Anda di halaman 1dari 29

MASAILUL FIQH

Diajukan untuk memenuhi tugas Perbaiakan Nilai Mata Kuliah Masailul Fiqih

Dosen
Dr.H. Husni Rofiq, M.Ag

Disusun oleh
Abdul malik hudaya PAI/Reguler Semester 9

JURUSAN TARBIYAH
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM (STAI) SILIWANGI BANDUNG
2019M/1440H
SOAL
PEMBAHASAN
A. Sewa Rahim
1. Pengertian
Di dalam bahasa Arab, sewa rahim dikenal dengan berbagai macam istilah
di antaranya: al-‘ummu al-musta’jir, al-ummu al-badilah, al-musta’jir, al-
hadlanah, syatlul janin, al-ummu al-kazibah, ar-rahmu al-musta’ar, atau ta’jirul
arham. Tetapi sewa rahim lebih dikenal dengan istilah ar-rahmu al-musta’jir atau
al-‘ummu al-badilah. Sedangkan di dalam bahasa Inggris, sewa rahim dikenal
dengan istilah surrogate mother.
Kata surrogate berasal dari bahasa latin subrogare (yang artinya
menggantikan), yang berarti wanita yang ditunjuk untuk bertindak sebagai ibu
pengganti atau ibu sewa. Para orang tua angkat (yang menunjuk ibu sewa) adalah
individu atau orang-orang yang akan membesarkan anak tersebut setelah
dilahirkan. Ada kecenderungan sekarang ini untuk membatasi istilah ‘surrogacy’
hanya berarti “gestational surrogacy ”.
2. Landasan Hukum
MUI memberikan fatwa dalam masalah bayi tabung atau sewa rahim ini
(hasil komisi fatwa tanggal 13 Juni 1979), yang menyatakan bahwa Dewan
Pimpinan Majelis Ulama Indonesia memfatwakan sebagai berikut :
a. Bayi tabung dengan sperma dan ovum dari pasangan suami isteri yang sah
hukumnya mubah (boleh, berdasarkan kaidah agama).
b. Bayi tabung dari pasangan suami-isteri dengan titipan rahim isteri yang lain
(misalnya dari isteri kedua dititipkan pada isteri pertama) hukumnya haram
berdasarkan kaidah Sadd az-zari’ah, sebab hal ini akan menimbulkan masalah
yang rumit dalam kaitannya dengan masalah warisan (khususnya antara anak
yang dilahirkan dengan ibu yang mempunyai ovum dan ibu yang mengandung
kemudian melahirkannya, dan sebaliknya).
c. Bayi tabung dari sperma yang dibekukan dari suami yang telah meninggal
dunia hukumnya haram berdasarkan kaidah Sadd az-zari’ah, sebab hal ini
akan menimbulkan masalah yang pelik, baik dalam kaitannya dengan
penentuan nasab maupun dalam kaitannya dengan hal kewarisan.
d. Bayi tabung yang sperma dan ovumnya diambil dari selain pasangan suami
isteri yang sah hukumnya haram, karena itu statusnya sama dengan hubungan
kelamin antar lawan jenis di luar pernikahan yang sah (zina), dan berdasarkan
kaidah Sadd az-zari’ah, yaitu untuk menghindarkan terjadinya perbuatan zina
sesungguhnya.
Sedangkan dalam buku masailul fiqhiyah karangan Mahyudin dapat
disimpulkan bahwa inseminasi buatan atau bayi tabung dan sejenisnya tergolong
zina dan menyulitkan penegakkan hukum Islam dalam masalah yang lain dan
berakibat :
a. Mengacaukan hukum Islam untuk menentukan wali anak perempuan dari
hasil inseminasi dan bayi tabung bila ia dikawinkan.
b. Menyulitkan hukum Islam untuk menentukan hak-hak anak tersebut dalam
urusan perwarisan dsb.
Beberapa Fatwa ulama yang mengharamkan Surrogate Mother
a. Fatwa Al-Lajnah Ad-Daimah
‫ترتب على‬LL‫ا ي‬LL‫ا؛ لم‬LL‫ا برحمه‬LL‫برع البنته‬LL‫وبعد دراسة اللجنة لالستفتاء أجابت بأنه ال يجوز لألم المذكورة الت‬
‫ذلك من محاذير شرعية‬
Setelah Al-Lajnah mempelajari (prosedur meminjam rahim), maka AL-Lajnah
memutuskan bahwasanya tidak boleh (haram) bagi ibu tersebut meminjamkan
rahimnya kepada anak perempuannya. Karena akan muncul kerusakan dalam
syariat.
b. Fatwa Profesor Abdullah Al-Jibrin rahimahullah
Kita katakan ini adalah sesuatu yang baru dan mungkar, tidak ada ulama
sebelumnya yang berbicara mengenai hal ini dan tidak disebut oleh ulama dan
imam-imam orang Islam bahwa hal ini boleh. Tidak diragukan lagi bahwa hal ini
“HARAM” alasan yang pertama adalah karena perintah Allah Ta’ala agar
menjaga kemaluan sebagaimana firman Ta’ala,
‫َو اَّلِذ يَن ُهْم ِلُفُروِجِهْم َح اِفُظوَن ِإاَّل َع َلى َأْز َو اِجِهْم أْو َم ا َم َلَك ْت َأْيَم اُنُهْم َفِإَّنُهْم َغْيُر َم ُلوِم يَن‬
“Dan orang-orang yang menjaga kemaluannya, kecuali terhadap istri-istri
mereka atau budak yang mereka miliki ; maka sesungguhnya mereka dalam hal
ini tiada tercela.” (Qs. Al-Mukminun: 5-6)
c. Fatwa Majma’ Al-Buhuts Al-Islamiyyah (Lembaga Riset dan Fatwa al-
Azhar).
Adapun menyewakan rahim maka hukumnya HARAM secara syariat.
Fatwa Majma’ al-Buhuts Al-Islamiyyah telah mengeluarkan keputusan nomor 1
tanggal 29 Maret 2001 yang mengharamkan penyewaan rahim. Para ulama fikih
kontemporer pun sepakat mengenai keharamannya. Salah satu alasannya adalah
