluran pernapasan. Ibu yang melahirkan bayi prematur dan BBLR memiliki perasaan
negatif ketika menyusui seperti cemas, rasa lelah, bersalah, sedih serta takut saat menggendong
dan menyentuh bayinya. Perasaan negatif yang muncul menimbulkan stres psikologis yang dapat
menyebabkan kegagalan menyusui pada bayi prematur. Pengaruh budaya lokal juga
memengaruhi praktik pemberian ASI pada bayi BBLR di Indonesia. Contohnya seperti suku
Jawa yang di mana budaya Jawanya ikut memengaruhi dalam praktik menyusui. Anjuran atau
larangan makanan-minuman, perilaku dan kepercayaan untuk ibu menyusui, seperti mandi
keramas dengan mata terbuka atau mandi wuwung, minum ramuan herbal untuk menyusui yang
terbuat dari campuran akar-akaran seperti kunyit, jahe, temulawak, atau ‘jamu gejah’ (jamu
kunyit asam), bayi rewel tanda ASI tidak cukup sehingga perlu ditambah makanan pendamping
ASI (MPASI), dan lain-lain (Choiriyah et al., 2015).
Lingkungan sosial juga memengaruhi ibu dalam menyusui, seperti semakin banyak ibu
bekerja, promosi susu formula dan pengaruh tetangga dalam memberikan MPASI dini sehingga
keputusan ibu untuk tetap menyusui atau tidak menjadi sangat penting. Bayi BBLR
membutuhkan pengenalan menyusu untuk menunjang keberhasilan menyusu. Di awal menyusui
muncul perasaan takut, kasihan, tidak percaya, sedih, kaget, tidak tega, kesulitan menggendong,
memegang dan menyusui dirasakan oleh partisipan saat melihat bayinya. Pemberian MPASI dini
dilakukan sebagai alternatif menghadapi kesulitan untuk tetap menyusui. Beberapa masyarakat
mengeluhkan kesulitan seperti kelainan putting (puting terbenam, pecah, terlalu besar, dan lecet),
keluarga yang menganjurkan berhenti menyusui dan memberikan MPASI, nyeri karena terlalu
sering memompa ASI, dan pekerjaan ibu. Meskipun merasakan kesulitan dalam menyusui,
masyarakat juga merasakan manfaat menyusui sehingga keempat partisipan memutuskan untuk
tetap menyusui. Manfaat yang dirasakan partisipan berupa praktis, hemat, bayi jarang sakit,
terdapat ikatan antara ibu-bayi, sebagai obat, dan aman.

Pandangan Sosial Budaya terhadap ASI Eksklusif

Pembahasan kali ini memaparkan praktik pemberian makanan prelakteal yang masih
dilakukan seperti pada bayi baru lahir diberikan air gula merah, air kopi, madu hutan, dan atau
santan kental. Pada ibu yang melahirkan di pelayanan kesehatan biasanya makanan prelakteal
yang diberikan adalah susu formula. Ibu-ibu yang melahirkan hanya sebagian kecil yang
melakukan IMD, praktik pemberian makanan prelakteal ini berdampak negatif terhadap program
ASI eksklusif. Para informan menyatakan pemberian makanan prelakteal ini saran dari orang tua
dan orang-orang di sekitar ibu. Hal-hal yang mendorong sebagian besar ibu untuk memberikan
ASI adalah karena naluri sebagai wanita yang baru melahirkan, merupakan kodrat, rasa tanggung
jawab atau kewajiban, dorongan kasih sayang kepada anak, dan karena kondisi ekonomi.
Sebagian kecil lainnya mengatakan karena dorongan orang tua dan bidan atau paraji. Disini
tampak bahwa dorongan dari diri sendiri atau ibu cukup besar pengaruhnya dalam pemberian
ASI. Faktor lingkungan yang mendukung pemberian ASI eksklusif dan lingkungan yang tidak
mendukung pemberian ASI esklusif. Hal ini menunjukkan bahwa faktor lingkungan berpengaruh
positif terhadap pemberian ASI eksklusif. Lingkungan merupakan kondisi yang ada di sekitar
manusia dan mempengaruhi perkembangan dan perilaku orang atau kelompok .
Ada faktor lain juga yang mempengaruhi selain pengetahuan yaitu faktor sosial budaya
yang menjadi faktor lain pembentuk sikap ibu. Penelitian mengenai ekstrak daun katuk
(Sauropus androgynus) Sa’roni, dkk (2004) dalam Panjaitan (2010) dihasilkan peningkatan ASI
lebih banyak pada subyek yang diberikan ekstrak daun katuk dibandingkan kelompok kontrol.
Diberikannya ekstrak daun katuk dapat diturunkannya jumlah subyek kurang ASI sebesar 12,5%.
Pemberian ekstrak daun katuk ini tidak memberikan perbedaan pada kandungan protein dan
lemak yang terdapat dalam ASI, jadi kandungannya tetap sama. Penyebab yang sering dijumpai
pada ibu atau orang tua yang berhenti menyusui adalah jumlah ASI sedikit. Untuk mengatasi
masalah ini maka sering dipergunakan bahan pelancar ASI yang disebut laktogogue. Pelancar
ASI herbal menjadi salah satu pemecahan masalah dapat digunakan dengan memperhatikan
indikasi dan efek sampingnya. Cara mempertahankan produks ASI yaitu dengan mekanisme
pengosongan payudara seperti suatu mekanisme umpan balik, semakin sering dikosongkan
payudara maka ASI makin banyak dihasilkan (Al, 2017).

