Anda di halaman 1dari 9

A.

Judul : Penegakkan Hukum Pidana terhadap ASN Protokoler yang melakukan


perselingkuhan disertai perzinahan (overspel).
B. Bidang Ilmu :
C. Latar Belakang Masalah
Pernikahan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang
wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang
bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa (UU Perkawinan Nomor 1
Tahun 1974). Berdasarkan Pasal 7 (1) UU Nomor 1 tahun 1974, batasan umur untuk
dilakukannya perkawinan adalah bila pihak pria mencapai umur 19 (sembilan belas)
tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 (enam belas) tahun.
Usia pada saat menikah mempunyai keterkaitan yang sangat kuat dalam pola
membina rumah tangga. Keadaan perkawinan antara seseorang yang menikah pada
usia yang belum semestinya dengan seseorang yang menikah pada usia yang telah
matang, tentu sangat berbeda. Emosi, pikiran dan perasaan seseorang yang masih
usianya muda tentu masih sangat labil. Sehingga tidak bisa menyikapi permasalahan-
permasalahan yang muncul dalam rumah tangga dengan bijaksana.
Saat seseorang memutuskan untuk menikah, tujuan yang ingin dicapai ialah
untuk menikah sekali dalam seumur hidup. Sesuai dengan UU No. 1 ayat 1 Tahun
1974 tentang perkawinan, bahwa tujuan pernikahan adalah untuk membentuk
keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Melalui
pernikahan, pasangan dapat saling memenuhi kebutuhannya tentang cinta, kepuasan
pribadi, keinginan mengenai adanya yang menemani, serta keinginan untuk menjadi
orangtua (Knox & Schacht, 2010). Dengan menikah juga, seseorang dapat melegalkan
hubungan seksual antara pasangan, menjaga hak antara anggota keluarga, memelihara
kelangsungan hidup kekerabatan, memenuhi kebutuhan untuk status sosial di
masyarakat, dan juga untuk memperoleh ketentraman batin (Amir, 2001).
Dalam suatu pernikahan merupakan hal yang wajar jika terdapat perbedaan
pandangan antara pasangan suami dan istri. Perbedaan pandangan yang dialami oleh
pasangan pernikahan terkadang dapat menggiring pasangan pada masalah. Beberapa
masalah-masalah yang dialami oleh suatu pasangan menikah yang diungkapkan oleh
Tolstoy (dalam Strong et al., 2011) ialah masalah komunikasi, anak dan parenting,
seksual, keuangan, kepribadian yang berbeda, bagaimana menghabiskan waktu luang,
mengurus rumah tangga, dan infidelity atau ketidaksetiaan. Isu mengenai
ketidaksetiaan atau adanya hubungan lain di luar pernikahan ini dikatakan sebagai
masalah yang besar dalam sebuah pernikahan (Sadarjoen, 2005; Fan & Lui, 2004).
Ketidaksetiaan yang dibahas dalam penelitian ini ialah mengenai selingkuh yang
dilakukan oleh salah satu pasangan dalam hubungan pernikahannya.
Selingkuh menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah suka
menyembunyikan sesuatu untuk kepentingan sendiri; tidak berterus terang; tidak
jujur; curang; serong; suka menyeleweng. Melakukan selingkuh dalam Kamus Besar
Bahasa Indonesia disebut sebagai perselingkuhan.
Perselingkuhan merupakan hubungan antara seseorang dengan orang lain yang
bukan pasangannya, yang berdampak pada tingkat keintiman, jarak emosional, dan
keseluruhan keseimbangan dinamis dalam pernikahan (Moultrup, 1990).
Di Indonesia, jika mencari data mengenai perselingkuhan, maka artikel yang
muncul lebih banyak mengenai istri yang berselingkuh. Namun dalam penelitian
ilmiah, hanya sedikit penelitian yang membahas perselingkuhan yang dilakukan oleh
istri. Kurangnya data mengenai perselingkuhan yang dilakukan oleh istri yang
disebabkan karena istri mahir menyembunyikan perselingkuhannya (O‟Callaghan,
2017) menjadikan sedikitnya yang mengetahui dan membahas kasus istri yang
berselingkuh. Melalui survei yang dilakukan oleh aplikasi just dating, di Indonesia
ditemukan bahwa persentase wanita berselingkuh 10% lebih banyak daripada pria
(Setia, 2017).