karena tidak dapat dipastikan siapa ibu yang sebenarnya bagi bayi itu disebabkan
terdapat pihak ketiga (pemilik rahim yang disewa). Sehingga timbul kerancuan
tentang siapakah yang lebih berhak menjadi ibu bayi itu, apakah wanita pemilik
sel telur yang darinya tercipta janin itu dan yang membawa seluruh sifat
genitasnya, ataukah wanita yang di dalam rahimnya seluruh proses perkembangan
bayi itu berlangsung hingga menjadi sosok yang sempurna?
Adanya perselisihan dan perdebatan yang besar seperti ini bertentangan
dengan tujuan dan maksud syariat Islam berupa menciptakan kestabilan,
ketentraman dan menghilangkan pertikaian atau membatasinya pada skala sekecil
mungkin
3. Konsep Darurat dalam Sewa Rahim
Makna darurat adalah sebuah kebutuhan yang sangat mendesak, dimana
tidak mungkin dihindari yang menyebabkan seseorang menerjang dan melanggar
larangan syar’i yang bersifat haram. Dan kalau keharaman itu tidak diterjang
maka akan menyebabkan sesuatu yang membahayakan dirinya .
Kemudian para ulama’ memberikan persyaratan bagi seseorang bisa
dikatakan dalam keadaan darurat harus terdapat 5 syarat, syarat-syarat tersebut
adalah;
a. Kondisi bahaya besar itu telah benar-benar terjadi atau belum terjadi, namun
diyakini atau diprediksi kuat akan terjadi.
b. Tidak bisa dihilangkan dengan cara yang halal.
c. Ukuran melanggar larangan saat kondisi terpaksa itu harus dilakukan
sekadarnya saja.
d. Waktu melanggar larangan saat kondisi darurat ini tidak boleh melebihi waktu
darurat tersebut.
e. Melanggar sesuatu yang terlarang dalam kondisi darurat tersebut tidak akan
menimbulkan bahaya yang lebih besar.
Dalam prakteknya para ulama’ memberikan pengecualian pada kaidah ini,
diantaranya adalah:
 Pertama, apabila menghilangkan kemudlaratan itu mengakibatkan datangnya
kemudlaratan yang lain yang sama tingkatannya, maka hal ini tidak
diperbolehkan melakukan kemudlaratan tersebut. Seperti seseorang yang
kelaparan mengambil makanan orang lain yang juga dalam kelaparan,
meskipun orang yang pertama juga kelaparan.
 Kedua, apabila dalam menghilangkan kemudlaratan menimbulkan
kemudlaratan yang lain yang lebih besar atau lebih tinggi tingkatannya, maka
hal ini lebih tidak diperbolehkan. Selain itu, dalam menghilangkan
kemudlaratan, dilarang melampaui batas dan betul-betul tidak ada jalan lain
kecuali melakukan perbuatan yang dilarang itulah satu-satunya jalan.
B. Bayi Tabung
1. Pengertian
Bayi tabung atau pembuahan in vitro adalah sebuah teknik pembuahan
yang sel telur (ovum) dibuahi di luar tubuh wanita. Ini merupakan salah satu
metode untuk mengatasi masalah kesuburan ketika metode lainnya tidak berhasil,
dalam istilah kerennya in vitro vertilization (IVF). In vitro adalah bahasa latin
yang berarti dalam gelas/tabung gelas (nyambung juga kan dengan kata tabung)
dan vertilization adalah bahasa Inggrisnya pembuahan.
Dalam proses bayi tabung atau IVF, sel telur yang sudah matang diambil
dari indung telur. Secara teknis, dokter mengambil sel telur dari indung telur
wanita dengan alat yang di sebut “laparoscop” yang ditemukan dr. Patrick C.
Steptoe dari inggris. Lalu dibuahi dengan sperma di dalam sebuah medium cairan.
Setelah berhasil, embrio kecil yang terjadi dimasukkan ke dalam rahim dengan
harapan dapat berkembang menjadi bayi.Atau dapat di definisikan juga bahwa
Bayi Tabung atau dalam bahasa kedokteran disebut In Vitro Fertilization (IVF)
adalah suatu upaya memperoleh kehamilan dengan jalan mempertemukan sel
sperma dan sel telur dalam suatu wadah khusus. Pada kondisi normal, pertemuan
ini berlangsung di dalam saluran tuba.
Proses yang berlangsung di laboratorium ini dilaksanakan sampai
menghasilkan suatu embrio yang akan ditempatkan pada rahim ibu. Embrio ini
juga dapat disimpan dalam bentuk beku dan dapat digunakan kelak jika
dibutuhkan.Bayi tabung merupakan pilihan untuk memperoleh keturunan bagi
ibu- ibu yang memiliki gangguan pada saluran tubanya. Pada kondisi normal, sel
telur yang telah matang akan dilepaskan oleh indung telur (ovarium) menuju
saluran tuba (tuba fallopi) untuk selanjutnya menunggu sel sperma yang akan
membuahi. Jika terdapat gangguan pada saluran tuba maka proses ini tidak akan
berlangsung sebagaimana mestinya. Bayi tabung pertama yang lahir ke dunia
adalah Louise Joy Brown pada tahun 1978 di Inggris.
2. Landasan Hukum
Dalil-dalil syar’i yang dapat menjadi landasan hukum untuk
mengharamkan inseminasi buatan dengan donor, ialah sebagai berikut:
Surat Al-Isra ayat 70 :

