Anda di halaman 1dari 17

Marital Rape Dalam Prespektif Fikih Munakahat

Rifqi Aaulia Salsabila


IAIN PONOROGO
Rifqiauliasalsabila4576@gmail.com

DOI: (Di isi oleh Pengelola Jurnal}


Received: Revised: Approved:

Abstrak
Perkawinan merupakan akad yang kuat (mitsaqan Ghalidzan), mengandung nilai-nilai transendetal
(ilahiyah), dilakukan secara sadar oleh laki-laki dan perempuan guna membentuk keluarga dengan
pelaksanaanya berdasarkan kerelaan и kesepakatan diantara keduanya. Memahami bahwa seorang
wanita (istri) harus mengurangi hasrat seksualnya dalam situasi apa pun, dan jika dia melakukannya,
dia melakukan dosa besar yang akan digunakan untuk melegitimasi agamanya. Dalam hal ini, akan
meresahkan jika di kemudian hari terjadi pelecehan seksual terhadap seorang teman terhadap seorang
istri, yang pada akhirnya keduanya menjadi korban ma'ruf dan ketidakpahaman. kemaslahatan yang
digariskan syariat dalam relevansinya dengan upaya pencegahan tindak kekerasan dalam makna yang
luas sebagai penegakan prinsip keadilan, hak asasi, dan perlindungan hidup sebagai perwujudan
maqashid al- syariah. Perkosaan dalam perkawinan telah muncul sebagai isu kritis dalam perdebatan
gender di Indonesia selama beberapa dekade terakhir. Bagi mereka yang percaya pada kesetaraan
gender, khususnya kaum feminis, melihat perkosaan dalam pernikahan sebagai sumber stres di rumah,
yang dapat menyebabkan depresi.
Kata kunci : hukum islam, hukum positif, fikih munakahat

Abstark
Marriage is a strong contract (mitsaqan Ghalidzan), contains transcendental (ilahiyah) values, is carried
out consciously by men and women in order to form a family with its implementation based on
willingness and agreement between the two. Understanding that a woman (wife) must reduce her
sexual desire in any situation, and if she does, she commits a grave sin which will be used to legitimize
her religion. In this case, it would be troubling if in the future there was sexual harassment against a
friend against a wife, which in the end both of them became victims of ma'ruf and misunderstanding.
the benefit outlined by the sharia in its relevance to efforts to prevent acts of violence in a broad sense
as upholding the principles of justice, human rights and protection of life as the embodiment of
maqashid al-shariah. Marital rape has emerged as a critical issue in the gender debate in Indonesia over
the past decades. Those who believe in gender equality, especially feminists, see rape in marriage as a
source of stress at home, which can lead to depression.
Keywords : Islamic law, positife law, jurisprudence munakahat

Pendahuluan

Membangun keluarga sebagai wadah hubungan suami istri merupakan cita-cita ideal
bagi setiap muslim dewasa. Selain karena dalam Islam keluarga merupakan satu-

1
satunya jalan bagi laki-laki dan perempuan untuk melakukan hubungan seks, dalam
Syariat Makassid, keluarga menyediakan kebutuhan dasar (al-hasir ad-dorliyah), yaitu
keturunan (juga merupakan cara untuk memenuhi pemeliharaan fungsi reproduksi.
Anda dapat memenuhi kewajiban dan tanggung jawab Anda tanpa mengabaikan hak
Anda masing-masing. Namun, keharmonisan dan kerja sama perkawinan tidak selalu
berhasil, dan terkadang salah satu atau kedua belah pihak lalai atau melanggar haknya
dengan mengabaikan tugas dan tanggung jawabnya, sehingga menimbulkan konflik
dalam keluarga. Konflik rumah tangga yang berkepanjangan dapat mengakibatkan
salah satu pihak dalam rumah tangga melakukan kekerasan terhadap pihak lain (suami
vs istri, atau sebaliknya).1 Memaksakan hubungan seksual pada dasarnya bertentangan
dengan praktik komunitas yang baik. Tindakan ini tidak bertentangan dengan hati
nurani manusia. Banyak peraturan yang dibuat untuk memberantas perilaku buruk
terhadap perempuan. Larangan pemaksaan seks juga berlaku bagi pasangan suami
istri. Seorang suami tidak bisa memaksakan keinginannya untuk berhubungan seks
dengan istrinya jika dia menolak, begitu pula sebaliknya. Kategori kekerasan seksual
juga mencakup pemaksaan hubungan seksual, yaitu pemaksaan salah satu suami atau
istri untuk melakukan hubungan seksual yang tidak wajar atau tidak diinginkan.

