Anda di halaman 1dari 22

MEMAHAMI TEORI HANS KELSEN DALAM ILMU

HUKUM TATA NEGARA


(Suatu Analisis Kelemahan Teori Hukum Positivisme)
Oleh : Turiman Fachturahman Nur
Prolog
Para penstudi hukum yang belajar ilmu negara dan hukum tata negara tentu tidak pernah
lepas dari pemikiran monumental Hans Kelsen. Seorang pemikir besar tentang negara dan
hukum dari Austria, yang selanjutnya berkewarga negaraan Amerika. Karya-karyanya antara
lain Allegemeine Staatsslehre, terbit tahun 1925, dan Der Soziologische und der Juristiche
Staatsbegriff, terbit tahun 1922. Kelsen merupakan salah satu tokoh yang mempelopori
munculnya teori positivisme, dalam kajian ilmu negara teori ini menyatakan bahwa sebaiknya
kita tidak usah mempersolakan asal mula negara, sifat serta hakekat negara dan sebagainya,
karena kita tidak mengalami sendiri.
Konsep ini memang cenderung pragmatis dan skeptis, akan tetapi ini merupakan salah
satu usaha Kelsen untuk memisahkan ilmu hukum dengan ilmu-ilmu lainnya. Menurut
Kelsen ilmu hukum tidak perlu lagi mencari dasar negara, kelahiran negara untuknya hanya
merupakan suatu kenyataan belaka, yang tidak dapat diterangkan dan ditangkap dalam
sebuah yuridis.
Selanjutnya Hans Kelsen mengatakan bahwa negara itu sebenarnya adalah merupakan
suatu tertib hukum. Tertib hukum yang timbul karena diciptakannya peraturan-peraturan
hukum, yang menentukan bagaimana orang di dalam masyarakat atau negara itu harus
bertanggung jawab terhadap perbuatan-perbuatannya. Jadi negara itu adalah suatu tertib
hukum yang memaksa. Mengenai klasifikasi negara, Kelsen memabagi negara menjadi empat
jenis: heteronom, autonom, totaliter, dan liberal.
Pembagian tersebut didasarkan atas dasar sifat kebebasan warga negara, yang ditentuakan
oleh sifat mengikatnya peraturan-peraturan hukum yang dibuat atau dikeluarkan oleh
penguasa yang berwenang, dan sifat keleluasaan penguasa atau pemerintah dalam
mencampuri atau mengatur peri kehidupan daripada para warga negaranya.
Pandangan Kelsen itulah yang kemudian melatarbelakangi lahirnya madzhab positivisme
hukum, banyak dikenal sebagai sistem hukum kontinental, atau aliran legisme. Selain
berkembang di Amerika, negara asal Kelsen, sistem ini juga digunakan Indonesia dalam
sistem hukum nasionalnya. Faktanya, pemikiran kelsen memang telah berpengaruh besar
dalam perkembangan ilmu hukum, terutama hukum yang menganut aliran legisme.
Perdebatannya sekarang ialah ketika sistem ini lebih bersifat pragmatis dan skeptis, tanpa
mau menelusuri persoalan hakikat.
Coba kita lihat teks kurikulum pendidikan hukum di Indonesia yang didominasi oleh
materi dogmatik hukum, akibat pengaruh dari madzhab posivisme. Ilmu hukum dogmatik itu
dibonsai menjadi jenis pengetahuan yang mempunyai obyek kajian kasus tertentu dan
diselesaikan secara ringkas dengan sekian pasal dalam teks hukum positif. Penafsiran atasnya
berjalan secara pragmatik atau fungsional demi memecahkan kasus belaka. Hal ini kemudian
menjadi semacam diktat hukum untuk menghadapi realitas yang sesungguhnya. Makanya
tidak heran ketika banyak orang mengritik formalisme dan obyektivisme warisan rezim
positivisme tersebut, sebagai upaya untuk mengatasi jalan buntu antara studi teoriotik dan
masalah pelik ekonomi politik yang menelikung dunia hukum. Persoalanya sekarang,
bagaimana bila relitas hukum itu kemudian diwarnai bentrokan antara hukum positrif dengan
nalar sekuler, serta adanya tuntutan kesucian atas nama hukum agama.
A. Kilas Balik Pemikiran Hans Kelsen

1
Teori Hukum Murni dari Kelsen muncul setelah munculnya teori hukum kodrat,
pemikiran tentang moral yang disebut "the Golden Rule", mazhab sejarah hukum, mazhab
utilitarianisme hukum, mazhab sosiologi hukum, Analytical Jurisprudence dari Austin dan
mazhab realisme hukum Amerika Serikat dan Skandinavia.
Teori Hukum Murni adalah suatu teori positivistik di bidang hukum dan merupakan kritik
terhadap teorihukum kodrat, teori tradisional di bidang hukum, sosiologi hukum dan
Analytical Jurisprudence. TeoriHukum Murni juga tidak sependapat dengan pemikiran
realisme hukum Amerika Serikat. Sebagai kritik terhadap teori hukum kodrat, Teori Hukum
Murni melepaskan hukum dari relik-relik animisme yang menganggap alam sebagai
legislator dan melepaskan hukum dari karakter ideologis menyangkut konsep keadilan dan
atau value judgment.
Dalam kritiknya terhadap sosiologi hukum dan teori tradisional di bidang hukum, Teori
Hukum Murni melepaskan hukum dari bidang empiris, pertama-tama bidang poiltik, dan juga
dari karakter ideologis menyangkut value judgment dan konsep keadilan yang dianut bidang
politik. Sebagai kritik terhadap Analytical Jurisprudence, Teori Hukum Murni memandang
hukum sebagai norma pada tataran the Ought / das Sollen, yang terpisah dari bidang empiris,
karena Austin mengajarkan bahwa hukum adalah perintah yang berada pads tataran the Is /
das Seitz di bidang empiris.
Dengan demikian, Teori Hukum Murni membebaskan hukum dari anasir-anasir non-
hukum, seperti misalnya psikologi, sosiologi, etika (filsafat moral) dan politik. Pemurnian
hukum dari anasir-anasir non-hukurn tersebut dilakukan dengan menggunakan filsafat neo-
kantian mazhab Marburg sebagai daftar pemikirannya. Neo-kantianisme mazhab Marburg
memisahkan secara tajam antara the Ought / das Sollen dengan the Is I das Sin, dan, antara
bentuk (Form) dengan materi (matter).
Sejalan dengan itu, Kelsen memisahkan secara tajam antara norma hokum pada tataran the
Ought I das Sollen dengan bidang empiris pada tataran the Is / das Seitz, dan memisahkan
secara tajam antara hukum formal dengan hukum materiil. Teori Hukum Murni hanya
mengakui hokum formal sebagai obyek kajian kognitif ilmu hukum, sedangkan hukum
materiil tidak dicakupkan dalam bidang obyek kajian ilmu hukum, karena hukum materiil
berisikan janji keadilan yang berada di bidang ideologis, yang pada tataran praktis
dilaksanakan di bidang politik.
Teori Hukum Muni memusatkan kajiannya hanya pada hukum formal berdasarkan
keabsahannya, yang membentuk suatu sistem hierarki norma hukum dengan puncak
"Grundnorm". Qleh karena kajiannya hanya menyangkut hukum formal berdasarkan
keabsahan, maka Teori Hukum Mumi hanya melihat hukum dari aspek yuridis formal semata,
artinya teori tersebut mengabaikan hukum materiil yang di dalamnya terdapat cita hukum
dalam konsep keadilan dan pertimbangan moral. Karena hanya menekankan pada aspek
yuridis formal, Teori Hukum Murni sangat potensial menimbulkan permasalahan kekuasaan
berlebihan bagi organ pembuat dan/atau pelaksana hukum, dan salah satu alternatif
penyelesaian masalah tersebut adalah diperlukannya pedoman dan/atau pembatasan lebih
rinci dalam penerapan norma hukum umum atau pembuatan norma hukum kasuistis. Karena
hukum dipisahkan dari moral, maka hukum sangat potensial mengesampingkan atau
melanggar kemanusiaan, dan agar hukum tidak melanggar kemanusiaan, hukum harus
mengambil pertimbangan dari aspek moral. Walaupun mengadung kelemahan, stufentheory
dalam Teori Hukum Murni juga membawa manfaat bagi bidang sistem tata hukum. Teori
Hukum Murni juga merupakan suatu teori negara hukum dalam suatu versi tersendiri, yang
berupaya mencegah kekuasaan totaliter pada satu sisi dan mencegah anarkisme murni pada
sisi lain.