‫َو َلَق ْد َكَّر ْم َنا َبِني آَدَم َو َحَم ْلَناُه ْم ِفي اْلَبِّر َو اْلَبْح ِر َو َر َز ْقَناُه ْم ِم َن الَّطِّيَب اِت َو َفَّض ْلَناُه ْم َعَلٰى َك ِث يٍر‬

‫ِم َّم ْن َخ َلْق َنا َتْف ِض ياًل‬


“Dan sesungguhnya telah Kami meliakan anak-anak Adam, Kami angkat mereka
di daratan dan di lautan, Kami beri mereka rezeki dari yang baik-baik dan Kami
lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk
yang telah Kami ciptakan”.
Surat At-Tin ayat 4 :
‫َلَقْد َخ َلْق َنا اِإْل ْن اَن يِف َأْح ِن َتْق ِوٍمي‬
‫َس‬ ‫َس‬
“Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-
baiknya”.
Kedua ayat tersebut menunjukkan bahwa manusia diciptakan oleh Tuhan
sebagai makhluk yang mempunyai kelebihan/keistimewaan sehingga melebihi
makhluk-makhluk Tuhan lainnya. Dan Tuhan sendiri berkenan memuliakan
manusia, maka sudah seharusnya manusia bisa menghormati martabatnya sendiri
dan juga menghormati martabat sesama manusia. Sebaliknya inseminasi buatan
dengan donor itu pada hakikatnya merendahkan harkat manusia (human dignity)
sejajar dengan hewan yang diinseminasi.
Menurut salah satu putusan Fatwa Ulama Saudi Arabia, disebutkan bahwa
Alim ulama di lembaga riset pembahasan ilmiyah, fatwa, dakwah dan bimbingan
Islam di Kerajaan Saudi Arabia telah mengeluarkan fatwa pelarangan praktek bayi
tabung. Karena praktek tersebut akan menyebabkan terbukanya aurat,
tersentuhnya kemaluan dan terjamahnya rahim. Kendatipun mani yang
disuntikkan ke rahim wanita tersebut adalah mani suaminya. Menurut pendapat
saya, hendaknya seseorang ridha dengan keputusan Allah Ta’ala, sebab Dia-lah
yang berfirman dalam kitab-Nya: “Dia menjadikan mandul siapa yang Dia
dikehendaki”. (QS. 42:50)
3. Konsep Hajatiyyah dalam Bayi Tabung
Majelis Ulama Indonesia (MUI) dalam fatwanya pada tanggal 13 Juni
1979 menetapkan 4 keputusan terkait masalah bayi tabung, diantaranya :
Bayi tabung dengan sperma dan ovum dari pasangan suami-istri yang sah
hukumnya mubah (boleh), sebab ini termasuk ikhtiar yang berdasarkan kaidah-
kaidah agama. Asal keadaan suami istri yang bersangkutan benar-benar
memerlukan cara inseminasi buatan untuk memperoleh anak, karena dengan cara
pembuahan alami, suami istri tidak berhasil memperoleh anak. Hal ini sesuai
dengan kaidah fiqih
“Hajat (kebutuhan yang sangat penting) diperlakukan seperti dalam keadaan
terpaksa. Padahal keadaan darurat/terpaksa itu membolehklan melakukan hal-
hal yang terlarang”.
Nahdlatul Ulama (NU) juga telah menetapkan fatwa terkait masalah
dalam Forum Munas di Kaliurang, Yogyakarta pada tahun 1981. Ada 3 keputusan
yang ditetapkan ulama NU terkait masalah Bayi Tabung, diantaranya :
a. Apabila mani yang ditabung atau dimasukkan kedalam rahim wanita tersebut
ternyata bukan mani suami-istri yang sah, maka bayi tabung hukumnya haram.
Hal itu didasarkan pada sebuah hadist yang diriwayatkan Ibnu Abbas RA,
Rasulullah SAW bersabda, “Tidak ada dosa yang lebih besar setelah syirik
dalam pandangan Allah SWT, dibandingkan dengan perbuatan seorang lelaki
yang meletakkan spermanya (berzina) didalam rahim perempuan yang tidak
halal baginya.”
b. Apabila sperma yang ditabung tersebut milik suami-istri, tetapi cara
mengeluarkannya tidak muhtaram, maka hukumnya juga haram. Mani
Muhtaram adalah mani yang keluar/dikeluarkan dengan cara yang tidak
dilarang oleh syara’. Terkait mani yang dikeluarkan secara muhtaram, para
ulama NU mengutip dasar hukum dari Kifayatul Akhyar II/113. “Seandainya
seorang lelaki berusaha mengeluarkan spermanya (dengan beronani) dengan
tangan istrinya, maka hal tersebut diperbolehkan, karena istri memang tempat
atau wahana yang diperbolehkan untuk bersenang-senang.”
c. Apabila mani yang ditabung itu mani suami-istri yang sah dan cara
mengeluarkannya termasuk muhtaram, serta dimasukkan ke dalam rahim istri
sendiri, maka hukum bayi tabung menjadi mubah (boleh).
C. Bedah Mayat
1. Pengertian
Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman :
Bukankah Kami menjadikan bumi tempat berkumpul orang-orang hidup dan
orang-orang mati?
[al-Mursalât/77:25-26].
Di antara Ulama ahli tafsir, ada yang mengartikan ayat tersebut dengan
menyebutkan, bahwa Allâh Azza wa Jalla menjadikan bumi dua bagian, yaitu
bagian atas untuk dihuni orang yang hidup dan bagian bawah dihuni oleh orang
yang mati.
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga memerintahkan untuk segera
dalam mengurus mayat manusia. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
Segerakanlah penyelenggaraan jenazah. Karena, apabila jenazah itu orang
shalih maka kalian telah berbuat baik untuknya. Sedangkan jika jenazah itu
bukan orang baik maka agar kalian segera meletakkan benda jelek dari pikulan
kalian.
[HR al-Bukhâri, no. 1252].
Dalam prakteknya, adakalanya perintah ini tidak terlaksana. Mayat masih
dibiarkan berhari-hari atau berminggu-minggu atau bahkan bertahun-tahun. Hal
itu disebabkan beberapa alasan yang hendak dicapai. Salah satu dari sekian alasan
yang ada, misalnya, untuk membedah mayat tersebut.
Tujuan dari pembedahan mayat, secara garis besar dapat dibagi menjadi
dua. Pertama, untuk otopsi. Kedua, untuk pembelajaran calon dokter. Otopsi
sendiri dilakukan untuk dua tujuan. Tujuan pertama, untuk hukum pidana, seperti,
otopsi forensik yang dilakukan untuk mengetahui penyebab kematian sehingga
mungkin menjadi masalah pidana. Agar memungkinkan mencari tersangka
pembunuhan tersebut dengan tujuan bisa menegakkan hukum Allâh Azza wa Jalla
secara benar dan tepat. Tujuan kedua, yang disebut otopsi klinis atau akademik.
Ini dilakukan untuk mencari penyebab medis kematian. Digunakan dalam kasus
kematian yang tidak diketahui atau tidak pasti. Otopsi ini biasanya dilakukan bila
terjadi wabah penyakit baru yang menyebabkan kematian tanpa diketahui jenis
penyakit yang membunuhnya, maka diperlukan usaha untuk mengetahui
penyebab kematian secara pasti. Dan salah satu cara yang harus ditempuh adalah
dengan cara membedah mayat.
Pembahasan ini sangat penting untuk diketahui hukumnya, karena
pembedahan mayat tersebut sudah merupakan perlakuan yang biasa didengar,
terlebih lagi bila pembedahan itu bertujuan untuk belajar bagi calon dokter.
Banyak mayat yang jadi sasaran perlakuan ini, bahkan biasanya menjadi sarana
untuk memperjualbelikannya.
Masalah yang timbul dari fenomena tersebut adalah mengenai perlakuan
tidak wajar terhadap mayat manusia dengan cara mengutak-atik organ tubuhnya.
Padahal, ini tidaklah selayaknya diperlakukan pada jasad manusia. Terlebih lagi

bila ditinjau dari hukum Islam.


2. Landasan Hukum
Firman Allâh Azza wa Jalla :

‫َو َلَق ْد َكَّر ْم َنا َبِني آَدَم َو َحَم ْلَناُه ْم ِفي اْلَبِّر َو اْلَبْح ِر َو َر َز ْقَناُه ْم ِم َن الَّطِّيَب اِت َو َفَّض ْلَناُه ْم َعَلٰى َك ِث يٍر‬