Bila dikaitkan dengan hukum Islam seorang istri tidak boleh menolak apabila suami
menginginkan hubungan intim, hal ini sebagaimana firman Allah dalam AlQur’an
Yang Artinya : Isteri-isterimu adalah (seperti) tanah tempat kamu bercocok tanam,
maka datangilah tanah tempat bercocok-tanammu itu bagaimana saja kamu
kehendaki. Dan kerjakanlah (amal yang baik) untuk dirimu, dan bertakwalah kepada
Allah dan ketahuilah bahwa kamu kelak akan menemui-Nya. Dan berilah kabar
gembira orang-orang yang beriman Lebih lanjut Rasulullah Saw bersabda: Dari Abu
Hurairah ra. Dari Nabi SAW bersabda : "Apabila seorang suami mengajak istrinya ke
tempat tidur, lantas ia tidak mau datang, maka malaikat melaknatnya hingga subuh
tiba". (HR. Bukhari dan Muslim) Jika dipahami secara tekstual sangat terasa firman
Allah dan hadis hadist di atas memberatkan para perempuan. Hanya karena tidak
menemani tidur suaminya ia akan mendapatkan laknat para malaikat. Bukan itu saja,
masih banyak masyarakat yang memahami hadis ini secara tekstual dan beranggapan
isteri yang tidak taat kepada suami, ia termasuk isteri yang nusyuz. Karena itu marital
1
M. Tahir Maloko, Dinamika Hukum Perkawinan, (Makassar: Alauddin University Press,
2012), h. 203.

2
rape menjadi isu yang cukup bnyak menuai pro dan kontra, sehinga menarik untuk
dikaji dari sudut pandang epistimologi Hukum Islam.

Metode yang digunakan dalam kajian gagasan yang diuraikan dalam jurnal ini
menggunakan pola penelitian kepustakaan, yaitu penggunaan telusur bahan pustaka
dan telaah konseptual yang berguna dalam berbagai referensi yang berkaitan dengan
topik kajian. Ini adalah pendekatan konseptual yang digunakan dalam proses
penulisan. Pendekatan kontekstual yang dimaksud adalah jenis pendekatan yang
memberikan sudut pandang analisa penyelesaian permasalahan dalam penelitian
hukum dilihat dari aspek-aspek konsep hukum yang melatarbelakanginya, yang
konsep merupakan buah pikiran seseorang atau kelompok orang yang dinyatakan,
sehinnga muncul produk pengetahuan yang berupa prinsip, teori dan hukum. Itu
dipengaruhi oleh fakta, keyakinan, persepsi, dan perasaan, yang dapat berubah dengan
informasi baru dan aplikasi baru. Analisis dilakukan secara kuantitatif dengan laporan
tertulis.

Kasus pemaksaan dalam hubungan seksual yang terjadi pada seorang perempuan
tidak hanya ada di luar perkawinan. Dalam ikatan perkawinan pun masih sering
terjadi pemaksaan dalam hubungan intim, terutama pemerkosaan atau pemaksaan
untuk berhubungan seksualitas yang sering dilkuakn terhadap seorang istri. kekerasan
yang terjai di dalam rumah tangga salah satunya adalah kekerasan seksual yang
dikenal dengan istilah Marital Rape dalam kajian hukum atau pemaksaan melakukan
hubungan intim. su dan masing-masing mendapatkan keadilan sebagai seorang
manusia. Dalam aritian suami harus memberikan berdasarkan haknya istri, begitu pula
sebaliknya.5 Bukan melakukan hubngan badan yang dilalui dengan cara paksa oleh
salah satu pasangannya yang dalam hal ini adalahsuami.

Sementara itu istri dalam keadaan yang tidak memungkinak untuk melakukan
hbungan badan misalnya: lelah, sakit, tidak ada selera seks, dan jika sedang dalam
keadaan haid. Dalam UU No. 23 Tahun 2004 pasal 1 ayat (1) 2 tentang Penghapusan
KDRT sudah dijelaskan bahwa pemerkosaan merupakan bentuk kekerasn yang paling
berat yang dirasakan perempuan yang tdak hanya berdmpak pada rusaknya organ fisik
tapi juga berdampak pada psikis. Pemaksaan hubungan seksualitas dalam rumah
2
Dalam UU No. 23 Tahun 2004 pasal 1 ayat (1)

3
tangga jelas telah melanggar hak istri, sebab seks juga merupakan haknya. Aktivitas
hubungan seksual yang didasri dengan paksaan menyebabkan suami saja yang
mendapatkan kenikmatan seks, sedangkan istri tidak merasakan hal yang sama. Jika
tidak adanya kehendak ataupun kmunikasi yang bagus antara suami dengan istri, pasti
tidak akan terjadi kesamaan dalam akses kepuasan. Hubungan badan yang dilakukan
dengan dasar tekanan ataupun paksaan sama halanya dengan menindas sesorang.

Dengan demikian mampu diberikan pandangan bahwa Marital Rape ialah tindakan
yang memaksakan kehendak yang dilakukan oleh suami terhadap istri untuk
melakukan aktivtas hubungan badan tanpa adanya pertimbangan dari istri sebab
kondisinya yang tidak mampu lagi melakukan hubungan dengn suaminya. Agama dan
kemanusiaan merupakan dua konsep yang tidak lagi bisa dipisahkan dengan
mengunakan apapun.

Pembahasan
Marital rape dalam pandangan hukum islam

Kekerasan dalam rumah tangga masih meningkat Salah topik dalam bidang hukum
keluarga Islam. Kebanyakan ulama menerima keberadaan suami Jika Anda tidak
menyukai seorang wanita, pukul dia tugasnya. Pandangan ini tampaknya dibenarkan
Al-Quran dalam Q.S. ditampilkan. aN-Nisa' [4]: 34 Artinya“Kaum laki-laki itu
adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebagian
mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena harta mereka. Sebab
itu maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika
suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka). sebagai umat islam
yang konsekuen dan bertanggung jawab, dalam mengamalakan nilai-nilai islam
dengan benar, maka imlementasi keagamaannya juga diharapkan bisa memberikan
perlindungan terhadap perempuan dan anak-anak dari segala tindak kekkerasan. 3 Dan
wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasehatilah mereka dan
pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika
mereka mentaatimu, maka janganlah kamu mencari cari jalan untuk menyusahkannya.
Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar.”.

