Anda di halaman 1dari 8

Muhammad Shafwan Ikmal

11920110350
Hukum Keluarga 4/A
Fiqh Munakahat

Akibat Putusnya Perkawinan: Iddah dan Ihdad serta Problematiknya

A. Definisi Iddah dan Ihdad


Menurut bahasa kata ‘iddah berasal dari kata al-‘adad. Sedangkan
kata al-‘adad merupakan bentuk masdar dari kata kerja ‘adda-ya’uddu yang berarti menghitung.
Kata al-‘adad memiliki arti ukuran dari sesuatu yang dihitung dan jumlahnya. Adapun bentuk
jama’ dari kata al-‘adad adalah al-a’daad begitu pula bentuk jama’ dari
kata ‘iddah adalah al-‘idaad. Dikatakan juga bahwa seorang perempuan telah ber’iddah karena
kematian suaminya atau talak suami kepadanya, digunakan untuk maksud iddah karena
perempuan yang ber-iddah menunggu berlalunya waktu dan masa bersihnya.
Menurut Sayyid Sabiq ‘iddah adalah perempuan (isteri) menghitung hari-harinya dan masa
bersihnya juga bahwa ‘iddah merupakan sebuah nama bagi masa lamanya perempuan (isteri)
menunggu dan tidak boleh kawin setelah kematian suaminya atau setelah pisah dari suaminya.
Al-Jaziri menyatakan kata ‘iddah mutlak digunakan untuk menyebut hari-hari haid
perempuan atau hari-hari sucinya. ‘Iddah secara syar’i yaitu masa tunggu seorang perempuan
yang tidak hanya didasarkan pada masa haid atau sucinya tetapi kadang-kadang juga didasarkan
pada bilangan bulan atau dengan melahirkan dan selama masa tersebut seorang perempuan
dilarang untuk menikah dengan laki-laki lain.
Abu Yahya Zakariya al-Anshari memberikan definisi ‘iddah sebagai masa tunggu seorang
perempuan untuk mengetahui kesucian rahim atau untuk ta’abbud ‘beribadah’ atau
untuk tafajju’ ‘bela sungkawa’ terhadap suaminya. Dalam definisi lain dijelaskan bahwa ‘iddah
menurut urf syara adalah nama untuk suatu masa yang ditetapkan untuk mengakhiri apa yang
tersisa dari pengaruh-pengaruh pernikahan.
Muhammad Zaid al-Ibyani menjelaskan bahwa ‘iddah memiliki tiga makna yaitu makna
secara bahasa, secara syar’i dan dalam istilah fuqaha. Menurut makna bahasa berarti menghitung
sedangkan secara syar’i adalah masa tunggu yang diwajibkan bagi perempuan maupun laki-laki
ketika terdapat sebab. Adapun dalam istilah fuqaha yaitu masa tunggu yang diwajibkan bagi
perempuan ketika putus perkawinan atau karena perkawinannya syubhat.
Dari berbagai definisi ‘iddah yang telah dikemukakan diatas maka dapat dirumuskan
sebuah pengertian yang komprehensif tentang ‘iddah yaitu masa tunggu yang ditetapkan bagi
perempuan setelah kematian suami atau putus perkawinan baik berdasarkan masa haid atau suci,
bilangan bulan atau dengan melahirkan untuk mengetahui kesucian rahim, beribadah ‘ta’abbud’
maupun bela sungkawa atas suaminya. Selama masa tersebut perempuan (isteri) dilarang
menikah dengan laki-laki lain.
Ulama Hanafiyah yang dikutip oleh Wahbah Zuhaili mengatakan iddah adalah masa yang
telah ditentukan oleh syari’at untuk menghabiskan bekas dari pernikahan, dengan artian bahwa
pernikahan itu mempunyai bekas yang berupa materi seperti kehamilan. Mereka juga memakai
definisi yang lain yang berbunyi, masa penantian yang wajib bagi seorang perempuan ketika
hilangnya pernikahan (perceraian) atau yang menyerupainya. Ulama Malikiyah mengatakan
bahwa iddah adalah masa dimana dilarang melakukan pernikahan, hal ini disebabkan tertalaknya
seorang perempuan atau matinya suami atau rusaknya pernikahan.
Ulama Syafi’iyah mengartikan iddah dengan masa penantian seorang perempuan untuk
mengetahui bersih rahimnya, atau karena ibadah atau karena berduka atas suaminya. Sedangkan
