Anda di halaman 1dari 30

MASA ‘IDDAH

Oleh :
Team Pengajar Mata Kuliah
Hukum Perkawinan Islam FH-UP
Arti Kata ‘Iddah

a. Dilihat dari segi kemungkinan keutuhan


perkawinan yang telah ada, suami dapat
ruju’ kepada istrinya.
b. Dilihat dari segi si istri, sebagai suatu
tenggang waktu dalam waktu mana si istri
belum dapat melangsungkan perkawinan
baru dengan pihak laki-laki lain.
Kegunaan Masa ‘Iddah
Dalam Q.IV : 228 disebutkan:
a. Jangka waktu bagi suami istri yang
mungkin masih panas-panasnya
menghadapi suatu kekeruhan rumah
tangga untuk menenangkan fikiran.
b. Selama masa ‘iddah itu yang berkisar
antara tiga atau empat bulan akan dapat
diketahui dengan agak kuat apakah si
wanita itu sedang hamil atau tidak.
U U Perkawinan No. 1 Tahun1974, Pasal 10 :

Apabila suami dan istri yang telah cerai


kawin lagi satu dengan yang lain dan
bercerai lagi untuk kedua kalinya, maka
diantara mereka tidak boleh dilangsungkan
perkawinan lagi.
Pasal 11 ayat 1 Bagi seorang wanita yang
putus perkawinannya berlaku jangka
waktu tunggu
Macam-macam masa ‘iddah menurut
sebutan dalam al-Qur’an :
a. Janda karena talaq
Dalam Q.S.2: 228, bahwa seorang wanita
yang menjadi janda karena putus hubungan
perkawinannya dalam bentuk talaq, masa
‘iddahnya adalah 3 quru’.
Arti kata quru’,
Menurut Imam Syafi’i, masa suci;
Menurut Imam Hanafi, masa tidak suci.
b. Perceraian yang terjadi waktu istri sedang
mengandung.
Dalam Q. LXV (65/ath Thalaq) : 4 , masa
‘iddahnya adalah setelah dia melahirkan
anaknya + 40 hari sesudah melahirkan.
c. ‘Iddah janda karena kematian suami
Dalam Q. II : 234 : bahwa seorang wanita
yang menjadi janda karena ditinggal mati
oleh suaminya, maka dia akan ber’iddah
selama empat bulan sepuluh hari.
(Hubungkan dg. Q.S.II: 240 dan 241)
d. Dalam Q. LXV : 4 ditentukan :
a. Wanita-wanita kamu yang telah putus
asa untuk haid kalau kamu ragu-ragu,
maka masa ‘iddahnya adalah tiga bulan.
b. Dan wanita-wanita yang tidak haid masa
‘iddahnya adalah tiga bulan juga
c. Dan wanita yang hamil, ketentuan
‘iddahnya ialah hingga dia melahirkan
anaknya.
e. Apabila terjadi perceraian karena suami
meninggal sedangkan waktu itu si istri
sedang mengandung.
Berdasar Q. II : 234 dan Q. LXV : 4 adalah
4 bulan 10 hari sesudah suami meninggal
baru lahir anaknya, habis masa ‘iddahnya
sesudah melahirkan anak dan boleh kawin
lagi dengan laki-laki lain, dihitung 40 hari
sesudah hari melahirkan.
Bila suami meninggal, anaknya sudah
hampir lahir, yi: kurang dari 4 bulan 1 0 hari
Umar dan Ibnu Mas’ud berpegang pada ayat 4
surah al-Thalaq , bahwa ‘iddah wanita telah
habis pada saat dia melahirkan anaknya. Dgn
demikian dia boleh kawin lagi dg laki-laki lain.
Ali dan Ibnu Abbas mengambil kesimpulan
pada pemakaian masa yang terlama untuk
kasus itu. Jadi dapt dipergunakan ketentuan
sesudah 4 bulan 10 hari menurut Q.II : 234,
kalau saat meninggal suaminya lebih dekat
kepada kelahiran anaknya dari masa 4 bulan
10 hari.
Dan dapat pula dipergunakan ketentuan
sesudah wanita itu melahirkan anak sesuai
Q. LXV : 4 yaitu apabila jarak waktu antara
saat meninggal suaminya dengan saat
kelahiran anaknya lebih panjang dari 4
bulan 10 hari. Di sini terlihat Ali dan Ibnu
Abbas memilih masa yang terpanjang
diantara dua kemungkinan itu.
Dalam hubungan ini Sayuti Thalib lebih
condong mengikuti pendapat Umar dan
Ibnu Mas’ud.
f. Ketentuan ‘iddah bagi istri yang sedang
hamil, sehubungan dengan kemungkinan
rujuk tidak dapat gunakan dasar Q.II : 228 .
Sebabnya ialah karena perempuan yang
mengandung tidak dapat diketahui masa
suci dan masa tidak sucinya dalam
pengertian quru’. Perempuan hamil adalah
suci terus, berdasar Q.65:4, iddah 3 bulan.
g. Soal suami meninggal, ada satu ayat lagi
yang perlu mendapat perhatian. Q. II : 240
Q. II : 240 berbunyi:
a. Orang-orang yang meninggal diantara kamu
dan meninggalkan istri, hendaklah dia
(sebelum mati) menentukan wasiat untuk
biaya hidup istrinya itu selama satu tahun.
b. Selama satu tahun itu wanita itu tidak boleh
dikeluarkan dari rumah tempat tinggal
bersama suaminya itu ( dia dijamin tempat
tinggalnya dengan biaya harta suaminya).
c. Jika wanita itu sendiri yang hendak keluar,
maka boleh saja untuk dia berbuat baik untuk
dirinya.
Q. II : 234 terjemahnya:
a. Orang-orang yang meninggal diantara kamu
dan meninggalkan istri, hendaklah istrinya itu
menanti tentang dirinya 4 bulan 10 hari.
b. Apabila telah sampai bilangannya (masa 4
bulan 10 hari) tidak terlarang bahwa dia
melakukan apa yang baik untuk dirinya.
Q. II : 234 mengatur masa ‘iddah wanita kematian
suami yaitu 4 bulan 10 hari. Sesudah masa itu,
wanita ybs. diperkenankan melakukan suatu yang
baik untuk dirinya. Umpama dia kawin lagi dengan
laki-laki lain yang menurut perhitungan yang wajar
akan baik bagi dia dan anak-anaknya.
h. Q.II : 231 dan Q. LXV : 2
Ayat Q.II : 231 ini mengatur kalau ‘iddah
sudah habis ditentukan :
“Sesudah masa ‘iddah habis peganglah
wanita itu dengan baik atau lepaskan dia
dengan baik.”
Sesudah habis masa ‘iddah, hendaklah
suami menentukan sikapnya, apakah dia
akan pegang terus istri itu atau akan dia
lepaskan benar.
UU Perkawinan, mengatur semacam ‘iddah yang
disebut jangka waktu tunggu.
Pasal 39 PP No.9 Thn 1975 mengatur ketentuan
pokok mengenai jangka waktu tunggu.

