Anda di halaman 1dari 19

TINJAUAN MASALAH GENDER DALAM PENYEMPURNAAN PERATURAN

PERUNDANG-UNDANGAN






A. Latar Belakang
Seperti yang dikutif Komnas Perempuan 2002, dalam bukunya berjudul Peta Kekekerasan
Pengalaman Perempuan Indonesia, bahwa Hukum adalah salah satu alat yang sebenarnya amat
diandalkan dalam penanganan kasus kekerasan terhadap perempuan. Hukum sangat diharapkan
dapat memberikan keadilan bagi perempuan korban. Namun fakta menunjukkan lain. Hukum di
Indonesia disinyalir justru sering melakukan kekerasan terhadap perempuan. Akibat hukum yang
tidak berpersektif gender, perempuan korban kekerasan selalu dipersalahkan, diperlakukan secara
tidak hormat, atau dikorbankan lebih jauh lagi (re-victimised). Tidak hanya perangkat hukum yang
tidak berperspektif gender, namun juga para penegak hukum (polisi, jaksa, hakim, dan pengacara)
serta budaya penegakan hukum yang juga tidak ramah pada perempuan korban.
Pendapat demikian dirasakan sangat umum, dimana masyarakat Indonesia kurang mempersalahkan
meskipun kondisi seperti itu merupakan fenomena nyata dalam kehidupan masyarakat dan hukum
di Indonesia.
Namun demikian ini bukan berarti negara dan masyarakat tidak melakukan apapun untuk
mengadakan reformasi hukum. Pada dasarnya, peraturan perundang-undangan yang ada (setelah
reformasi) telah mengakomodasi pengarusutamaan gender dan berbagai upaya pemerintah untuk
menyiapkan perangkat peraturan perundang-undangan yang mencegah terjadinya bias gender atau
menghilangkan sama sekali bias gender yakni dengan mengganti materi hukum yang diskriminatif,
memberikan kesejajaran untuk melakukan perbuatan hukum, dan melindungi perempuan dari
tindak kekerasan.
Dalam membentuk perangkat hukum, dalam perjalanannya, belum optimal dilaksanakan karena
beberapa kendala dihadapi oleh pembentuk atau perancang peraturan perundang-undangan,
antara lain adanya struktur dan sosial budaya, budaya hukum, dan anggapan-anggapan fisik
ataupun psikisterhadap keberadaan perempuan.
Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia sebagai departemen yang diberikan kewenangan
untuk mengharmoniskan dan mensinkronkan peraturan perundang-undangan dan sekaligus
merancang peraturan perundang-undangan, baik peraturan perundang-undangan yang berasal dari
lingkungan Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia, maupun di luar departemen (departemen
dan LPND), serta menyusun Program Legislasi Nasional bersama-sama dengan Badan Legislasi,
menjadikan Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia sebagai departemen yang strategis untuk
membenahi peraturan perundang-undangan yang bias gender.
Peraturan perundang-undangan yang dibenahi tidak hanya terbatas pada peraturan yang ada,
melainkan juga peraturan perundang-undangan yang akan atau sedang disusun, melalui harmonisasi
dan sinkronisasi penyusunan peraturan perundang-undangan.

B. Pengertian Gender Menurut RUU
Istilah gender sudah mulai populer pada masa awal reformasi dan sekarang ini istilah
tersebut sudah membudaya. Dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Kesetaraan dan
Keadilan Gender, yang pembentukan RUU-nya diprakarsai oleh Kementerian Pemberdayaan
Perempuan, disebutkan bahwa gender adalah perbedaan peran dan kesempatan antara laki-laki
dan perempuan dalam kehidupan keluarga dan masyarakat sebagai hasil konstruksi sosial yang
dapat berubah dan diubah sesuai dengan perubahan zaman.
Gender juga berhubungan dengan jenis kelamin bersifat alamiah. Gender bersifat sosial
budaya dan merupakan buatan manusia. Jenis kelamin bersifat biologis. Ia merujuk pada perbedaan
yang nyata dari alat kelamin dan perbedaan terkait dengan fungsi kelahiran. Gender bersifat sosial
budaya dan merujuk pada tanggung jawab, peran, pola perilaku, kualitas, dan lain-lain yang bersifat
maskulin dan feminin.
Jenis kelamin bersifat tetap, ia akan sama di mana saja. Gender bersifat tidak tetap, ia
berubah dari waktu ke waktu, dari satu kebudayaan ke kebudayaan lain, bahkan dari satu keluarga
ke keluarga lainnya. Jenis kelamin bersifat alamiah. Gender dapat diubah. Artinya bahwa gender
harus diartikan positif sehingga tidak menimbulkan salah kaprah pemahaman. Untuk itu,
pendefinisian gender dalam RUU tentang Kesetaraan dan Keadilan Gender perlu ditelaah kembali
seingga sesuai dengan judul RUU tersebut (yang bermakna positif). Kesetaraan dan Keadilan Gender
harus dimaknakan untuk menciptakan masyarakat yang demokratis, sejahtera, dan berkeadilan
dengan menghilangkan berbagai bentuk diskriminasi, subordinasi, dan marjinalisasi terhadap
kedudukan dan peranan perempuan. Dengan demikian, diharapkan nantinya tercipta suatu
kedudukan, posisi, dan peranan sosial perempuan yang sejajar dengan laki-laki dalam berbagai
aspek kehidupan bermasyarakat.