kalangan Hanabilah mendefinisikan dengan sederhana yaitu masa penantian yang ditentukan
syara’.
Kalangan Hanabilah dalam menafsirkan makna iddah tidak menyebutkan tujuan dari
ditetapkannya iddah. Sedangkan para ulama Hanafiyah, Malikiyah dan Syafi’iyah dalam
menafsirkan makna iddah secara syar’i memberikan tujuan dari penetapan iddah yaitu
ditetapkannya dalam waktu tertentu untuk mengetahui hamil atau tidaknya seorang isteri, atau
untuk berbela sungkawa atas kematian suami, atau ibadah.
Dari itu definisi yang dikemukankan oleh kalangan Hanabilah menurut Abdurrahman al-
Jaziri termasuk definisi yang paling bagus. Wahbah Zuhaili mempunyai argumen bahwa iddah
dapat didefinisikan dengan lebih jelas yaitu masa yang telah ditentukan Syari’ setelah perceraian,
dimana hal itu wajib bagi seorang perempuan menunggu dalam masa tersebut tanpa adanya
pernikahan sehingga masa penantian itu berkahir.
Secara bahasa kata Ihdad disebut dengan al-Hidad yang artinya adalah perkabungan, yang
berarti tidak bersolek atau tidak berhias karena kematian suami, menanggalkan berhias karena
duka cita.
Al-Anshari, ihdad berasal dari kata ahadda dan biasa pula disebut al-Hidad yang diambil
dari kata Hadda, Mereka mengartikan ihdad dengan al-Man’u yang berarti cegahan atau
larangan.
Menghias pakaian yang dicelup warna baik pencelupan itu dilakukan ketika masih dalam
bentuk kain, atau sudah menjadi pakaian, atau bahkan yang masih dalam bentuk benang
sekalipun, tidak diperbolehkan dipakai dalam masa iddah kematian. Ihdad adalah menahan atau
menjauhi, dalam beberapa kitab fikih, adalah “menjauhi sesuatu yang dapat menggoda laki-laki
kepadanya.
Ali al-Salusi, dalam hal ini juga mendefinisikan ihdad, antara lain sebagai berikut : “Di
antara makna ihdad secara etimologi adalah mencegah, dan di antara pencegahan tersebut adalah
pencegahan seorang perempuan dari bersolek, dan termasuk dalam kategori makna ihdad secara
bahasa adalah menjelaskan kesedihan, adapun ihdad menurut terminologi adalah pencegahan
atau menjaganya seorang perempuan dari bersolek dan termasuk dalam makna ihdad adalah
suatu masa tertentu di antara masa-masa yang di khususkan, begitu juga di antara makna ihdad
adalah mencegahnya seorang perempuan dari tempat tinggalnya yang bukan tempat tinggalnya”.
Wahbah al-Zuhaili memberikan definisi ihdad Meninggalkan harum-haruman, perhiasan,
celak mata, dan minyak, baik   minyak yang mengharumkan ataupun tidak.
Selanjutnya, Wahbah al-Zuhaili menegaskan yang dimaksud dengan harum-haruman,
perhiasan, celak mata, dan minyak adalah khusus yang berkaitan dengan anggota badan wanita.
Oleh karena itu wanita yang sedang dalam keadaan ihdad tidak dilarang memperindah tempat
tidur, karpet, gorden dan alat-alat rumah tangganya.
Sayid Sabiq juga memberikan definisi tentang ihdad meninggalkan bersolek seperti
memakai perhiasan, celak mata, pakaian sutra, wangi-wangian dan inai.
Al-Imam Taqiyuddin menjelaskan bahwa Ihdad adalah melarang dari berhias dan
berwangi-wangian.
Sekalipun rumusan redaksional beberapa definisi diatas berbeda, namun inti pokoknya
sama, yaitu masa berkabung seorang perempuan yang ditinggal mati oleh suaminya yang dalam
masa itu ia tidak boleh bersolek atau berhias dengan memakai perhiasan, pakaian yang
berlebihan, wangi-wangian, celak mata, dan yang lainnya. Dan tidak boleh juga bagi isteri yang
ditinggal mati oleh suaminya untuk keluar dari rumah tanpa adanya keperluan. Hal ini untuk
menghormati dan turut belasungkawa atas meninggalnya sang suami.

