Anda di halaman 1dari 18

IBADAH HAJI DALAM PANDANGAN ORIENTALIS

Makalah Ini Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas

Mata Kuliah Kajian Orientalis Tentang Al-Qur’an

Dosen: Dr. H. Bukhori Abdul Shomad, S.Ag., MA

Disusun Oleh:

Lu’lu’il Maftukhah 2131030037

Muhammad Faqih Robbani 2131030015

PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI RADEN INTAN LAMPUNG

2024/2025
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat serta karunia-
Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas makalah ini dengan tepat waktu.
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas mata kuliah
Kajian Orientalis Tentang Al-Qur’an. Selain itu makalah ini juga bertujuan untuk
memberikan informasi dan wawasan mengenai Kajian Orientalis Tentang Al-Qur’an bagi
para pembaca dan juga bagi penulis.

Kami mengucapkan terima kasih kepada Bapak Dr. H. Bukhori Abdul Shomad,
S.Ag., MA selaku Dosen Pengampu mata kuliah Kajian Orientalis Tentang Al-Qur’an
yang telah memberikan tugas ini dan kami mengucapkan terima kasih kepada semua
pihak yang telah membantu dalam menyelesaikan makalah ini dengan baik. Dengan
adanya makalah ini kami berharap kepada teman-teman dapat memahami, mempelajari
dan mendiskusikan materi di dalam makalah ini.

Karena keterbatasan suatu pengetahuan dan pengalaman, kami menyadari bahwa


makalah ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu, kami mengharap kritik dan saran
yang bersifat membangun agar kedepannya kami dapat memperbaiki ataupun menambah
bentuk isi dari makalah agar menjadi lebih baik lagi, dan semoga makalah ini dapat
bermanfaat bagi kita semua.

Bandar Lampung, 15 Maret 2024

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.................................................................................................. i

DAFTAR ISI................................................................................................................ ii

BAB I: PENDAHULUAN

A. Latar Belakang.................................................................................................. iii


B. Rumusan Masalah............................................................................................. iv
C. Tujuan............................................................................................................... iv

BAB II: PEMBAHASAN

A. Pengertian Haji................................................................................................. 1
B. Sejarah Singkat Ibadah Haji............................................................................. 2
C. Ayat-Ayat Tentang Haji................................................................................... 3
D. Pandangan Orientalis Mengenai Ibadah Haji................................................... 5

BAB III: PENUTUP

A. Kesimpulan....................................................................................................... 12

DAFTAR PUSTAKA................................................................................................... 13

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Islam merupakan agama yang paling banyak pemeluknya di sebagian besar belahan
dunia. Agama ini menjadi daya tarik tersendiri bagi para peneliti dan sejarawan untuk
dikaji dan diteliti hakikatnya, ritual-ritualnya dan hal-hal lain yang terdapat didalamnya.
Islam sendiri memberi ketenangan rohani bagi pemeluknya dalam setiap pelaksaan
ibadah atau ritual keagamaan. Haji termasuk dalam rukun Islam, rukun Islam sendiri
merupakan simbol bahwa seorang muslim benar-benar menjadi muslim ketika dia
menjalankan kelima rukun ini dan menghayati makna-maknanya, serta menerapkan apa
yang mereka hayati itu dalam kehidupan sehari-hari.

Ritus ibadah haji atau disebut dengan perjalanan suci ke Makkah merupakan kegiatan
keagamaan yang melibatkan segala aspek dari indrawi dan fungsi tubuh dalam diri
manusia. Ibadah haji tidak cukup dengan aspek internal yang berada dalam diri seorang
melainkan dalam ibadah haji membutuhkan obyek-obyek eksternal yang disebut dengan
fasilitas haji, seperti Masjidil Haram, Ka’bah, Shafa, Marwah dan beberapa aspek
material yang meliputi syarat-syarat syah dan rukun-rukun haji sebagaimana yang
disepakati oleh para ulama Fuqaha.

Ibadah haji kemudian menjadi pertanyaan, apakah ritus ibadah ini sesuai dengan nalar
psikologis jika dilihat dengan bertumbuh kembangnya keilmuan saat ini. Tentu jika
ibadah haji dilihat hanya sebagai ibadah yang diperintahkan oleh Tuhan tentu
menimbulkan problem baru. Dimana sejak abad ke 20, para ilmuan Barat berlomba-
lomba merekonstruksi pemikiran ke arah yang logis dan kritis.