Istilah atau frasa bias gender juga sering membingungkan masyarakat. Kata bias dalam
Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan yang menyimpang dari yang sebenarnya. Jadi, bias gender
adalah: perbedaan peran dan kesempatan antara laki-laki dan perempuan yang menyimpang dari
yang sebenarnya (dalam kehidupan keluarga dan masyarakat sebagai hasil konstruksi sosial yang
dapat berubah dan diubah sesuai dengan perubahan zaman) Pemahaman ini justru dikhawatirkan
bermakna sebaliknya, yakni justru perbedaan peran tersebut yang menyimpang. Orang awam
semoga berpikir bahwa bias gender diartikan persamaan peran yang disimpangi karena setiap
orang dilahirkan, secara kodrati, mempunyai peran yang sama, sejajar, setara, adil, dan tidak
tersubordinasi. Semua berharap bahwa peran yang sama, sejajar, setara, adil, dan tidak
tersubordinasi tersebut tidak disimpangi atau dibelokkan. Yang cocok untuk digandengkan dengan
kata gender adalah kata sensitif yang akhir-akhir ini juga sering digunakan. Tampaknya istilah
sensitif gender lebih mudah dipahami.
Pada saat atau sedang menyusun suatu peraturan perundang-undangan, pihak yang merasa
sebagai wakil dari kaum perempuan selalu berpesan kepada perancang peraturan perundang-
undangan dengan mengatakan setiap kali membuat norma, jangan sampai menimbulkan suatu
ketentuan yang bias gender. Salah satu isu yang dijelaskan panjang lebar tersebut, dan juga sering
diperdebatkan di antara kita, adalah masalah poligami. Pasal 3 Undang-Undang Nomor 1 Tahun
1974 tentang Perkawinan menentukan hahwa: (1) Pada asasnya dalam suatu perkawinan seorang
pria hanya boleh mempunyai soerang istri. Seorang wanita hanya boleh mempunyai seorang suami.
(2) Pengadilan dapat memberi izin kepada seorang suami untuk beristri lebih dari seorang apabila
dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan.
Pasal 3 di atas pada dasarnya mengandung asas monogami, tapi kemudian disimpangi dengan
beberapa persyaratan yang harus dipenuhi oleh suami jika berkeinginan kawin lagi. Apa pun
alasannya, ketentuan di atas bias gender, kata sebagian besar orang yang berpihak kepada
perempuan. Pada akhirnya, RUU tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan, dimasukkan dalam Program Legislasi Nasional oleh DPR dan Pemerintah melalui Badan
Legislasi DPR dan Departemen Hukum dan HAM.
Dengan contoh di atas, makna bias gender bisa dipahami semudah memahami istilah
sensitif gender. Masih banyak lagi ketentuan peraturan perundang-undangan yang bermakna bias
gender, hal ini terkait semata-mata karena pembentukannya dipengaruhi oleh struktur dan sosial
budaya serta budaya hukum.

C . Peraturan Perundang-undangan yang Berbias Gender
Sebelum membahas mengenai beberapa peraturan perundang-undangan yang substansinya
berbias gender, sebaiknya kita pahami bersama mengenai makna peraturan perundang-undangan.
Pasal 1 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
undangan (UU P3) menentukan bahwa Peraturan Perundang-undangan adalah peraturan tertulis
yang dibentuk oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang dan mengikat secara umum.
Peraturan perundang-undangan tersebut mempunyai jenis dan berhierarki, yang dalam Pasal 7 UU
P3 ditentukan bahwa:
(1) Jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan adalah sebagai berikut :
a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang- Undang;
c. Peraturan Pemerintah;
d. Peraturan Presiden;
e. Peraturan Daerah.
(2) Peraturan Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e meliputi :
a. Peraturan Daerah provinsi dibuat oleh dewan perwakilan rakyat daerah provinsi
bersama dengan gubernur;
b. Peraturan Daerah kabupaten/kota dibuat oleh dewan perwakilan rakyat daerah
kabupaten/kota bersama bupati/walikota;
c. Peraturan Desa/peraturan yang setingkat, dibuat oleh badan perwakilan desa
atau nama lainnya bersama dengan kepala desa atau nama lainnya.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pembuatan Peraturan Desa/peraturan yang
setingkat diatur dengan Peraturan Daerah kabupaten/kota yang bersangkutan.
(4) Jenis Peraturan Perundang-undangan selain sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diakui
keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh
Peraturan Perundangundangan yang lebih tinggi.
(5) Kekuatan hukum Peraturan Perundang-undangan adalah sesuai dengan hierarki
sebagaimana dimaksud pada ayat (1). Dari tata urutan dan jenis peraturan perundang-
undangan di atas, focus pembahasan pada undang-undang yang ada atau rancangan
undang-undang (RUU) yang substansinya mungkin bias gender.