‫ِم َّم ْن َخ َلْق َنا َتْف ِض ياًل‬


Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam, Kami angkut mereka
di daratan dan di lautan, Kami beri mereka rizki dari yang baik-baik dan Kami
lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk
yang telah Kami ciptakan.
[al-Isrâ`/17:70]
Ayat ini menunjukkan bahwa jasad manusia itu mulia. Dan kemuliaan ini
berlaku baik dalam keadaan ia hidup maupun sudah mati. Sedangkan dalam
proses bedah mayat, terjadi perlakuan yang tidak mulia terhadap mayat, seperti
dipotong daging atau tulangnya, diangkat organ tubuh, dan perlakuan lain yang
semisalnya.
Disebutkan dalam hadits Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam , apabila
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutus pasukan perang, beliau akan
menasihati pemimpin pasukannya secara pribadi untuk teguh bertaqwa pada Allâh
Azza wa Jalla , serta menasihati seluruh pasukannya dengan pesan yang baik,
seraya berkata :
Berangkatlah berperang di jalan Allâh Azza wa Jalla dengan menyebut nama
Allâh Azza wa Jalla . Bunuhlah orang-orang kafir. Perangilah mereka. Janganlah
kamu berbuat curang dan jangan melanggar perjanjian, dan jangan pula kalian
memotong-motong mayat.
[HR Muslim, no. 1731]
Hadits Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
Memecahkan tulang mayat hukumnya seperti memecahkan tulangnya ketika ia
masih hidup.
[HR Abu Dawud, no. 3209. Hadits ini dinyatakan shahîh oleh Albani dalam
kitabnya, Irwâul Ghalîl, 3/213]
Dalam riwayat Imam Ahmad terdapat sedikit perbedaan teks, yaitu:
“memecahkan tulang mayat orang Mukmin hukumnya seperti memecahkan
tulangnya ketika ia masih hidup”.
3. Konsepbedah mayat
Pendapat Para Ulama
Kami hanya akan membawakan ucapan mereka mengenai perlakuan
sewajarnya terhadap mayat orang kafir. Sedangkan untuk mayat orang Muslim,
kami rasa tidak perlu dibahas lagi. Karena, kita mengetahui bahwa mayat Muslim
wajib diperlakukan dengan istimewa, dari awal dimandikan sampai proses
pemakaman; semua wajib dijalankan sesuai dengan tata cara tertentu yang sudah
diatur olah syariat. Sedangkan perlakuan terhadap mayat orang kafir, berikut
pendapat dari para Ulama.
Menurut madzhab Ulama Hanafiyah, Mâlikiyah, Syâfi’iyyah, Hambaliyah
dan Zhâhiriyah, mereka sepakat, bila seorang kafir dzimmi meninggal di tengah-
tengah kaum Muslimin, sedangkan di tempat itu tidak ada orang kafir dzimmi lain
yang mengurus mayatnya, maka kaum Musliminlah yang menguburkannya,
seperti ia diperlakukan dengan baik pada masa hidupnya. Hanya saja madzhab
Hanafiyah menambahkan, walaupun ia dikuburkan namun tidak diperlakukan
seperti mayat orang Muslim; maksudnya, tidak dikafani dan tidak dibuatkan
lahad, hanya dimasukkan begitu saja ke dalam kubur.
Adapun perlakuan terhadap mayat kafir harbi dan orang murtad, maka
madzhab Syâfi’iyah menyatakan tidak wajib bagi kaum Muslimin menguburkan
mayat mereka. Namun, bila hendak dikuburkan juga tidak mengapa dengan tujuan
agar kaum Muslimin tidak terganggu dengan bau busuk bangkai mereka.
Sedangkan madzhab lainnya (Hanafiyah, Mâlikiyah, Hambaliyah dan
Zhâhiriyah); bahwasanya pendapat mereka tetap sama dalam hal perlakuan
terhadap mayat kafir harbi atau orang murtad, sebagaimana pendapat mereka
dalam perlakuan terhadap mayat kafir dzimmi.
Dalam permasalahan ini, Majelis Ulama Besar di Saudi Arabia telah
melakukan pembahasan mengenai hal ini dalam muktamar mereka ke sembilan
tahun 1396 H / 1976 M. Pertemuan itu melahirkan keputusan sebagai berikut.
Untuk keperluan otopsi, baik otopsi forensik maupun otopsi medis, maka
Majelis Ulama Besar memutuskan, boleh membedah mayat untuk keperluan
tersebut. Dengan pertimbangan, adanya maslahat yang besar dibalik otopsi ini.
Karena, otopsi forensik bertujuan untuk menegakkan hukum pidana sehingga
terciptanya keamanan dalam masyarakat. Sedangkan otopsi medis, bertujuan
terjaganya masyarat dari penyakit mewabah.
Menurut pertimbangan majelis, kedua maslahat ini lebih besar
dibandingkan dengan mafsadat membedah mayat. Jadi, bedah mayat untuk tujuan
ini dibolehkan walaupun mayat tersebut adalah mayat orang muslim ataupun
mayat orang kafir ma’shûm (yang dilindungi oleh hukum Islam, seperti kafir
dzimmi).
Adapun jenis bedah mayat yang kedua, yaitu untuk belajar. Dalam hal ini majelis
mempertimbangkan beberapa hal, di antaranya:
 Bahwa syariat Islam datang dengan tujuan membawa maslahat serta
memaksimalkannya; dan menolak mafsadat serta meminimalkannya.
 Bedah mayat untuk belajar medis ini ada maslahat yang besar, seperti yang
sudah diketahui terkait dengan kemajuan dalam ilmu medis.
 Belum adanya hewan yang bisa menggantikan jasad manusia guna memenuhi
kebutuhan pembelajaran ini.
 Syariat Islam menghormati kemuliaan jasad muslim, baik ketika masih hidup
maupun ketika sudah mati. Sedangkan proses bedah mayat pasti
memperlakukan jasad tidak sesuai dengan kehormatannya.
 Tidak adanya keperluan yang mendesak untuk membedah mayat orang muslim
karena memungkinkan untuk memperoleh mayat orang kafir yang tidak
ma’shum.
Dengan pertimbangan di atas, maka majelis memutuskan tidak boleh
membedah mayat orang Muslim ataupun orang kafir yang ma’shum untuk
pembelajaran ilmu kedokteran. Yang digunakan cukuplah mayat orang kafir tidak
ma’shûm, seperti kafir harbi atau orang yang murtad.
Begitu pula kaidah ini seharusnya diterapkan dalam mengotopsi jenazah
seorang Muslim; apabila sebab kematian dapat diketahui dengan mudah tanpa
harus otopsi, atau hanya perlu pembedahan kecil, maka tidak boleh dibedah
melebihi kebutuhan yang sebenarnya diperlukan.
Dalam keputusan Majelis Ulama Besar Saudi Arabia memuat beberapa alasan
yang memperkuat maslahat untuk membolehkan membedah mayat. Di antara
alasan tersebut sebagai berikut.
 Pertama, Dibolehkan membedah mayat wanita hamil untuk mengeluarkan
janin yang kemungkinan besar akan hidup. Memang permasalahan ini sudah
diperdebatkan oleh Ulama dahulu, namun, menurut hemat kami, pendapat
paling kuat adalah yang membolehkannya.
 Kedua, Dibolehkan memakan mayat manusia dalam keadaan kelaparan yang
mendesak.
Dalam Raudhatuth-Thâlibin (2/551) disebutkan, “Apabila orang kelaparan
sedangkan ia tidak mendapatkan makanan kecuali mayat orang ma’shûm, maka
halal baginya untuk memakan mayat tersebut … walaupun boleh, namun hanya
dimakan sebatas untuk menyambung hidup (tidak sampai kekenyangan, Pen.) …
daging mayat itu pun tidak boleh dimasak ataupun dipanggang, harus dimakan
mentah-mentah. Karena, dimakan dengan cara itu sudah cukup untuk
menyambung hidup…”.
Adapun masalah larangan memutilasi mayat yang disebutkan dalam hadits di atas,
ternyata, ada kalanya dibolehkan kalau memang diperlukan. Seperti hukuman
yang dijatuhkan Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam pada kaum Uraniyyin,
dipotong tangan dan kaki mereka, ditusuk mata mereka sampai buta dan dibiarkan
sampai mati di bukit batu kota Madinah (HR Muslim, no. 1671).[4] Atau bisa juga
dikatakan, bahwa larangan memutilasi mayat, kalau hanya untuk main-main,
bukan untuk suatu kebutuhan mendesak, seperti memotong telinga untuk
gantungan kunci dan lain-lain. Sedangkan dalam kasus ini, bedah dilakukan untuk
suatu maslahat besar.
D. Operasi Penggantian Kelamin
1. Pengantar
Dalam kehidupan dewasa ini banyak masalah-masalah islam kontemporer
yang disebabkan beberapa faktor, salah satunya adalah faktor sosial. Ada sebagian
individu yang merasakan adanya ketidaksamaan dalam pemberian sikap
masyarakat terhadap dirinya sendiri yaitu orang yang berganti kelamin. Mereka
yang melakukan hal itu merasa tersudutkan karena masyarakat menganggap
tindakan tersebut yang dilakukan menurut asumsi mereka telah melanggar.
Banyak hal-hal tersembunyi dari hal tersebut yang belum dipaparkan
secara jelas mengapa dan bagaimana mereka melakukan hal yang melanggar
tersebut. Dari sinilah akar permasalahan mulai timbul dan bagaimana solusi yang
tepat untuk bisa menjadikan semua kehidupan masyarakat berjalan seperti biasa
tanpa adanya diskriminasi kepada mereka.
2. Landasan Hukum
Firman Allah SWT:
‫ِق ِه َٰذ ِل‬ ‫ِد‬ ‫ِه َّل‬ ‫ِن ِف‬ ‫ِل‬ ‫ِق‬
‫َف َأ ْم َو ْجَه َك لِّديِن َح يًف ا ۚ ْط َر َت الَّل ا يِت َفَط َر الَّناَس َعَلْيَه ا ۚ اَل َتْب يَل َخِلْل الَّل ۚ َك الِّديُن‬