3
Mufida, psikologi keluarga islam, hal. 252

4
wanita yang saleh Orang yang mengikuti Tuhan dan melakukan hal mereka sendiri
karena Tuhan ada di sana ketika suaminya tidak ada (mereka) menabung. Dan para
wanita itu Anda khawatir tentang nushuznya lalu menasihatinya meninggalkan
mereka di tempat tidur pukul dia. jadi kamu ikuti kamu, maka jangan melihat
Kesempatan untuk membuatnya kesal. faktanya Allah Maha Agung dan Maha Besar.
Di sisi lain, beberapa orang menilai bahwa perbuatan memukul perempuan itu tidak
benar Saya benar-benar bisa. pukulan adalah merupakan bentuk kekerasan
kejahatan yang dijelaskan dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang
Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga Pasal 1 UU (selanjutnya disebut UU
PKDRT) PKDRT mengatakan ada tindakan kekerasan Semua tindakan di rumah
adalah "semua tindakan". kepada seseorang, terutama wanita menimbulkan rasa sakit
dan penderitaan rumah tangga, termasuk ancaman perilaku; pemaksaan atau
perampasan kemerdekaan Melanggar hukum nasional.

Hukum Islam tidak melegalkan kekerasan terhadap istri. Pemukulan terhadap istri
yang berbuat nusyuz sebagaimana termuat dalam Q.S. al-Nisa‘ [4]: 34 hendaknya
dimaknai sebagai tindakan untuk memberi pelajaran, bukan untuk menyakiti bahkan
berbuat kekerasan. Pemukulan yang dilakukan dalam kasus nusyuz pada dasarnya
tidak boleh melukai. Sementara tindakan suami yang memukul istri hingga luka atau
kekerasan suami terhadap istri dapat dinyatakan sebagai nusyuz suami terhadap istri.
Sedangkan dalam hukum positif KDRT haruslah dihapus, terbukti dengan adanya UU
Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga
(PKDRT).4 Konsep nusyuz istri terhadap suami yang dirumuskan ulama terdahulu
sebagai ketidaktaatan istri terhadap suami yang meliputi keluar rumah tanpa izin dan
lainlain, perlu ditinjau kembali. Karena ini juga berimplikasi pada akibat hukum.
Dalam pemahaman masyarakat kita pada umumnya, bahwa dalam kehidupan rumah
tangga, suami adalah penguasa mutlak yang berhak mengatur seluruh gerak langkah
istri. Apabila istri tidak mematuhi suami, maka suami berhak bertindak sesuka-
sukanya sekalipun dengan kekerasan.5 Bahkan berdasarkan hadis yang
memperbolehkan suami memukul istrinya yang berbuat zina, juga ayat yang
memperbolehkan suami mempersulit istrinya dalam al-Quran surat al-Baqarah ayat
229, dapat dirumuskan bahwa perbuatan nusyuz istri terhadap suami sehingga suami

4
Lihat pada UU Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga
5
Zaitunah Subhan, Menggagas Fiqh Pemberdayaan Perempuan, hal. 343

5
diperbolehkan memukulnya adalah ketika istri berbuat fahisyah mubayyinah (terbukti
melakukan perbuatan yang keji) yaitu zina.

Marital rape dalam pandangan hukum Positif

Kekerasan seksual adalah pemaksaan atau ancaman kepada perempuan yang bersifat
seksual untuk melakukan hubungan seksual dengan pelaku atau melakukan hubungan
seksual dengan orang lain karena motif uang (human trafficking), Pasal 8 huruf b UU
PKDRT menyebutkan: “pemaksaan hubungan seksual terhadap salah seorang dalam
lingkup rumah tangganya dengan orang lain untuk tujuan komersil dan/atau tujuan
tertentu.” Ketentuan pidana terhadap kekerasan seksual seperti tersebut dalam pasal 8
huruf b di atas ditentukan dalam pasal 47 yang berbunyi: “Setiap orang yang
memaksa orang yang menetap dalam rumah tangganya melakukan hubungan
seksualsebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 huruf b dipidana dengan pidana penjara
paling singkat 4 (empat) tahundan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun
atau denda paling sedikit Rp 12.000.000,00 (dua belasjuta rupiah) atau denda paling
banyak Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah).”

Sementara kekerasan verbal diartikan sebagai bentuk kekerasan yang dilakukan


seseorang dengan mengucapkan kata-kata kasar, menghina, mencela, dan
merendahkan orang lain. Kekerasan verbal pada umumnya diikuti dengan sikap kasar
atau marah dan merupakan komunikasi destruktif yang menyerang kepribadian
seseorang (self-concept) sehingga menjadikan tidak berdaya dan menumbuhkan sikap
atau emosi yang negatif dalam diri seseorang. Sekalipun kebanyakan kekerasan verbal
muncul secara tiba-tiba akibat stress atau kondisi kejiwaan yang labil, namun dalam
beberapa kasus kekerasan verbal dilakukan secara sadar dengan tujuan untuk
mengotrol atau memperdaya orang lain untuk mewujudkan keinginan pelaku.

