Disusun Oleh:
M. KIFLAINI (19.1330)
1
KATA PENGANTAR
Dengan mengucap puji syukur kehadiran Allah SWT atas rahmad, hidayah
dan perlindungan-Nya, serta shalawat serta salam kepada Rasulullah SAW yang
membawa cahaya terang bagi umat Islam, sehingga pada akhirnya kami dapat
menyelesaikan tugas makalah ini yang bertema “Hadist tentang Iddah dan Ruju’.
Untuk memenuhi tugas mata kuliah “Tafsir Hadist Ahkam”. Dan tidak lupa kami
ucapkan terima kasih kepada Bapak Supriyadin Hasibuan, Lc, MSy selaku dosen
pengampu mata kuliah kami.
Dalam hal ini kami berusaha semaksimal mungkin dalam membuat makalah
ini, semoga dengan apa yang kami tulis ini dapat bermanfaat kepada pembaca
sekalian. Namun, tidak lepas dari semua itu, kami mengaku makalah ini jauh dari
sempurna. Oleh karena itu, kritik dan saran dosen serta teman-teman sangat kami
harapkan. Semoga usaha kami diridhoi Allah SWT, Aamiin.
Penulis
i
DAFTAR ISI
Kata Pengantar.......................................................................................................................i
Daftar Isi.................................................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang...................................................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah..............................................................................................................2
1.3 Tujuan Penulisan................................................................................................................3
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Iddah.................................................................................................................3
2.2 Hadist tentang Iddah ..........................................................................................................3
2.3 Pengertian Ruju’.................................................................................................................5
2.4 Hadist tentang Ruju’...........................................................................................................6
DAFTAR PUSTAKA
ii
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pernikahan merupakan sesuatu yang amat sakral dalam pandangan islam. Pernikahan
juga merupakan salah satu sunnah rasul yang harus di jalani dalam mengarungi sebuah
bahtera kehidupan serta menjadi suatu dasar yang penting dalam memelihara kemashlahatan
umum. Kalau tidak ada pernikahan, maka manusia akan memperturutkan hawa nafsunya,
yang pada gilirannya dapat menimbulkan bencana dalam masyarakat. Pada dasarnya, dua
orang (laki-laki dan perempuan) melangsungkan pernikahan dan membangun rumah tangga
dengan tujuan untuk memperoleh kebahagian atau dikenal dengan istilah membentuk
keluarga sakinah, mawaddah, warahma. Akan tetapi, pada kenyataannya tidak semua rumah
tangga yang terbentuk melalui pernikahan dilimpahi kebahagiaan. Kadang ada saja masalah
yang menimbulkan perselisihan yang dapat berujung pada perceraian.
Islam sebagai agama yang sempurna telah mengatur segala hal tentang kehidupan,
termasuk pernikahan, perceraian (thalak), rujuk, idah, dan sebagainya. Bagi wanita yang
dicerai oleh suaminya, baik cerai biasa atau cerai mati (ditinggal mati), tidaklah boleh
langsung menikah lagi dengan laki-laki lain, melainkan ia harus menunggu untuk sementara
waktu lebih dahulu. Masa menunggu bagi wanita yang bercerai itu disebut iddah. Diadakan
masa iddah itu dimaksudkan untuk mengetahui apakah selama masa iddah itu wanita tersebut
hamil atau tidak, dan jika ternyata hamil maka anak tersebut masih sebagai anak dari suami
yang pertama. Selain itu, iddah dimaksudkan sebagai masa untuk ‘berpikir ulang’ bagi suami
istri untuk menetukan kelanjutan hubungan mereka. Jika ternyata dalam masa iddah itu,
suami istri menyesali perceraian mereka, mereka biasa rujuk atau kembali ke ikatan
pernikahan mereka yang lama. Aturan-aturan tentang iddah, dan rujuk telah diatur dengan
lengkap dalam agama islam.
2
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 PENGERTIAN IDDAH
Masa iddah adalah istilah yang dikutip dari bahasa Arab العــدةyang bermakna
perhitungan. اإلحصاءDalam ilmu mantik dalam kitab Syamsiah. Lafaz العدةdan اإلحصاءitu
merupakan kalimat mutaradifah dalam bahasa mantik disebut dengan قضية غيرالمتالزمة.
