Program bayi tabung atau In Vitro Fertilization (IVF) kini menjadi pilihan beberapa
pasangan suami istri untuk mendapatkan keturunan.
Prosedur ini dilakukan dengan cara mempertemukan sel telur dan sperma di luar tubuh.
Apabila pembuahan berhasil, terbentuklah embrio yang kemudian ditransfer ke rahim ibu.
Hingga kini, program bayi tabung masih menjadi pro dan kontra di masyarakat. Beberapa
ada yang menganggap bahwa bayi tabung adalah sesuatu yang haram.
Aurat perempuan hanya diperkenankan dibuka saat keadaan darurat dan tidak lebih dari
keadaan darurat. Selain itu, hukum bayi tabung dalam Islam juga menyarankan bahwa
tenaga medis yang membantu adalah dokter perempuan atau muslimah apabila
memungkinkan. Namun jika tidak, maka dilakukan oleh dokter perempuan non muslim.
Cara lain adalah dilakukan oleh dokter laki-laki muslim yang sudah bisa dipercaya dan
jika tidak ada pilihan lain maka dilakukan oleh dokter non muslim laki-laki.
Hukum bayi tabung dalam Islam juga menjelaskan bahwa prosedur ini bisa menjadi
tindakan haram, apabila melaksanakannya tak sesuai kaidah di atas.
Selain itu, tindakan yang membuatnya menjadi prosedur yang diharamkan antara lain:
1. Mengeluarkan Sperma dengan Cara Muhtaram
Melansir Fatwa NU, mani muhtaram adalah mani yang keluar atau dikeluarkan dengan
cara yang dilarang oleh syari. Alhasil, hukum bayi tabung menjadi diharamkan.
Putusan forum Munas NU 1981 ini didasarkan pada hadits yang dikutip dari Tafsir
Ibnu Katsir dan Kitab Hikmatut Tasyri’ wa Falsafatuh.
Berikut ini adalah kutipan hadits dari Tafsir Ibnu Katsir:
َع ِن اْب ِن َعَّباٍس َقا َل َق اَل َر ُسْو ُل الل ِه َم ا ِم ْن َذْن ٍب َبْع َد ال ِّش ْر ِك َأْع َظ ُم ِم ْن ُنْط َفٍة َو َض َعَه ا َر ُج ٌل ِفْي َر ِح ٍم َال َيِح ُّل َلُه
Artinya:
“Dari Ibnu Abbas, ia berkata, “Rasulullah SAW bersabda, ‘Tidak ada dosa yang lebih
besar setelah syirik daripada mani yang ditempatkan seorang laki-laki (berzina) di
dalam rahim perempuan yang tidak halal baginya,” (Ibnu Katsir, Tafsir Al-Qur’an
Al-‘Azhim, Kairo, Darul Hadits: 2003).
Selanjutnya, hukum bayi tabung juga menjelaskan tentang haramnya prosedur tersebut
bila orangtua melakukannya hanya untuk mendapatkan jenis kelamin keturunan sesuai
dengan keinginan.
Terutama jika tindakan tersebut tanpa hal yang darurat atau mendasar, hal ini juga
tidak diperbolehkan ya, Moms.
Hal ini dikarenakan untuk mempunyai anak sebetulnya masih memungkinkan namun
tetap tidak boleh keluar dari cara yang sudah dibenarkan yaitu inseminasi alami.
Ditambah lagi dengan inseminasi, ada beberapa pelanggaran yang sudah dilakukan
sehingga hanya boleh keluar dari inseminasi alami apabila mengalami keadaan yang
darurat saja.
Bayi tabung dikenal dengan istilah pembuahan in vitro atau dalam bahasa Inggris dikenal sebagai in
vitro fertilisation. Ini adalah sebuah teknik pembuahan sel telur (ovum) di luar tubuh wanita. Bayi
tabung adalah salah satu metode untuk mengatasi masalah kesuburan ketika metode lainnya tidak
berhasil.
Prosesnya terdiri dari mengendalikan proses ovulasi secara hormonal, pemindahan sel telur dari
ovarium dan pembuahan oleh sel sperma dalam sebuah medium cair. Lalu bagaimanakah
hukum bayi tabung dalam pandangan Islam? Dua tahun sejak ditemukannya teknologi ini, para
ulama di Tanah Air telah menetapkan fatwa tentang bayi tabung/inseminasi buatan.
Majelis Ulama Indonesia (MUI) dalam fatwanya menyatakan bahwa bayi tabung dengan sperma
dan ovum dari pasangan suami-istri yang sah hukumnya mubah (boleh). Sebab, ini termasuk ikhtiar
yang berdasarkan kaidah-kaidah agama.