‫اْلَق ِّيُم َو َٰلِكَّن َأْك َثَر الَّناِس اَل َيْع َلُم وَن‬
Artinya:
” Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas)
fitrah Allah yang Telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. tidak ada
peubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan
manusia tidak mengetahui”. (QS. Ar-Rum: 30)
Al- Hadits
Artinya:
”Dari Abdullah Bin Mas’ud berkata:Allah SWT mengutuk para wanita tukang
tato yang meminta di tato, yang menghilangkan bulu mukanya, dan para wanita
yang memotong (pangur) giginya, yang semuanya itu dikerjakan dengan maksud
untuk kecantikandengan mengubah ciptaan Allah SWT”.
(H.R Bukhori)
Pandangan ulama’
Imam al-Qurthubi dalam tafsirnya juz III, halaman 1963 mengatakan sebagai
berikut:
Artinya:
”Abu Ja’far al-Thabari berkata, hadits riwayat Ibnu Mas’ud adalah sebagai dalil
tentang ketidakbolehan mengubah apapun yang telah diciptakan oleh Allah SWT.,
baik menambah atau mengurangi ... Imam Iyadh berkata, bahwa orang yang
diciptakan dengan jari-jari berlebih atau anggota tubuh yang berlebih, maka ia
tidak boleh memotongnya ataupun mencabutnya, karena yang demikian itu
berarti mengubah ciptaan Allah SWT. Kecuali jika kelebihan itu menyakitkan,
maka boleh mencabutnya menurut imam abu ja’far dan lainya.
(Tafsir Qurthubi 3/1963)
3. Konsep penggantian kelamin
Menurut MUI dalam musyawarah Nasional II tahun 1980 memutuskan fatwa:
 Merubah jenis kelamin laki-laki menjadi perempuan atau sebaliknya
hukumnya haram, karena bertentangan dengan Al-Qur’an surah An-Nisa’ ayat
19 dan bertentangan pula dengan jiwa syara’.
Ayat Al-Qur;an yang dimaksud adalah: “... Mungkin kamu tidak menyukai
sesuatu padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak.” (Q.S.
An-Nisa’:10)
 Orang yang kelaminya diganti kedudukan hukum jenis kelaminya sama
dengan jenis kelamin semula sebelum diubah.
 Seorang khuntsa (banci) yang laki-lakinya lebih jelas boleh disempurnakan
kelaki-lakianya. Demikian pula sebaliknya, dan hukumnya menjadi positif
(laki-laki).
Operasi yang boleh dilakukan atau hukum melakukan operasi kelamin
tergantung kepada keadaan kelamin luar dan dalam misalnya apabila seseorang
punya organ kelamin dua atau ganda: penis dan vagina, maka untuk memperjelas
identitas kelaminnya, ia boleh melakukan operasi mematikan salah satu organ
kelaminnya dan menghidupkan organ kelamin yang lain yang sesuai dengan organ
kelamin bagian dalam contohnya yaitu seseorang mempunyai dua kelamin penis
dan vagina, dan disamping itu ia juga mempunyai rahim dan ovarium yang
merupakan ciri khas dan utama jenis kelamin wanita, maka ia boleh dan
disarankan untuk mengangkat penisnya demi mempertegas identitas jenis kelamin
wanitanya, dan ia tidak boleh mematikan vaginanya dan membiarkan penisnya
karena berlawanan dengan organ bagian dalam kelaminnya yakni rahim dan
ovarium.Dan juga apabila seseorang punya organ kelamin satu yang kurang
sempurna bentuknya, misalnya ia memiliki vagina yang tidak berlubang dan ia
mempunyai rahim dan ovarium, maka ia boleh bahkan dianjurkan oleh agama
untuk operasi memberi lubang pada vaginanya, begitu juga sebaliknya.
Operasi kelamin yang bersifat tashih dan takmil (perbaikan atau
penyempurnaan) dan bukan pergantian jenis kelamin, menurut para ulama
dibolehkan menurut syariat. Bahkan dianjurkan sehingga menjadi kelamin yang
normal karena kelainan yang seperti ini merupakan suatu penyakit yang harus
diobati.
Adapun konsekuensi hukum penggantian kelamin adalah apabila
penggantian kelamin dilakukan oleh seseorang dengan tujuan tabdil dan taghyir
(mengubah-ubah ciptaan Allah), maka identitasnya sama dengan sebelum operasi
dan tidak berubah dari segi hukum. Menurut Mahmud Syaltut, dari segi waris
seorang wanita yang melakukan operasi penggantian kelamin menjadi pria tidak
akan menerima bagian warisan pria (dua kali bagian wanita) demikian juga
sebaliknya.
Sementara operasi kelamin yang dilakukan pada seorang yang mengalami
kelainan kelamin (misalnya berkelamin ganda) dengan tujuan tashih atau takmil
(perbaikan atau penyempurnaan) dan sesuai dengan hukum akan membuat
identitas dan status hukum orang tersebut menjadi jelas. Menurut Wahbah Az-
Zuhaili dalam Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhubahwa jika selama ini penentuan
hukum waris bagi orang yang berkelamin ganda (khuntsa) didasarkan atas
indikasi atau kecenderungan sifat dan tingkah lakunya, maka setelah perbaikan
kelamin menjadi pria atau wanita, hak waris dan status hukumnya menjadi lebih
tegas. Dan menurutnya perbaikan dan penyempurnaan alat kelamin bagi khuntsa
musykil sangat dianjurkan demi kejelasan status hukumnya.
E. Transplantasi Organ Tubuh
1. Pengertian
Transplantasi (pencangokkan) adalah pemindahan organ tubuh yang yang
mempunyai daya hidup yang sehat untuk menggantikan organ tubuh yang tidak
sehat dan tidak berfungsi dengan baik, yang apabila diobati dengan prosedur
medis biasa, harapan penderita untuk bertahan hidup tidak ada lagi. (Masyfuk
Zuhdi, 1993:81).
Dengan rumusan lain transplantasi adalah pemindahan (pencangkokan) alat atau
jaringan tubuh manusia (hewan)yang masih berfungsi untuk menggantikan organ
tubuh resipien yang sudah tidak berfungsi, dalam rangka pengobatan atau upaya
penyelamatan pihak resipien yang masih bisa ditolong.
2. Landasan Hukum
a. Hukum pencangkokan organ tubuh dari tubuhnya sendiri yang lain
(Ototansplantasi) adalah “boleh”
Demikian dapat kita temukan dalam Keputusan Muktamar Majlis Tarjih
Muhammadiyah tanggal 6-11 April 1980 di Klaten, yaitu butir ke 4,
“Ototransplantasi yang donor resipiennya satu individu hukumnya mubah”
Demikian juga dalam buku 200 masalah Agama yang memuat keputusan-
keputusan Syuriah NU, yang dihimpun oleh M. Abdu Mujib AS. (1998: 68)
menetapkan: “apabila diambil dari dirinya sendiri, maka hukumnya “boleh”,
dengan syarat; bahaya pengambilan lebih ringan daripada bahaya anggota tubuh
yang membutuhkan penambalan dan itupun tidak dapat ditemukan bahan lain
yang patut untuk menambal.
b. Hukum pencangkokan organ tubuh manusia kepada manusia yang lainnya.
 Pendapat pertama mengatakan “haram”
Pendapat yang demikian ini dapat kita temukan dalam buku kumpulan
Keputusan Syuriah NU (1998:68) mengatakan: “ apabila diambil dari orang lain
yang masih hidup, maka hukumnya “haram”. Demikian juga sebagian ulama
terdahulu mengharamkan transplantasi organ tubuh dari manusia yang masih
hidup dengan alasan sederhana sekali, yaitu khawatir bila resipien tertolong
dengan organ si donor akan berbuat anormatif, sehingga akan berakibat pada si
donor”. (Syaichul Hadi Permono dalam Jurnal IAIN Sunan Ampel, edisi VIII,
1990:90). Masyfuk Zuhdi dalam bukunya (1989:83) jga mengharamkan
transplantasi (mata, ginjal dan jantung) dari donor yang masih hidup, dengan
pertimbangan:
Firman Allah dalam surat al-Baqarah ayat 195:
‫ِس ِن‬ ‫ِحُي‬ ‫ِس‬ ‫ِة‬ ‫ِد‬ ‫ِه‬ ‫ِف‬
‫َو َأْن ُقوا يِف َس ِبيِل الَّل َو اَل ُتْلُقوا ِبَأْي يُك ْم ِإىَل الَّتْه ُلَك ۛ َو َأْح ُنوا ۛ ِإَّن الَّلَه ُّب اْلُم ْح َني‬
Artinya:
“Dan janganlah kamu menjatuhkan dirmu sendiri ke dalam kebinasaan”