Menurut penulis sendiri, ibadah haji merupakan sebuah rutinitas untuk mendekatkan
diri kepada Allah melalui berbagai gerakan yang semuanya mengandung hal-hal yang
mengingatkan kita akan kekuasaan Allah. William R. Roff, dalam bukunya Richard C.
Martin (2010), berpendapat bahwa ritual dalam ibadah haji merupakan simbol kehidupan

iii
seorang muslim dimana simbol tersebut merupakan cara manusia menambah
keimanannya setelah menghayati arti dari simbol-simbol tersebut.

Dengan adanya pendapat William R. Roff ini, hal tersebut hendaknya menjadi acuan
dan contoh bagi para peneliti dan sejarawan untuk mengkaji tentang Islam dan simbol-
simbol yang ada dalam setiap ritual keagamaan, karena dia menjelaskan dengan
gamblang tentang metode yang bisa digunakan dalam penelitian suatu agama.

Dibawah ini, penulis akan menjelaskan tentang pandangan William R. Roff


khususnya dalam memaknai ibadah haji.

B. Rumusan Masalah
1. Apa makna dari ibadah Haji?
2. Bagaimana pandangan orientalis mengenai ibadah Haji?

C. Tujuan
1. Mengetahui apa makna dari ibadah haji.
2. Mengetaui bagaimana pandangan orientalis mengenai ibadah haji.

iv
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Haji

Haji secara etimologis berasal dari bahasa Arab yaitu: al-hajju yangberarti: al-qashdu
yaitu menyengaja atau menuju, bermaksud, berniat pergi atau berniat untuk mendatangi
seseorang yang dipandang mulia. Adapun yang dimaksud dengan berniat dalam
pengertian ini ialah berniat untuk melakukan sesuatu yang baik di tempat tertentu, karena
tempat itu dipandang mulia atau terhormat. Secara terminologis, haji adalah apabila
seseorang mengunjungi orang lain yang dipandang mulia atau terhormat. 1 Dalam Islam
maknanya “melakukan ibadah haji”, yaitu datang ke Baitullah dan melakukan ibadah-
ibadah tertentu di sana, dimulai dari berpakaian ihram, lalu berdiam (wuquf) di Arafah,
dilanjutkan dengan melontar jumrah di Mina, ṭawaf, kemudian saʻi, dan di akhiri dengan
mencukur rambut (tahallul).2 Definisi lain mengatakan bahwa haji adalah suatu amalan
yang dengan sengaja untuk mengunjungi Baitullah atau rumah Allah dengan syarat dan
rukun tetentu.3

Ibadah haji memiliki beberapa keunikan. Pertama, ibadah ini hanya bisa dilaksanakan
di tempat dan pada masa yang telah ditentukan. Kedua, jika syahadat merupakan ibadah
lisan, puasa merupakan ibadah fisik, zakat merupakan ibadah harta, dan ṣalat merupakan
ibadah gerakan fisik dan lisan, tetapi ibadah haji merupakan gabungan dari berbagai
ibadah tersebut, yaitu mencakup ibadah harta, gerakan fisik dan lisan. Ketiga, ibadah haji
banyak mengandung simbol-simbol yang setiap jamaʻah haji sebaiknya mampu
menangkap simbol-simbol tersebut sehingga ia mampu menangkap esensi pelaksanaan
ibadah haji. Keempat, ibadah ini banyak mengandung unsur-unsur pendidikan yang akan
membawa seorang muslim ke arah kesempurnaan iman dalam rangka pembentukan
pribadi muslim seutuhnya. Kelima, ibadah haji dapat menumbuhkan rasa kecintaan

1
Suyadi. 2011. Kajian Yuridis Terhadap Jamaah Haji Sebagai Konsumen Jasa Pelayanan
Penyelenggaraan Ibadah Umroh dan Haji Plus Berdasarkan UU Nomor 8 Tahun 1999 Tentang
Perlindungan Konsumen, Artikel Jurnal, SAINTEKS. Vol. 7, No 2. UMP. Purwokerto. hal. 47-48.
2
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Tafsirnya, Jilid 1 (Jakarta: PT. Karya Toha Putra, cet. 3, 2009), h.
293
3
M. Ash-Shiddieqy, Pedoman Haji, (Jakarta: Bulan Bintang, 1994), 14.

1
kepada Rasulullah saw, dan para sahabat beliau, karena tempat-tempat yang dikunjungi
dalam pelaksanaan ibadah haji adalah tempat-tempat yang menjadi awal pertumbuhan
Islam.

