Anda di halaman 1dari 8

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

ASI adalah sumber gizi terbaik bagi bayi yang baru lahir. ASI

merupakan makanan pertama, utama, dan terbaik bagi bayi, yang bersifat

alamiah. ASI mengandung berbagai zat gizi yag dibutuhkan dalam proses

pertumbuhan dan perkembangan bayi. Menyusui telah dikenal dengan

sangat baik sebagai cara untuk melindungi, meningkatkan, dan mendukung

kesehatan bayi dan anak usia dini. ASI juga memelihara pertumbuhan dan

perkembangan otak bayi, sistem kekebalan, fisiologi tubuh secara optimal,

dan merupakan faktor vital untuk mencegah penyakit terutama diare dan

infeksi saluran nafas (Yuventhia, 2018 dalam Ica, 2019).

Menyusui merupakan hal yang paling penting sebagai dasar

pertumbuhan dan perkembangan bayi dan balita, selain itu dengan

menyusui akan membantu menjaga kesehatan ibu dan ekonomi keluarga.

Bayi yang diberikan ASI lebih sehat dan tidak mudah terserang penyakit

seperti diare dan infeksi. Penelitian menunjukan bahwa bayi yang diberi ASI

lebih dari 17 kali memiliki kemungkinan lebih rendah untuk terserang

penyakit diare dibandingkan dengan bayi yang tidak disusui. Selain itu bayi

yang diberi susu formula 3-4 kali kemungkinan meninggal karena pneumonia

dibandingkan dengan bayi yang diberi ASI (Lestariningsih,.dkk, 2020)

United Nation Childrens Fund (UNICEF) dan World Health

Organization (WHO) merekomendasikan dalam rangka menurunkan angka

kesakitan dan kematian anak, sebaiknya anak hanya disusui air susu ibu

(ASI) selama paling sedikit enam bulan (Febriyanti, 2018). Sebuah analisis

menyatakan bahwa pemberian ASI selama 6 bulan dapat menyelamatkan

1,3 juta jiwa di seluruh dunia, termasuk 22% nyawa yang melayanang
setelah kelahiran (Tanjung & Rangkuti, 2020). Pemberian ASI berpengaruh

pada kualitas kesehatan bayi. Semakin sedikit jumlah bayi yang mendapat

ASI, maka kualitas kesehatan bayi dan anak balita akan semakin buruk. Hal

itu dikarenakan pemberian makanan pendamping ASI yang tidak benar

dapat menyebabkan gangguan pencernaan yang berakibat gangguan

pertumbuhan dan meningkatkan Angka Kematian Bayi (AKB). Hal ini dapat

menyebabkan suatu keadaan yang cukup serius dalam hal gizi bayi

(Nasution et al., 2016). Situasi gizi balita di dunia saat ini sebanyak 155 juta

balita pendek (stunting), 52 juta balita kurus (wasting), dan 41 juta balita

gemuk (overweight). Di Indonesia, berdasarkan hasil Riskesdas 2018, 17,7%

balita mengalami gizi buruk dan gizi kurang, 30,8% balita sangat pendek dan

pendek, 10,2% balita sangat kurus dan kurus, dan 8% balita gemuk. Untuk

mengatasi masalah gizi tersebut salah satunya dengan pemberian ASI.

Saat produksi ASI belum banyak, mungkin ibu menyangka bahwa

ASI nya sedikit, sehingga ibu menjadi tidak semangat untuk menyusui

bayinya dan akan menyambungnya denga susu formula. Akibatnya, hisapan

bayi pada putting berkurang mengakibakan makin lemahnya produksi ASI

dan akhirnya produksi ASI benar – benar sedikit. Beberapa alasan mengapa

ibu tidak memberikan ASI secara eksklusif kepada bayinya, antara lain

adalah produksi ASI yang kurang, kesulitan bayi dalam menghisap, keadaan

putting susu ibu yang tidak mennjang, ibu yang bekerja, keinginan disebut

sebagai modern, terpengaruh iklan susu formula serta pengakuan bahwa

semua orang sudah memilki penngetahuan tentang manfaat ASI. Salah

satu penyebab ibu tidak memberikan ASI adalah produksi ASI yang sedikit

atau tidak keluar sama sekali pada ibu pasca melahirkan, sehingga bayi

tidak hanya mengkonsumsi ASI melainkan mendapatkan makanan tambahan

lain. Ibu-ibu yang tidak menyusui bayinya pada hari-hari pertama setelah
melahirkan disebabkan oleh kecemasan dan ketakutan ibu akan kekurangan

produksi ASI (Trio.,2015).

Faktor masalah dalam pemberian ASI dapat berupa faktor psikologis

yang mengakibatkan perubahan pada psikisnya. Kondisi ini dapat

mempengaruhi proses laktasi. Fakta menunjukan bahwa cara kerja hormone

oksitosin di pengaruhi oleh kondisi psikologis. Persiapan ibu secara

psikologis sebelum menyusui merupakan faktor penting yang mempengaruhi

keberhasilan dalam menyusui. Tidak semua ibu yang baru melahirkan

langsung bisa mengeluarkan ASI karena pengeluaran ASI merupakan suatu

interaksi yang komplek antara rangsangan mekanik dan saraf. Faktor lain

yang berhubungan dengan produksi ASI adalah anatomi papila payudara.