Namun, para ulama melarang penggunaan teknologi bayi tabung dari pasangan suami-istri yang
dititipkan di rahim perempuan lain. "Itu hukumnya haram," papar MUI dalam fatwanya. Apa pasal?
Para ulama menegaskan, di kemudian hari hal itu akan menimbulkan masalah yang rumit dalam
kaitannya dengan warisan.
Para ulama MUI dalam fatwanya juga memutuskan, bayi tabung dari sperma yang dibekukan dari
suami yang telah meninggal dunia hukumnya haram. "Sebab, hal ini akan menimbulkan masalah
yang pelik, baik dalam kaitannya dengan penentuan nasab maupun dalam hal kewarisan," tulis
fatwa itu.
Lalu bagaimana dengan proses bayi tabung yang sperma dan ovumnya tak berasal dari pasangan
suami-istri yang sah? MUI dalam fatwanya secara tegas menyatakan hal tersebut hukumnya haram.
Alasannya, statusnya sama dengan hubungan kelamin antarlawan jenis di luar penikahan yang sah
alias zina.
Nahdlatul Ulama (NU) juga telah menetapkan fatwa terkait masalah ini dalam forum Munas Alim
Ulama di Kaliurang, Yogyakarta pada 1981. Ada tiga keputusan yang ditetapkan ulama NU terkait
masalah bayi tabung: Pertama, apabila mani yang ditabung dan dimasukan ke dalam rahim wani
ta tersebut ternyata bukan mani suami-istri yang sah, maka bayi tabung hukumnya haram.
Hal itu didasarkan pada sebuah hadis yang diriwayatkan Ibnu Abbas RA, Rasulullah SAW
bersabda, "Tidak ada dosa yang lebih besar setelah syirik dalam pandangan Allah SWT,
dibandingkan perbuatan seorang lelaki yang meletakkan spermanya (berzina) di dalam rahim
perempuan yang tidak halal baginya."
Kedua, apabila sperma yang ditabung tersebut milik suami-istri, tetapi cara mengeluarkannya tidak
muhtaram, maka hukumnya juga haram. "Mani muhtaram adalah mani yang keluar/dikeluarkan
dengan cara yang tidak dilarang oleh syara'," papar ulama NU dalam fatwa itu.
Bayi tabung dikenal dengan istilah pembuahan in vitro atau dalam bahasa Inggris dikenal sebagai in
vitro fertilisation. Ini adalah sebuah teknik pembuahan sel telur (ovum) di luar tubuh wanita. Bayi
tabung adalah salah satu metode untuk mengatasi masalah kesuburan ketika metode lainnya tidak
berhasil.
Prosesnya terdiri dari mengendalikan proses ovulasi secara hormonal, pemindahan sel telur dari
ovarium dan pembuahan oleh sel sperma dalam sebuah medium cair. Lalu bagaimanakah
hukum bayi tabung dalam pandangan Islam? Dua tahun sejak ditemukannya teknologi ini, para
ulama di Tanah Air telah menetapkan fatwa tentang bayi tabung/inseminasi buatan.
Majelis Ulama Indonesia (MUI) dalam fatwanya menyatakan bahwa bayi tabung dengan sperma
dan ovum dari pasangan suami-istri yang sah hukumnya mubah (boleh). Sebab, ini termasuk ikhtiar
yang berdasarkan kaidah-kaidah agama.
Namun, para ulama melarang penggunaan teknologi bayi tabung dari pasangan suami-istri yang
dititipkan di rahim perempuan lain. "Itu hukumnya haram," papar MUI dalam fatwanya. Apa pasal?
Para ulama menegaskan, di kemudian hari hal itu akan menimbulkan masalah yang rumit dalam
kaitannya dengan warisan.
Para ulama MUI dalam fatwanya juga memutuskan, bayi tabung dari sperma yang dibekukan dari
suami yang telah meninggal dunia hukumnya haram. "Sebab, hal ini akan menimbulkan masalah
yang pelik, baik dalam kaitannya dengan penentuan nasab maupun dalam hal kewarisan," tulis
fatwa itu.
Lalu bagaimana dengan proses bayi tabung yang sperma dan ovumnya tak berasal dari pasangan
suami-istri yang sah? MUI dalam fatwanya secara tegas menyatakan hal tersebut hukumnya haram.
Alasannya, statusnya sama dengan hubungan kelamin antarlawan jenis di luar penikahan yang sah
alias zina.
Nahdlatul Ulama (NU) juga telah menetapkan fatwa terkait masalah ini dalam forum Munas Alim
Ulama di Kaliurang, Yogyakarta pada 1981. Ada tiga keputusan yang ditetapkan ulama NU terkait
masalah bayi tabung: Pertama, apabila mani yang ditabung dan dimasukan ke dalam rahim wani
ta tersebut ternyata bukan mani suami-istri yang sah, maka bayi tabung hukumnya haram.