Ayat ini mengingatkan manusia agar tidak gegabah dalam berbuat sesuatu
yang bisa berakibat fatal bagi dirinya, sekalipun mempunyai tujuan kemanusiaan
yang luhur. Sebab selain ia mengubah ciptaan Allah, ia juga menghadapi resiko
sewaktu-waktu mengalami ketidaknormalan dari pasangan organ tubuh yang
tinggal sebelah itu.
o Kaidah hukum Islam
“Menghindari kerusakan (resiko) di dahulukan atas menarik kemaslahatan” dan
“Bahaya tidak boleh dihilangkan dengan bahaya lainnya”.
Kita diwajibkan menjaga diri sendiri dan badan kita sendiri, Sedangkan
bagian badan, tidak ada hak kita untuk memberikannya kepada orang lain. Ia
tidaklah seperti harta benda, yang memang di anjurkan sekali untuk diberikan
kepada fakir miskin. Namun demikian juga ada batasnya, yakni jangan berlebih-
lebihan. (Majlis Mudzakarah Panjimas, 1983: 370).
 Pendapat yang kedua mengatakan “boleh”, dengan syarat:
o Merupakan jalan terakhir.
o Dengan adanya pencangkokan itu diduga kuat menurut team medis si pasien
dapat disembuhkan.
o Adanya kerelaan si donor. (Syaichul Hadi Permono. 1990: 99).
3. Konsep
Operasi kelamin adalah pergantian jenis kelamin, bisa berupa perbaikan
atau penyempurnaan kelamin terhadap orang yang cacat kelamin, pembuangan
salah satu kelamin (kelamin ganda) atau operasi pergantian jenis kelamin yang
dilakukan terhadap orang yang memiliki kelamin normal, sedangkan masalah
kebingungan jenis kelamin atau yang lazim disebut juga sebagai gejala
transseksualisme ataupun transgender merupakan suatu gejala ketidakpuasan
seseorang karena merasa tidak adanya kecocokan antara bentuk fisik dan kelamin
dengan kejiwaan ataupun adanya ketidak puasan dengan alat kelamin yang
dimilikinya, transeksual dapat diakibatkan faktor bawaan (hormon dan gen) dan
faktor lingkungan.
Menurut MUI dalam musyawarah Nasional II tahun 1980 memutuskan fatwa:
a. Merubah jenis kelamin laki-laki menjadi perempuan atau sebaliknya
hukumnya haram, karena bertentangan dengan Al-Qur’an surah An-Nisa’ ayat
19 dan bertentangan pula dengan jiwa syara’. Ayat Al-Qur;an yang dimaksud
adalah: “... Mungkin kamu tidak menyukai sesuatu padahal Allah menjadikan
padanya kebaikan yang banyak.” (Q.S. An-Nisa’:10)
b. Orang yang kelaminya diganti kedudukan hukum jenis kelaminya sama
dengan jenis kelamin semula sebelum diubah.
c. Seorang khuntsa (banci) yang laki-lakinya lebih jelas boleh disempurnakan
kelaki-lakianya. Demikian pula sebaliknya, dan hukumnya menjadi positif
(laki-laki).
Operasi yang boleh dilakukan atau hukum melakukan operasi kelamin
tergantung kepada keadaan kelamin luar dan dalam misalnya apabila seseorang
punya organ kelamin dua atau ganda: penis dan vagina, maka untuk memperjelas
identitas kelaminnya, ia boleh melakukan operasi mematikan salah satu organ
kelaminnya dan menghidupkan organ kelamin yang lain yang sesuai dengan organ
kelamin bagian dalam contohnya yaitu seseorang mempunyai dua kelamin penis
dan vagina, dan disamping itu ia juga mempunyai rahim dan ovarium yang
merupakan ciri khas dan utama jenis kelamin wanita, maka ia boleh dan
disarankan untuk mengangkat penisnya demi mempertegas identitas jenis kelamin
wanitanya, dan ia tidak boleh mematikan vaginanya dan membiarkan penisnya
karena berlawanan dengan organ bagian dalam kelaminnya yakni rahim dan
ovarium.Dan juga apabila seseorang punya organ kelamin satu yang kurang
sempurna bentuknya, misalnya ia memiliki vagina yang tidak berlubang dan ia
mempunyai rahim dan ovarium, maka ia boleh bahkan dianjurkan oleh agama
untuk operasi memberi lubang pada vaginanya, begitu juga sebaliknya.
Operasi kelamin yang bersifat tashih dan takmil (perbaikan atau
penyempurnaan) dan bukan pergantian jenis kelamin, menurut para ulama
dibolehkan menurut syariat. Bahkan dianjurkan sehingga menjadi kelamin yang
normal karena kelainan yang seperti ini merupakan suatu penyakit yang harus
diobati.
Adapun konsekuensi hukum penggantian kelamin adalah apabila
penggantian kelamin dilakukan oleh seseorang dengan tujuan tabdil dan taghyir
(mengubah-ubah ciptaan Allah), maka identitasnya sama dengan sebelum operasi
dan tidak berubah dari segi hukum. Menurut Mahmud Syaltut, dari segi waris
seorang wanita yang melakukan operasi penggantian kelamin menjadi pria tidak
akan menerima bagian warisan pria (dua kali bagian wanita) demikian juga
sebaliknya.
Sementara operasi kelamin yang dilakukan pada seorang yang mengalami
kelainan kelamin (misalnya berkelamin ganda) dengan tujuan tashih atau takmil
(perbaikan atau penyempurnaan) dan sesuai dengan hukum akan membuat
identitas dan status hukum orang tersebut menjadi jelas. Menurut Wahbah Az-
Zuhaili dalam Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhubahwa jika selama ini penentuan
hukum waris bagi orang yang berkelamin ganda (khuntsa) didasarkan atas
indikasi atau kecenderungan sifat dan tingkah lakunya, maka setelah perbaikan
kelamin menjadi pria atau wanita, hak waris dan status hukumnya menjadi lebih
tegas. Dan menurutnya perbaikan dan penyempurnaan alat kelamin bagi khuntsa
musykil sangat dianjurkan demi kejelasan status hukumnya.
F. Jual Beli Saham
1. Pengertian
Dalam bahasa Belanda saham disebut “aandeel”, dan dalam bahasa Inggris
disebut dengan ”share”, dalam bahasa Jerman disebut “aktie”, dan dalam bahasa
Perancis disebut “action”. Semua istilah ini mempunyai arti surat berharga yang
mencantumkan kata “saham” di dalamnya sebagai tanda bukti pemilikan sebagian
dari modal perseroan.
Saham adalah surat bukti kepemilikan atas sebuah perusahaan yang
melakukan penawaran umum (go public) dalam nominal dan porsentase tertentu.
Sementara itu, saham merupakan jumlah satuan dari modal kooperatif yang sama
jumlahnya bisa diputar dengan berbagai cara berdagang, dan harganya bisa
berubah sewaktu-waktu tergantung keuntungan dan kerugian atau kinerja
perusahaan tersebut.
Dari beberapa definisi di atas maka dapat disimpulkan bahwa saham
menunjukkan kepemilikan atas suatu perusahaan dan memberikan hak kepada
pemiliknya. Kepemilikan tersebut memberikan kontribusi kepada pemegangnya
berupa return yang dapat diperolehnya, yaitu keuntungan modal (Capital gain)
atas saham yang memiliki harga jual lebih tinggi daripada harga belinya, atau
deviden atas saham tersebut. Di samping hak lainnya Non-finansial-benefit berupa
hak suara dalam RUPS. Peluang untuk mendapatkan return dari capital gain ini
memotivasi para investor untuk melakukan perdagangan saham di pasar modal
(Bursa Efek).
2. Landasan Hukum
Jual-beli saham dalam islam pada dasarnya adalah merupakan bentuk
Syirkah mudhorabah, diantara para pengusaha dan pemilik modal sama-sama
berusaha yang nantinya hasilnya bisa dibagi bersama. Mudharabah, merupakan
teknik pendanaan dimana pemilik modal menyediakan dana untuk digunakan oleh
unit deficit dalam kegiatan produktif dengan dasar Loss and profit shearing.
Dalil naqli tentang saham (mudharabah),
a. Firman Allah swa dalam Q.S. Al-Muzammil: 20
‫ِئ ِم ِذ‬ ‫ِن‬ ‫ِم‬
‫۞ ِإَّن َر َّب َك َيْع َلُم َأَّن َك َتُق وُم َأْد ٰىَن ْن ُثُلَثِي الَّلْي ِل َو ْص َف ُه َو ُثُلَث ُه َو َطا َف ٌة َن اَّل يَن َمَع َك ۚ َو الَّل ُه‬

