Anda di halaman 1dari 8

TUGAS

FILSAFAT HUKUM

PERLUNYA PEMBENTUKAN KETENTUAN PERILAKU PENYIMPANGAN

SSEKSUAL DALAM HUBUNGAN PERKAWINAN

Disusun oleh :
Fraditio P.Pranantama (322019009)
Alvin Reinardus (322019010)
Herbon Ricard K.Sebayang (322019011)
Danti Martiana (322019015)
Agnes Eko K(322019017)

MAGISTER ILMU HUKUM


FH UKSW 2019
BAB 1
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Hukum menurut penulis adalah suatu norma atau kaidah baik tertulis ataupun tidak

tertulis yang betujuan untuk mengatur kehidupan manusia. Salah satu bentuk hukum tertulis

yang berguna untuk mengatur kehidupan masyarakat adalah peraturan perundang-undangan.

Ketentuan yang termuat dalam undang-undang harus diikuti dan tidak boleh dilanggar oleh

siapapun.

Definisi undang-undang menurut KBBI adalah ketentuan dan peraturan negara yg dibuat

oleh pemerintah (menteri, badan eksekutif, dsb), disahkan oleh parlemen (Dewan Perwakilan

Rakyat, badan legislatif, dsb), ditandatangani oleh kepala negara (presiden, kepala

pemerintah, raja), dan mempunyai kekuatan yg mengikat.1

Undang-undang adalah sesuatu ketentuan, norma atau kaidah yang dibukukan dan

kemudian disahkan agar bisa berlaku dan digunakan untuk mengatur kehidupan warga

negara.

Dalam realita kehidupan sesungguhnya, sebenarnya tidak semua aspek kehidupan

manusia atau masyarakat diatur oleh peraturan perundang-undangan. Ada beberapa aspek

kehidupan yang belum atau bahkan tidak tersentuh oleh suatu peraturan tertulis yang disebut

undang-undang.

Berdasarkan tugas kelas filsafat hukum MIH UKSW, penulis mendapat tugas untuk

mencari apakah ada suatu aspek atau isu yang belum memiliki ketentuan tertulis dan kiranya

perlu diundang-undangkan.

1
Kamus Besar Bahasa Indonesia : Undang-Undang.
Dari hasil diskusi yang penulis lakukan, penulis menemukan bahwa ada salah satu isu

yang belum diatur dalam undang-undang dan penulis merasa perlu dibuat ketentuannya. Isu

yang akan penulis angkat adalah diperlukannya pembentukan undang-undang yang mengatur

tentang perilaku penyimpangan seksual dalam hubungan perkawinan.

Perilaku penyimpangan seksual dalam perkawinan mungkin saja terjadi. Penyimpangan

seksual bisa tidak dikehendaki oleh salah satu pasangan. Apabila salah satu pasangan tidak

berkehendak dalam melakukan penyimpangan seksual maka salah satu pasangan itu pasti

akan merasakan paksaan dan keadaan yang tidak menyenangkan dalam melakukan hubungan

seksual.

Oleh karena itu penulis memberikan judul tulisan penulis sebagai : Perlunya

Pembentukan Ketentuan Perilaku Penyimpangan Seksual dalam Hubungan

Perkawinan.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah yang sudah penulis sampaika maka penulis

menemukan rumusan masalah sebagai berikut : Mengapa diperlukan pembentukan

ketentuan mengenai perilaku penyimpangan seksual dalam perkawinan?

C. Tujuan

Berdasarkan rumusan masalah yang ada maka tujuan dari tulisan ini adalah : Mengetahui

mengapa diperlukan pembentukan ketentuan mengenai perilaku penyimpangan

seksual.
BAB 2
PEMBAHASAN

A. Definisi dan Bentuk Penyimpangan Seksual

1. Definisi Penyimpangan Seksual

Pengertian penyimpangan seksual adalah segala bentuk penyimpangan seksual,

baik arah, minat maupun orientasi seksual. Penyimpangan adalah gangguan atau

kelainan. Sedangkan perilaku seksual adalah segala tingkah laku yang didorong oleh

hasrat seksual, baik dengan lawan jenis maupun dengan sesama jenis. Bentuk-bentuk

tingkah laku ini bisa bermacam-macam mulai dari perasaan tertarik sampai tingkah

laku berkencan, bercumbu, dan bersenggama. Obyek seksualnya juga bisa berupa

orang lain, diri sendiri maupun obyek dalam khayalan.

Penyimpangan seksual merupakan salah satu bentuk perilaku yang menyimpang

karena melanggar norma–norma yang berlaku Penyimpangan seksual dapat juga

diartikan sebagai bentuk perbuatan yang mengabaikan nilai dan norma yang

melanggar, bertentangan atau menyimpang dari aturan-aturan hukum.

Sebagian dari tingkah laku itu memang tidak berdampak apa-apa, terutama jika

tidak ada akibat fisik atau sosial yang dapat ditimbulkannya. Akan tetapi pada

sebagian perilaku seksual yang lain, dampaknya cukup serius, seperti perasaan

bersalah, depresi, marah dan sebagainya (Sarwono, 2006).

Jenis penyimpangan seksual yang dapat terjadi dalam hubungan perkawinan lebih

menjurus kepada fantasi-fantasi atau variasi yang tidak wajar dalam melakukan

hubungan seksual dimana dengan adanya hal tersebut menimbulkan kepuasan

seksual.
B. Beberapa Jenis Penyimpangan Seksual yang Dapat Terjadi dalam Hubungan

Perkawinan

1. Sadisme

Perilaku yang kejam, ganas, atau kasar. Namun secara psikologi, sadisme

bisa juga berarti kepuasan seksual yang diperoleh dengan menyakiti orang lain

(yang disayangi) secara jasmani atau rohani.