Hubungan Kepercayaan dan Tradisi Keluarga pada Ibu Menyususi dengan Pemberian
ASI Eksklusif

Kepercayaan dan tradisi yang ada secara langsung maupun tidak langsung kurang
mendukung terhadap pelaksanaan ASI eksklusif. Ada berbagai macam keyakinan budaya terkait
menyusui, ada beberapa keyakinan yang mendukung namun ada juga yang tidak mendukung.
Standar budaya dan sosial yang ada di masyarakat berbeda-beda antar setiap tergantung tiap
masyarakat. Hal ini menunjukkan bahwa seharusnya kebijakan kesehatan masyarakat di seluruh
dunia harus mempertimbangkan dan mempelajari budaya masyarakat untuk mencipkaan kondisi
yang mendukung terhadap praktik pemberian ASI. Tradisi dan kepercayaan berkembang sebagai
sesuatu yang akan menggiring perilaku masyarakat untuk melakukan hal sesuai dengan tradisi
dan kepercayaan yang ada di lingkungan mereka. Seperti menurut Hatta (2010), mitos-mitos
ataupun kepercayaan adalah hal yang menghambat tindakan menyususi yang normal, beberapa
mitos yang sering ada yaitu kolostrum yang terdapat dalam ASI tidak bagus dan berbahaya untuk
bayi, teh khusus atau cairan dibutuhkan bayi sebelum menyusu, dan bayi akan mengalami
kekurangan nutrisi untuk pertumbuhannya apabila hanya diberikan ASI saja. Dari beberapa
kepercayaan tersebut tentu seorang ibu akan memberikan beberapa makanan tambahan lain
selain ASI untuk memenuhi kebutuhan nutrisi bagi bayinya.
Masyarakat madura terkenal dengan budaya-budayanya yang masih sangat kental.
Kepercayaan dan tradisi yang ada akan mempengaruhi perilaku masyarakatnya. Kepercayaan di
dalam sosial budaya datang dari apa yang dilihat dan apa yang diketahui seseorang. Kepercayaan
yang telah diyakini oleh seseorang akan menjadi dasar untuk berperilaku. Namun pada
kenyataannya tidak selalu kepercayaan tersebut benar. Ada kalanya karena ketidaktahuan akan
informasi yang benar mengenai suatu kejadian atau objek yang terjadi justru membentuk sebuah
kepercayaan (Azwar, 2005). Salah satu penelitian yang sudah dilakukan oleh Saaty, et.al. (2015),
dengan tujuan untuk mengetahui praktik menyusui dikalangan imigran yang berasal dari Arab
dan tinggal di Amerika Serikat. Penelitian tersebut menemukan fakta bahwa adanya perbedaan
persepsi dan budaya antara negara asal dengan negara tempat tinggal sekarang mempengaruhi
perilaku ibu-ibu dalam menyusui bayinya. Perilaku dibentuk oleh budaya dan nilai-nilai serta
kenyakinan agama para ibu-ibu Arab ini berkembang dengan adanya perbedaan persepsi serta
budaya ditempat mereka tinggal sekarang.