2
Hans Kelsen

Hingga saat ini hanya terdapat satu biografi lengkap tentang Hans KelsenXE "Hans
Kelsen" yang disusun oleh Rudolf Aladár Métall XE "Rudolf Aladár Métall" , Hans Kelsen:
Leben und Werk diterbitkan tahun 1969. Hans Kelsen dilahirkan dari pasangan kelas
menengah Yahudi XE "Yahudi"berbahasa Jerman di Prague XE "Prague" pada tanggal 11
Oktober 1881. Saat berusia tiga tahun, Kelsen dan keluarganya pindah ke Wina XE
"Wina" dan menyelesaikan masa pendidikannya. Kelsen adalah seorang agnostis, namun
pada tahun 1905 Kelsen pindah agama menjadi Katolik demi menghindari masalah integrasi
dan kelancaran karir akademiknya. Namun identitas Kelsen sebagai keturunan Yahudi XE
"Yahudi" tetap saja mendatangkan banyak masalah dalam hidupnya. Kelsen pada awalnya
adalah pengacara publik yang berpandangan sekuler terhadap hukum sebagai instrumen
mewujudkan kedamaian. Pandangan ini diinspirasikan oleh kebijakan toleransi yang
dikembangkan oleh rezim Dual Monarchy di Habsburg XE "Habsburg" .
Sejak kecil Kelsen sesungguhnya lebih tertarik pada bidang ilmu klasik dan humanisme
seperti filsafat, sastra, logika, dan juga matematika. Ketertarikan inilah yang sangat
mempengaruhi karya-karyanya kemudian. Tahun 1906 Kelsen memperoleh gelar Doktor di
bidang hukum. Pada tahun 1905 Kelsen menerbitkan buku pertamanya berjudul Die
Staatslehre des Dante Alighieri. Pada tahun 1908 dia mengikuti seminar di Heidelberg yang
diselenggarakan oleh Georg Jellinek XE "Georg Jellinek" . Tahun 1911 Kelsen mengajar di
University of Vienna untuk bidang hukum publik dan filsafat hukum dan menyelesaikan
karya Hauptprobleme der Staatsrechtslehre. Pada tahun 1914 Kelsen menerbitkan dan
menjadi editor the Austrian Journal of Public Law.
Selama perang dunia pertama, Kelsen menjadi penasehat untuk departemen militer dan
hukum (military and justice administration). Tahun 1918 dia menjadi associate professor di

3
bidang hukum pada University of Vienna dan tahun 1919 menjadi profesor penuh di bidang
hukum publik dan hukum administrasi. Pada tahun 1919, saat berakhirnya monarkhi Austria,
Chancellor pemerintahan republik pertama, Karl Renner, mempercayai Kelsen menjadi
penyusun konstitusi Austria. Hal ini karena kedekatan Kelsen dengan Partai Sosial Demokrat
(Social Democratic Party/SDAP) meskipun secara formal Kelsen tetap netral karena tidak
pernah menjadi anggota partai politik.
Draft konstitusi yang berhasil disusun, diterima dengan baik tanpa perubahan berarti baik
oleh SDAP maupun oleh kelompok Sosialis Kristen(Christian Socialist) dan Nasionalis
Liberal (Liberal Nationalist) yang kemudian bersama-sama membentuk pemerintahan koa-
lisi. Draft konstitusi tersebut kemudian di tetapkan menjadi Konstitusi 1920. Tahun 1921
Kelsen ditunjuk sebagai anggota Mahkamah Konstitusi Austria.
Memasuki tahun 1930 muncul sentimen anti-Semitic di kalangan Sosialis Kristen
sehingga Kelsen diberhentikan dari anggota Mahkamah Konstitusi Austria dan pindah ke
Cologne. Di sini Kelsen mengajar Hukum Internasional di University of Cologne, dan
menekuni bidang khusus Hukum Internasional positif. Tahun 1931 dia mempublikasikan
karyanya Wer soll der Hűter des Verfassung sei?. Tahun 1933 saat Nazi XE "Nazi" berkuasa
situasi berubah cepat dan Kelsen dikeluarkan. Bersama dengan istri dan dua putrinya Kelsen
kemudian pindah ke Jenewa pada tahun 1933 dan memulai karir akademik di the Institute
Universitaire des Hautes Etudes International hingga tahun 1935. Di samping itu, Kelsen juga
mengajar Hukum Internasional di University of Prague pada tahun 1936, namun kemudian
harus keluar karena sentimen anti-semit di kalangan mahasiswanya.
Pecahnya perang dunia kedua dan kemungkinan terlibatnya SwitzerlandXE
"Switzerland" dalam konflik tersebut memotivasi Kelsen pindah ke Amerika Serikat pada
tahun 1940. Kelsen, sebagai research associate, mengajar di Harvard University tahun 1940
sampai tahun 1942. Pada tahun 1942, dengan dukungan Roscoe Pound XE "Roscoe
Pound" yang mengakui Kelsen sebagai ahli hukum dunia, Kelsen menjadi visiting
professor di California University, Barkeley, namun bukan di bidang hukum, tetapi di depar-
temen ilmu politik. Dari tahun 1945 sampai 1952 menjadi profesor penuh, dan pada tahun
1945 itulah Kelsen menjadi warga negara Amerika Serikat XE "Amerika Serikat" dan
menjadi penasehat pada United Nation War Crimes Commission di Washington dengan tugas
utama menyiapkan aspek hukum dan teknis pengadilan Nuremberg. Dia juga menjadi visiting
professor di Geneva, Newport, The Hague, Vienna, Copenhagen, Chicago, Stockholm,
Helsinkfors, dan Edinburg, serta memperoleh 11 gelar doktor honoris causa dari Utrecht,
Harvard, Chicago, Mexico, Berkeley, Salamanca, Berlin, Vienna, New York, Paris dan Salz-
burg. Kelsen tetap aktif dan produktif setelah pensiun pada tahun 1952. Kelsen tinggal di

4
Amerika Serikat XE "Amerika Serikat" hingga akhir hayatnya pada tahun 1973. Kelsen me-
ninggal di Barkeley, 19 April 1973 pada usia 92 tahun dengan meninggalkan sekitar 400
karya. Karya-karya Kelsen di antaranya adalah:
Umum
1. Théorie générale de droit international public. Problèmes choisis., 42 RdC(1932, IV) 116.
2. Principles of International Law. (1952, 2nd ed. Revised and edited by Tucker, 1966).
3. Théorie du Droit International Public., 84 RdC (1953, III) 1.
4. Allgemeine Theorie der Normen [General Theory of Norms] (1979)-an index is available
separately (1989); tr. M. Hartney.
5. Essays in Legal and Moral Philosophy, sel. O. Weinberger (1973), pp. 216-27.
6. The Communist Theory of Law (1955). Mostly a critique of the collectionSoviet Legal
Philosophy, tr. H. Babb (1951).
7. The Function of a Constitution’ (1964), tr. I. Stewart in Tur and Twining.
8. General Theory of Law and State (tr. A. Wedberg 1945, reissued 1961).
9. Hauptprobleme der Staatsrechtslehre entwickelt aus der Lehre vom Rechtssatze [Major
Problems in Theory of the Law of the State, Approached from Theory of the Legal
Statement] (1911; 2nd edn. 1923, reissued 1960).
10. Pure Theory of Law (1967 - translation by M. Knight of RR2).
11. Reine Rechtslehre: Einleitung in die Rechtswis-senschaftliche Problematik[Pure Theory
of Law: Introduction to the Problematic of Legal Science] (1st edn. 1934); tr. B.L. and S.L.
Paulson, Introduction to the Problems of Legal Theory (forthcoming). The French
translation, Théorie Pure du Droit (1953), tr. H. Thévenaz.
12. Reine Rechtslehre (2nd edn. 1960—tr. as PTL).
13. What is Justice? Justice, Law, and Politics in the Mirror of Science. Collected Essays
(1957).
14. H. Kelsen, A. Merkl and A. Verdross, Die Wiener rechtstheoretische Schule [The Vienna
School of Legal Theory], ed. H. Klecatsky et al. (1968, in 2 vols).
Kedaulatan
1. Das Problem der Souveränität und die Theorie des Völkerrechts (1920).
2. Der Wandel des Souveränitätsbegriffs., 2 Studi filosofico-giuridici dedicati a Giorgio Del
Vecchio (1931) 1.
3. Sovereignty and International Law., 48 The Georgetown Law Journal(1960) 627.
4. Souveränität., Wörterbuch des Völkerrechts (1962) 278.
Sanksi