‫ُيَق ِّد ُر الَّلْي َل َو الَّنَه اَر ۚ َعِلَم َأْن َلْن ْحُتُص وُه َفَت اَب َعَلْيُك ْم ۖ َف اْقَرُءوا َم ا َتَيَّس َر ِم َن اْلُق ْر آِن ۚ َعِلَم َأْن‬
‫َس َيُك وُن ِم ْنُك ْم َمْر َض ٰى ۙ َو آَخ وَن َيْض ِر ُبوَن يِف اَأْلْر ِض َيْبَتُغ وَن ِم ْن َفْض ِل الَّلِه ۙ َو آَخ وَن ُيَق اِتُلوَن يِف‬
‫ُر‬ ‫ُر‬
‫َس ِبيِل الَّل ِه ۖ َف اْقَرُءوا َم ا َتَيَّس َر ِم ْن ُه ۚ َو َأِقيُم وا الَّص اَل َة َو آُت وا الَّز َك اَة َو َأْقِر ُض وا الَّل َه َقْر ًض ا َح َس ًنا ۚ َو َم ا‬
‫ِإ‬ ‫ِف‬ ‫ِجَت ِع ِه‬ ‫ِس ِم‬
‫ُتَق ِّد ُموا َأِلْنُف ُك ْم ْن َخ ٍرْي ُد وُه ْنَد الَّل ُه َو َخ ْيًر ا َو َأْع َظَم َأْج ًر ا ۚ َو اْس َتْغ ُر وا الَّل َه ۖ َّن الَّل َه َغُف وٌر‬
‫ِح‬
‫َر يٌم‬
Artinya:
“Sesungguhnya Tuhanmu mengetahui bahwasanya kamu berdiri (sembahyang)
kurang dari dua pertiga malam, atau seperdua malam atau sepertiganya dan
(demikian pula) segolongan dari orang-orang yang bersama kamu. Dan Allah
menetapkan ukuran malam dan siang. Allah mengetahui bahwa kamu sekali-kali
tidak dapat menentukan batas-batas waktu-waktu itu, maka Dia memberi
keringanan kepadamu, karena itu bacalah apa yang mudah (bagimu) dari Al
Quran. Dia mengetahui bahwa akan ada di antara kamu orang-orang yang sakit
dan orang-orang yang berjalan di muka bumi mencari sebagian karunia Allah;
dan orang-orang yang lain lagi berperang di jalan Allah, maka bacalah apa yang
mudah (bagimu) dari Al Quran dan dirikanlah sembahyang, tunaikanlah zakat
dan berikanlah pinjaman kepada Allah pinjaman yang baik. Dan kebaikan apa
saja yang kamu perbuat untuk dirimu niscaya kamu memperoleh (balasan)nya di
sisi Allah sebagai balasan yang paling baik dan yang paling besar pahalanya.
Dan mohonlah ampunan kepada Allah; sesungguhnya Allah Maha Pengampun
lagi Maha Penyayang.“
Kata al-Darbh, disebut juga Qiradh, yang berasal dari kata Qardhu, berarti
al-Qath’u (potongan) karena pemilik memotong sebagian dari hartanya untuk
diperdagangkan dan memperoleh keuntungan. Menurut para Fuqhaha
Mudharabah adalah akad antara dua pihak yang saling menanggung, salah satu
pihak menyerahkan hartanya kepada pihak lain untuk diperdagangkan dengan
bagian yang telah ditentukan dari keuntungan.
Dalam kumpulan fatwa DSN Saudi Arabia yang yang diketuai Oleh Syaih
Abdul Aziz Ibnu Abdillah Ibnu Baz Jilid 13 (tiga belas) Bab Jual beli (JH9)
Halaman 20-321 fatwa nomor 4016 dan 5149 tentang hukum jual beli saham
dinyatakan sebagai berikut:
‫ِا‬ ‫ِل ِا‬ ‫ِت‬ ‫ِا ِث‬ ‫ِب‬ ‫ِب‬
‫َج اَز ْيُعَه ا َو َش َر َاْو َه ا َثَم ِن َو َمَنا ْمَت ًل آْر َض ا آْو َس َياَر اْت َأْو َعَم اَر ا َأْو ُحَنْو َذ َك َذا ُك اْنُت أَل َس َه ْم‬