B. Dasar Hukum Iddah dan Ihdad

1. al-Baqarah, 228
2. al-Baqarah, 234
3. Al-Ahzab, 49
4. Al-Thalaq, 4
5. Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Pasal 11, ayat 1 : Bagi
seorang wanita yang putus perkawinannya berlaku jangka waktu tunggu.
6. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan UU
No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, BAB VII, Pasal 39 :

C. Pendapat Fuqaha Iddah dan Ihdad

Imam al-Syafi’i mengatakan tentang hukum ihdad, : “Barang siapa yang diwajibkan
kepadanya Iddah maka wajib pula baginya ihdad entah dia seorang muslimah yang sudah dewasa
maupun masih kecil dan merdeka, seorang dzimmiy, ataupun seorang budak perempuan yang
muslimah, mereka semua dalam masalah ihdad itu sama.”
Ibnu Rusyd mengatakan :  “Para Ulama bersepakat bahwa ihdad itu wajib bagi perempuan
muslimah yang merdeka, pada Iddah karena kematian.
Ibnu Abdil Bar senada dengan para ulama lain dengan berkata : “Ihdad itu wajib bagi orang
yang ditinggal mati oleh suaminya hingga sampai batas waktu iddahnya atau sampai ia
melahirkan baik ia seorang yang merdeka atau budak, seorang muslimah atau seorang dzimmi,
orang yang masih kecil maupun yang sudah dewasa.”
Dari beberapa pandangan para Ulama di atas maka dapat diketahui bahwa mereka sepakat
mengenai hukum ihdad, yaitu wajib, baik bagi orang yang merdeka maupun budak, orang yang
sudah dewasa maupun masih kecil, muslimah maupun dzimmi. Namun mereka sepakat hanya
pada ihdadnya orang yang ditinggal mati, dan juga pada suami saja. Sedangkan pada yang
lainnya mereka berselisih. Sebagaimana perkataan Ibnu Rusyd, Namun mereka berselisih tentang
hukum ihdad kepada selain suami dan ihdad kepada selain karena kematian, juga bagi yang
kesuliatan maupun yang tidak. Imam Malik berkata Ihdad itu wajib bagi seorang muslimah dan
ahli kitab, yang masih kecil dan yang sudah dewasa. Adapun bagi seorang budak perempuan
yang ditinggal mati oleh tuannya entah ia itu ummu walad atau bukan maka tidak wajib Ihdad
pada dirinya, begitulah pendapat para Fuqaha negeri-negeri besar.”  Imam Malik sendiri
menambahkan, “Tidak ada ihdad bagi wanita yang ditalak, baik itu talak tiga maupun bukan,
ihdad itu diwajibkan hanya kepada orang yang ditinggal mati oleh suaminya dan sama sekali
tidak ada kewajiban ihdad bagi orang yang ditalak.”
Imam Nawawi berkata : “Dalam hadits ada dalil wajibnya berihdad bagi wanita yang
menjalani ‘iddah karena wafatnya suami. Perkara ini secara umum disepakati walaupun ulama
berselisih dalam perinciannya. Ihdad ini wajib bagi setiap wanita yang menjalani ‘iddah karena
kematian suami, baik ia telah ‘berkumpul’ dengan suaminya atau pun belum, si wanita masih
kecil atau sudah besar, perawan (ketika dinikahi suaminya) atau sudah janda, wanita merdeka
atau budak, wanita muslimah atau wanita kafir. Ini merupakan madzhab Imam Syafi’i dan
jumhur. Abu Hanifah dan ulama negeri Kufah, Abu Tsaur, sebagian Malikiyah menyatakan :
“Tidak wajib berihdad bagi seorang istri dari kalangan ahlul kitab (Yahudi atau Nasrani) Karena
ihdad hanya khusus bagi istri yang muslimah, berdasarkan sabda Rasulullah :  ُ‫الَ يَ ِح ُّل اِل ْم َرَأ ٍة تُْؤ ِمن‬
ِ‫بِاهلل‬ ‘Tidak halal bagi seorang wanita yang beriman kepada Allah’. Dalam hadits dikhususkan
penyebutan wanita yang beriman”.
Jumhur memberi jawaban bahwa dalam hadits disebutkan orang yang beriman karena
hanya orang berimanlah yang bisa mengambil buah dari pembicaraan syari’at, mengambil
manfaat dengannya dan terikat padanya. Karena itulah, sasaran pembicaraan dalam hadits
dikaitkan dengannya.
Ulama sepakat tidak ada ihdad bagi ummul walad (budak perempuan yang telah
melahirkan anak untuk tuannya), tidak pula bagi budak perempuan yang tuannya meninggal,
demikian juga istri yang ditalak raj’i. Adapun terhadap istri yang ditalak tiga ‘talak ba’in’,
mereka berbeda pendapat : Atha`, Rabi’ah, Malik, al-Laits, al-Syafi’i, dan Ibnul Mundzir
berpendapat tidak ada ihdad baginya. Sedangkan al-Hakam, Abu Hanifah, ulama Kufah, Abu
Tsaur, dan Abu Ubaid berpendapat ada ihdad bagi istri yang ditalak tiga. Al-Syafi’i juga
memiliki pendapat seperti ini, namun pendapat yang lemah dari beliau.
Mereka yang berpendapat tidak ada ihdad bagi wanita yang ditalak tiga, berdalil dengan
ٍ ِّ‫ َعلَى َمي‬ Rasulullah mengkhususkan kebolehan berihdad disebabkan kematian
sabda Rasulullah : ‫ت‬
seseorang setelah mengharamkannya, bila bukan karena kematian. Al-Qadhi berkata: “Wajibnya
ihdad bagi wanita yang meninggal suaminya diketahui dari kesepakatan ulama yang membawa
hadits tentang ihdad kepada hukum wajib. Walaupun dalam lafadz hadits tersebut tidak ada yang
menunjukkan wajibnya, akan tetapi mereka sepakat membawa hadits tersebut kepada hukum
wajib. Bersamaan pula adanya pendukung dari sabda Nabi dalam hadits lain seperti hadits
Ummu Salamah, hadits Ummu ‘Athiyyah tentang celak, minyak wangi, dan pakaian perhiasan.
Dalam hadits di atas juga terdapat dalil bolehnya berihdad karena kematian kerabat atau
yang lainnya selama tiga hari dan tidak boleh (haram) jika lebih. Batasan waktu tiga hari ini
dibolehkan karena syari’at memperhatikan keadaan jiwa dan tabiat seorang manusia yang jelas
berduka bila ditinggal mati oleh orang yang dikasihinya hingga tak berselera berdandan,
memakai pakaian bagus dan sebagainya. Karena itulah Ummu Habibah dan Zainab bintu Jahsyin
memakai wewangian untuk keluar dari ihdadnya. Dan secara jelas keduanya menyatakan bahwa
mereka memakai wangi-wangian bukan karena suatu kebutuhan. Ini sebagai isyarat bahwa
bekas-bekas kesedihan masih ada pada mereka, namun karena syari’at tidak membolehkan
berihdad lebih dari tiga hari, maka tidak ada yang melapangkan mereka kecuali berpegang
dengan perintah agama.
KESIMPULAN