Dalam UU PKDRT diatur jelas bahwa setiap orang yang melakukan kekerasan di
ranah keluarga dijatuhi sanksi pidana sebagaimana diatur dalam Bab VIII Pasal 44
yang menyatakan bahwa:6

6
Lihat pada UU PKDRT Bab VIII Pasal 44

6
1. Setiap orang yang melakukan kekerasan lingkup rumah tangga sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 5 huruf a dipidana dengan pidana penjara paling lama 5
(lima) tahun atau denda paling banyak Rp.15.000.000,00 (lima belas juta rupiah)
2. Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan korban
mendapat jatuh sakit atau luka berat, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10
(sepuluh) tahun atau denda paling banyak Rp 30.000.000,00(tiga puluh juta rupiah)
3. Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mengakibatkan matinya
korban, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun atau denda
paling banyak Rp 45.000.000,00 (empat puluh lima juta rupiah)
4. Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh suami
terhadap istri atau sebaliknya yang tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk
menjalankan pekerjaan jabatan atau mata pencaharian atau kegiatan sehari-hari,
dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) bulan atau denda paling
banyak Rp 5.000.000,00 (lima juta rupiah).

Sementara itu dalam Pasal 45 juga diatur bahwa:


1. Setiap orang yang melakukan perbuatan kekerasan psikis dalam lingkup rumah
tangga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf b dipidana dengan pidana
penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling banyak Rp.9.000.000,00
(sembilan juta rupiah)
2. Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh
suami terhadap istri atau sebaliknya yang tidak menimbulkan penyakit atau
halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau mata pencaharian atau
kegiatan sehari-hari, dipidana dengan pidana penjara paling lama 4(empat) bulan
atau denda paling banyak Rp 3.000.000,00 (tiga juta rupiah).

Pasal 467 juga menyatakan bahwa: Setiap orang yang melakukan perbuatan kekerasan
seksual sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 huruf a dipidana dengan pidana penjara
paling lama 12 (dua belas) tahun atau denda paling banyak Rp 36.000.000,00 (tiga
puluh enam juta rupiah). Dan Pasal 47 menyatakan: Setiap orang yang memaksa
orang yang menetap dalam rumah tangganya melakukan hubungan seksual
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 huruf b dipidana dengan pidana penjara paling
singkat 4 (empat) tahun dan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun atau
7
Lihat pada UU PKDRT pasal 46

7
denda paling sedikit Rp.12.000.000,00 (dua belas juta rupiah) atau denda paling
banyak Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah).

Pasal 49 menyebutkan bahwa: Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud dalam


Pasal 46 dan Pasal 47 mengakibatkan korban mendapat luka yang tidak memberi
harapan akan sembuh sama sekali, mengalami gangguan daya pikir atau kejiwaan
sekurangkurangnya selama 4 (empat) minggu terus menerus atau 1 (satu) tahun tidak
berturut-turut, gugur atau matinya janin dalam kandungan, atau mengakibatkan tidak
berfungsinya alat reproduksi, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima)
tahun dan pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun atau denda paling sedikit
Rp 25.000.000,00 (dua puluh lima juta rupiah) dan denda paling banyak Rp
500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).

Menarik untuk dicermati bahwa penelantaran keluarga juga bisa dijatuhi pidana
sebagaimana diatur dalam Pasal 49 yang menyatakan: Dipidana dengan pidana
penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling banyak Rp 15.000.000,00 (lima
belas juta rupiah), setiap orang yang :
1. menelantarkan orang lain dalam lingkup rumah tangganya sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1)
2. menelantarkan orang lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2).

Jenis pidananya pun juga ditambah sebagaimana dalam Pasal 50 UU PKDRT, yaitu:
Selain pidana sebagaimana dimaksud dalam Bab ini hakim dapat menjatuhkan pidana
tambahan berupa :
1. pembatasan gerak pelaku baik yang bertujuan untuk menjauhkan pelaku dari
korban dalam jarak dan waktu tertentu, maupun pembatasan hak-hak tertentu dari
pelaku
2. penetapan pelaku mengikuti program konseling di bawah pengawasan lembaga
tertentu.
Dalam kasus Marital Rape yang sering dijumpai menjadi sangat susah untuk
diselesaikan sebab kurangnya aturan hukum yang berlaku membahas terkait dengan
kasus tersebut. Maka lahirnya RUU Penghapusan Kekerasan Seksual menjadi batu
loncatan di bidang hukum untuk memberikan bantuan kepada korban Marital Rape.
Sebab banyak yang menggunakan alasan perceraian dengan mengatas namakan

8
tindakan Marital Rape. Kategori tersebut dipaparkan dalam RUU Penghapusan
Kekerasan Seksual supaya tidaklagi adanya tindakan yang dilakukan oleh suami
untuk memaksa istrinya melakukan hubungan seksual tanpa persetujuannya. Sebab
istri juga memiliki hak untuk menolak melakukan hubungan seksual karena adanya
kondisi yang tidak memungkinkan untuk melakukannya. Marital Rape dalam RUU
Penghapusan Kekerasan Seksual jika merujuk pada kategori yang ada dalam pasal 11
RUU Penghapusan Kekerasan Seksual8 merupakan bagian dari perkosaan,
perbudakan seksual, dan eksploitasi seksual.