5
Unrecht und Unrechtsfolge im Völkerrecht., 12 Zeitschrift für öffentliches Recht (1932)
481.
Hubungan Hukum Internasional dan Hukum Nasional
1. Staat und Völkerrecht., 4 Zeitschrift für öffentliches Recht (1925) 207.
2. Les rapports de système entre le droit interne et le droit international public.,
14 RdC (1926, IV) 231.
3. La transformation du droit international en droit interne., 43 Revue générale de droit
international public (1936) 5.
4. Zur Lehre vom Primat des Völkerrechts., 12 Revue internationale de la théorie du
droit (1938) 211.
5. Die Einheit von Völkerrecht und staatlichem Recht., 19 Zeitschrift für ausländisches
öffentliches Recht (1958) 234.
Sumber Hukum
1. Völkerrechtliche Verträge zu Lasten Dritter., 14 Prager Juristische Zeitschrift (1934) 419.
2. Contribution à la théorie du traité international., 10 Revue internationale de la théorie du
droit (1936) 253.
3. Théorie du Droit International Coutumier., Festschrift für Franz Weyer(1939) 85.
4. The Basis of Obligation in International Law., Estudios de Derecho Internacional -
Homenaje al Professor Camilo Barcia Trelles (1958) 103.
Covenant of the League of Nations:
1. Zur rechtstechnischen Revision des Völkerbund-statutes., 17 Zeitschrift für öffentliches
Recht (1937) 401, 590.
2. Zur Reform des Völkerbundes (1938).
3. Legal Technique in International Law (1939).
4. Revision of the Covenant of the League of Nations., A Symposium of the Institute of World
Organization (1942) 392.
World Organizations:
1. The Legal Process and International Order (1934).
2. Die Technik des Völkerrechts und die Organisation des Friedens., 14 Zeitschrift für öffent-
liches Recht (1935) 240.
3. The Essential Conditions of International Justice., Proceedings of the American Society of
International Law (1941) 70.
4. The Principle of Sovereign Equality of States as a Basis for International Organisation.,
53 The Yale Law Journal (1944) 207.
Kedamaian
1. Law and Peace in International Relations (1942).
6
2. Compulsory Adjudication of International Disputes., 37 AJIL (1943) 397.
3. Peace through Law (1944).
United Nations:
1. The Law of the United Nations (1950).
2. Recent Trends in the Law of the United Nations. A Supplement to .The Law of the United
Nations. (1951).
3. Limitations on the Functions of the United Nations, 55 The Yale Law Journal (1946) 997.
4. The Preamble of the Charter. A Critical Analysis., 8 The Journal of Politics(1946) 134.
5. General International Law and the Law of the United Nations. The United Nations - Ten
Years. Legal Progress (1956).
6. Organization and Procedure of the Security Council of the United Nations., 59 Harvard
Law Review (1946) 1087.
7. Sanctions in International Law under the Charter of the United Nations., 31Iowa Law
Review (1946) 499.
8. Collective Security under International Law (1957).
Masalah-Masalah Khusus
1. Collective and Individual Responsibility in International Law with Particular Regard to
Punishment of War Criminals., 31 California Law Review(1943) 530.
2. Will the Judgement in the Nuremberg Trial Constitute a Precedent in International Law?.,
1 The International Law Quarterly (1947) 153.
3. Austria: Her Actual Legal Status and Re-establishment as an Independent State. (1944).
4. Recognition in International Law. Theoretical Observations., 35 AJIL(1941) 605.
5. The Essence of International Law., The Relevance of International Law. Essays in Honor
of Leo Gross. (1968) 85.
C. Pokok-Pokok Pemikiran Hans Kelsen
Jika dilihat karya-karya yang dibuat oleh Hans Kelsen, pemikiran yang dikemukakan
meliputi tiga masalah utama, yaitu tentang teori hukum, negara, dan hukum internasional.
Ketiga masalah tersebut sesungguhnya tidak dapat dipisahkan satu dengan lainnya karena
saling terkait dan dikembangkan secara konsisten berdasarkan logika hukum secara formal.
Logika formal ini telah lama dikembangkan dan menjadi karakteristik utama filsafat Neo-
Kantian XE "Neo-Kantian" yang kemudian berkembang menjadi aliran strukturalisme. Teori
umum tentang hukum yang dikembangkan oleh Kelsen meliputi dua aspek penting, yaitu
aspek statis (nomostatics XE "nomostatics") yang melihat perbuatan yang diatur oleh hukum,
dan aspek dinamis (nomodinamic XE "nomodinamic" ) yang melihat hukum yang mengatur
perbuatan tertentu.

7
Friedmann XE "Friedmann" mengungkapkan dasar-dasar esensial dari pemikiran
Kelsen sebagai berikut:
1. Tujuan teori hukum, seperti tiap ilmu pengetahuan, adalah untuk mengurangi kekacauan dan
kemajemukan menjadi kesatuan.
2. Teori hukum adalah ilmu pengetahuan mengenai hukum yang berlaku, bukan mengenai hukum
yang seharusnya.
3. Hukum adalah ilmu pengetahuan normatif, bukan ilmu alam.
4. Teori hukum sebagai teori tentang norma-norma, tidak ada hubungannya dengan daya kerja
norma-norma hukum.
5. Teori hukum adalah formal, suatu teori tentang cara menata, mengubah isi dengan cara yang
khusus. Hubungan antara teori hukum dan sistem yang khas dari hukum positif ialah
hubungan apa yang mungkin dengan hukum yang nyata.
Pendekatan yang dilakukan oleh Kelsen, disebut The Pure Theory of
Law,mendapatkan tempat tersendiri karena berbeda dengan dua kutub pendekatan yang ber-
beda antara mahzab hukum alam dengan positivisme empiris. Beberapa ahli menyebut
pemikiran Kelsen sebagai “jalan tengah” dari dua aliran hukum yang telah ada sebelumnya.
Empirisme hukum melihat hukum dapat direduksi sebagai fakta sosial. Sedangkan
Kelsen berpendapat bahwa interpretasi hukum berhubungan dengan norma yang non-empiris.
Norma tersebut memiliki struktur yang membatasi interpretasi hukum. Di sisi lain, berbeda
dengan mahzab hukum alam, Kelsen berpendapat bahwa hukum tidak dibatasi oleh
pertimbangan moral. Tesis yang dikembangkan oleh kaum empiris disebut dengan the
reductive thesis XE "the reductive thesis" , dan antitesisnya yang dikembangkan oleh mahzab
hukum alam disebut dengan normativity thesis XE "normativity thesis" . Stanley L. Paulson
membuat skema berikut ini untuk menggambarkan posisi Kelsen di antara kedua tesis
tersebut terkait dengan hubungan hukum dengan fakta dan moral:
normativity reductive thesis
thesis XE (inseparability of
"normativity law and fact)
thesis"
Law and Fact
(separability of
Law and Morality
law and fact)
Morality thesis Natural law -
(inseparability of theory
law and morality)
Separability thesis Kelsen’s Pure Empirico-
(separability of law Theory of Law positivist theory
and morality) of law

8
Kolom vertikal menunjukkan hubungan antara hukum dengan moralitas sedangkan
baris horisontal menunjukkan hubungan antara hukum dan fakta. Tesis utama hukum alam
adalah morality thesis XE "morality thesis" dan normativity thesi XE "normativity
thesis" s XE "normativity thesis" , sedangkan empirico positivist XE "empirico
positivist" adalah separability thesis XE "separability thesis" dan reductive thesis XE
"reductive thesis" . Teori Kelsen adalah pada tesisseparability thesis XE "separability
thesis" dan normativity thesis, yang berarti pemisahan antara hukum dan moralitas dan juga
pemisahan antara hukum dan fakta. Sedangkan kolom yang kosong tidak terisi karena jika
diisi akan menghasilkan sesuatu yang kontradiktif, sebab tidak mungkin memegangreductive
thesis bersama-sama dengan morality thesis XE "morality thesis" .
Pada dua bab berikutnya akan disajikan teori umum tentang hukum yang terutama
dikemukakan oleh Kelsen melalui buku General Theory of Law and State khususnya pada
bagian pertama, yaitu konsep hukum. Pembahasan dilakukan dengan membandingkannya de-
ngan dua buku utama lainnya, yaituIntroduction to the Problems of Legal Theory dan Pure
Theory of Law, serta pembahasan yang dilakukan oleh beberapa ahli hukum lainnya.
Teori tertentu yang dikembangkan oleh Kelsen dihasilkan dari analisis perbandingan
sistem hukum positif yang berbeda-beda, membentuk konsep dasar yang dapat
menggambarkan suatu komunitas hukum. Masalah utama (subject matter) dalam teori umum
adalah norma hukum (legal norm), elemen-elemennya, hubungannya, tata hukum sebagai
suatu kesatuan, strukturnya, hubungan antara tata hukum yang berbeda, dan akhirnya,
kesatuan hukum di dalam tata hukum positif yang plural. The pure theory of law menekankan
pada pembedaan yang jelas antara hukum empiris dan keadilan transendental dengan
mengeluarkannya dari lingkup kajian hukum. Hukum bukan merupakan manifestasi dari
otoritas super-human, tetapi merupakan suatu teknik sosial yang spesifik berdasarkan
pengalaman manusia.
The pure theory of law menolak menjadi kajian metafisis tentang hukum. Teori ini
mencari dasar-dasar hukum sebagai landasan validitas, tidak pada prinsip-prinsip meta-
juridis, tetapi melalui suatu hipotesis yuridis, yaitu suatu norma dasar, yang dibangun dengan
analisis logis berdasarkan cara berpikir yuristik aktual. The pure theory of law berbeda
dengan analytical jurisprudenceXE "analytical jurisprudence" dalam hal the pure theory of
law lebih konsisten menggunakan metodenya terkait dengan masalah konsep-konsep dasar,
norma hukum, hak hukum, kewajiban hukum, dan hubungan antara negara dan hukum.
Perkembangan dan pembangunan hukum diberbagai bagian dunia, tidaklah dapat dilepaskan
begitu saja dari paradigma, landasan filosofis dan kerangka teoretik yang dikukuhi oleh para