1) Bagi seorang wanita yang putus


perkawinannya berlaku jangka waktu tunggu.
2) Tenggang waktu jangka waktu tunggu
tersebut ayat (1) akan diatur dalam
Peraturan Pemerintah lebih lanjut.
Dalam Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975
Pasal 39, waktu tunggu diatur sebagai berikut :
1. Karena kematian, 130 hari
2. Karena cerai, 3 kali suci bagi yang berdatang
bulan dengan sekurang-kurangnya 90 hari; dan
bagi yang tak berdatang bulan, 90 hari.
3. Sampai anak lahir bagi janda yang dalam
keadaan hamil pada waktu perkawinan putus.
4. Karena cerai dan belum ada terjadi hubungan
kelamin, tidak ada waktu tunggu.
5. Bagi cerai hidup, waktu dihitung sejak jatuhnya
putusan Pengadilan yang mempunyai kekuatan
tetap; dan bagi cerai mati, dihitung sejak
kematian suami.
Beberapa Hal Lain yang Perlu Dikemukakan
1. Biaya Kehidupan Istri yang Telah Ditalaq
Q. II : 241 itu dijelaskan : Bagi perempuan yang
telah ditalaq pembiayaan hidup dengan makruf;
suatu hak bagi orang yang berbakti.
Dari Q.II : 241 itu, Hazairin berpendapat, bahwa
apabila seorang wanita dicerai oleh suaminya,
sedang dia adalah orang yang dapat digolongkan
kepada orang yang berbakti, maka dia berhak
mendapat biaya selama hidupnya dari suaminya
itu, selama dia belum atau tidak kawin lagi dengan
orang lain.
2. Mut’ah atau Uang Hiburan Perceraian
Misalnya seorang laki-laki kawin dengan
seorang perempuan, karena satu hal dia
akan menceraikan istrinya itu, sedang
istrinya itu belum dia campuri. Menurut
Q.S.33 ayat 49, maka si istri tidak
dikenakan ketentuan ‘iddah seperti cerai
wanita yang telah dicampuri. Tetapi
berikanlah kepada mereka “mut’ah”, yaitu,
semacam pemberian untuk menyenangkan
hati mereka karena cerai itu.
BAB XVII KHI
AKIBAT PUTUSNYA PERKAWINAN

