Anda di halaman 1dari 29

KHAMIM CHOIRUN NASIRUDDIN ROSICHIN, S.H., M.H.

A. Perbedaan pendapat para ulama/imam madzhab pada hukum


Islam
B. Metode ijtihad dan dasar hukum para imam madzhab
C. Sebab-sebab perbedaan pendapat para imam Madzhab dan
ulama
D. Pengaruh perbedaan madzhab bagi perkembangan tasyri’
Di antara ayat-ayat al-Qur’an ada yang disebut ayat muhkamat &
mutasyabihat.
Ayat muhkamat : ayat-ayat yang sudah jelas artinya dan maksudnya
mudah dipahami (qath’i dalalah).
Contoh, jika bicara mengenai keberadaan Allah, maka pemahamannya
akan didasarkan pada firman Allah pada surat asy-Syura ayat 11, yaitu :
“Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia”
Dari ayat tersebut, dapat dipahami bahwa keberadaan Allah tidak
terbatas pada satu tempat atau arah tertentu. Karena tidak ada satu hal
pun yang serupa dengan Allah. Termasuk soal keberadaan Allah sendiri.
Sehingga, memahami keberadaan Allah adalah sesuatu yang ada di luar
akal manusia.
Ayat mutasyabihat : ayat-ayat yang mengandung makna menyerupakan
sifat-sifat Allah dengan makhluk atau diartikan ayat-ayat yang belum jelas
pengertiannya dan mengandung arti yang lebih dari satu (lafal musytarak)
ayat seperti ini disebut zhanni dalalah.
Contoh ayat mutasyaabihat adalah ayat yang menjelaskan tentang
keberadaan Allah. Dalam surat Thaha ayat 5 disebutkan bahwa Allah ber-
istiwa (bersemayam) di atas Arsy. Sedangkan di surat Al-Baqarah ayat 115
dikatakan bahwa Allah berada di berbagai tempat di muka bumi.
Jika dimaknai secara literal, akan muncul kesan bahwa Allah berada di
berbagai tempat. Sebagian besar ulama menggolongkan ayat tersebut
sebagai ayat mutasyaabihat. Sehingga, pemaknaannya tidak bisa
langsung secara literal. Untuk ayat seperti ini, maka pemahaman ayat perlu
dikembalikan kepada ayat muhkamat.
Perbedaan pendapat dalam memahami ayat-ayat mutasyabihat terjadi
antar golongan; Khawarij, Murji’ah, Mu’tazilah, Asy’ariyyah dan
Maturidiyyah. Demikian ilmu fiqh lahir empat madzhab besar, yaitu
Madzhab Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hambali.

Sementara Madzhab kecil; Al-Tsauri, An-Nakha’i, Al-Thabari, Al-Auza’i


dan Al-Zhahiri. Mereka berbeda dalam memahami sebagian hukum
Islam, karena perbedaan metode mengenai hal-hal yang belum terjadi
pada masa Nabi, serta tidak disebutkan secara jelas dan tegas dalam
al-Qur’an dan hadits.
Para imam madzhab masing-masing menawarkan metodologi tersendiri
yang menjadi landasan dalam pengambilan hukum. Mereka tidak
bermaksud membentuk madzhab-madzhab tertentu, tetapi kedalaman
kajian-kajian fiqh mereka telah teruji dalam perjalanan sejarah yang
sangat panjang dan dianggap representatif untuk menjadi pegangan
dalam beberapa masa.
Tetapi tidak berarti konsepsi mereka sudah final, bahkan dalam batas-
batas tertentu, lahirnya madzhab ternyata sangat dipengaruhi faktor
sosial budaya, politik, dan kecenderungan para imam yang membentuk
karakteristik, teori, dan formula yang berbeda meskipun sama-sama
berpegang pada al-Qur’an dan Sunnah sebagai sumber utama.
Madzhab Hanafiyah bercorak rasional, Maliki cenderung tradisional,
Syafi’i moderat, serta Hambali yang fundamental-tekstualis bukanlah
karena pembawaan kepribadian masing-masing imam itu, tetapi
merupakan refleksi logis dari situasi kondisi masyarakat di mana hukum
itu tumbuh.

Syafi’I, menolak teori istihsan yang dipakai Abu Hanifah, demikian pula
sebagian besar fuqaha Irak mengkritis “amalan/tradisi orang-orang
Madinah” sebagai sumber hukum yang digunakan Imam Malik,
sebailiknya Ulama Madinah juga mengkritik rasionalitas ulama Irak. Hal
itu menunjukkan iklim dialog pemikiran sangat berkembang.




















1.
2.
3.

4.

5.
6.
1.

2.

3.

Anda mungkin juga menyukai