9
pemegang kebijakan, serta model pengajaran yang diterapkan di lingkungan pendidikan tinggi hukum
yang eksis di suatu negara.
Dalam konteks yang lebih luas, tumbuh dan berkembangnya suatu konsep hukum, tidaklah
dapat dilepaskan dari perkembangan sosial politik sebagai basis sosialnya. Bahkan ditengarai,
kemunculan tersebut lebih difungsikan sebagai bagian dari upaya untuk melegitimasi struktur-struktur
sosial yang dominan, karena sebagaimana dikemukakan oleh Trasymachus, “Hukum tidak lain
kecuali kepentingan mereka yang kuat” terdapat kecenderungan, bahwa setiap rezim, membuat
hukum untuk mempertahankan kekuasaannya dan demi keuntungannya.
Sejalan dengan berkembangnya kekuasaan gereja-geraja dan kerajaan di Eropa pada abad
pertengahan, misalnya, maka muncul dan berkembangnya aliran teori hukum Alam yang
dimaksudkan untuk melegitimasi kekusaan geraja dn kerajaan pun menjadi demikian dominan. Tidak
ada persoon lain yang berhak menafsirkan “kata-kata Tuhan”, untuk kemudian diimplementasikan
menjadi hukum manusia, kecuali orang-orang yang telah di pilih sendiri oleh Tuhan, yaitu “para Imam
atau Raja”. Pada masa itu, satu-satunya sumber hukum adalah hukum Tuhan, dan satu-satunya
lembaga yang berwenang untuk menafsirkan, membuat dan mengontrol jalannya hukum hanyalah
orang-orang yang berada di lingkungan gereja atau pun kerajaan, tidak ada yang lain, sehingga “the
King Can do Wrong” pun menjadi sebuah slogan, yang kemudian terkonstruksi seolah-oleh
merupakan sebuah kenyatan empiri yang alami.
Seiring dengan terjadinya Revolusi perancis, menjelang zaman aufklarung, sebagai sebuah
respon dari komunitas yang tertindas oleh sebuah struktur yang demikian otoriter dan totalitarian,
maka kemunculan nations state (negara bangsa) yang dipromo-sikan sebagai sebuah bentuk tatanan
masyarakat yang ditujukan untuk menggantikan kekuasan gereja dan kerajaan, menjadi trend baru di
dalam masyarakat pada masa itu, karena di dalam tatanan masyarakat yang disebut negara bangsa
(nations state) ini, terdapat kesempatan yang sama dan luas kepada setiap “orang biasa” yang dipilih
dari, untuk dan oleh “orang biasa” lainnya, untuk menafsirkan, membuat dan mengontrol jalannya
hukum,
Dengan demikian penciptaan dan pemberlakuan hukum negara yang kesahan
pembentukannya dan pelaksanaannya bersumber dari kekuasaan dan kewibawaan negara semakin
mendapatkan tempatnya di dalam kehidupan bernegara dan bermasyarakat. Sebagai konsekuensi
dipergunakannya hukum modern yang dipan¬dang dapat lebih menjamin kepastian hukum dan
menciptakan ketung¬galan hukum tersebut, maka terlihatlah kemarakan dari gerakan-gerakan yang
menghendaki terbentuknya unifikasi dan kodifikasi hukum, yang seolah-olah menjadi bagian integral
dari proses nasionalisasi dan modernisasi. Sebagai konsekuensinya, hukum kemudian diidentikan
sebagai hukum negara, yang berarti tidak ada hukum di luar itu .
Munculnya perkembangan yang demikian, tentulah tidak dapat dilepaskan dari berbagai argumen

10
filosofis, yang dikemukakan oleh para filosof dari madzah hukum yang baru muncul pada waktu itu,
yaitu positivistism (teori hukum positivistik).
Teori hukum postivistik, telah menjadi sebuah mainstrem dalam hidup dan kehidupan hukum
di setiap komunitas. Demikian banyak hal yang dijanjikan oleh teori hukum ini, yang dipandang —
oleh pengikutnya — sebagai sebuah alternatif terbaik, untuk memperbaiki struktur dan pola-pola
hubungan yang ada di masyarakat.
Hanya saja, sebagaimana disinyalir oleh Satjipto Rahardjo , terjadi kemandulan dari hukum dan ilmu
hukum yang ada di Indonesia, hal ini dikarenakan hukum yang berkembang di Indonesia sampai
dengan dasawarsa 1980-an dinilai tidak mendukung arah perubahan masyarakat dan dengan
demikian juga tidak membantu berhasilnya usaha-usaha produktif yang sedang dijalankan
masyarakat. sedangkan ilmu hukumnya pun hanya mendasarkan pada konsep-konsep mengenai dan
metode pendekatan terhadap hukum yang tidak peka terhadap perkembangan, perubahan dan
proses sosial yang sedang berlangsung di dalam masyarakat.
Pada saat itu para ahli hukumnya lebih banyak dipandang sebagai tukang-tukang dan montir-montir
dari mesin hukum, yang terasing dari masyarakat dan problem-problemnya dan tidak mempunyai
daya kreatif untuk menempatkan sistem hukumnya dalam lingkungan masyarakat masing-masing.
Mengapa terjadinya hal yang demikian? Bagaimanakah sebenarnya konsep hukum menurut
penganut teori hukum postivistik ? konsekuensi-konsekuensi apa sajakah yang timbul dari konsep
hukum yang demikian itu ? Bagaimanakah sebenarnya peran teori hukum positivistik dalam
membentuk pola pikir, sikap dan perilaku dari orang-orang yang berada di bawah pengaturannya ?
kelemahan-kelemahan apakah yang sebenarnya melekat pada teori hukum positivistik tersebut ?
Berbagai pertanyaan inilah yang akan dideskripsikan lebih lanjut pada alinea-alinea di bawah ini
TEORI HUKUM POSITIVISTIK : ANATOMI DAN KARAKTER YANG TERBENTUK
Teori hukum positivistik, sebagai sebuah teori yang muncul pada Abad ke-XIX, dapat dipandang
sebagai sebuah aliran yang kemudian dapat menimbulkan semangat serta sikap yang bersifat kritis
terhadap masalah-masalah yang dihadapi, karena dengan lahirnya teori hukum positivistik ini, suatu
tradisi ilmu yang baru telah berkembang, yakni ilmu yang nantinya mampu membuka cakrawala baru
dalam sejarah umat manusia, yang semula seperti terselubung oleh cara-cara pemahaman
“tradisional”. Oleh Hart, seorang pengikut positivisme, diajukan berbagai arti dari positivisme sebagai
berikut:
1. Hukum adalah perintah;
2. Analisis terhadap konsep-konsep hukum adalah usaha yang berharga untuk dilakukan. Analisis
yang demikian ini berbeda dari studi sosiologis dan historis serta berlainan pula dari penilaian kritis;
3. Keputusan-keputusan dapat dideduksikan secara logis dari peraturan-peraturan yang sudah ada
lebih dulu, tanpa menunjuk pada tujuan-tujuan sosial, kebijakan serta moralitas;