Dari pembahasan diatas, maka dapat disimpulkan bahwa:

1. Iddah adalah masa tunggu yang ditetapkan bagi perempuan setelah kematian suami atau
putus perkawinan baik berdasarkan masa haid atau suci, bilangan bulan atau dengan
melahirkan untuk mengetahui kesucian rahim, beribadah ‘ta’abbud’ maupun bela sungkawa
atas suaminya. Selama masa tersebut perempuan (isteri) dilarang menikah dengan laki-laki
lain.
2. Ihdad adalah masa berkabung seorang perempuan yang ditinggal mati oleh suaminya yang
dalam masa itu tidak boleh bersolek atau berhias dengan memakai perhiasan, pakaian yang
berlebihan, wangi-wangian, celak mata, dan yang lainnya. Dan tidak boleh juga untuk keluar
dari rumah tanpa adanya keperluan. Hal ini untuk menghormati dan turut belasungkawa atas
meninggalnya sang suami.
3. Iddah dan Ihdad wajib hukumnya
4. Hikmah adanya Iddah dan Ihdad adalah menjunjung tinggi masalah perkawinan dan
memberikan tempo berpikir panjang khususnya bagi wanita untuk menjaga kehormatannya
dan mencegah percampuran nasab.
5. Iddah dan Ihdad dimasa sekarang secara sosiologis tetap wajib, namun disesuaikan waktu
dan kondisi ‘waktunya berbeda-beda’ tergantung fisik mental, jasmani rohani, demi
kebutuhan kehidupan, ekonomi dan sosial terutama bagi perempuan yang mempunyai
kegiatan ‘pekerjaan’.
DAFTAR PUSTAKA

Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia Antara Fiqh Munakahat dan


UndangUndang Perkawinan, (Jakarta: Kencana, 2007)
Harun Nasution, Ensiklopedi Islam, (Jakarta: letar Van Hoeve, 1999)
Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, (Jakarta: Pena Pundi Aksara, 2006)

Anda mungkin juga menyukai