Alasannya adalah sebab jika istri dipaksa untuk melakukan hubngan seksual tanpa
adanya persetujuan bisa dikatakan sebagai budak seks semata. Dalam artian istri
hanya dianggap sebagaialat pemuas nafsu suami semata. Sama halnya dengan
perkosaan dengan eksploitasi seksual, istri hanya dijadikan sebagai bahan pemuas
nafsu semata. Dengan adanya ikatan perkawinan yang menjadi alasan bahwa suami
berhak melkukan apapun kepada istrinya. Paham yang seperti ini harusnya telah diuah
dalam sebuah rumah tangga. Karena dalam setiap ikatan perkwina suami dan istri
memeilikihak dan kewajibannya masing-masing. Serta tujuan diadakannya
perkawinan pun adalah menciptakan keluarga yang daai, tentram dan penuh dengan
kashsayang. Bukan semata karena hanya ingin memuaskan nafsu semata.

Marital Rape dalam RUU Penghapusan Kekerasan Seksual jika merujuk pada
kategori yang ada dalam pasal 11 RUU9 Penghapusan Kekerasan Seksual merupakan
bagian dari perkosaan, perbudakan seksual, dan eksploitasi seksual. Alasannya adalah
sebab jika istri dipaksa untuk melakukan hubngan seksual tanpa adanya persetujuan
bisa dikatakan sebagai budak seks semata. Dalam artian istri hanya dianggap
sebagaialat pemuas nafsu suami semata. Sama halnya dengan perkosaan dengan
eksploitasi seksual, istri hanya dijadikan sebagai bahan pemuas nafsu semata.

Marital rape pada kenyataannya tidak dalam satu bentuk atau model tertentu, namun
terdapat tiga bentuk kekerasan sexual yang dilakukan suami kepada istri, yaitu:
1. Battering rape: suami melakukan kekerasan sexual dan kekerasan fisik
sekaligus saat memaksa istri untuk melakukan hubungan seksual. Beberapa istri

8
Lihat pasal 11 RUU Penghapusan Kekerasan Seksual
9
Lihat pasal 11 RUU

9
bahkan terluka secara fisik akibat pemaksaan yang dilakukan suami pada saat istri
tidak siap atau tidak berkeinginan untuk melakukan hubungan seksual. Marital
rape pada umumnya terjadi dalam bentuk ini.
2. Force-only rape: suami memaksa atau mengancam istri sebelum berhubungan
seksual. Pemaksaan atau ancaman ini dilakukan agar istri mau melayani hasrat suami.
Jika suami telah melampiaskan hasrat seksual kepada istrinya, maka suami tidak
melakukan kekerasan fisik. Namun bila suami tidak terpenuhi hasratnya, mungkin
bisa melakukan kekerasan fisik kepada istri.
3. Obsessive rape: istri atau pasangan mendapat kekerasan seksual dalam bentuk
perilaku sadistic dalam melakukan hubungan seksual. Perilaku sadistic dalam
hubungan seksual, yaitu suami melakukan kekerasan fisik seperti memukul, menarik
rambut, mencekik atau bahkan menggunakan alat tajam yng melukai istri untuk
mendapatkan kepuasan seksual dengan penderitaan istri atas kekerasan tersebut.
Marital rape dalam pandangan Fikih Munakahat

Konsep Islam dalam kehidupan suami-istri dan keluarga merupakan konsep yang
bersifat alami yang diberikan Allah kepada pasangan suami istri. Suami-istri
memainkan peran masing-masing sesuai dengan kemampuan yang ada pada setiap
diri pasangan. Suami yang diberikan kelebihan dalam fisik, maka suami berperan
sebagai tulang punggung keluarga untuk bekerja mencari nafkah di luar rumah,
sedang istri yang diberikan naluri keibuan berperan untuk mengatur rumah, mendidik
anak, dan membangun suasana indah
dan bahagia dalam rumah. Tugas dan tanggung jawab yang dibebankan kepada suami
adalah yang sesuai dengan kemampuan suami, begitu halnya istri bahwa tugas dan
tanggungjawab yang dibebankan, sesuai dengan kemampuan istri.

Rumah tangga kemudian akan menjadi teratur dan baik, ketika masing-masing antara
suami dan istri melaksanakan peran yang sudah ditentukan. Suami melaksanakan
kewajiban di luar rumah sedang istri melaksanakan kewajiban dalam rumah, dengan
tanpa merasa bahwa salah-satu dari pasangan suami-istri menjadi superior di atas
yang lain, atau inferior di bawah yang lain. Kewajiban dalam hidup berumah tangga
dibebankan kepada keduanya, bukan salah satu saja antara suami atau istri.Kata

10
dharaba diartikan dengan bersetubuh, melerai, mencampuri, menjelaskan, dan
menjauhi.10

Konsep marital rape dalam literatur fiqih Islam sulit untuk didapatkan, karena dalam
kehidupan keluarga antara suami dan istri tidak dikenal istilah “perkosaan” yang
dilakukan suami kepada istri. Perkosaan (al-wath’u bil ikrah) yang diatur dalam fiqih
Islam, adalah perempuan yang dipaksa untuk melakukdian hubungan seksual dengan
seorang laki-laki, yang tidak ada hak untuk laki-laki tersebut melakukan hubungan
seksual kepada perempuan yang diperkosanya. Sayyid sabiq menggunakan istilah
zina, karena hubungan seksual dilakukan dengan orang asing, bukan istri atau budak.