11
4. Penghukuman (judgment) secara moral tidak dapat ditegakkan dan dipertahankan oleh penalaran
rasional, pembuktian atau pengujian;
5. Hukum sebagaimana diundangkan, ditetapkan, positum harus senantiasa dipisahkan dari hukum
yang seharusnya diciptakan, yang diinginkan. Inilah yang sekarang sering kita terima sebagai
pemberian arti terhadap positivisme .
Sementara itu, prinsip-prinsip positivisme hukum dapat diringkas, sebagai berikut:
1. Hukum adalah sama dengan undang-undang. Dasarnya, bahwa hukum muncul berkaitan dengan
negara; hukum yang benar adalah hukum yang berlaku dalam suatu negara;
2. Tidak terdapat suatu hubungan mutlak antara hukum dan moral. Hukum tidak lain sebagai hasil
karya para ahli dibidang hukum;
3. Dalam positivisme yuridis ditambah bahwa hukum adalah “closed logical system”. Peraturan dapat
dideduksikan dari undang-undang yang berlaku tanpa perlu meminta bimbingan dari norma-norma
sosial, politik dan moral. Tokoh-tokohnya antara lain, R.von Jhering dan John Austin. Dalam
positivisme sosiologis, hukum ditanggapi sebagai terbuka bagi kehidupan masyarakat, yang harus
diselidiki melalui metode-metode ilmiah A.Comte menjadi perintis positivisme ini dengan menciptakan
suatu ilmu pengetahuan baru, yakni sosiologi.
Pandangan positivistik merupakan sebuah model pemikiran yang mendominasi pengkajian-
pengkajian terhadap hukum di abad pertengahan. Di mana pada abad-abad ini, ilmu hukum banyak
memusatkan perhatiannya pada penelaahan mengenai tertib logis dari tatanan peraturan yang
berlaku. Ia juga banyak menaruh minat pada pemahaman dan pendefinisian istilah-istilah yang
dipakai dalam tatanan tersebut.
Adanya keadaan seperti tersebut diatas, didasarkan pada apa yang dikemukakan oleh John
Austin dan Hans Kelsen. John Austin ingin membatasi ilmu hukum, sebagai penyelidikan hukum apa
adanya. Dengan mendasarkan definisinya tentang hukum sebagai “perintah dari penguasa” (hukum
positif diartikan sebagai suatu aturan berbuat yang umum, yang diberikan oleh golongan yang politis
kedudukannya lebih tinggi kepada golongan yang politis lebih rendah), dengan demikian berarti ada
persoon tertentu yang mengeluarkan perintah, dan ada persoon lain yang akan dikenai sanksi, bila
mereka tidak mematuhinya. Berdasarkan pemahamannya tentang hukum tersebut Austin bertujuan
untuk memisahkan dengan tegas antara hukum positif dari peraturan-peraturan sosial lain,
memisahkan antara hukum positif dengan etik, karena menurut Austin, peraturan-peraturan sosial
lain, demikian pula etik, tidaklah ditetapkan oleh persoon tertentu . Secara lebih tegas John Austin
menyatakan bahwa :“Every law or rule (taken with the largest signification which can be given to the
term properly) is a command. Or, rather, laws or rules, properly so called, are a species of
commands….”.

12
Jelaslah dari pandangan Austin, bahwa hukum sebagai perintah, sedang undang-undang
juga peraturan adalah jenis dari perintah. Perintah yang dimaksud adalah, perintah dari penguasa
politik yang menimbulkan kewajiban bagi orang-orang yang berada dibawah kekuasaannya dan yang
melanggar akan terkena sanksi.Terkait dengan hukum sebagai perintah, Hart menjelaskannya
dengan menggunakan doktrin yang dikemukakan oleh Austin: “The clearest and the most thorough
attempt to analyse the concept of law in terms of apparently simple elements of commands and
habits, was that made by Austin in the Province Jurisprudence Determined”.
Dalam pandangan Austin, hukum adalah suatu perintah. Ia melukiskan perintah itu, digambarkan dari
seorang yang memegang senjata kepada seorang pegawai bank. Perintah itu disertai ancaman:
“Hand over the money or I will shoot”. Padahal sebenarnya perintah (command) bersifat
melaksanakan kewenangannya terhadap seseorang bukannya untuk melukainya.
Selanjutnya untuk memberikan pengertian hukum, Hart cenderung menggunakan istilah kewenangan
(authority), dimana perintah itu tidak untuk menakut-nakuti tetapi untuk menghormatinya. Menerima
dan memahami hukum sebagai perintah saja, tampaknya kurang memberikan gambaran yang
lengkap, karena akan timbul pertanyaan mengenai pertimbangan pemikiran yang terkandung dalam
perintah itu. Hart, lebih cenderung memandang hukum bukan sebagai perintah oleh pihak yang
berkuasa, akan tetapi, sebagai pengaturan penduduk yang berada di dalam wilayah tertentu. Hal ini
sebagaimana dikemukakan: “English law, French law, and the law of any modern country regulates
the conduct of populations inhabiting territories with fairly well-defined geographical limits”.
Hukum dipandang dari fungsinya, yakni mengatur masyarakat. Dalam konsep ini hukum adalah
kaidah-kaidah positif yang berlaku umum in abstracto pada suatu waktu tertentu dan di wilayah
tertentu, dan terbit sebagai suatu produk eksplisit suatu sumber kekuasaan politik tertentu yang
berlegitimasi.
Pada bagian lain Hans Kelsen — sebagai pencetus ajaran teori yang murni tentang hukum —
menyatakan bahwa ilmu hukum adalah ilmu normatif, yang mempelajari tata hukum positif
sebagaimana adanya, tanpa mempersoalkan isi dari yang senyatanya itu, tanpa mempersoalkan baik
buruknya atau adil-tidaknya isi dari tata hukum. Dalam hal ini hukum hanya mengolah secara logis
bahan-bahan hukum positif . Ilmu pengetahuan hukum yang obyektif, yang tidak berat sebelah dan
bersifat universal, menurut Kelsen dapat diperoleh dengan jalan menghilangkan semua unsur-unsur
yang tidak relevan dan memisahkan ilmu hukum dari ilmu-ilmu sosial lainnya . Satu-satunya obyek
penyelidikan ilmu hukum adalah sifat-sifat dari norma-norma yang dibentuk oleh hukum .
Dengan demikian pemikiran John Austin dan Hans Kelsen lebih menekankan penglihatannya
pada hukum sebagai perangkat peraturan-peraturan yang logis dan konsisten. Orang dapat
mempelajari atau mengkaji hukum terlepas dari ikatannya dengan masyarakat tempat ia beroperasi.
Pemikiran tentang hukum seperti ini lebih melihat kedalam, yakni analisis dari sistem dan isi hukum,

13
penafsiran makna-makna dan peraturan dan yang sejenisnya. Inilah cara pandang yang melihat
hukum sebagai suatu sistem yang logis tertutup dan konsisten.
Adanya pandangan positivistik tentang hukum ini, mencari sandarannya pada toeri pragmatik
tentang kebenaran, yang menyatakan suatu teori adalah benar, jika teori itu berfungsi secara
memuaskan. Hal ini akan ditentukan berdasarkan persetujuan dari kelompok orang-orang terhadap
siapa teori itu ditujukan. Jika teori itu di kalangan orang-orang itu memperoleh cukup persetujuan,
maka teori itu akan dianggap benar .
Inti di dalam ilmu menurut pandangan ini adalah hubungan antara subyek dengan subyek.
Teori yang berhasil memperoleh persetujuan yang cukup, menghasilkan sebagai akibatnya
pengetahuan inter-subjektif. Ilmuannya bekerja dari suatu perspektif internal, artinya bahwa ia
mendekati gejala-gejala yang hendak dipelajarinya sebagai soerang partisipan, yang langsung terkait
pada gejala yang dipelajari, yang kedalamnya ia sesungguhnya terlibat.
Pandangan normatif ini mendapat dasar pembenarnya pada model ilmu ideal menurut
Hermeneutik. Penafsiran hermeunetik merupakan metode penafsiran yang berupaya memperoleh
pengertian suatu makna teks dalam konteks historis dan linguistik. Tidak ada pengertian atas suatu
teks yang diperoleh di luar konteks sejarah dan bahasa suatu masyarakat. Sejarah berarti pula
akumulasi tradisi yang pengertiannya dapat diperoleh melalui bahasa sebagai mediasi antara masa
lalu dengan masa kini . Dengan demikian, hermeneutik menghubungkan pemahaman sejarah dengan
tradisi yang berkembang dari dalam suatu teks peraturan perundang-undangan.
Menurut Hermeneutikus yang dipelopori oleh Wihelm Dilthey, ilmuan membangun teori-teori ilmiahnya
sebagai partisipan pada gejala-gejala. Pendekatan eksternal tidaklah mungkin, karena gejala-gejala
yang dipelajari tidak dapat dibawa kembali kepada fakta-fakta yang harus diuji secara empiris.
Relasi inti dalam ilmu-ilmu, menurut Hermeneutikus adalah relasi subyek-subyek. Dalam ilmu
ini berkenaan dengan konfrontasi pandangan-pandangan dari subyek-subyek yang tentang masalah-
masalah yang sama memiliki sesuatu untuk dikatakan (mempunyai pandangan/pendapat untuk
diajukan). Dalam diskusi itu para peserta, masing-masing berdasarkan latar belakangnya sendiri,
berusaha mencapai suatu titik berdiri yang sama (terjadi perbauran cakrawala). Demikianlah dalam
jangka waktu yang panjang, dalam ilmu-ilmu itu terbentuk tradisi yang di dalamnya diskusi tentang
berbagai tematik selalu ditampung dan diolah.
Di Indonesia pemikiran tentang hukum berdasarkan pendekatan normatif ini banyak menyita
perhatian. Hal ini dapat dilihat dalam susunan kurikulum fakultas hukum yang untuk sebagi besarnya
diarahkan kepada penempaan keahlian untuk memahami dan memakaikan peraturan-peraturan yang
berlaku. Hal ini bukanlah suatu keadaan yang terjadi dengan sendirinya, akan tetapi merupakan suatu
tradisi pemikiran yang diwarisi oleh sejarah.