Hal itu didasarkan pada sebuah hadis yang diriwayatkan Ibnu Abbas RA, Rasulullah SAW
bersabda, "Tidak ada dosa yang lebih besar setelah syirik dalam pandangan Allah SWT,
dibandingkan perbuatan seorang lelaki yang meletakkan spermanya (berzina) di dalam rahim
perempuan yang tidak halal baginya."
Kedua, apabila sperma yang ditabung tersebut milik suami-istri, tetapi cara mengeluarkannya tidak
muhtaram, maka hukumnya juga haram. "Mani muhtaram adalah mani yang keluar/dikeluarkan
dengan cara yang tidak dilarang oleh syara'," papar ulama NU dalam fatwa itu.
Namun, para ulama melarang penggunaan teknologi bayi tabung dari pasangan suami-istri yang
dititipkan di rahim perempuan lain. "Itu hukumnya haram," papar MUI dalam fatwanya. Apa pasal?
Para ulama menegaskan, di kemudian hari hal itu akan menimbulkan masalah yang rumit dalam
kaitannya dengan warisan.
Para ulama MUI dalam fatwanya juga memutuskan, bayi tabung dari sperma yang dibekukan dari
suami yang telah meninggal dunia hukumnya haram. "Sebab, hal ini akan menimbulkan masalah
yang pelik, baik dalam kaitannya dengan penentuan nasab maupun dalam hal kewarisan," tulis
fatwa itu.
Lalu bagaimana dengan proses bayi tabung yang sperma dan ovumnya tak berasal dari pasangan
suami-istri yang sah? MUI dalam fatwanya secara tegas menyatakan hal tersebut hukumnya haram.
Alasannya, statusnya sama dengan hubungan kelamin antarlawan jenis di luar penikahan yang sah
alias zina.
Nahdlatul Ulama (NU) juga telah menetapkan fatwa terkait masalah ini dalam forum Munas Alim
Ulama di Kaliurang, Yogyakarta pada 1981. Ada tiga keputusan yang ditetapkan ulama NU terkait
masalah bayi tabung: Pertama, apabila mani yang ditabung dan dimasukan ke dalam rahim wani
ta tersebut ternyata bukan mani suami-istri yang sah, maka bayi tabung hukumnya haram.
Hal itu didasarkan pada sebuah hadis yang diriwayatkan Ibnu Abbas RA, Rasulullah SAW
bersabda, "Tidak ada dosa yang lebih besar setelah syirik dalam pandangan Allah SWT,
dibandingkan perbuatan seorang lelaki yang meletakkan spermanya (berzina) di dalam rahim
perempuan yang tidak halal baginya."
Kedua, apabila sperma yang ditabung tersebut milik suami-istri, tetapi cara mengeluarkannya tidak
muhtaram, maka hukumnya juga haram. "Mani muhtaram adalah mani yang keluar/dikeluarkan
dengan cara yang tidak dilarang oleh syara'," papar ulama NU dalam fatwa itu.
Terkait mani yang dikeluarkan secara muhtaram, para ulama NU mengutip dasar hukum dari
Kifayatul Akhyar II/113. "Seandainya seorang lelaki berusaha mengeluarkan spermanya (dengan
beronani) dengan tangan istrinya, maka hal tersebut diperbolehkan, karena istri memang tempat atau
wahana yang diperbolehkan untuk bersenang-senang." Ketiga, apabila mani yang ditabung itu mani
suami-istri dan cara mengeluarkannya termasuk muhtaram, serta dimasukan ke dalam rahim istri
sendiri, maka hukum bayi tabung menjadi mubah (boleh).
Meski tak secara khusus membahas bayi tabung, Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah juga
telah menetapkan fatwa terkait boleh tidak nya menitipkan sperma suami-istri di rahim istri kedua.
Dalam fatwanya, Majelis Tarjih dan Tajdid mengung kapkan, berdasarkan ijitihad jama'i yang
dilakukan para ahli fikih dari berbagai pelosok dunia Islam, termasuk dari Indonesia yang diwakili
Mu hammadiyah, hukum inseminasi buat an seperti itu termasuk yang dilarang.
"Hal itu disebut dalam ketetapan yang keempat dari sidang periode ke tiga dari Majmaul Fiqhil
Islamy dengan judul Athfaalul Anaabib (Bayi Tabung)," papar fatwa Majelis Tarjih PP
Muhammadiyah. Rumusannya, "cara kelima inseminasi itu dilakukan di luar kandungan antara dua
biji suami-istri, kemudian ditanamkan pada rahim istri yang lain (dari suami itu) ... hal itu dilarang
menurut hukum Syara'." Sebagai ajaran yang sempurna, Islam selalu mampu menjawab berbagai
masalah yang terjadi di dunia modern saat ini.