Papila payudara yang tidak menonjol menyebabkan bayi sulit tuntuk

menghisap sehingga ASI keluar tidak lancar sebaliknya bentuk papila yang

menonjol mudah untuk dihisap bayi karena papila payudara mengandung

banyak sekali saraf sensoris yang dapat merangsang pengeluaran prolaktin

untuk memproduksi ASI dan oksitoin sehingga menjadi lancar. Keadaan

psikologis ibu yang buruk akan menghambat refleks oksitosin sehingga

pengeluaran ASI menjadi tidak lancar, antara lain ibu yang sedang bingung

atau pikiranya sedang kacau, ibu khawatir ASI nya tidak cukup, ibu merasa

sakit saat menyusui, ibu merasa sedih, cemas, marah, kesal, dan malu saat

menyusui (Ica, 2019).

Produksi ASI juga dipengaruhi oleh faktor hisapan bayi yang meliputi

frekuensi menyusu dan lama menyusu pada puting susu yang menyebabkan

hormon oksitosin untuk mensekresi ASI. Hormon oksitosin akan

menyebabkan sel-sel otot yang mengelilingi pabrik susu berkontraksi

sehingga mendorong ASI keluar dari pabrik dan mengalir melalui saluran

susu ke dalam gudang susu yang terdapat di bawah daerah yang berwarna
coklat. Hal tersebut berbeda bagi bayi yang lahir dengan usia kehamilan

kurang bulan. Bayi yang lahir premature biasanya memiliki berat badan yang

rendah yaitu <2500 gram. Bayi yang memiliki berat badan lahir rendah

(BBLR) akan kesulitan dalam menghisap sehingga rangsangan pada puting

berkurang mengakibatkan produksi ASI yang tidak lancar. Sama halnya

dengan bayi yang dalam kondisi tidak sehat Pada bayi yang status

kesehatannya buruk akan kesulitan dalam menghisap putting, sehingga

mekanisme produksi ASI akan menurun tanpa adanya hisapan pada

putting payudara. Bayi yang sakit pada umumnya malas untuk menghisap

puting sehingga menyebabkan rangsangan produksi ASI terhambat

(Trio.,2015).

Kondisi ibu, status gizi dan juga makanan yang dikonsumsi oleh ibu

juga dapat mempengaruhi produksi ASI. Selama menyusui, ibu memerlukan

membutuhkan 500-1000 kalori lebih banyak dari wanita yang tidak

menyusui. Wanita menyusui rentan terhadap kekurangan magnesium,

vitamin B6, folat, kalsium, dan seng. Air Susu Ibu (ASI) tidak memiliki suplai

zat besi yang cukup untuk bayi prematur atau bayi yang berusia lebih dari 6

bulan. Oleh karena itu, suplementasi zat besi sebaiknya diberikan pada ibu

menyusui dengan bayi prematur. Nutrisi yang tidak adekuat dan stress dapat

menurunkan jumlah produksi ASI (Radharisnawati, dkk,.2017).

Istirahat yang cukup pada masa nifas akan mempengaruhi

kelancaran dari produksi ASI karena aktifitas yang tinggi akan menyebabkan

ibu mengalami kelelahan dan apabila kondisi ibu lelah atau stress maka

produksi ASI akan terganggu. Kurangnya istirahat dan tidur menyebabkan

kurangnya jumlah produksi ASI, memerlambat proses involusi uteri dan

meningkatkan risiko perdarahan, menyebabkan depresi dan

ketidakmampuan ibu untuk merawat diri dan bayinya (Andi,.dkk,.2021).


Produksi ASI yang sedikit dan tidak keluar juga bisa disebabkan

karena tidak adanya inisiasi menyusu dini pada satu jam pertama setelah

kelahiran. Setelah proses kelahiran pada 30 menit pertama, bayi harus

disusukan pada ibunya, bukan untuk pemberian nutrisi, tetapi untuk belajar

menyusu dan juga mempersiapkan ibu untuk memulai produksi ASI. Gerakan

refleks untuk menghisap pada bayi baru lahir akan mencapai puncaknya

pada waktu berusia 20-30 menit, sehingga apabila terlambat menyusui

refleks ini akan berkurang dan akan berlanjut sampai seterusnya. Bayi yang

menyusu dalam 20-30 menit akan membantu bayi memperoleh kolostrum,

serta membantu membangun ikatan kasih saying ibu dan bayi, sehingga

dapat meningkatkan produksi ASI yang juga mempengaruhi proses menyusu

berikutnya yang lebih baik. Kenyamanan dalam menyusui bukan hanya

terletak pada kenyamanan ibu, melainkan juga pada kenyamanan bayi yang

berdampak pada pengeluaran ASI yang maksimal. Kenyamanan dan

pengeluaran ASI yang maksimal ini dapat tercipta apabila ibu memiliki teknik

menyusui yang baik dan merupakan kunci keberhasilan dalam menyusui.