14
Sebagaimana diungkapkan oleh oleh Sartono Kartodirdjo , dibukanya sekolah-sekolah bagi
penduduk pribumi, pada masa pemerintahan Hindia Belanda, didasarkan pada adanya kebutuhan
akan tenaga, baik dalam bidang administrasi maupun dalam berbagai bidang teknik dan kejuruan.
Demikian pula dalam bidang hukum, dibentuknya pendidkan tinggi hukum — sebagai suatu lembaga
pendidikan yang lahir di bawah semanagt politik etik — pada masa pemerintahan Hinda Belanda
dahulu (yang bermula dengan didirikannya Opleidingsschool/ rechtsschool (pendidikan keahlian
hukum) pada tahun 1909, untuk kemudian dirubah menjadi rechthoogeschool (pendidikan hukum
setingkat universitas) pada tahun 1924, menurut Soetandyo , dimaksudkan untuk menyiapkan
tenaga-tenaga terdidik guna mengisi jabatan-jabatan dalam lingkungan kekuasaan kehakiman
landaard. Oleh karena itulah ilmu hukum yang diberikan pada pendidikan tinggi hukum waktu itu pada
hakekatnya merupakan ilmu peradilan. Dalam mempelajari hukum para pelajar menempatkan diri
sebagai hakim dan menggunakan kacamata hakim. Ini menunjukan cara kerja peradilan yang
mempunyai ciri-ciri menghadapi peristiwa-peristiwa individual (kasus), mencari hukumnya dengan
penemuan hukum dan kemudian menerapkannya untuk menyelesaikan suatu konflik . Hal ini hanya
bisa dilakukan apabila mereka mempergunakan optik preskriptif.
Ilmu hukum yang demikian diperlukan, karena bagi para pekerja hukum dituntut adanya
kemampuan untuk memberikan penyelesaian persoalan-persoalan dengan menggunakan dasar
peraturan hukum. Para pekerja hukum ini adalah orang-orang yang sehari-harinya harus melakukan
problem solution serta decision making .
Untuk dapat melakukan tugas itu dengan baik, tentunya mereka harus memihak dengan
hukum positif, yaitu menerima bahwa hukum positif itu adalah peraturan yang harus dijalankan, yang
harus ditaati. Ini merupakan suatu attached-concern terhadap hukum positif. Hal ini dilengkapi
dengan suatu pandangan yang memandang hukum sebagai suatu sistem yang otonom-logis-
konsisten. Hal ini diperlukan agar mereka terampil dalam menafsirkan dan menerapkan peraturan-
peraturan hukum .
Adanya tujuan pendidikan tinggi seperti terungkap di atas tidak dapat dilepaskan dari
masalah-masalah yang dihadapi oleh pemerintah Hindia Belanda, hal mana sedikit banyak
menyangkut politik pemerintahan .
Pada saat itu sebagaimana yang diungkapkan oleh Mochtar Kusumaatmadja , timbul adanya
kebutuhan masyarakat kolonial akan adanya ahli-ahli yang hanya dapat mempertahankan tertib
hukum yang ada, sehingga kepada para sarjana hukum tidak dituntut untuk mengetahui seluk beluk
hukum lebih daripada arti dari peraturan-peraturan hukum itu. Hal ini sejalan dengan tugas ilmu
hukum yang hanya mempertahankan keadaan status quo.
Pengajaran hukum yang demikian, menurut Schyut lebih mempersiapkan orang untuk
memenuhi peranan juridisnya, bukan mengarahkan mereka agar dapat memenuhi peranan sosialnya.

15
Disamping itu dengan pengajaran yang menekankan pada studi teknis dalam penggarapan hukum
positif, akan mendorong para mahasiswa semakin jauh kedalam dunia yang menyendiri yang bersifat
mendetail. Dengan demikian akan terjadi proses keterasingan dari masyarakat dan problem-
problemnya, sehingga yang dihasilkan bukan hanya tukang-tukang dan montir-montir dari mesin
hukum, melainkan sarjana yang tidak mampu secara kreatif menempatkan sistem hukumnya dalam
lingkungan masyarakat.
PEMISAHAN ANTARA HUKUM DAN MORAL : SEBUAH KRITIK TERHADAP TEORI HUKUM
POSITIVISTIK
Salah satu kritik yang dapat diajukan terhadap teori hukum postivistik, dapatlah dilihat dri
sudut apa yang dijadikan oleh penganut teori ini sebagai sumber hukumnya, baik sumber material ,
termasuk di dalamnya masalah normativitas hukum (mengapa hukum ini mengatur?), yang
menyangkut masalah dasar pembenaran hukum (yang memberi nilai dan validitas mudah menyulut
konflik, merupakan pendasaran moral) berarti pembenaran ideologis (teologis) dan simbolis dari
hukum yang berlaku dan akan diberlakukan, maupun sumber formal hukum yang terkait dengan
bentuk legitimasi sistem politik yang berlaku dan pola hubungan moral-hukum.
Kritik yang demikian kuat ditujukan terhadap teori hukum positivistik adalah, bahwa, teori ini di dalam
memandang hubungan antara hukum dan moral selalu mendasarkan pada pola-pola hubungan
sebagai berikut:
Pertama, meskipun teori hukum positivistik menempatkan moral sebagai bentuk yang mempengaruhi
hukum. Dalam hal ini moral tidak lain hanya bentuk yang memungkinkan hukum mempunyai ciri
universalitas. Sebagai bentuk, moral belum mempunyai isi. Sebagai gagasan masih menantikan
pewujudan. Pewujudan itu adalah rumusan hukum positif. Akan tetapi teori hukum positivistik,
memandang hubungan moral sebagai jiwa hukum ini diwujudkan dalam pola dimana moral hanya
ditempatkan sebagai perjalanan sejarah nyata, antara lain hukum positif yang berlaku, sanggup
memberi bentuk moral dan eksistensi kolektif.
Pewujudan cita-cita moral tidak hanya dipahami sebagai cakrawala yang tidak mempunyai eksistensi
(kecuali dalam bentuk gagasan). Dalam pola kedua ini, pewujudan moral tidak hanya melalui tindakan
moral, tetapi dalam perjuangan di tengah-tengah pertarungan kekuatan dan kekuasaan, tempat di
mana dibangun realitas moral (partai politik, birokrasi, hukum, institusi-institusi, pembagian sumber-
sumber ekonomi).
Selain daripada itu teori hukum positivistik mendasarkan pada pemahama, bahwa satu-satunya cara
untuk menjamin kesinambungan antara moral dan hukum atau kehidupan konkret adalah
menerapkan pemahaman kehendak sebagai kehendak murni. Implikasinya akan ditatapkan pada dua
pilihan yang berbeda: Di satu pihak, pilihan reformasi yang terus-menerus. Pilihan ini merupakan
keprihatinan agar moral bisa diterapkan dalam kehidupan nyata, tetapi sekaligus sangsi akan