Kepercayaan dan tradisi yang ada di masyarakat menggiring pola pikir masyarakat atas
tindakan yang akan dilakukan untuk menyikapi sesuatu. Kepercayaan yang ada di masyarakat
menjadi hal yang sangat berperan dalam membentuk perilaku seseorang. Sebagai contoh, apabila
responden sudah sejak sebelum melahirkan percaya bahwa memberikan cairan lain selain air
susu ibu seperti madu atau air manis ketika bayi lahir dapat membuat bayi menjadi lebih kuat.
Maka responden tersebut akan menanamkan bahwa memberi madu dan air manis dapat akan
membuat bayi menjadi lebih kuat. Kepercayaan ini dapat dengan mudah melemahkan
terlaksanakannya ASI eksklusif yang seharusnya menyusui bayi dengan air susu ibu saja dari
lahir hingga umur 6 bulan pertama. Sistem pencernaan yang dimiliki bayi baru lahir masih belum
kuat. Sehingga bayi dikhawatirkan belum mampu untuk mencerna makanan lain selain ASI.
Kandungan ASI juga sudah mencukupi seluruh kebutuhan nutrisi yang diperlukan bayi. Namun
masyarakat biasanya sudah terlanjur percaya dengan informasi yang berkembang dimasyarakat.
Banyak para ibu yang memberikan makanan pendamping kepada bayinya yang baru berusia dua
bulan karena ketidak tahuan ibu akankegunaan ASI. Beberapa riset yang dilakukan di beberapa
negara membuktikan bahwa ASI adalah nutrisi paling baik untuk bayi sampai usia 6 bulan
pertama kemudian disempurnakan hingga 2 tahun selanjutnya (Setyaningsih & Farapti, 2019).
DAFTAR PUSTAKA

1. Alam, S., & Syahrir, S. (2016). Faktor-faktor Yang Berhubungan Dengan Teknik
Menyusui Pada Ibu Di Puskesmas Patallang Kabupaten Takalar. Al-Sihah, 8(2), 1–9.
2. Alam, S. & Syahrir, S. (2016). Hubungan Personal Hygiene Pemberian Susu Formula
Dengan Kejadian Diare Pada Bayi di Kelurahan Dannuang Kecamatan Ujung Loe
Kabupaten Bulukumba Tahun 2016.
http://103.55.216.56/index.php/higiene/article/view/3699
3. Alam, Syamsul and Karini, Tri Addya. (2020). Pola Asuh Anak: Tinjauan Perspektif Gizi
Masyarakat. http://repositori.uin-alauddin.ac.id/17794/
4. Al, Y. et. (2017). Indonesian Journal of Human Nutrition. Indonesian Journal of Human
Nutrition, 2(1), 48–59. kalteng.litbang.pertanian.go.id
5. Choiriyah, M., Hapsari, E. D., & Lismidiati, W. (2015). Tradisi dan Lingkungan Sosial
Memengaruhi Dukungan Menyusui pada Bayi Berat Badan Lahir Rendah di Kota
Malang. Kesmas: National Public Health Journal,
10(1), 37.
https://doi.org/10.21109/kesmas.v10i1.816
6. Fajar, N. A., Purnama, D. H., Destriatania, S., & Ningsih, N. (2018). Hubungan Pemberian
Asi Eksklusif Dalam Prespektif Sosial Budaya Di Kota Palembang. Jurnal Ilmu
Kesehatan Masyarakat, 9(3), 226–234. https://doi.org/10.26553/jikm.v9i3.315
7. Nurti, Y. (2017). KAJIAN MAKANAN DALAM PERSPEKTIF ANTROPOLOGI.
JURNAL ANTROPOLOGI : Isu-Isu Sosial Budaya, 4(1), 9–15.
8. Rafsanjani, T. M. (2018). Pengaruh individu, dukungan keluarga dan sosial budaya
terhadap konsumsi makanan ibu muda menyusui (Studi kasus di Desa Sofyan Kecamatan
Simeulue Timur Kabupaten Simeulue). AcTion: Aceh Nutrition Journal, 3(2), 124.
https://doi.org/10.30867/action.v3i2.112
9. Setyaningsih, F. T. E., & Farapti, F. (2019). Hubungan Kepercayaan dan Tradisi
Keluarga pada Ibu Menyusui dengan Pemberian ASI Eksklusif di Kelurahan Sidotopo,
Semampir, Jawa Timur. Jurnal Biometrika Dan Kependudukan, 7(2), 160.
https://doi.org/10.20473/jbk.v7i2.2018.160-167
10. Wattimena, I., Susanti, N. L., & Marsuyanto, Y. (2012). Kekuatan Psikologis Ibu untuk
Menyusui. Kesmas: National Public Health Journal, 7(2), 56.
https://doi.org/10.21109/kesmas.v7i2.63

Anda mungkin juga menyukai