Akibat Talak, Pasal 149 -152


Bagian Kedua
Waktu Tunggu, Pasal153 -155
 (1) Istri yang putus perkawinannya
berlaku waktu tunggu atau iddah, kecuali
qobla al-dukhul dan perkawinannya
putus bukan karena kematian suami
 (2)Waktu tunggu bagi seorang janda:
a.Putus, krn mati qobla al dukhul, 130 hari
b.Putus krn cerai, yng masih haid, 3 X suci
Dn min. 90 hari, yng tidak haid 90 hari
c. Perkawnan putus krn cerai, janda hamil,
waktu tunggu sampai melahirkan.

d. Perkwn putus krn. mati janda hamil,


waktu tunggu sampai melahirkan.
3. Tidak ada waktu tunggu janda cerai
(hidup),janda qobla al-dukhul
4. Perkw. Putus krn cerai t.waktu, sejak
jatuh putusan PA yng memp.kekt.tetap
perkw.putus krn m a t i, dihitung sejak
kematian suami.
(5) Istri yang pernah haid, waktu menjalani
iddah tidak haid karena menyusui, masa
iddah = 3 X masa suci

Ps. 154
Istri tertalak raj’I, dalam wktu iddah sumi
meninggal waktu iddah berubah
menjadi 4 bln 10 hari.
Ps. 154
Istri tertalak raj’I, dalam wktu iddah sumi
meninggal waktu iddah berubah menjadi
4 bln 10 hari.

Ps. 155
Waktu ‘iddah bagi janda yang putus
perkawinan karena khuluk, fasakh dan
li’an berlaku ‘iddah talak.
Bagian Ketiga
Akibat Perceraian
Ps. 156
Akibat putusnya perkawinan krn perceraian :
a. Anak belum mumayyiz mendapat
hadhanah dari ibunya, ibu meninggal
dunia, kedudukan digantikan oleh :
1. Wanita dalam garis lurus keatas dari ibu
2. Ayah
3. Wanita dalam garis lurus keatas dari
ayah
4. Saudara perempuan dari anak tersebut
5. Wanita-wanita kerabat sedarah menurut garis
samping dari ibu.
6. Wanita-wanita kerabat sedarah menurut garis
samping dari ayah.
b. Anak sudah mumayyiz, berhak memilih
c. Pemegang hadhanah tidak dapat menjamin
keselamatan jasmani dan rohani anak, atas
permintaan kerabat PA memindahkan hak
hadhanah.
d. Semua biaya hadhanah dan nafkah anak
menjadi tanggungan ayah sampai dewasa.
e. Pengadilan Agama memberi putusan
perselisihan mengenai hadhanah
f. Pengadilan menetapkan biaya pemeliharaan
dan pendidikan anak

Ps. 157
Harta bersama dibagi menurut ketentuan Ps. 96,
97
Ps. 96 (1) Cerai mati, separoh harta menjadi hak
pasangan yang hidup.
Ps. 96 (2) Harta bersama suami atau istri yang
hilang ditangguhkan sampai ada kepastian mati
hakiki atau mati secara hukum.
Ps. 97. Janda atau duda cerai hidup masing-
masing berhak ½ harta bersama, sepanjang tidak
ditentukan dalam perjanjian.
Bagian Keempat
Mut’ah
Pasal 158
Mut’ah wajib diberikan oleh bekas suami
dengan syarat :
a. Belum ditetapkan mahar bagi istri ba’da
al dhukul
b. Perceraian atas kehendak suami
Pasal 159
Mut’ah sunat diberikan oleh bekas suami
tanpa syarat
Pasal 160
Besarnya mut’ah disesuaikan dengan
kepatutan dan kemampuan suami.
Bagian Kelima
Akibat Khuluk
Pasal 161
Perceraian dengan jalan khuluk mengurangi
jumlah talak dan tidak dapat dirujuk
Bagian Keenam
Akibat Li’an
Pasal 162
Perkawinan putus untuk selamanya, anak yang
dikandung dinasabkan kepada ibunya, suami
terbebas dari kewajiban memberi nafkah.

Anda mungkin juga menyukai