Jadi dalam hal ini pihak pemerintah ingin menyampaikan bahwa Pemerintah telah berupaya
untuk menyusun suatu RUU yang isinya memenuhi kebutuhan hukum masyarakat secara
demokratis, adil, aman, sejahtera, dan tidak diskriminatif, termasuk tidak bias gender. Pada masa
mendatang, jangan lagi dikatakan bahwa hukum di Indonesia justru melakukan kekerasan terhadap
perempuan. Upaya tersebut pada dasarnya telah tertuang dalam Program Legislasi ta (Prolegnas).
Prolegnas sebagai bagian pembangunan hukum adalah instrument perencanaan program
pembentukan undang-undang yang disusun secara berencana, terpadu dan sistematis.
Secara operasional Prolegnas memuat daftar rancangan undang-undang yang disusun
berdasarkan metode dan parameter tertentu serta dijiwai oleh visi dan misi pembangunan hukum
nasional. Pembangunan hukum nasional merupakan bagian dari sistem pembangunan nasional yang
bertujuan mewujudkan tujuan negara untuk melindungi segenap rakyat dan bangsa, serta seluruh
tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan
ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan
keadilan sosial, melalui suatu sistem hukum nasional.
Program pembangunan hukum perlu menjadi prioritas utama karena perubahan terhadap
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 memiliki implikasi yang luas dan
mendasar dalam sistem ketatanegaran kita yang perlu diikuti dengan perubahan-perubahan di
bidang hukum. Di samping itu arus globalisasi yang berjalan pesat yang ditunjang oleh
perkembangan teknologi informasi telah mengubah pola hubungan antara negara dan warga negara
dengan pemerintahnya. Perubahan tersebut menuntut pula adanya penataan sistem hukum dan
kerangka hukum yang melandasinya. Dalam kerangka itu maka Prolegnas diperlukan untuk menata
system hukum nasional secara menyeluruh dan terpadu yang senantiasa harus didasarkan pada cita-
cita proklamasi dan landasan konstitusional yang menyatakan bahwa negara Indonesia adalah
negara hukum (rechtstaats) sebagaimana tertuang dalam Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Dengan demikian, prinsip negara hukum berarti menjunjung
tinggi supremasi hukum, persamaan kedudukan di hadapan hukum, terciptanya keadilan,
kesejahteraan, nondiskriminasi, dan menjadikan hukum sebagai landasan operasional dalam
menjalankan system penyelenggaraan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Sebanyak 284 RUU telah diajukan untuk diselesaikan dalam periode 2005- 2009 oleh Badan Legislasi
dan Pemerintah. Beberapa RUU yang terkait dengan atau bersinggungan dengan pengarusutamaan
gender, antara lain, adalah:
1. RUU tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan;
2. RUU tentang Kewarganegaraan;
3. RUU tentang Keimigrasian;
4. RUU tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis;
5. RUU tentang Kesehatan;
6. RUU tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga Sejahtera;
7. RUU tentang Tindak Pidana Perdagangan Orang;
8. RUU tentang Perlindungan Saksi dan Korban;
9. RUU tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana;
10. RUU tentang Pengesahan Konvensi Internasional Melawan Kejahatan Transnasional
Terorganisasi (United Nations Convention Against Transnational Organized Crime);
11. RUU tentang Pengesahan Protokol untuk Mencegah, Memberantas, dan Menghukum
Perdagangan, terutama Perempuan dan Anak, Suplemen
Konvensi PBB Melawan TOC (Protocol to Prevent, Suppress, and Punish Trafficking in Person,
Especially Woman dan Children);
12. RUU tentang Pengesahan Protokol Pemberantasan Penyelundupan Imigran baik melalui
Darat, Laut, maupun Udara, Supplemen Konvensi PBB Melawan TOC (Protocol Against The
Smuggling of Migrants By Land, Sea and Air);
13. RUU tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan;
14. RUU tentang Kitab Undang-Undang Hukum Perdata;
15. RUU tentang Balai Harta Peninggalan;
16. RUU tentang Penghapusan Perkosaan dan Kekerasan Seksual; RUU tentang Penghapusan
Pelecehan Seksual di Tempat Kerja;
17. RUU tentang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga atau Pekerja di Sektor Informal;
18. RUU tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004 tentang
19. Penempatan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri;
20. RUU tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang
Pengadilan Anak;
21. RUU tentang Pengesahan Konvensi Opsional Konvensi Hak Anak tentang Perdagangan Anak,
Pornografi Anak, dan Prostitusi Anak;
22. RUU tentang Pengesahan Protokol Opsional Konvensi Penghapusan Diskriminasi terhadap
Perempuan;
23. RUU tentang Kesetaraan dan Keadilan Jender;
24. RUU tentang Bentuk Kredit Peminjaman Bank dan Hipotik Bagi Perempuan;
25. RUU tentang Sistem Pengupahan Nasional;
26. RUU tentang Pengesahan International Covenant On Civil Political Rights (ICCPR);
27. RUU tentang Pengaturan Hak-hak Perempuan;
28. RUU Tentang Pengesahan International Economic, Social, and Cultural Right (ICESCR);
29. RUU tentang Pengesahan The Slavery Convention of 1926;
30. RUU tentang Pengesahan the Convention For Suppression of Traffick Persons and of
Exploitation of the Prostitution of Others);
31. RUU tentang Penyandang Masalah Tuna Sosial;
32. RUU tentang Bela Negara;
33. RUU tentang Pelatihan Dasar Kemiliteran Secara Wajib.
Dari ke 33 RUU tersebut, RUU yang menjadi tugas Departemen Hukum dan HAM adalah:
1. RUU tentang Kewarganegaraan (diambil prakarsa oleh DPR);
2. RUU tentang Keimigrasian;
3. RUU tentang Perlindungan Saksi dan Korban (inisiatif DPR);
4. RUU tentang Tindak Pidana Perdagangan Orang (bersama dengan Kementerian Negara
Pemberdayaan Perempuan);
5. RUU tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana;
6. RUU tentang Hukum Acara Pidana;
7. RUU tentang Pengesahan Konvensi Internasional Melawan Kejahatan Transnasional
Terorganisasi (United Nations Convention Against Transnational Organized Crime);
8. RUU tentang Pengesahan Protokol untuk Mencegah, Memberantas, dan Menghukum
Perdagangan, terutama Perempuan dan Anak, Suplemen Konvensi PBB Melawan TOC
(Protocol to Prevent, Suppress, and Punish Trafficking in Person, Especially Woman dan
Children);
9. RUU tentang Pengesahan Protokol Pemberantasan Penyelundupan Imigran baik melalui
Darat, Laut, maupun Udara, Supplemen Konvensi PBB Melawan TOC (Protocol Against The
Smuggling of Migrants By Land, Sea and Air);
10. RUU tentang Kitab Undang-Undang Hukum Perdata;
11. RUU tentang Balai Harta Peninggalan;
12. RUU tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan
Anak;
Jika diuraikan satu persatu substansi RUU di atas, dalam kesempatan ini mungkin tidak cukup waktu
untuk membahas. Ada beberapa hal yang perlu dikemukakan dan dibahas, yakni substansi yang
terkait dengan kewarganegaraan, keimigrasian, keperdataan, dan hal lain yang terkait dengan
hukum pidana. Di dalam RUU tentang Keimigrasian (sebagai pengganti Undang-Undang Nomor 9
Tahun 1992 tentang Keimigrasian) dikenal pula ketentuan yang sesuai dengan pengarusutamaan
gender, yang sebelumnya tidak dikenal dalam Undang Nomor 9 Tahun 1992 tentang Keimigrasian,
misalnya, adanya ketentuan mengenai Izin Tinggal Tetap (ITAP). ITAP diberikan kepada anak orang
asing yang pada saat lahir di wilayah Indonesia, ayahnya warga negara asing dan ibunya warga
negara Indonesia atau anak orang asing yang pada saat lahir di wilayah Indonesia, ayah dan/atau
ibunya adalah pemegang Izin Tinggal Tetap. Izin Tinggal Tetap tersebut tidak diberikan kepada orang
asing yang tidak memiliki paspor kebangsaan.Orang asing pemegang Izin Tinggal Tetap adalah
penduduk Indonesia.