Berdasarkan review literatur dari tahun 1980 hingga 2005 yang dilakukan oleh
Blow dan Hartnett mengenai selingkuh, didapatlah kesimpulan bahwa selingkuh bisa
dikategorikan dalam tiga tipe, yaitu selingkuh yang hanya melibatkan seksual saja,
emosional saja, dan kombinasi dari keduanya (dalam Olson et al., 2011). Perilaku
selingkuh ini disebabkan oleh berbagai faktor yang melatarbelakanginya. Jika seorang
laki-laki (suami) melakukan perselingkuhan dan memiliki anak dari hasil
perselingkuhan tersebut, maka suami dapat dijerat hukum pidana.
Menurut R. Soesilo dalam bukunya “Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal”, menjelaskan bahwa
gendak (overspel) adalah persetubuhan yang dilakukan oleh laki-laki atau perempuan
yang telah kawin dengan perempuan atau laki-laki yang bukan isteri atau suaminya,
atau secara singkatnya terjadi zina / perzinahan, maka untuk dapat dikatakan sebagai
gendak (overspel).
D. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan di atas, rumusan masalah
dalam penelitian ini ialah:
1. Bagaimana pertanggung jawaban apabila suami melakukan gendak (overspel)?
2. Bagaimana proses penyelesaian hukum pidana gendak (overspel)?
E. Ruang Lingkup Masalah
Perlu dibuatkan ruang lingkup masalah. Hal ini dimaksud agar dalam
pembahasan tidak meluas kepada masalah lain. Untuk itu, maka ruang lingkup
masalah dalam penelitian ini dibatasi pada pertanggung jawaban suami apabila
melakukan gendak (overspel) dan proses penyelesaian hukum pidana gendak
(overspel).
F. Tujuan dan manfaat penelitian
1. Tujuan umum
Adapun tujuan umum dari penelitian ini yaitu untuk memperdalam hukum
pidana gendak (overspel) pada umumnya.
2. Tujuan khusus
a. Untuk mengetahui pertanggung jawaban apabila suami melakukan gendak
(overspel).
b. Untuk mengetahui proses penyelesaian hukum pidana gendak (overspel)
G. Manfaat penelitian
1. Manfaat teoritik
Penelitian ini dapat menjadi sumbangan ilmu pengetahuan.
2. Manfaat praktik
a. Hasil penelitian dapat menjadi masukan bagi
b. Hasil penelitian ini dapat menjadi masukan bagi masyarakat agar dapat
mengetahui tentang hukum pidana gendak (overspel).
H. Tinjauan Pustaka
1. Dasar hukum pidana gendak (overspel)
Pasal 284 ayat (1) dan (2) KUHP yang berbunyi :
- Ayat (1) : “Dihukum penjara selama-lamanya sembilan (9) bulan”, (a)
“Seorang pria yang rela kawin dengan melakukan gendok (overspel) padahal
diketahui bahwa pasal 27 BW berlaku baginya”.
- Ayat (2) : “Tidak dilakukan penuntutan melainkan atas pengaduan suami/isteri
yang tercemar, dan bilamana bagi mereka berlaku pasal 27 BW, dalam
tenggang waktu tiga bulan diikuti dengan permintaan bercerai atau pisah
ranjang karena alasan itu juga.
2. Pengertian zina
Zina merupakan perbuatan hubungan intim yang dilakukan oleh dua pasang
manusia yang tidak memiliki hubungan perkawinan sebelumnya. Zina termasuk
salah satu perbuatan yang tidak boleh dilakukan oleh setiap manusia dengan
alasan apa pun. Setiap aspek di dalam kehidupan baik dari aspek agama, budaya
maupun sosial menyatakan bahwa zina merupakan perbuatan yang tidak pantas
untuk dilakukan oleh manusia.