Menurut istilah ulama-ulama fiqih masa iddah itu adalah sebutan atau nama suatu masa
atau menanti atau menunggu atau menunggukan perkawinan setelah ia ditinggalkan suami
baik ditinggalkannnya itu karena mati atau karena cerai. Baik menunggunya itu sampai
melahirkan bayinya ataupun berakhirnya keberapa quru’ atau berakhirnya beberapa bulan
yang telah ditentukan.
Dari Abu Sa’id RA sesungguhnya Nabi Muhammad SAW bersabda tentang tawanan
wanita Authas: Tidak boleh bercampur dengan wanita hamil hingga ia melahirkan dan
wanita yang tidak hamil hingga ia datang haidnya sekali.
Adapun mengenai istibro’ adalah suatu ungkapan mengenai masa menunggu yang wajib
sebab memiliki hamba sahaya perempuan ketika terjadinya hak kekuasaan.
Adapun mengenai iddah wanita yang ditalak sementara itu wanita dalam keadaan hamil
masa iddahnya adalah sampai dengan melahirkan kandungannya, baik itu talak ba’in maupun
talak raj’i, baik itu perceraian saat suaminya masih hidup maupun karena sudah meninggal
dunia.
Wanita tersebut harus menjalani masa iddah dalam bentuk hingga ia melahirkan bayinya
yang dikandungnya dan ini berdasarkan firman Allah Ta’ala:
وأوالت االحمال اجلهن ان يضعن حملهن
Artinya: dan perempuan-perempuan yang hamil waktu iddahnya itu ialah sampai mereka
melahirkan kandungannya
Maksudnya jikalau di kandungannya itu lebih dari satu bayi maka wanita tersebut tidak
akan keluar dari iddahnya sampai ia melahirkan banyinya yang terakhir.
Demikianlah kesepakaan ulama mazhab tetapi mereka ulama mazhab berbeda pendapat
di dalam kitab Rahmatul Ummah dan kitab Mizan Sya’rani dan Mizan Kubra. Bilamana
wanita tersebut mengalami keguguran yang dikeluarkan itu belum merupakan bayi sempurna
(cukup sifatnya), Imam Hanafi, Imam Syafi’I, dan Imam Maliki mengatakan bahwa wanita
tersebut sudah keluar masa iddahnya sekalipun yang keluar dari rahim wanita tersebut itu
baru berupa sepotong kecil daging sepanjang potongan tersebut adalah embrio manusia.
Pendapat Imam Hanafi batas maksimal kehamilan itu adalah dua tahun. Bagi Imam Syafi’i
dan Imam Hambali yaitu maksimalnya empat tahun. Wanita hami bagi Imam Hanafi dan
4
Imam Hambali itu tidak mungkin haid tetapi pendapat Imam Syafi’i dan Imam Maliki itu
mungkin saja haid.
2.3 PENGERTIAN RUJU’
Ruju’ adalah bersatunya kembali seorang suami kepada istri yang telah dicerai sebelum
habis menunggu masa iddah. Ruju’ hanya boleh dilakukan dalam masa Ketika suami boleh
ruju’ kembali kepada istri (talak raj’i) yakni diantara talak 1 dan 2.
Adapun tentang rujuk dapat kita kembalikan dalam firman Allah SWT dalam Surah Al-
Baqara ayat 228:
والمطلت يتربصن بأنفسهن شلشة قروء
واليحل لهن ان يكتمن ما خلق فى أرحامهن
ان كن يؤمن باهلل واليوم االخر وبعو لتهن احق يرد هن فى ذلك ان ارادو اصالحا
Artinya: Wanita-wanita yang ditalak hendaklah mereka menahan diri (menunggu) 3 kali
quru’. Tidak boleh mereka menyembunyikan apa yang diciptakan oleh Allah SWT dalam
rahim mereka. Jika mereka beriman kepada Allah SWT dan juga hari akhir dan suami-
suaminya berhak merujukinya dalam masa menanti itu jika mereka para suami itu
menghendaki Islah.
Artinya: Talak yang dapat di rujuk yaitu talak dua kali. Setelah itu boleh dirujuk lagi
dengan cara yang ma’ruf atau cerai kan dengan cara yang baik.
Dalam ayat yang lain juga Allah SWT menjelaskan dalam Surah Al-Baqarah ayat 231.