Di dalam RUU tentang Kewarganegaraan diatur mengenai pengarus utamaan gender, yakni:
a. Kewarganegaraan Republik Indonesia yang diperoleh oleh suami berlaku juga terhadap istri
dari suatu ikatan perkawinan yang sah, kecuali perolehan kewarganegaraan ganda atau istri
membuat pernyataan tertulis menolak memperoleh kewarganegaraan RI;
b. Anak yang belum berumur 18 tahun dan belum kawin, bertempat tinggal serta berada di
wilayah RI, dari ayat atau ibu yang memperoleh kewarganegaraan RI mengikuti status
kewarganegaraan ibunya, apabila anak tersebut lahir dalam perkawinan yang sah dan ayahnya
meninggal dunia, atau apabila anak tersebut lahir dalam perkawinan yang sah, tetapi dalam
perceraian, olah hakim diserahkan pada asuhan ibunya, atau apabila anak tersebut lahir di luar
perkawinan yang sah;
c. Dalam hal terjadi perceraian antara seorang ibu warga negara RI dan ayah warga negara asin,
dan hakim menyatakan bahwa anak yang lahir dari perkawinan kedua orang tersebut
diserahkan kepada asuhan ibunya, maka ibu anak tersebut dapat mengajukan permohonan
kepada Menteri untuk memperoleh kewarganegaraan RI;
d. Dalam hal putusnya perkawinan karena kematian suami dari seorang istri warga negara RI,
anak yang mempunyai hubungan hukum dengan ayahnya dapat mengajukan permohonan
kepada Menteri untuk memperoleh kewarganegaraan RI.
e. Wanita warga negara RI yang kawin dengan pria warga negara asing, kehilangan
kewarganegaraan RI, apabila menurut hukum negara asal suami kewarganegaraan istri
mengikuti kewarganegaraan suami sebagai akibat perkawinan tersebut, kecuali istri tersebut
ingin tetap menjadi warga negara RI dengan mengajukan surat pernyataan mengenai
keinginannya kepada Menteri.
Substansi RUU KUHP, beberapa pasalnya juga mengakomodasi pengarusutamaan gender,
terutama perluasan tindak pidana penganiayaan, termasuk di dalamnya kekerasan dalam rumah
tangga. Tindak pidana pornografi dan pornoaksi diatur secara lengkap dalam RUU KUHP untuk
mencegah pengeksploitasian perempuan dalam tontonan, baik melalui elektronik, pertunjukan,
gambar, maupun tulisan. Tindak pidana perzinaan juga diperluas yakni selain salah satu dari masing-
masing pasangan telah beristri/bersuami, juga dilarang bagi masing-masing yang belum berstatus
kawin. Hal ini untuk mencegah pergaulan seks bebas yang pada akhirnya dapat merugikan
perempuan. Termasuk untuk mencegah pergaulan seks bebas adalah adanya pengaturan larangan
melakukan hidup bersama sebagai suami istri di luar perkawinan. Terkait dengan tindakan aborsi,
Rancangan KUHP juga membuka kemungkinan pengaturan mengenai diperbolehkan aborsi yang
dilakukan dokter, dengan ketentuan bahwa pengguguran kandungan dilakukan dengan tindakan
medis tertentu dalam keadaan darurat sebagai upaya untuk menyelamatkan jiwa ibu hamil dan/atau
janinnya. Di dalam RUU tentang Kesehatan, terkait dengan aborsi, diatur secara lengkap mengenai
hak reproduksi. Dalam pembahasan awal (draf ke 4), diusulkan ketentuan yang berbunyi:
Pasal 57 Berkaitan dengan kesehatan reproduksi:
a. setiap orang mempunyai hak untuk dapat menjalani kehidupan reproduksi dan kehidupan
seksual yang sehat, aman, bebas dari paksaan, atau kekerasan sesuai dengan hukum agama
yang dianut atau tata nilai yang berlaku di Indonesia;
b. setiap orang mempunyai hak untuk secara bertanggung jawab menentukan kehidupan
reproduksinya bebas dari diskriminasi, paksaan, atau kekerasan;
c. setiap orang mempunyai hak untuk secara bertanggung jawab menentukan sendiri kapan
dan seberapa sering ingin bereproduksi;
d. setiap orang mempunyai hak untuk memperoleh edukasi, konseling, dan informasi
mengenai kesehatan reproduksi yang benar dan dapat dipertanggung jawabkan agar dapat
menggunakan hak-haknya sebagaimana ditentukan dalam Undang-undang ini.
Pasal 58 ;
Pemerintah berkewajiban mejamin tersedianya sarana pelayanan kesehatan
reproduksi yang aman, bermutu, dan terjangkau bagi masyarakat yang memerlukan.
Pasal 59;
(1) Setiap layanan kesehatan, baik preventif, promotif, kuratif, maupun rehabilitatif, harus
memperhatikan aspek-aspek yang khas dari kaum perempuan, khususnya fungsi
reproduksinya sehingga yang bersangkutan dapat melaksanakan fungsi reproduksi secara
sehat dan aman.
(2) Penyelenggaraan pelayanan reproduksi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan
ketentuan mengenai reproduksi dengan bantuan dilaksanakan berdasarakan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.