Zina secara etimologis berasal dari bahasa Arab yang artinya persetubuhan di
luar pernikahan. Pengertian zina secara umum adalah persetubuhan pria- wanita
tanpa ikatan perkawinan yang sah. Dari segi tata susila perbuatan ini sangat kotor,
hina dan tercela dalam pandangan masyarakat, sedangkan dari segi agama
perbuatan ini terhukum dosa. Tidak ada yang mengingkari dalam memberikan
hukuman kecuali mereka yang pikirannya beda di bawah kendali hawa nafsunya.
Mereka menganggap setiap pelanggaran hukum dan peraturan adalah suatu
ciptaan baru hasil falsafah hidup manusia.
Pada dasarnya sistem hukum yang ada di Indonesia juga mengatur terkait
dengan masalah perzinaan. Hukum perzinaan di Indonesia memiliki polemik
sendiri dari ketentuan hingga penerapan sanksi. Bagaimana tidak, hukum yang
mengatur perzinaan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)
dianggap tidak relevan untuk diterapkan dalam masyarakat Indonesia, terutama
perzinaan di Indonesia dianggap sebagai tindakan yang sangat tidak pantas dan
bertentangan dengan moral dan norma dalam masyarakat yang berbudaya.
Pengaturan tentang zina terdapat dalam Pasal 284 KUHP.
Pengaturan perzinaan dan sanksi sangat jelas bahwa Pasal 284 KUHP hanya
mengatur masalah perselingkuhan, yang di mana pasal tersebut hanya berlaku jika
salah satu pelaku atau keduanya masih terikat oleh perkawinan sah dengan orang
lain. Kemudian pada ayat (2) menjelaskan zina merupakan pelanggaran
pengaduan, yang hanya bisa dituntut jika pasangan sah melakukan keberatan atau
aduan. Sedangkan untuk kasus hubungan seksual di luar konteks pasal ini, akan
berlaku asas legalitas, seperti dalam kasus salah satu selebritas di Indonesia tahun
2010, di mana pelaku hanya dituntut berdasarkan Pasal 4 UU Pornografi, Pasal 27
UU Teknologi Informasi dan Pasal 282 KUHP. Ini terjadi karena video aksi para
pelaku yang tersebar di dunia maya, jadi jika video itu tidak ada, maka pelakunya
tidak terjerat dalam pasal mana pun, karena Pasal 284 KUHP tidak berlaku
padanya. Ketentuan itu menimbulkan masalah di masyarakat.
3. Pertanggung jawaban suami apabila melakukan gendak (overspel)
Dalam kasus Perselingkuhan yang dilakukan ASN Protokoler, dimana DKM
sebagai suami dari SD melakukan perselingkuhan dan mempunyai anak dari
selingkuhannya tersebut jauh sebelum menikah dengan SD. Selingkuhan DKM
adalah W yang berstatus istri orang. SD pada saat ini tengah mengandung anak
DKM. Dari kasus di atas dapat disimpulkan bahwa Suami atau istri yang terbukti
melakukan gendak (overspel), dapat melaporkan pasangannya tersebut (yang
melakukan tindak pidana) secara pidana melalui Kepolisian.
Dasar laporan diatur Pasal 284 ayat (1) KUHP, dengan ancaman pidana
penjara paling lama sembilan bulan.
Pasal tersebut mengatur:
(1) Diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan:
1. a) Seorang pria yang telah kawin yang melakukan gendak (overspel),
padahal diketahui bahwa pasal 27 BW berlaku baginya,
b) Seorang wanita yang telah kawin yang melakukan gendak, padahal
diketahui bahwa pasal 27 BW berlaku baginya,
2. a) Seorang pria yang turut serta melakukan perbuatan itu, padahal
diketahuinya bahwa yang turut bersalah telah kawin;
b) Seorang wanita yang telah kawin yang turut serta melakukan
perbuatan itu, padahal diketahui olehnya bahwa yang turut bersalah
telah kawin dan pasal 27 BW berlaku baginya.
(2) Tidak dilakukan penuntutan melainkan atas pengaduan suami/istri yang
tercemar, dan bilamana bagi mereka berlaku pasal 27 BW, dalam tenggang
waktu tiga bulan diikuti dengan permintaan bercerai atau pisah-meja dan
ranjang karena alasan itu juga.