Pembahasan mengenai perkosaan pun umumnya hanya dibatasi kepada had


(hukuman), bahwa perempuan yang menjadi korban perkosaan tidak dikenai hukuman
atas hubungan badan yang dilakukannya dengan laki-laki yang memaksanya, karena
dalam keadaan dipaksa maka bebas dari hukuman. Dasar hukumnya dalam Q.S. al-
Baqarah (2): 173 Pelaku perkosaan dalam fiqih Islam dibagi ke dalam dua kategori;
pertama, perkosaan yang dilakukan tanpa ancaman senjata atau membunuh, pelaku
akan dikenai denda membayar mahar jika korban adalah perempuan merdeka (gadis
atau yang sudah menikah), sedangkan jika budak dikenai denda sekurang-kurangnya
sama seperti harga budak wanita tersebut.

Menjadi paradoks ketika perzinahan hukumannya adalah dicambuk 100 kali ditambah
dengan diasingkan untuk pelaku zina ghaira muhson, dan dirajam untuk pelaku zina
muhson baik laki-laki maupun perempuan. Maka diperlukan ijtihad untuk
menentukan hukuman tegas bagi pelaku perkosaan, sehingga memberikan efek jera
bagi pelakunya dan peringatan kepada masyarakat untuk tidak melakukan kejahatan
perkosaan. Kedua, jika melakukan dengan senjata atau ancaman membunuh, maka
diqiyaskan dengan had perampok yaitu dibunuh, disalib, dipotong tangan dan kaki
secara silang, atau diasingkan (bisa diganti dengan penjara).

Dalam kasus Marital Rape yang sering dijumpai menjadi sangat susah untuk
diselesaikan sebab kurangnya aturan hukum yang berlaku membahas terkait dengan

10
Ibnu Mandhur, Lisan Al-‘Arab, (Beirut: Dar Al-Fikr, 1990), hal. 543

11
kasus tersebut. Maka lahirnya RUU Penghapusan Kekerasan Seksual menjadi batu
loncatan di bidang hukum untuk memberikan bantuan kepada korban Marital Rape.
Sebab banyak yang menggunakan alasan perceraian dengan mengatas namakan
tindakan Marital Rape. Kategori tersebut dipaparkan dalam RUU Penghapusan
Kekerasan Seksual supaya tidaklagi adanya tindakan yang dilakukan oleh suami
untuk memaksa istrinya melakukan hubungan seksual tanpa persetujuannya. Sebab
istri juga memiliki hak untuk menolak melakukan hubungan seksual karena adanya
kondisi yang tidak memungkinkan untuk melakukannya.

Dengan adanya ikatan perkawinan yang menjadi alasan bahwa suami berhak
melkukan apapun kepada istrinya. Paham yang seperti ini harusnya telah diuah dalam
sebuah rumah tangga. Karena dalam setiap ikatan perkwina suami dan istri
memeilikihak dan kewajibannya masing-masing. Serta tujuan diadakannya
perkawinan pun adalah menciptakan keluarga yang daai, tentram dan penuhdengan
kashsayang. Bukan semata karena hanya ingin memuaskan nafsu semata.

Hubungan seksual dalam fiqh munakahat merupakan hak suami dan istri untuk
dipenuhi, sebagai konsekuensi dari pernikahan dan merupakan sarana untuk
mendapatkan tujuan pernikahan yaitu mendapatkan keturunan. Hubungan seksual
antara suami dan istri dapat berjalan dengan baik, jika kedua pasangan menyadari
bahwa hubungan seksual harus dilandasi dengan kerelaan antara dua pihak. Maka
tidak dibenarkan suami memaksakan hubungan seksual kepada istri yang tidak siap
untuk melayani, jika demikian yang terjadi suami harus bersabar untuk menunggu
waktu istri siap melayani, begitu pula istri juga ketika menginginkan hubungan
seksual tidak dibolehkan memaksaka suaminya untuk melakukan, melainkan bersabar
sampai kemudian suaminya siap untuk melakukan bersama-sama.Konsep mu’asyarah
bil ma’ruf adalah konsep fiqih munakahat dalam hubungan suami istri. Hubungan
suami-istri harus dilandasi dengan asas kebaikan dan kepatutan termasuk dalam
hubungan seksual. Banyak. perempuan baik sebagai istri atau anak memperoleh
ancaman kekerasan, penyiksaan baik secara fisik maupun psikologis.11

11
La Jamaa & Hadidjah, Hukum Islam & Undang-Undnag Anti Kekerasan dalam Rumah Tangga,
(Surabaya: Bina Ilmu, 2008)

12
Sebagaimana yang diperintahkan Allah dalam Q.S. anNisa’ (4): 19 : 23 ```dan
bergaullah dengan mereka secara ma’ruf (patut). Selanjutnya bila kamu tidak
menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena boleh jadi kamu tidak menyukai
sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak```Salah satu
bentuk pemaksaan suami atas istri adalah melakukan hubungan seksual dengan cara
yang keluar batas kewajaran (contoh anal sex). Perilaku seksual yang menyimpang ini
bisa saja dilakukan suami atas istri karena mengganggap istri adalah “properti” milik
suami, yang diperlakukan bebas sesuai dengan keinginan suami. Sekalipun dalam al-
Qur’an disebutkan bahwa istri adalah ladang bagi suami (nisa’ukum hartsu lakum)
bukan diartikan suami bebas menggauli istri dengan cara apapun termasuk anal sex.