Pasal 60
(1) Pemerintah berkewajiban melindungi kaum perempuan dari praktik pengguguran
kandungan yang tidak bermutu, tidak aman, dan tidak bertanggung jawab, melalui
peraturan perundang-undangan.
(2) Pelayanan pengguguran kandungan yang tidak bermutu, tidak aman, dan tidak
bertanggung jawab sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) meliputi tindakan:
a. yang dilakukan dengan paksaan dan tanpa persetujuan perempuan yang bersangkutan;
b. yang dilakukan oleh tenaga kesehatan yang tidak profesional;
c. yang dilakukan tanpa mengikuti standar profesi yang berlaku; atau
d. yang dilakukan secara diskriminatif dan lebih mengutamakan
pembayaran daripada keselamatan perempuan yang bersangkutan.
Mengapa Indonesia Membutuhkan Undang-Undang Kesetaraan
dan Keadilan Gender




RUU Kesetaraan dan Keadilan Gender (RUU KKG) adalah salah satu RUU yang saat ini sedang
dibahas oleh anggota DPR RI. Berdasarkan catatan dari CEDAW Working Group Indonesia
(CWGI) ada 3 alasan mengapa Indonesia membutuhkan Undang-Undang Kesetaraan dan
Keadilan Gender (KKG). Ketiga alasan berdasarkan analisa dari CWGI dibagi menjadi alasan
Filosofis, alasan Yuridis dan alasan Sosiologis.
Alasan Filosofis
Dalam cita-cita Pancasila, manusia, perempuan, dan laki-laki, diciptakan oleh Tuhan yang
Maha Esa, dan bangsa Indonesia mengarahkaan diri pada kehidupan berbangsa dan
bernegara yang menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, keadilan, musyawarah dan
mufakat, serta keberadaban. Oleh karena itu, sebagai negara hukum, Indonesia telah
menjamin hak asasi manusia (HAM) dalam UUD 1945 sebagai konstitusi Negara. HAM
adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia, perempuan
dan laki-laki, sebagai makhluk bermartabat, yang telah dimiliki sejak lahir hingga akhir hayat.
Karenanya HAM wajib dihormati, dijunjung tinggi, dan dilindungi oleh negara, hukum, dan
setiap orang.
Pembukaan UUD 1945 mengakui bahwa setiap individu atau warga negara adalah manusia
merdeka dan tidak boleh mendapatkan diskriminasi berdasarkan apapun termasuk
berdasarkan perbedaan jenis kelamin. Dengan disahkannya perubahan kedua pada tahun
2000, UUD 1945 memuat ketentuan dasar mengenai HAM dalam Bab XA, Pasal 28 A sampai
dengan pasal 28 J ayat (2). Selain rumusan tersebut, UUD 1945 kententuan HAM termuat
pula dalam Pasal 29 ayat (2) dan pasal 28 I (2). Perempuan dan laki-laki berhak atas
kehidupan dan kemeerdekaan dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apapun
dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu.
Konsepsi HAM ini sejalan dengan hukum HAM Internasional, yang secara khusus
mengadopsi instrument hak asasi perempuan yang komprehensif, yaitu Convention on the
Elimination of All Forms Discrimination Against Women, selanjutnya disebut Konvensi
CEDAW, yang diratifikasi oleh Negara Indonesia dengan UU No. 7 Tahun 1984 tentang
Pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap
Perempuan, Konvensi ini mendasarkan pada tiga prinsip atau asas yaitu: (a) Persamaan
substantive; (b) Non Diskriminasi; dan (c) Kewajiban Negara. Prinsip persamaan substantive
mengakui adanya perbedaan situasi hidup perempuan dan laki-laki, dimana perempuan
dapat atau lebih rentan mengalami diskriminasi yang sering dijustifikasi melalui perbedaan
ketubuhannya dibanding laki-laki, dengan menggunakan tolak ukur kepentingan laki-laki.
Diskriminasi dapat dialami langsung atau merupakan kelanjutan dari berbagai tindakan
diskriminatif di waktu lalu. Untuk menanggulanginya, persamaan substantive menggunakan
pendekatan korektif melalui tindakan khusus sementara (temporary special measures) dan
perlindungan maternitas.
Alasan Yuridis
Instrumen hukum Indonesia yang melandasi perwujudan persamaan dan keadilan untuk
perempuan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, antara lain:
1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
2. UU No. 68 Tahun 1958 tentang Pengesahan Konvensi mengenai Hak-Hak Politik
Perempuan (Convention of Womens Political Rights)
3. UU No. 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan Segala
Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan (Convention on the Elimination of all
Forms of Discrimination Against Women)
4. UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
5. UU No. 11 Tahun 2005 tentang Pengesahan Konvenan Internasional tentang Hak-hak
Ekonomi, Sosial dan Budaya (International Convenant on Economic, social and
Cultural Rights)
6. UU No. 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan Konvenan Internasional tentang Hak
Sipil dan Politik (International Convenant on Civil and Political Rights)
Hingga saat ini belum ada sebuah undang-undang yang mengatur secara komprehensif
tentang perlindungan hak-hak perempuan dari bentuk-bentuk diskriminasi terhadap
perempuan, dan pelanggaran hak asasi; dan pelaksanaan penikmatan hak asasi perempuan
termasuk akses, kesempatan, proses, control dan penikmatan manfaat, guna mewujudkan
kehidupan masyarakat yang demokratis, mengakui, menghargai, memajukan, melindungi
dan memenuhi hak asasi perempuan tanpa diskriminasi.
Alasan Sosiologis
Dalam kenyataan kehidupan masyarakat Indonesia, berbagai studi menunjukkan,
persamaan dan keadilan dalam memperoleh manfaat yang sama dan adil dari hasil-hasil
pembangunan antara laki-laki dan perempuan (termasuk anak perempuan) belum tercapai,
terutama disebabkan masih sangat kuatnya budaya patriarki dan perspektif laki-laki dalam
mempengaruhi pola pikir, pola perilaku, dan pengambilan keputusan termasuk pengambilan
kebijakan.
Perwujudan keadilan dan kesetaraan gender sebagai asas dalam pemenuhan hak asasi
perempuan, hanya dapat tercapai bila pengetahuan mengenai konstruksi sosial gender,
pengalaman ketubuhan perempuan, sudut pandang, kebutuhan, dan kepentingan
perempuan terintergrasi dalam keseluruhan tatanan pengetahuan. Situasi sosial budaya
terkait relasi gender menunjukan bahwa perdebaan jenis kelamin (biologis) diinterpretasi
secara sosial melalui mitos, sosialisasi, budaya, kebidajakan pemerintah, dan hukum serta
praktik yang lebih menguntungkan laki-laki, sekaligus tidak adil bagi perempuan, yang
antara lain dapat dilihat dari: stereotip atau pelabelan negative, subordinasi, peminggiran
atau marjinalisasi, beban majelmuk, dan kekerasan berbasis gender.
Keadilan gender merefleksikan budaya patriarki yang menempatkan kedudukan
tertinggi pada laki-laki, yang masih kuat di masyarakat, dan dilanggengkan melalui nilai-nilai,
praktik budaya, system sosial, dan bentuk lainnya seperti penafsiran agama yang bias
gender, terinternalisasi dalam pikiran dan praktik hidup anggota masyarakat. Disinilah
negara sebagai actor utama yang memegang kewajiban dan tanggung jawab (duty holders)
pemenuhan hak asasi perempuan, penting untuk merumuskan hukum dan kebijakan yang
memastikan pelaksanaan pemenuhan hak asasi perempuan.
Pentingnya Payung Hukum Kesetaraan Gender