16
keberhasilannya. Maka yang bisa dilakukan adalah melakukan reformasi terus-menerus. Di lain
pihak, pilihan berupa revolusi puritan. Dalam revolusi puritan, misalnya Taliban di Afganistan, ada
kehendak moral yang yakin bahwa penerapan tuntutan moral itu bisa dilakukan dengan
memaksakannya kepada semua anggota masyarakat. Kecenderungannya ialah menggunakan
metode otoriter.
Kedua, teori hukum positivistik di dalamnya mengandung pula unsur-unsur pemahaman, yang
menempatkan moral sebagai sesuatu yang di luar politik dan tidak dapat direduksi menjadi politik.
Moral dilihat sebagai suatu bentuk kekuatan yang tidak dapat dihubungkan langsung dengan sejarah
atau politik kecuali dengan melihat perbedaannya. Dalam hal ini teori hukum positivistik menganut
pola hubungan antara moral dan hukum dimana politik dikaitkan dengan campur tangan suatu
kekuatan dalam sejarah. Kekuatan ini adalah tindakan kolektif yang berhasil melandaskan diri pada
mesin institusional.
Moral dianggap sebagai salah satu dimensi sejarah, sebagai etika konkret bukan hanya bentuk dari
tindakan. Dengan demikian moral berbagi lahan dengan politik. Di satu pihak, moral hanya bisa
dipahami melalui praktik politik. Melalui politik itu moral menjadi efektif: melalui hukum, lembaga-
lembaga negara, upaya-upaya dalam masalah kesejahteraan umum. Tetapi, moral tetap tidak bisa
direduksi ke dalam politik. Di lain pihak, politik mengakali moral. Sampai pada titik tertentu, politik
(dalam arti ambil bagian dalam permainan kekuatan) hanya mempermainkan moral karena politik
hanya menggunakan moral untuk mendapatkan legitimasi dari masyarakat.
Dengan pemetaan pola hubungan moral-hukum, dapatlah diketahui bagaimana pola hubungan antara
hukum dengan moral yang hendak dibentuk oleh teori hukum positivistik.
Dengan mendasarkan pada pola “moral diwujudkan melalui perjuangan dalam pertarungan kekuatan
dan kekuasaan”, teori hukum positivistik pada dasarnya tidak bisa melepaskan diri dari proses
legitimasi sistem politik yang berlaku. Pengaruh moral akan sangat tergantung pada kemenangan
partai yang membawa aspirasi moral yang bersangkutan dan pada politikus-politikus pemegang
kekuasaan. Secara politis masuknya aspirasi moral tertentu dalam penerapan sistem hukum negara
melalui cara ini legitim, tetapi akan meminggirkan atau mengabaikan aspirasi kelompok minoritas.
Pola inilah yang saat ini sedang berlangsung di Indonesia dan rentan terhadap konflik.Tuntutan
understandability dan communicability penting, tetapi bisa diabaikan karena dengan mayoritas suara
tidak terlalu sulit menggolkan aspirasinya.
Selanjutnya dengan dianutnya pola “voluntarisme moral dengan cara revolusi puritan”, maka teori
hukum positivistik pada dasarnya lebih mengandalkan pada reformasi moral terus-menerus memberi
peluang kepada semua pihak untuk ikut menyumbangkan di dalam pembangunan sistem hukum
negara melalui perdebatan teoretis, debat tentang nilai dan diskusi tentang prioritas yang selalu

17
diperbarui. Maka tuntutan understandability dan communicability menjadi syarat utama. Sedangkan
pola ketiga yang memiliki revolusi puritan arahnya jelas pada pemaksaan dan kekerasan.
Selanjutnya dengan dianutnya pola hubungan yang memandang “politik tidak lepas dari suatu
kekuatan sejarah”, yang pada dasarnya tidak jauh berbeda dengan pola “moral diwujudkan melalui
perjuangan dalam pertarungan kekuatan dan kekuasaan”, teori hukum positivistik memandang
bahwa, perjuangan moral harus melalui perjuangan di tengah pertarungan kekuatan dan kekuasaan,
hanya moral tidak lebur dalam politik dan hukum, tetapi mengambil jarak dan berbagi lahan. Dengan
demikian kegagalan sistem politik dan hukum tidak bisa dikatakan sebagai kegagalan moral..
Dengan mendasarkan pada pemahamn yang demikian, maka teori hukum positivistik pada dasarnya
tidak menerima begitu saja psinsip “yang legal belum tentu moral”. Positivisme hukum yang semata-
mata lebih mengutamakan aspek kepastian hukum yang akan dibentuk dan terbetuk melalui
kekuasaan, acapkali memang tidak mengindahkan sama sekali aspek-aspek moral.
Pada abad ke XV-XVI, digambarkan ketidakberdayaan moral di dalam politik. Machiavelli dalam The
Prince menolak mendasarkan politik atas hak dan hukum. Dia menyatakan, tidak ada hukum kecuali
kekuatan yang dapat memaksakannya. Hanya sesudahnya hak dan hukum akan melegitimasi
kekuatan itu. Hukum adalah nama yang diberikan a posteriori oleh penguasa pada kelupaan atas
asal-usul kekuasaan. Asal kekuasaan adalah kekerasan. Dalam politik, kekuatan menentukan,
sedangkan moralitas tidak berdaya. Machiavelli menghapuskan jarak antara hukum dan kekuatan.
Dengan nuansa positivisme hukum yang lebih kental, Thomas Hobbes menyatakan, “Perjanjian tanpa
pedang hanyalah kata-kata kosong” (Leviathan XVIII). Menurut Hobbes, harus ada penguasa yang
kuat untuk bisa memaksakan hukum. Hukum kodrat tidak mempunyai kekuatan dan tidak menuntut
kewajiban sehingga membiarkan individu dalam keadaan perang satu melawan yang lain. Hal ini pun
didukung oleh filosof-filosof positivisme, antra lain pandangan : pertama Trasymachus yang
menyatakan bahw, hukum merupakan kendaraan untuk kepentingan-kepentingan mereka yang kuat;
Kedua, pendapat Machiavelli memperlihatkan, hukum tidak lain kecuali alat legitimasi kekuasaan dan
dalam arti tertentu menjadi alat pembenaran kekerasan, dan; Ketiga, perspektif Hobbes
menunjukkan, hukum tak berdaya bagi mereka yang tidak mempunyai kekuatan atau yang dalam
posisi lemah.
Selain daripada itu pada saat ini masyarakat Indonesia sedang berada dalam arus perubahan yang
terjadi secara cepat dan cukup mendasar. Terjadinya perubahan dari masyarakat yang semula
bebasis agraris menuju masyarakat industri, tentunya akan selalu diikuti oleh penyesuain pada segi
kehidupan hukumnya, baik itu berupa hukum positipnya maupun penyesuaian di bidang teori dan
konsepsi serta pengertian-pengertian.
Dalam abad 20 ini susunan masyarakat menjadi semakin kompleks, spesialisasi dan pemencaran
bidang-bidang dalam masyarakat semakin intensif berkembang dan maju. Dengan demikian

18
pengaturan yang dilakukan oleh hukum juga harus mengikuti perkembangan keadaan yang demikian.
Pada sisi lainnya sebagai suatu bangsa yang merdeka, maka bangsa Indonesia merupakan subyek
hukum yang merdeka pula. Artinya sebagai suatu bangsa, bangsa Indonesia terlibat penuh ke dalam
aspek penyelenggaraan hukum, mulai dari pembuatan sampai pelaksanaannya. Hal ini tentunya
berbeda dengan kehidupan hukum di masa Hindia Belanda. Pada masa itu bangsa Indonesia tidaklah
mempunyai tanggung jawab sepenuhnya dalam masalah perencanaan, pembangunan, pemeliharaan
dan penegakan hukumnya. Bangsa Indonesia hanya menjadi penonton pinggiran dan menjadi obyek
kontrol dari hukum, segala keputusan dan strategi pembanguan hukum ditentukan oleh pemerintah
Kerajaan Belanda .
Sejalan dengan itu mulai muncullah tuntutan-tuntutan agar hukum dapat dipakai sebagai alat untuk
melakukan perubahan-perubahan atau pengarahan-pengarahan sesuai dengan politik pembangunan
negara. Dengan demikian persoalan hukum sekarang ini bukannya lagi persoalan tentang legalitas
formal, tentang penafsirannya serta penerapan pasal-pasal undang-undang secara semestinya,
melainkan bergerak kearah penggunaan hukum secara sadar sebagai sarana untuk turut menyusun
tata kehidupan baru .(Rahardjo, 1977 : 16). Ia tidak dapat lagi memandang hukum hanya sebagai
suatu sistem logik dan konsisten, yang terpisah dari lingkungan sosialnya, akan tetapi harus melihat
hukum sebagai suatu lembaga yang selalu terkait kepada tatanan masyarakatnya, ia selalu dituntut
untuk lebih memberi perhatian perkaitan antara hukum dengan kenyataan-kenyataan sosial yang
hidup.
Kelemahan yang paling mendasar dalam aliran filasafat positivistik adalah, bahwa ia tidak mampu
“memotret” atau menjelaskan realitas hukum secara holistik, dalam konteks law as a great
anthropological monument”. Para yuris profesional dan mereka yang berpandangan normatif, tidak
mampu melihat kebenaran, bahwa hukum itu merupakan suatu monumen anthropologi. Ia cenderung
untuk mereduksinya ke dalam “peraturan dan logika” (rule and logic), serta mengacu pada norma-
norma dari pada aksi atau peristiwa. dan dengan demikian menjadikan gambar yang benar dan
lengkap mengenai hukum menjadi cacat (distorted). Melalui pendekatan normatif profesional, hanya
mampu melihat secara hitam putih, tidak dapat melihat kebenaran yang lebih lengkap mengenai apa
yang terjadi dalam praksis kontrol sosial. Melalui pendekatan positivistis-normatif profesional, kita
hanya akan menemukan keharusan-keharusan dan bukan kebenaran.
KESIMPULAN
Berdasarkkan pada pembahasan di atas, maka dapatlah disimpulkan hal-hal sebagai berikut :
1. Teori hukum positivistik lebih menekankan penglihatannya pada hukum sebagai perangkat
peraturan-peraturan yang logis dan konsisten. Dalam hal ini ilmu hukum, dimaksudkan sebagai
sebuah perangkat teoretik untuk melakukan penyelidikan hukum apa adanya. Ilmu hukum adalah ilmu
normatif, yang mempelajari tata hukum positif sebagaimana adanya, tanpa mempersoalkan isi dari