(3) Terhadap pengaduan ini tidak berlaku pasal 72, 73, dan 75.
(4) Pengaduan dapat ditarik kembali selama pemeriksaan dalam sidang
pengadilan belum dimulai.
(5) Jika bagi suami-istri berlaku pasal 27 BW, pengaduan tidak diindahkan
selama perkawinan belum diputuskan karena perceraian atau sebelum
putusan yang menyatakan pisah meja dan tempat tidur menjadi tetap.
Dalam Pasal 284 ayat (2) KUHP tersebut di atas, proses penuntutan atau
pelaporan tindak pidana gendak (overspel) hanya dapat dilakukan atas pengaduan
suami atau istri. Pasalnya, tindak pidana tersebut termasuk dalam delik aduan
(klacht delict).
R. Soesilo menegaskan, Pasal 284 KUHP ini merupakan suatu delik aduan
yang absolut, artinya tidak dapat dituntut apabila tidak ada pengaduan dari pihak
suami atau istri yang dirugikan dan atau yang dimalukan. Selain itu, laporan
pidana gendak (overspel) tidak dapat diproses lebih lanjut oleh Kepolisian apabila
yang melaporkan bukanlah pasangan resmi pihak yang dirugikan. R. Soesilo
menambahkan pula bahwa pengaduan ini tidak boleh dibelah. Artinya, jika anda
mengadukan bahwa suami anda telah berzinah dengan perempuan lain, maka
suami anda maupun perempuan tersebut yang turut melakukan perzinahan,
keduanya harus dituntut.
Pada prinsipnya dalam tindak pidana gendak (overspel) sebagaimana diatur
dalam Pasal 284 KUHP diperlukan adanya suatu hubungan alat kelamin yang
telah selesai dilakukan oleh antara seorang pria dan seorang wanita.
Hal ini sering menjadi kendala dan atau salah satu hal yang sulit untuk
dibuktikan oleh pelapor.
Sementara suatu tindak pidana gendak (overspel) adalah membuktikan adanya
'persetubuhan'. Persetubuhan tersebut telah dilakukan dengan secara sengaja
(menghendaki dan mengetahui apa yang ia lakukan) atau telah adanya niat (mens
rea) untuk melakukan tindakan tersebut (actus reus). Sehingga selain bukti adanya
persetubuhan, unsur kesengajaan itu harus terbukti pada si pelaku. Walaupun
kedua hal tersebut mungkin sangat sulit untuk dibuktikan, namun pihak pelapor
wajib berupaya untuk menunjukkan bukti-bukti terkait terjadinya persetubuhan
dengan secara sengaja tersebut. Apabila pihak pelapor tidak dapat
membuktikannya, maka laporan tersebut kemungkinan akan sangat sulit untuk
diproses dan atau ditindaklanjuti oleh Kepolisian. Sementara alat bukti yang
digunakan dalam membuktikan adanya perbuatan gendak (overspel) adalah alat
bukti yang telah diatur dalam Pasal 184 Kitab Undang-Undang Hukum Acara
Pidana (KUHAP), yaitu: keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk,
keterangan terdakwa. Tindak pidana gendak (overspel) merupakan tindak pidana
yang masa daluwarsa atau kewenangan penuntutan pidananya hapus sesudah
enam tahun. Hal tersebut diatur dalam Pasal 78 ayat (1) angka 2 KUHP, yakni
“Mengenai kejahatan yang diancam dengan pidana denda, pidana kurungan, atau
pidana penjara paling lama tiga tahun, sesudah enam tahun”.
4. Penyelesaian Hukum Pidana Gendak (Overspel)
Pada dasarnya upaya hukum pidana adalah upaya terakhir (ultimum
remidium) dalam penyelesaian suatu masalah. Maknanya adalah apabila suatu
perkara dapat diselesaikan melalui upaya lain seperti kekeluargaan, musyawarah,
negosiasi dan mediasi, maupun perdata, maka hendaklah diselesaikan terlebih
dahulu melalui jalur atau upaya-upaya lain tersebut. Ketika terjadi dugaan tindak
pidana gendak (overspel), kami menyarankan agar sebaiknya Anda lebih
mengedepankan upaya penyelesaian secara kekeluargaan dengan pasangan.