Komitmen Pemerintah dalam mencapai kesetaraan dan keadilan gender sudah
lama tersurat dalam konstitusi UUD 1945 yang menjamin dan melindungi hak asasi manusia
tanpa adanya pembedaan baik ras, agama, jenis kelamin maupun gender. Bahkan sejak
tahun 1978, upaya untuk mencapai kesetaraan dan keadilan gender telah dicantumkan
dalam GBHN. Di tahun yang sama pula Presiden membentuk Kementrian Muda Urusan
Peranan Wanita (MENMUD UPW) yang merupakan cikal bakal dari Kementrian
Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak. Pada tahun 1984, Pemerintah Indonesia
meratifikasi konvensi perempuan yakni Convention on the Elemination of All Forms of
Discrimination Againts Women (CEDAW) menjadi undang-undang No. 7 th 1984. Di masa
reformasi setelah GBHN ditiadakan, untuk tetap melanjutkan perjuangan mencapai
kesetaraan dan keadilan gender Pemerintah kemudian mengeluarkan Instruksi Presiden No.
9 tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender (PUG) dalam Pembangunan Nasional dan
surat Keputusan Kemendagri No. 132 tahun 2003 tentang tentang pedoman umum
pelaksanaan pengarustumaan gender dalam pembangunan di daerah sebagai tindak lanjut
dari Inpres.
Komitmen Pemerintah dalam mencapai kesetaraan dan keadilan gender sudah
lama tersurat dalam konstitusi UUD 1945 yang menjamin dan melindungi hak asasi manusia
tanpa adanya pembedaan baik ras, agama, jenis kelamin maupun gender. Bahkan sejak
tahun 1978, upaya untuk mencapai kesetaraan dan keadilan gender telah dicantumkan
dalam GBHN. Di tahun yang sama pula Presiden membentuk Kementrian Muda Urusan
Peranan Wanita (MENMUD UPW) yang merupakan cikal bakal dari Kementrian
Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak. Pada tahun 1984, Pemerintah Indonesia
meratifikasi konvensi perempuan yakni Convention on the Elemination of All Forms of
Discrimination Againts Women (CEDAW) menjadi undang-undang No. 7 th 1984. Di masa
reformasi setelah GBHN ditiadakan, untuk tetap melanjutkan perjuangan mencapai
kesetaraan dan keadilan gender Pemerintah kemudian mengeluarkan Instruksi Presiden No.
9 tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender (PUG) dalam Pembangunan Nasional dan
surat Keputusan Kemendagri No. 132 tahun 2003 tentang tentang pedoman umum
pelaksanaan pengarustumaan gender dalam pembangunan di daerah sebagai tindak lanjut
dari Inpres. Selama era reformasi, Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI)
juga telah menghasilkan beberapa peraturan perundang-undangan yang dapat dikatakan
telah responsif gender antara lain:
1. 8 ratifikasi internasional mengenai hak asasi manusia yang berhubungan dengan
perempuan dan anak ( CRC, ICCPR, ICESCR, CAT, ICRDP, ICPMW)
2. Undang-Undang No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
3. UU PAKET PEMILU (tentang Partai Politik; PEMILU; MD3) memasukkan affirmative
action kuota perempuan 30%
4. Undang-Undang No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
5. Undang-Undang No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
6. Undang-Undang No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
7. Undang-Undang No. 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah
Tangga
8. Undang-Undang No. 12 tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia
9. Undang-Undang No. 21 tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdangan
Orang
10. Undang-Undang No. 36 tahun 2009 tentang Kesehatan
Namun demikian, perangkat peraturan perundang-undangan tersebut masih dirasakan tidak
cukup karena belum ada satu payung hukum yang mampu menjadi sandaran utuh bagi
pencapaian kesetaraan dan keadilan gender. RUU KKG merupakan rancangan peraturan
perundang-undangan yang strategis yang akan dijadikan payung kebijakan dalam rangka
menciptakan situasi kondusif bagi pencegahan diskriminasi gender maupun kesenjangan
gender.
Mengapa Perlu RUU Kesetaraan dan Keadilan Gender?
Alinea keempat Pembukaan UUD 1945 yang berbunyi membentuk suatu pemerintah
Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah
Indonesia serta mewujudkan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan
ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan
keadilan sosial mempunyai arti filosofis yaitu Negara menjamin hak setiap orang dan
berkewajiban untuk melindungi hak tersebut dari perilaku diskriminatif. Selain itu kata
keadilan sosial juga dapat dimaknai bahwa setiap proses dan hasil pembangunan harus
dapat dirasakan oleh seluruh rakyat Indonesia baik laki-laki dan perempuan. Oleh karena
itu, RUU KKG secara filosofis telah sejalan dengan apa yang telah diamanatkan oleh
Pembukaan UUD 1945 sebagai cita-cita bangsa dan Negara. Dengan adanya RUU KKG
diharapkan tanggung jawab sosial baik pemerintah, swasta maupun masyarakat terhadap
kesetaraan dan keadilan gender akan semakin meningkat.
Selain secara filosofis, pembentukkan RUU KKG juga telah sejalan dan tidak bertentangan
dengan landasan yuridis. Hal ini dapat dilihat dari peraturan perundang-undangan yang
telah ada antara lain:
2. Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 yaitu persamaan kedudukan warga negara di mata hukum
dan pemerintah;
3. Pasal 28 D ayat (1); Pasal 28 (H) ayat 2; dan Pasal 28 I ayat (2) UUD 1945
Mengenai hak atas jaminan akan kepastian hukum, hak atas kemudahan dan perlakuan
khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan
dan keadilan serta hak bebas dari perlakuan diskriminatif atas dasar apapun serta
perlindungan dari perilaku diskriminatif.
1. UU No. 7 tahun 1984 tentang konvensi CEDAW
2. UU No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia Pasal 45 Pasal 51 antara lain:
Pasal 45 : Hak wanita dalam UU ini adalah hak asasi manusia
Pasal 46 : Sistem Pemilu, Kepartaian, pemilihan anggota badan legislative, dan
sistem pengangkatan di bidang eksekutif, yudikatif, harus menjamin keterwakilan
perempuan sesuai persyaratan yang ditentukan.
Pasal 47 : seorang wanita yang menikah dengan seorang pria berkewarganegaraan
asing tidak secara otomatis mengikuti status kewarganegaraan suaminya tetapi
mempunyai hak untuk mempertahankan, mengganti atau memperoleh kembali
status kewarganegaraannya
Pasal 48 : perempuan berhak untuk memperoleh pendidikan
Pasal 49 antara lain tentang hak politik perempuan dan hak reproduksi perempuan
Pasal 50 : hak untuk dapat melakukan perbuatan hukum sendiri bagi perempuan
dewasa dan menikah
Pasal 51 : hak perempuan dalam ikatan perkawinan