2. Menophilia

Kelainan seksual yang berupa memperoleh kepuasan seksual yang

berlebih dengan berhubungan intim pada saat menstruasi.

3. Cuckoldism

Kepuasan seksual yang diperoleh saat menyaksikan pasangannya

berhubungan intim dengan orang lain.

4. Asphyxiophilia

Kepuasan sekual yang diperoleh dengan cara melakukan hubungan

seksual dalam keadaan tercekik/dicekik yang mengakibatkan kesulitan dalam

pernafasan.

5. Raptophilia

Kepuasan sesksual yang diperoleh dengan berfantasi bahwa hubungan

seksual yang dilakukannya adalah pemerkosaan.


C. Perlunya Ketentuan yang Mengatur Mengenai Perilaku Menyimpang Seksual

Dalam Hubungan Perkawinan

Perilaku penyimpangan seksual bertentangan dengan norma kebiasaan, kewajaran

dan kepatutan yang ada dalam masyarakat. Perkawinan adalah sesuatu yang sakral dan

suci baik dalam agama ataupun adat manapun : Bagian dari kesakralan dalam perkawinan

itu salah satunya adalah hubungan seksual.

Adanya perilaku penyimpangan seksual dalam perkawinan dapat menimbulkan


permasalahan dalam hubungan suami istri. Masalah yang dapat timbul adalah kekerasan,
pertengkaran dan perceraian.

Perilaku penyimpangan seksual dalam hubungan suami istri pada kenyataanya tidak
dialami oleh kedua pihak. Bisa hanya ada satu pihak yang mengalami peyimpangan
seksual, entah itu suami atau istri. Apabila hanya satu pihak yang mengalami
penyimpangan seksual, maka bisa jadi pihak yang lainnya terpaksa ikut dalam
penyimpangan seksual tersebut.

Yang penulis cemaskan dalam hal ini adalah keadaan jasmani maupun psikis dari
salah satu pasangan yang keberatan untuk ikut melakukan penyimpangan. Dalam
keadaan terpaksa pasti akan terjadi penolakan oleh salah satu pasangan yang tidak
bersedia. Masalah yang penulis sebutkan dalam paragraf sebelunya bisa terjadi akibat
adanya perilaku penyimpangan seksual dan adanya penolakan oleh salah satu pasangan,
dalam melakukan hubungan seksual bisa terjadi keadaan dimana penyimpangan tersebut
dipaksakan pada salah satu pihak dan pihak yang satunya tidak bersedia.

Pemaksaan terhadap salah satu pihak tersebut meghilangkan esensi kesakralan dalam
perkawinan khususnya dalam hubungan seksual daimana hubungan seksual harusnya
didasari oleh perasaan kasih sayang dan perasaan sukarela, bukan terpaksa. Tindakan
perilaku penyimpangan seksual yang dipaksakan sudah pasti tidak menimbulkan
kebahagiaan bagi salah satu pihak yang dipaksa.
Tujuan penulis mengangkat tema ini sebagai salah satu isu yang perlu dibentuk
Undang – undangnya karena mempertimbangkan kebahagiaan dan keadaan dari salah
satu pasangan yang dipaksa melakukan perilaku peyimpangan seksual. Ada satu teori
yang menyatakan bahwa tujuan hukum adalah memperoleh kebahagiaan sebesar-
besarnya, berarti perilaku yang menimbulkan kesengsaraan atau ketidakbahagiaan
bertentangan dengan hukum. Oleh Karena itu kelompok kami mengagkat tema ini dengan
mempertimbangkan kebahagiaan dari pasangan suami atau istri.

Apabila ketentuan mengenai perilaku penyimpangan seksual dibuat, maka ketentuan


tersebut nantinya akan terdiri dari berbagai macam larangan-larangan dan delik-delik.
Delik yang berlaku dalam ketentuan ini adalah delik aduan. Jadi apabila ada salah satu
pihak yang tidak terima, maka harus diadukan dulu kepada penegak hukum agar
penegakan hukum dapat dilakukan.

Ketentuan ini mempertimbangkan relativitas bahwa keadaan tiap pasangan suami istri
berbeda, ada yang bisa menerima penyimpangan seksual dan ada yang tidak bisa
menerima, jadi delik yang diberlakukan bukan delik biasa, namun delik aduan yang
hanya bisa diajukan oleh salah satu pihak suami/istri.

BAB 3
PENUTUP

Kesimpulan

Jadi penyimpangan seksual dalam hubungan pernikahan dapat menimbulkan berbagai


masalah yaitu pertengkaran, kekerasan dan bahkan perceraian. Masalah terebut akan
timbul saat ada salah satu pihak yang tidak bersedia dan kemudian pihak yang lain
melakukan pemaksaan atas penyimpangan seksual yang dimilikinya.Diperlukan
ketentuan hukum atas isu ini adalah untuk melindungi salah satu pihak yang tidak
bersedia melakukan penyimpangan seksual. Delik yang ada dalam ketentuan ini adalah
delik aduan yang dapat diadukan oleh salah satu pihak yang tidak terima atas perilaku
seksual menyimpang pasangannya baik suami/istri.

Anda mungkin juga menyukai