Apabila pasangan anda terduga, atau bahkan telah terbukti melakukan gendak
(overspel), kami menyarankan beberapa upaya lain untuk dapat anda lakukan,
yaitu:
1. Melakukan introspeksi diri dan evaluasi internal terhadap hubungan
rumah tangga anda (antara anda dengan pasangan resmi anda), dengan
cara memberikan nasihat dan atau pengertian kepada pasangan anda
untuk kembali berkomitmen dan dapat melanjutkan kembali hubungan
rumah tangga sebagaimana tujuan dan sumpah perkawinan.
2. Melayangkan teguran (somasi) terhadap pihak ketiga yang turut serta
dalam perbuatan gendak oleh pasangan anda, dengan melampirkan
bukti-bukti, serta mencantumkan aturan atau ancaman sanksi pidana.
Harapannya, pihak ketiga tersebut mengetahui ancaman sanksi pidana
bagi dirinya apabila yang bersangkutan sampai mengabaikan teguran
(somasi) dari anda dan tetap mengganggu keharmonisan hubungan
rumah tangga anda dengan pasangan anda.
3. Mempertimbangkan kembali psikologis, jiwa dan mental serta masa
depan anak (bagi yang telah mempunyai anak) sebelum mengambil
keputusan untuk melakukan atau menempuh upaya perceraian.
Setidaknya melakukan musyawarah secara kekeluargaan dengan
keluarga besar untuk menghindari dan atau agar tidak sampai terjadi
pengambilan keputusan upaya perceraian.
4. Melakukan konsultasi terlebih dahulu atau pendampingan melalui
pengacara apabila pada akhirnya situasi dan kondisi terpaksa harus
mendorong anda untuk mengambil keputusan terburuk, yaitu
menempuh upaya hukum laporan pidana gendak (overspel) terhadap
pasangan anda. Kami tekankan kembali kewajiban dari pelapor untuk
membuktikan persetubuhan dan unsur kesengajaan itu sendiri.
Pengacara akan membantu anda untuk memeriksa dan mempelajari
kronologi permasalahan, menyiapkan langkah upaya dan bukti-bukti,
serta hal-hal lain yang dibutuhkan dalam proses laporan pidana agar
laporan anda dapat diterima dan diproses/ditindaklanjuti oleh
kepolisian.
I. Metode penelitian
1. Jenis dan pendekatan penelitian
a. Jenis penelitian
Dengan jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah
penelitian eksplanatif studi kasus, yaitu memusatkan diri pada suatu unit
tertentu dari berbagai variabel. Penelitian ini sesungguhnya hanya
menggunakan kasus tertentu sebagai objek penelitian, atau sebuah wilayah
tertentu sebagai objek penelitian, sehingga bersifat kasuistik terhadap objek
penelitian tersebut (Bungin, 2014: 44).
b. Pendekatan penelitian
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan
yang dilakukan dengan menelaah latar belakang apa yang dipelajari dan
perkembangan pengaturan mengenai isu yang dihadapi.
2. Sumber Data
Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah Data sekunder yang
sering disebut juga sebagai teknik penggunaan bahan dokumen. Maksudnya,
teknik ini memanfaat surat atau dokumen yang dihasilkan oleh pihak lain.
3. Teknik Pengumpulan Data
Agar bisa mendapatkan data yang akurat, maka peneliti akan mememakai
beberapa teknik untuk mengumpulkan data yaitu pengumpulan data sekunder
yang dilaksanakan dengan mencari bahan-bahan kepustakaan seperti teori-teori
para ahli dan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan hukum
pidana gendak (overspel).
4. Analisis Data
Agar memperoleh hasil akhir terhadap masalah yang akan diteliti ini, maka data
yang telah diperoleh dari hasil penelitian kepustakaan akan dianalisis secara
deskriptif kualitatif dan kemudian akan dipaparkan dalam bentuk skripsi secara
sistematis, rasional, serta ilmiah.
5. Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian dibuat di
6. Jadwal Penelitian
Rencana penelitian akan dilaksanakan pada awal bulan Mei 2022 hingga akhir
Mei 2022.

Anda mungkin juga menyukai