‫اَل ْمَتِث ًل َنٌق ْو َد ا ْمَتِثْياًل ُك ِلَي ا َأْو َغاَلَب ا ِلَعُم ْو أْد ُلُه َج َو اَز الَبْي َع َو اَلش َر اَء َح اْل َأْم ًو َج َل َعلَي َد ِفِعِه َأْو د َفْع ُا‬

‫ت‬
Artinya:
“Jika saham yang diperjualbelikan tidak serupa dengan uang secar utuh apa
adanya, akan tetapi hanya refresentasi dari aset seperti tanah, mobil pabrik dan
lain sejenisnya. Dan hal tersebut merupakan hal yang telah diketahui oleh
penjual dan pembeli, maka dibolehkan hukumnya untuk diperjual-belikan dengan
tunai maupun tangguh, yang dibayar secara kontan ataupun beberapa kali
pembayaran, berdasarkan keumuman dalil tentang dibolehkannya jual-beli”
b. Qaidah Fikih:
Terdapat tiga kaidah yang digunakan, yaitu :
 “Pada dasarnya semua bentuk muamalah boleh dilakukan kecuali ada dalil
yang mengharamkannya.”
 “Kesulitan dapat menarik kemudahan”
 “Sesuatu yang berlaku berdasarkan adat/ kebiasaan sama dengan sesuatu
yang berlaku berdasarkan syara (selama tidak bertentangan dengan
syariah).”
c. Pendapat Ulama’
Dengan mempertimbangkan beberapa dalil diatas, akhirnya dikeluarkanlah
Fatwa dewan syari`ah Nasional No. 32/DSN-MUI/IX/2002, tentang Sukuk
(Obligasi syari`ah) adalah surat berharga berjangka panjang berdasarkan prinsip
syariah yang dikelurkan emitten kepada pemegang obligasi syariah, tersebut
berupa bagi hasil/margin/fee, serta membayar kembali dana obligasi pada saat
jatuh tempo.”
Karakteristik dan istilah sukuk merupakan pengganti dari istilah
sebelumnya yang memggunakan istilah bond, dimana istilah bond mempunyai
makna loan (hutang), dengan menambahkan Islamic maka kontradiktif maknanya
karena biasanya yang mendasari mekanisme hutang (loan) adalah interest,
sedangkan dalan Islam interest tersebut termasuk riba yang diharamkan. Untuk itu
sejak tahun 2007 istilah bond ditukar dengan istilah Sukuk sebagaimana
disebutkan dalam peraturanm di Bapepam LK.
Abu Hanifa dan muridnya Abu Yusuf memberikan pandangan bahwa
penjualan sesuatu/properti yang belum diterima oleh si penjual namun sudah jelas
keberadaan fisiknya (dapat dicek keberadaannya) adalah diperbolehkan. Maka
dari sinilah pondasi instrument bernama sukuk di abad modern ini bermula.
3. Konsep dalam Saham
Mengenai pasar uang dan bursa valuta asing, dapat di benarkan oleh
islam., karna sama halnaya dengan jaual beli barang lain. Harganya juga sewaktu-
waktu naik dan sewaktu-waktu turun. Pemegang saham ,uang, obligasi dan suarat
berharga lainnya, sama seperti orang menyimpan emas (bukan untuk perhiasan)
yang harganya adakalanya naik dan adakalanya turun.
Berbeda kalau ada orang memonopoli (memborong) saham, valuta asing
untuk tujuan tertentu, sehingga pada suatu ketika orang yangbersangkutan
memaikan harganya di bursa efek atau jaual beli valuta asing. Hal ini sama
dengan itikhar yaitu penimbunan barang. Sesudah barangkurang di pasaran baru
di keluarkan sehingga harganya tinggi dengan keungtungan yang berlipat ganda.
Nabi Muhammad swa memperingatkat dalam sabdanya dengan peringatan yang
sanagat keras.
“Orang yang menyediakan (meyediakan (mendatangkan)barang di beri rezeki
dan orang yang menimbun barang mendapat laknat”
(HR. Ibnu Majah dan Al-Hakim)
“Tidaklah menimbun melainkan ia bersalah”
(HR. Muslim)
Orang yang senang menimbun barang biasanya, bila dia mendengar harga
barang murah, dia murung, dan bila dia mendengar harga barang mahal, mukanya
berseri. Masalah pasar uang dan bursa valuta asing / saham yang tidak sehat dan
karna ada tujuan tertentu sehingga merusak pasaran. Di samakan dengan orang
yang menimbun barang.
MAQASHIDUT TASYRI’IYAH
Para ulama ahli Ushul mengemukakan jenis-jenis tujuan umum perundang-
undangan. Yaitu ada 3 macam:
1. Al-umurudh dharuriyah, yakni hal hal yang menjadi sendi eksistensi kehidupan
manusia yang harus ada demi kemashlahatan mereka.
2. Al-umurul hajiyah, yakni hal-hal yang sangat dihajatkan oleh manusia untuk
menghilangkan kesulitan dan menolak halangan. Artinya bila hal tersebut tidak
ada maka tidak sampai membawa tata aturan hidup manusia berantakan.
3. Al-umurut tahsiniyah, yaitu tindakan yang harus dijauhi akal sehat dan hanya
untuk tujuan pribadi saja yang berkaitan dengan akhlaqul karimah. Artinya bila
hal ini tidak dipenuhi maka tidak membawa kesulitan dalam kehidupan manusia
Adapun permasalahan yang telah kita bahas yakni sewa rahim, bayi tabung, bedah
mayat, transplantasi organ tubuh, operasi kelamin dan saham dapat disimpulkan
a. Sewa Rahim, dapat dikategorikan al umurudh dhuroriyyah karena berkaitan
dengan meneruskan keturunan dengan syarat rahim yang disewa misalkan dari
istri kedua dengan status yang sah.
b. Bayi tabung, dapat dikategorikan al umurudh dhuroriyyah karena berkaitan
dengan meneruskan keturunan dengan syarat sel induk dan sel telurnya berasal
dari suami istri yang sah.
c. Bedah mayat, dapat dikategorikan Al-umurut tahsiniyah apabila hanya sekedar
sebagai bahan praktek atau diambil organ tubuhnya berbeda apabila dilakukan
dengan tujuan otopsi untuk mengidentifikasi sebab kematian seseorang.
d. transplantasi organ tubuh, dapat dikategorikan Al-umurut tahsiniyah apabila
hanya untuk memperindah anggota tubuh seperti membentuk hidung tang indah
dsb berbeda misal orang yang terkena penyakit ginjal yang membutuhkan donor
ginjal atau mebutuhkan donor darah maka hukumnyapun berbeda
e. operasi kelamin, dapat dikategorikan Al-umurut tahsiniyah apabila mengubah
kelamin laki laki menjadi perempuan dan mengubah kelamin perempuan menjadi
laki-laki hanya untuk style saja. Berbeda apabila orang tersebuut memiliki dua alat
kelamin dilakukannya operasi kelamin untuk kejelasan status sosialnya serta
kelangsungan hidupnya. Pengoperasian dilakukan dengan cara condong kemana
seseorang tersebut hormon laki laki atau perempuan kemudian mendapat status
hukum yang berlaku dinegara yang kuat.
f. Saham, dapat dikategorikan Al-umurut tahsiniyah apabila dengan jalan yang
riba karena banyak bidang muamalat yang lain sesuai dengan syariat islam.
KESIMPULAN
Syar’i dalam menciptakan syari’at bukanlah serampangan tanpa arah
melainkan bertujuan untuk merealisir kemashlahatan umum, memberikan
kemanfaatan dan menghindarkan kemafsadahan bagi umat manusia
Adanya beberapa kenyataan antaralain arti dhalalah lafadz dan dalalah
ibarat ada yang melebihi dari satu arti, bahwa nash nash syariat itu menurut
lahirnya ada yang bertentangan satu sama lain dan bahwa beberapa peristiwa
penting yang terjadi dalam masyarakat sering juga tidak ditunjuk oleh nash, tidak
dapat kita ingkari dan harus di tarjih. Untuk mentarjih (memilih yang kuat) yakni
menghilangkan pertentangan dan mengkompromikan nash-nash yang nampaknya
saling berlawanan dan menetapkan hukum yang tidak ada nashnya, tidak ada jalan
yang lain selain mengertahui tujaun umum dari Syar’i dalam menciptakan
perundang undangan dan mengetahui sebab sebab turunnya ayat atau datangnya
hadits atas suatu peristiwa.
DAFTAR PUSTAKA
Yahya, mukhtamar dan Faturachman. “Dasar-dasar Pembinaan Hukum Fikih
Islami. Bandung: PT. Al-Maarif, 1993 cetakan ke-3
Ratman, Desriza. “Surrogate Mother dalam Perspektif Etika dan Hukum:
Bolehkah Sewa Rahim di Indonesia?”. PT Elex Media Komputind, 2012
https://muslimafiyah.com/hukum-menyewakan-dan-meminjam-rahim.html
Majsfuk Zuhdi, “Masail Fiqhiyah”, Jakarta: Masagung, 1991 cetakan ke-2
http://politikislam123.wordpress.com/2010/11/04/transgender-operasi-
kelamin-dalam pandangan-islam/
Manan, Abdul “Aspek Hukum dalam Penyelenggaraan Investasi di Pasar
Modal Syariah Indonesia”, Jakarta : Kencana media group, 2009
Nurul Huda dan Mustafa Edwin Nasution, Current Issues Lembaga
Keuangan Syariah, Jakarta: Prenada Media, 2009

Anda mungkin juga menyukai