Kata “ladang” adalah tempat bercocok tanam, yaitu tempat meletakkannya suami
dengan benih yang nantinya tumbuh menjadi anak sebagai keturunan dari bapak dan
ibu. Maka “datangilah sesukamu” adalah dengan cara bagaimanapun suami
menggauli istrinya, namun masih dalam batas tempat reproduksi wanita yaitu vagina.
Memaksakan hubungan seksual kepada istri adalah perbuatan yang melanggar syariat,
karena pada dasarnya hubungan seksual antara suami istri dilakukan dengan saling
ridho (taradhin) dan dengan cara yang patut (ma’ruf).

Apalagi jika suami memaksa istri melakukan hubungan seksual dengan cara yang
tidak dibenarkan (anal sex). Selain diharamkan oleh syariat, menggauli istri dari
dubur adalah bertentangan dengan tabiat (fitrah) manusia dan juga membahayakan
untuk kesehatan karena dubur adalah tempat yang kotor.(Alhafidz, 2010, 241)
Rosulullah mengancam suami yang mendatangi istrinya dari dubur dengan sebutan
“luthiyah asy-sughra” (perbuatan liwath kecil), yang kemudian oleh Ibnu Taimiyyah
dikatakan bahwa suami yang melakukan liwath kepada istrinya harus diberi ta’zir,
dengan diberi hukuman dengan tujuan mendidik dengan cara dipukul, disumpahi, atau
dipenjara atas suatu perbuatan maksiat yang tidak ditentukan hukumannya (had) dan
kaffarat-nya oleh Allah SWT.

jika menolak maka suami istri tersebut harus dipisahkan. Sekalipun dalam fiqih sudah
ditegaskan hukuman bagi suami yang memaksakan hubungan seksual kepada istri
(marital rape), namun hanya dibatasi dalam masalah liwath dan tidak ditegaskan
untuk pemaksaan atau kekerasan seksual dalam bentuk yang lainnya.

13
Idealnya perlu diformulasikan ketentuan khusus dalam fiqih munakahat yang
mengatur larangan yang tegas terhadap semua bentuk kekerasan seksual yang
dilakukan suami atas istri. Juga ada kekerasan seksual yaitu bisa berupa tidak
memenuhi kebutuhan seksual istri, memaksakan istri menggugurkan, memaksakan
kehendak kepada istri dan lain-lain.12

Penutup
KESIMPULAN

Allah menciptakan manusia laki-laki dan perempuan adalah untuk berpasangan


menjadi suami dan istri. Setiap pasangan suami dan istri diciptakan rasa ketenangan,
cinta, dan kasih sayang (sakinah, mawaddah wa rahmah). Jika seseorang telah
diberikan rasa mawaddah maka rela mengorbankan segalanya untuk seseorang yang
dicintainya. Kesediaan suami untuk memberikan segala kebaikan kepada istrinya dan
mengorbankan diri untuk istri yang dicintainya adalah tanda bahwa sudah tumbuh
rasa mawaddah dalam dirinya, begitu pula istri yang rela meninggalkan orang tua dan
keluarga besarnya, kemudian hidup bersama dengan laki-laki yang menjadi suaminya,
serta bersedia membuka rahasia yang paling dalam merupakan wujud dari cinta dan
kasih sayang istri kepada suaminya.

Konsep marital rape dalam literatur fiqih Islam sulit untuk didapatkan, karena dalam
kehidupan keluarga antara suami dan istri tidak dikenal istilah “perkosaan” yang
dilakukan suami kepada istri. Perkosaan (al-wath’u bil ikrah) yang diatur dalam fiqih
Islam, adalah perempuan yang dipaksa untuk melakukdian hubungan seksual dengan
seorang laki-laki, yang tidak ada hak untuk laki-laki tersebut melakukan hubungan
seksual kepada perempuan yang diperkosanya. Sayyid sabiq menggunakan istilah
zina, karena hubungan seksual dilakukan dengan orang asing, bukan istri atau budak.

Menciptakan suasana harmonis dalam kehidupan berumah tangga adalah tugas


bersama antara suami dan istri, karena suami istri adalah mitra yang mempunyai
posisi yang sama dalam keluarga. Sekalipun suami dalam al-Qur’an disebut dengan
kata qawwam yang berarti pemimpin, bukan berarti suami mejadi superior atas istri,
12
Zaitunah Subhan, Menggagas Fiqh Pemberdayaan Perempuan, (Jakarta: El-Kahfi, 2008), h. 342

14
melainkan berperan sebagai pelindung istri dan anggota keluarga yang lain dari
bahaya yang muncul dalam rumah tangga, ataupunnn yang datang dari luar rumah
tangga. Selain berperan sebagai pelindung, suami juga berkewajiban untuk memenuhi
salah satu hak istri yang paling mendasar yaitu menggauli istri dengan baik
(mu’asyarah bil ma’ruf).