Konvensi Internasional yang telah diratifikasi oleh Indonesia selain CEDAW antara
lain: (a) UU No. 11 tahun 2005 tentang Pengesahan Konvenan Internasional Hak
ekonomi, Sosial dan Budaya; (b) UU No. 12 tahun 2005 tentang Pengesahan Kovenan
Internasional Hak Sipil dan Politik; (c) Pengaturan secara spesifik kesetaraan dan
keadilan gender ditataran eksekutif yakni Inpres No. 9 tahun 2000 tentang
Pengarusutamaan Gender.
Selama ini peraturan perundang-undangan yang mengatur secara spesifik mengenai
kesetaraan dan keadilan gender masih berbentuk Instruksi Presiden (selain UU konvensi
CEDAW). Berdasarkan UU No. 12 tahun 2011, kedudukan instruksi presiden tidak ada dalam
struktur peraturan perundang-undangan dan sudah dipastikan kekuatan hukumnya jauh
berada dibawah undang-undang. InPres No. 9 tahun 2000 ini juga hanya mengikat dan
mengatur pemerintah eksekutif saja. Ini artinya komitmen Pemerintah mengenai PUG baru
berlaku pada ranah eksekutif, sedangkan legislatif dan yudikatif belum ada. Dengan
membentuk Undang-undang Kesetaraan dan Keadilan Gender bukankah akan semakin
memperluas usaha pengarusutamaan gender baik pemerintah dalam artian luas (eksekutif,
legislative dan yudikatif) serta masyarakat dan swasta. Untuk melihat landasan sosiologis
pembentukkan UU KKG ini kita perlu mengupas kondisi pembangunan Indonesia saat ini
yaitu sejauhmana pembangunan Indonesia telah responsive gender. Angka Indeks
Pembangunan Manusia (IPM) Indonesia sejak tahun 2004-2010 meningkat setiap tahunnya
yaitu 68,69 di tahun 2004 dan 72,27 di tahun 2010[1]. Komponen yang dihitung untuk
mendapatkan angka IPM oleh BPS antara lain adalah Angka Harapan Hidup, Angka Melek
Huruf (AMH), Rata-rata Lama Sekolah dan Pengeluaran Per Kapita pertahun. Meskipun
mengalami peningkatan, untuk skala internasional IPM di Indonesia sulit dikatakan
meningkat karena memang metode penghitungan yang digunakan berbeda. UNDP untuk
tahun 2010 menempatkan IPM Indonesia ke dalam peringkat ke-108 dari 169 Negara untuk
itu peningkatan pembangunan manusia masih perlu kita tingkatkan lagi. Seperti kita ketahui
bersama bahwa angka IPM yang menggambarkan kualitas capaian pembangunan kapabilitas
manusia dibidang pendidikan, kesehatan dan ekonomi tidak dapat menggambarkan secara
jelas apakah pembangunan tersebut telah dinikmati secara adil antara laki-laki dan
perempuan. Dengan demikian diperlukan angka IPG untuk menggambarkan perbedaan
pencapaian pembangunan antara laki-laki dan perempuan (kesenjangan gender) di
Indonesia. Sama halnya dengan angka IPM, angka IPG juga mengalami peningkatan setiap
tahunnya meskipun angka IPG masih lebih rendah dari IPM. Pada tahun 2004 nilai nasional
IPG adalah 63,94, kemudian pada tahun 2010 meningkat menjadi 67,20[2]. Hal tersebut
menandakan bahwa perkembangan pembangunan perempuan Indonesia baik kesehatan,
pendidikan dan hidup layak dalam kurun waktu tersebut mengalami perbaikan. Tabel
berikut menggambarkan perubahan nilai IPG dan IPM dari tahun 2004-2010. Perbedaan
antara angka IPM dan IPG menunjukkan masih terjadi kesenjangan gender di Indonesia.
Gambaran ini semakin terlihat lebih jelas pada tingkat daerah. Berdasarkan data yang
diberikan oleh KemenPP&PA dan BPS[3] setidaknya terdapat 8 Provinsi atau sekitar 24%
dari total Provinsi Indonesia yang memiliki angka IPM diatas rata-rata Nasional namun
memiliki angka IPG dibawah rata-rata nasional. Dan sebanyak 16 Provinsi atau 49% provinsi
yang memiliki nilai IPM dan IPG dibawah rata-rata angka nasional.
Tabel Perkembangan IPM dan IPG di Indonesia
Tahun IPM IPG
2004 68,69 63,94
2005 69,57 65,13
2006 70,08 65,27
2007 70,59 65,81
2008 71,17 66,38
2009 71,76 66,77
2010 72,27 67,20
Sumber: Pembangunan Manusia Berbasis Gender 2011 kerjasama BPS dan KemenPPPA.
2011
Kesenjangan gender juga dapat dilihat dari banyaknya perempuan yang menjadi korban
kekerasan dibandingkan dengan laki-laki baik dilingkungan publik dan bahkan domestik.
Pada tahun 2011 Komnas Perempuan melaporkan bahwa kasus kekerasan terhadap
perempuan mengalami peningkatan berkisar 13,32% yakni mencapai 119.107 kasus dari
tahun lalu yang mencapai 105.103[4]. Kasus kekerasan terhadap perempuan seringkali
terjadi pada lingkungan yang seharusnya menjadi lingkungan teraman yaitu rumah tangga
dan seringkali dilakukan oleh orang terdekat atau keluarga. Pada lingkungan publik,
perempuan juga sering menjadi objek eksploitasi seperti korban perdagangan, kekerasan
oleh majikan, korban pemerkosaan dan sebagainya. Hal ini tentu saja menunjukkan betapa
pengetahuan dan pemahaman perempuan mengenai hak-haknya masih rendah. Oleh
karena itu, menjadi tugas Negara untuk meningkatkan pemahaman dan pengetahuan
sekaligus melindungi hak-hak perempuan dengan membentuk Undang-Undang Kesetaraan
dan Keadilan gender.
Undang-Undang Kesetaraan dan Keadilan Gender juga diperlukan dalam mendorong upaya
sementara dalam peningkatan kepemimpinan perempuan diberbagai bidang. Sebagai
contoh upaya sementara ini telah dilakukan dalam peningkatan keterwakilan perempuan di
lembaga perwakilan pusat maupun daerah dengan kebijakan kuota 30%. Meskipun kuota
tersebut belum terpenuhi namun jumlah keterwakilan perempuan mengalami peningkatan.
Kebijakan upaya sementara ini tidak hanya dibutuhkan pada lembaga perwakilan saja,
jumlah kepemimpinan perempuan pada eksekutif dan judikatif juga memerlukan dorongan
dan dukungan tersebut.
Faktor penting lain yang menjadi dasar pembentukkan UU KKG adalah dalam rangka
pencapaian tujuan MDGs. Seperti kita ketahui dari delapan point tujuan MDGs salah satu
pointnya adalah mendorong kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan. Untuk
mencapai hal tersebut, DPR sebagai legislator berkomitmen dalam pencapaian MDGs dan
penegakan HAM untuk untuk menyediakan akses yang setara bagi semua pihak dengan
memproduksi undang-undang yang responsive gender. Dengan demikian, UU KKG
diharapkan akan menjadi sarana percepatan dalam pembangunan responsif gender di
Indonesia.
Berdasarkan ketiga landasan tersebut diatas maka untuk mewujudkan keadilan dan
kesetaraan gender, maka menjadi kewajiban Negara untuk memberikan perlindungan dan
menjamin terwujudnya kesetaraan gender termasuk tindakan-tindakan khusus sementara
yang mencakup akses, partisipasi, kontrol dalam proses pembangunan dan penikmatan
manfaat yang sama dan adil bagi perempuan dan laki-laki dalam pembangunan
nasional.****