19
yang senyatanya itu, tanpa mempersoalkan baik buruknya atau adil-tidaknya isi dari tata hukum.
2. Para panganut teori hukum positivistik di dalam menegakkan hukum mendasarkan pada optik yang
bersifat perskriptif, yaitu suatu optik yang memihak pda hukum positif, yaitu menerima bahwa hukum
positif itu adalah peraturan yang harus dijalankan, yang harus ditaati. Ini merupakan suatu attached-
concern terhadap hukum positif. Selain itu Teori hukum positivistik yang mendsrtkan pada logika
deduktif, mencari sandarannya pada toeri pragmatik tentang kebenaran
3. Kelemahan yang paling mendasar dalam aliran filsafat hukum positivistik adalah : pertama, ia
memisahkan hubungan antara moral dan hukum; kedua, ia tidak mampu menjelaskan realitas hukum
secara lebih holistik, sehingga orang akan mempelajari atau mengkaji hukum terlepas dari ikatannya
dengan masyarakat tempat ia beroperasi.
Agustin E. Ferraro, Book Review-Kelsen’s Highest Moral Ideal, German Law Journal No. 10 (1
October 2002).
Nicoletta Bersier Ladavac, Hans Kelsen (1881–1973): Biographical Note and Bibliography, Thémis
Centre d’Etudes de Philosophie, de Sociologie et de Théorie du Droit, 8, Quai Gustave-Ador, Genéve.
Ferraro, Op.Cit., Ladavac, Op.Cit.
Ibid.
Ian Stewart menyebut karya Kelsen lebih dari 300 buku dalam tiga bahasa. Lihat, Ian Stewart, The
Critical Legal Science of Hans Kelsen, Journal of Law and Society, 17 (3), 1990, hal. 273–308.
Ferraro, Op.Cit., Ladavac. Op.Cit.
Zoran Jelić, A Note On Adolf Merkl’s Theory Of Administrative Law, Journal Facta Universitatis,
Series: Law and Politics, Vol. 1, No. 2, 1998, hal. 147. Bandingkan dengan Michael Green, Hans
Kelsen and Logic of Legal Systems, 54 Alabama Law review 365 (2003), hal. 368.
W. Friedmann, Teori & Filasafat Hukum: Telaah Kritis Atas Teori-Teori Hukum (Susunan I), Judul Asli:
Legal Theory, Penerjemah: Mohamad Arifin, Cetakan Kedua, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,
1993), hal. 170.
Green, Op.Cit., hal. 366.
Stanley L. Paulson, On Kelsen’s Place in Jurispruden, Introduction to Hans Kelsen, Introduction To
The Problems Of Legal Theory; A Translation of the First Edition of the Reine Rechtslehre or Pure
Theory of Law, Translated by: Bonnie Litschewski Paulson and Stanley L. Paulson, (Oxford: Cla-
rendon Press, 1992), hal. xxvi.
Ibid.
Hans Kelsen, General Theory of Law and State, translated by: Anders Wedberg, (New York: Russell &
Russell, 1961).
Hans Kelsen, Introduction, Op.Cit.

20
Hans Kelsen, Pure Theory Of Law, Translation from the Second (Revised and Enlarged) German
Edition, Translated by: Max Knight, (Berkeley, Los Angeles, London: University of California Press,
1967).
Kelsen, General Theory, Op.Cit., hal. xiv–xvi.
DAFTAR PUSTAKA
A.A.G Peters dan Koesriani Siswosoebroto (Ed.). 1988. Hukum dan Perkem-bangan Sosial : Buku
Teks Sosiologi Hukum (Buku II). Jakarta : Pustaka Sinar harapan.
Arief B. Sidharta, . 1989. Teori Murni Tentang Hukum. dalam Lili Rasjidi dan B. Arief Sidharta
(penyunting). Filsafat Hukum Mazhab dan Refleksinya. Bandung : Remadja Karya.
Bruggink, J.J.H. 1996. Refleksi Tentang Hukum. Alih Bahasa oleh B. Arief Sidharta. Bandung : Citra
Aditya Bakti.
Charles Sampford, 1989. The Disorder of Law, Critique of Legal Theory, Basil Blackwell.
Costas Douzinas (et.al.), Postmodern Jurisprudence: The Law of Text in the Texts of Law, New York:
Routledge, 1991,
Daniel Little, Varieties of Social Explanation: An Introduction to the Philosophy of Social Science,
Oxford: Westview Press, 1991.
John Hart Ely, Democracy and Distrust: A Theory of Judicial Review, Cambridge, Mass.: Harvard
University Press, 1980.
H.L.A. Hart, 1961. The Concept of Law, Oxford University Press.
Haryatmoko, 2001. Hukum dan Moral dalam Masyarakat Majemuk, ttp://tumasouw.
tripod.com/special/hukum_moral_dlm_masyarakat_majemuk.htm, Selasa, 10 Juli 2001
Mochtar Kusumaatmadja. 1986. Pembinaan Hukum Dalam rangka Pembangunan Nasional. Bandung
: Lembaga Penelitian Hukum dan Kriminologi Fakultas Hukum Universitas Padjajaran.
Nobert Rouland. 1992. Antropologi Hukum. Ditejemahkan oleh Paul W. Suleman. Yogyakarta :
Penerbit Universitas Atma Jaya Yogyakarta.
Paton, G. W. tt. Jurisprudence. diterjemahkan oleh Arief, S. Surabaya : Pustaka Tinta. Mas.
Ronals Dworkin, Law’s Empire, Cambridge, Mass.: Harvard University Press, 1986.
Sartono Kartodirdjo. 1992. Pengantar Sejarah Indonesia Baru : Sejarah Pergerakan Nasional (dari
Kolonialisme Sampai Nasionalisme. Jilid II. Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama.
Satjipto Rahardjo, 1986. Ilmu Hukum, Alumni, Bandung.
______________, 1989. Sistem Peradilan Pidana Dalam Wacana Kontrol Sosial”, dalam Jurnal
Hukum Pidana dan Kriminologi, Volume I/Nomor 1/1998,
______________. 1983. Permasalahan Hukum di Indonesia. Bandung : Alumni .
______________. 1977. Pemanfaatan Ilmu-ilmu Sosial bagi Pengembangan Ilmu Hukum. Bandung :
Alumni.

21
Soerjono Soekanto. 1989 Kegunaan Sosiologi Hukum Bagi Kalangan Hukum. Bandung. Citra Aditya
Bakti.
Soetandjo Wignyosoebroto, 1989. Tipologi Penelitian Hukum, Makalah dalam pelatihan penelitian
hukum. diselenggrakan oleh Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 23-29 Maret 1989.
_____________________. 1994. Dari Hukum Kolonial ke Hukum Nasional : Dinamika Sosial-Politik
dalam Perkembangan Hukum Indonesia, Jakarta : Rajawali Pers.
Sudikno Mertokusum. 1992. Beberapa Aspek Perkembangan Hukum Perdata Tertulis. Majalah Gelora
Hukum, No. II/1992. Surakarta : Fakultas Huku Universitas Muhammadiyah Surakarta.
Theo Huijbers, 1991. Filsafat Hukum, Kanisius, Yogyakarta.
W.Friedmann, 1967. Legal Theory, Columbia University Press, New York

DIPOSTING OLEH QITRI CENTER DI 01.06

22

Anda mungkin juga menyukai