Yang artinya: apabila kamu mentalak istri-istrimu lalu mereka mendekati akhir
iddahnya maka rujukilah mereka dengan cara yang ma’aruf atau ceraikanlah mereka
dengan cara yang ma’aruf pula. Janganlah kamu rujuki mereka untuk memberikan
kemudharatan karena dengan demikian itu kamu menganiaya mereka.
5
ditalak oleh suami yang kedua dan sudah habis masa iddahnya maka itu boleh
dinikahi kembali oleh suami yang pertama.
3. Adapun cara rujuknya adalah dengan cara menikah lagi dengan alasan karena ikatan
menikah yang lalu sudah putus karena talak, namun demikian para ulama berbeda
pendapat apabila rujuknya itu masih dalam masa iddah, tidak perlu dengan cara
menikah lagi. Dengan alasan dan suami berhak merujukinya dalam menanti itu. Jika
mereka para suami itu menghendaki islah.
Dari Imron bin Hushain RA bahwasanya ia ditanya tentang laki-laki yang mentalak
istrinya kemudian dia merujukinya dengan tanpa saksi, maka beliau menjawab hendaklah
pada talakmu dan rujukmu disaksikan (ada saksi).
Demikian ini hadist adalah mauquf dan kedudukan sanadnya shahih. Didalam kitab
Mustalahul hadist yang disebut dengan mauquf yaitu hadist yang disandarkan kepada sahabat
baik dari ucapan ataupun perbuatan atau taqrir.
Dinyatakan hadist ini shahih pada sanadnya dikarenakan banyak dikeluarkan dengan laaz
yang serupa seperti yang dikeluarkan oleh Imam Ibnu Majjah, Imam Baihaqi dan Sunan Abu
Daud.
فقال راجع في غير سنة.ان عمران بن حصين سئل عمن راجع امرأته ولم يشهد. واخرجه البيهقىى بلفظ
وزاد عبد الرازق والطبرانى فى رواية وليسغفر هللا.. فليشهد االن
Dikeluarkan oleh Imam Al Baihaqi dengan lafaz yang lain bahwasanya Imran bin
Hushain RA ditanya tentang laki yang merujuk istrinya dengan tanpa saksi beliau berkata
rujuk tanpa saksi tidak menurut sunnah maka sekarang ia harus bersaksi dan dalam sebuah
riwayat Imam Abdul Razak dan Imam Tabrani: dan hendaklah ia memohon ampun kepada
Allah SWT
Istimbat dari hadist tentang ruju diatas, yaitu:
1. Hadist diatas menunjukkan ruju’ adalah merupakan syariat.
2. Ruju’ disyariatkan harus ada saksi akan tetapi Sebagian ulama mazhab mengatakan saksi
atas ruju’ itu bukanlah wajib hanya saja itu hukumnya sunnah.
6
3. Ruju’ itu hasil dengan lafaz yang sareh, sebagaimana hasil ruju’ itu dengan hasil lafaz
kinayah.
4. Ruju’ itu tidak disyaratkan harus pemberitahuan kepada istri akan tetapi disunnahkan
pemberitahuan kepada istri.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Menurut istilah ulama-ulama fiqih masa iddah itu adalah sebutan atau nama suatu masa
atau menanti atau menunggu atau menunggukan perkawinan setelah ia ditinggalkan suami
baik ditinggalkannnya itu karena mati atau karena cerai.
Para ulama mempunyai beberapa pendapat tentang nasib istri yang ditinggal pergi oleh
suaminya. Yang perginya itu tanpa berita:
1. Tidak boleh menikah dengan laki-laki lain dan tidak berhak menuntut cerai walaupun
waktunya lama sampai jelas kematiannya
2. Istri menunggu empat bulan dari sejak kepergian suaminya lalu divonis sudah
meninggal suaminya, barulah menjalani masa iddah selama empat bulan sepuluh hari.
Ruju’ adalah bersatunya kembali seorang suami kepada istri yang telah dicerai sebelum
habis menunggu masa iddah. Ruju’ hanya boleh dilakukan dalam masa Ketika suami boleh
ruju’ kembali kepada istri (talak raj’i) yakni diantara talak 1 dan 2.
7
DAFTAR PUSTAKA