D. Penutup

Masih banyak pekerjaan rumah yang harus diselesaikan dalam penyusunan dan penelaahan
peraturan perundang-undangan terkait dengan pengarusutamaan gender. Sebagai
Departemen yang bertanggung jawab di bidang hak asasi manusia, maka tugas utama yang
harus diselesaikan adalah mewujudkan terciptanya peraturan perundang-undangan yang
mengakui dan menghormati HAM dengan tidak membedakan jenis kelamin, warna kulit,
kebangsaan, agama, usia, pandangan politik, status sosial, dan bahasa serta status
lainnya.
Jika RUU tentang Kewarganegaraan, RUU tentang Keimigrasian, RUU tentang KUHP, RUU
tentang Kesehatan, RUU tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan dan pengesahan konvensi-konvensi yang terkait dengan hak-hak
perempuan telah disahkan, yang kemudian ditopang oleh Undang-Undang Nomor 23 Tahun
2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga dan melaksanakan undang-
undang yang terkait dengan hak asasi manusia secara konsekuen, maka diharapkan tidak
akan terjadi lagi bias gender.
















Daftar Pustaka
1. Komnas Perempuan, Peta Kekerasan, Pengalaman Perempuan Indonesia, Cetakan I,
Oktober 2002
2. Departemen Hukum dan HAM, Rancangan Undang-Undang tentang KUHP, 2005.
3. Departemen Hukum dan HAM, Rancangan Undang-Undang tentang Kewarganegaraan,
2002.
4. Departemen Hukum dan HAM, Rancangan Undang-Undang tentang Keimigrasian, 2005






















HUKUM DAN GENDER
MENGANALISIS PERUNDANG-UNDANGAN YANG TIDAK SENSITIF
GENDER DILIHAT DARI TEORI HUKUM FEMINIS












Disusun Oleh : ARIEF RAHADI TRIDASA
NIM/ :
Kelas : F
Fakultas : Ilmu Hukum
Dosen : ELLY KRISTIANI P. SH.Mhum


PENGANTAR

Assalamualaikum Wr.Wb
Makalah ini saya buat untuk melengkapi Perkuliahan Semester IV dengan Mata Kuliah
Hukum dan Gender sebagai bahan pertimbangan nilai pada Ujian Akhir Semester ini, saya
harap dengan makalah ini bisa menambah wawasan keilmuan berkenaan dengan Hukum
dan Gender. Semoga bermanfaat bagi kita semua.
Wassalamualaikum Wr.Wb

Purbalingga, 05 Juni 2014



ARIEF RAHADI TRIDASA

Anda mungkin juga menyukai