Pada prinsipnya sejak kelahiran Islam dimaksudkan untuk meletakkan dasardasar


sosial baru yang anti diskriminasi dan anti kekerasan. Akan tetapi kita tidak bisa
menutup mata, karena realita berbicara bahwa ada sejumlah teks-teks agama
khususnya Islam baik kitab suci Alquran maupun Hadis Rasulullah saw. yang dapat
diasumsikan sebagai dasar legitimasi oleh sementara orang untuk merendahkan
perempuan dan menempatkan perempuan pada subordinat kaum laki-laki. Kedua
posisi ini pada gilirannya dapat memberikan peluang bagi tindakan kekerasan
terhadap perempuan atas nama ‘pembenaran’ agama.

Sebagaimana yang diperintahkan Allah dalam Q.S. anNisa’ (4): 19 : 23 ```dan


bergaullah dengan mereka secara ma’ruf (patut). Selanjutnya bila kamu tidak
menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena boleh jadi kamu tidak menyukai
sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak```Salah satu
bentuk pemaksaan suami atas istri adalah melakukan hubungan seksual dengan cara
yang keluar batas kewajaran (contoh anal sex). Perilaku seksual yang menyimpang ini
bisa saja dilakukan suami atas istri karena mengganggap istri adalah “properti” milik
suami, yang diperlakukan bebas sesuai dengan keinginan suami. Sekalipun dalam al-
Qur’an disebutkan bahwa istri adalah ladang bagi suami (nisa’ukum hartsu lakum)
bukan diartikan suami bebas menggauli istri dengan cara apapun termasuk anal sex.

Kata “ladang” adalah tempat bercocok tanam, yaitu tempat meletakkannya suami
dengan benih yang nantinya tumbuh menjadi anak sebagai keturunan dari bapak dan
ibu. Maka “datangilah sesukamu” adalah dengan cara bagaimanapun suami
menggauli istrinya, namun masih dalam batas tempat reproduksi wanita yaitu vagina.
Memaksakan hubungan seksual kepada istri adalah perbuatan yang melanggar syariat,
karena pada dasarnya hubungan seksual antara suami istri dilakukan dengan saling
ridho (taradhin) dan dengan cara yang patut (ma’ruf).

15
Dalam kasus Marital Rape yang sering dijumpai menjadi sangat susah untuk
diselesaikan sebab kurangnya aturan hukum yang berlaku membahas terkait dengan
kasus tersebut. Maka lahirnya RUU Penghapusan Kekerasan Seksual menjadi batu
loncatan di bidang hukum untuk memberikan bantuan kepada korban Marital Rape.
Sebab banyak yang menggunakan alasan perceraian dengan mengatas namakan
tindakan Marital Rape. Kategori tersebut dipaparkan dalam RUU Penghapusan
Kekerasan Seksual supaya tidaklagi adanya tindakan yang dilakukan oleh suami
untuk memaksa istrinya melakukan hubungan seksual tanpa persetujuannya. Sebab
istri juga memiliki hak untuk menolak melakukan hubungan seksual karena adanya
kondisi yang tidak memungkinkan untuk melakukannya. Marital Rape dalam RUU
Penghapusan Kekerasan Seksual jika merujuk pada kategori yang ada dalam pasal 11
RUU Penghapusan Kekerasan Seksual merupakan bagian dari perkosaan, perbudakan
seksual, dan eksploitasi seksual.

Daftar Pustaka

Undang -Undang Dasar 1945

Budi rh. 2021. Reinterpretasi Persepsi Keagamaan tentang Kekerasan terhadap Perempuan

(Perspektif Maqashid al-Syariah)(Vol. 5, No. 1, 2021, pp. 1-12)Mufida, 2014

psikologi keluarga islam, Malang, Maliki Press

Jamil, Muhammad Jaml. Subtansi Hukum Materil perkawinan di Lingkungan Peradilan Agama, Jurnal

Al-Qadāu Volume 2 Nomor 1 tahun 2015.

Firgie Lumingkewas, Tindak Pidana Kesusilaan Dalam KUHP dan RUU KUHP Serta Persoalan

Keberpihakan Terhadap Perempuan, jurnal Lex crimen Vol. V No. 1 Januari Tahun 2016

Kementerian Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, Semarang: Pt. Karya Toha Putra, 2002.

Subhan, Zaitunah, 2008 Menggagas Fiqh Pemberdayaan Perempuan, El-Kahfi, Jakarta

Rasjid Sulaiman, 2001 fiqh islam (hukum fiqh lengkap), lampung

Saebani beni ahmad, 2021, fiqh munakat, Bandung, pustaka

Muhammad is. 2018. Konsepsi Marital Rape dalam Fikih Munakahat (Vol. 3, Nomor 2, 2018)

Mandhur, Ibnu, 1990, Lisan Al-‘Arab, Dar Al-Fikr, Beirut,

16
17

Anda mungkin juga menyukai