Menurut asumsi peneliti teknik menyusui yang baik merupakan kunci awal

keberhasilan menyusui, dengan posisi dan pelekatan yang benar, isapan

bayi akan efektif dan memicu refleks menyusui sehingga merangsang

produksi ASI (Andi,.dkk,.2021).

Di dunia 2 dari 3 ibu menyusui mengalami kesulitan. Ibu merasa

khawatir tidak bisa memberikan ASI dengan bernbagai alasan seperti ibu

bekerja, payudara kecil, ibu mengkonsumsi obat, ataupun bayi kembar.

Untuk mencegah kesulitan tersebut salah satu upaya yang dilakukan adalah

memberikan dukungan kepada ibu menyusui. Dukungan dapat berasal dari

keluarga, tenaga kesehatan, maupun lingkungan. Upaya lain yang dapat

dilakukan untuk mengurangi masalah kecemasan ibu menyusui akan


ketidakpercayaan diri ibu maka dapat menggunakan Afirmasi positif pada ibu

menyusui untuk membantu ibu meningkatkan kepercayaan diri sehingga ibu

mampu menyusui. Jika ibu sudah yakin bahwa dirinya mampu menyusui

maka hypofisis anterior akan mengeluarkan hormone prolactin yaitu

hormone untuk memproduksi ASI (Lestariningsih,.dkk, 2020)

Salah satu terapi yang dapat memperlancar ASI adalah terapi

afirmatif positif. Terapi afirmasi positif adalah pernyataan atau ungkapan

positif yang ditujukan pada diri sendiri yang dapat mempengaruhi pikiran

seseorang. membantu pengembangan persepsi agar lebih positif terhadap

diri sendiri sehingga dapat merubah pikiran bawah sadar agar menolong

individu dalam mengubah pola pikir kearah yang lebih baik terhadap individu

(Kusumastuti, 2017 dalam Raudhatun, 2021). afirmasi positif itu sendiri

adalah memberikan informasi kepada pikiran sadar seseorang secara terus

menerus sehingga informasi tersebut akan tertanam dipikiran bawah sadar

(Martini, 2016 dalam Sakanun, 2020). Manfaat yang didapat dari afirmasi

positif antara lain membawa hal-hal positif dalam 3 kehidupan, sedangkan

pikiran-pikiran dan afirmasi negatif cenderung melemah dan berpotensi

menimbulkan kegagalan (Meriyanti, 2016 dalam Sakanun, 2020).

Kata-kata positif yang ditanamkan dalam pikiran ibu dapat

mempengaruhi kondisi fisik ibu sehingga mengakibatkan produksi hormon

oksitosin meningkat. Hormon oksitosin merupakan hormon yang dapat

memperlancar pengeluaran ASI. Kejadian tersebut mengakibatkan ASI yang

keluar banyak sehingga ibu dapat memenuhi kebutuhan ASI untuk bayinya.

Hal inilah yang dapat meningkatkan kepercayaan diri ibu untuk dapat

memberikan ASI untuk bayinya (Lestariningsih,.dkk, 2020)


Oleh karena itu peneliti tertarik untuk meneliti tentang “Pengaruh

afirmasi positif terhadap produksi ASI pada ibu primipara Di Desa Kandang

Jati Kraksaan”.

1.2 Rumusan masalah

Melihat fenomena diatas, maka peneliti tertarik untuk meneliti “Adakah

Pengaruh afirmasi positif terhadap produksi ASI pada ibu primipara Di Desa

Kandang Jati Kraksaan ?”.

1.3 Tujuan

1.3.1 Tujuan Umum

Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk menganalisis

Pengaruh afirmasi positif terhadap produksi ASI pada ibu primipara Di

Desa Kandang Jati Kraksaan.

1.3.2 Tujuan Khusus

1. Mengidentifikasi produksi ASI pada ibu primipara Di Desa Kandang

Jati Kraksaan

2. Menganalisis pengaruh afirmasi positif terhadap kelancaran ASI pada

ibu primipara Di Desa Kandang Jati Kraksaan

1.4 Manfaat Penelitian

1.4.1 Bagi Institusi Pendidikan

Sebagai tambahan referensi dalam pengembangan penelitian

mengenai produksi ASI.


1.4.2 Bagi Ilmu Keperawatan

Sebagai data dan informasi yang berguna dalam kegiatan

perencanaan dibidang kesehatan khususnya terkait produksi ASI.

1.4.3 Bagi Lahan Penelitian

Data dan hasil yang diperoleh dapat dijadikan sumber informasi

dan masukan untuk mengoptimalkan program kesehatan dan pembuatan

kebijakan untuk mengatasi masalah produksi ASI.

1.4.4 Bagi Responden

Hasil penelitian dapat menambah informasi kepada masyarakat

sehingga bisa digunakan untuk meningkatkan gizi bayi.

1.4.5 Bagi Peneliti

Meningkatkan pengetahuan tentang manfaat afirmasi positif.

Anda mungkin juga menyukai