B. Sejarah Singkat Ibadah Haji

Ibadah haji sudah ada sebelum diutusnya Nabi Muhammad SAW, khususnya pada
masa Nabi Ibrahim AS (1861-1686 SM). Nabi Ibrahim AS bersama dengan putranya,-
Ismail, bersama-sama membangun Ka'bah hingga mencapai ketinggian 7 hasta. Dengan
petunjuk dari malaikat Jibril, mereka meletakkan posisi Hajar Aswad sesuai perintah
Allah swt. kemudian Ibrahim membuat dua pintu Ka'bah. Pintu pertama terbuka ke arah
timur dan pintu kedua terbuka ke arah barat. Setelahnya mereka berdua menunaikan
ibadah haji atas perintah Allah.

Menurut beberapa sumber, Nabi Adam As telah melaksanakan haji dengan cara tawaf
(mengelilingi Ka’bah) setelah membangun Ka’bah di Mekkah. Pada masa Nabi Adam
As, pelaksanaan ibadah haji tentu masih sangat sederhana. Menurut Abu Hurairah yang
diperkuat oleh Muhammad bin al-Munkadar dan Ibn Abu Lubaid alMadani, Adam
melaksanakan ibadah haji setelah selesai membangun Ka’bah. Ketika itu Nabi Adam
dibimbing oleh Malaikat, baik mengenai tata cara pelaksanaan iabadah haji maupun
ucapan doanya. Ibnu Abbas menambahkan bahwa Nabi Adam melaksanakan tawaf
sebanyak tujuh putaran. Lebih lanjut Abdullah bin Abi Sulaiman meriwayatkan bahwa
setelah Nabi Adam menyelesaikan tawaf, ia kemudian mengerjakan sholat dua rakaat di
depan pintu Ka’bah dan diakhiri dengan doa di pintu multazam. Selaian Nabi Adam
disebutkan juga bahwa beberapa nabi lain juga pernah melaksanakan ibadah haji ke
Baitullah. Seperti Nuh, Hud, Shaleh, dan Syu’aib.4

Setelah sepeninggal Nabi Ibrahim AS, banyak penyelewengan ibadah haji yang
dilakukan. Belum lagi Ka'bah yang sering dijadikan tempat maksiat. Karena itu, Allah
memerintahkan Nabi Muhammad SAW untuk mengembalikan tempat dan tata cara
berhaji agar sesuai dengan ajarannya semula.

4
M. Shaleh Putuhena, Historiografi Haji Indonesia, (Yogyakarta: LKiS 2007), 21.

2
Ibadah ini baru diwajibkan kembali kepada umat Nabi Muhammad pada tahun ke-6
hijriah (ada juga yang menyebutkan pada tahun ke-3 atau 5 hijriah) melalui firman Allah
SWT:

"Padanya terdapat tanda-tanda yang nyata, (di antaranya) makam Ibrahim, barang
siapa memasukinya (baitullah itu) menjadi amanlah dia. Mengerjakan haji menuju
baitullah adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) yang sanggup
mengadakan perjalanan ke sana. Barangsiapa yang mengingkari (kewajiban haji), maka
sesungguhnya Allah Maha kaya dari semesta alam" (QS Ali Imran: 97).

Sejarah singkat di atas, sedikit menggambar bahwa risalah yang pernah dibawa oleh
para nabi sehingga sampai kepada Rasulullah mengalami perubahan aktualisasi naun
tidak menghilangkan esensi dari nilai ajaran tesebut. Begitu pula ajaran atau risalah yang
di bawa oleh Rasulullah tehadap sahabat, tabi'in sehingga sampai kepada ulama. Ulama
terdahulu tidak menginginkan prodak hukum yang dihasilkan pada saat itu dijadikan
sebagai hukum yang tidak bisa diubah, melainkan mengajarkan bahwa hukum akan
berubah sesaui dengan situasi dan kondisi yang dibutuhkan.

C. Ayat-ayat tentang Haji


1. Surah al-Hajj ayat 27

‫َو َاِّذ ْن ِفى الَّناِس ِباْلَح ِّج َيْأُتْو َك ِر َج ااًل َّوَع ٰل ى ُك ِّل َض اِم ٍر َّيْأِتْيَن ِم ْن ُك ِّل َفٍّج َع ِم ْيٍقۙ َو َاِّذ ْن ِفى الَّناِس ِباْلَح ِّج‬
‫ۙ َيْأُتْو َك ِرَج ااًل َّوَع ٰل ى ُك ِّل َض اِم ٍر َّيْأِتْيَن ِم ْن ُك ِّل َفٍّج َع ِم ْيٍق‬

Artinya: Dan serulah manusia untuk mengerjakan haji, niscaya mereka akan datang
kepadamu dengan berjalan kaki, atau mengendarai setiap unta yang kurus, mereka datang
dari segenap penjuru yang jauh.

2. Surah al-Baqarah ayat 189

‫اَاْلِهَّلِةۗ ُقْل ِهَي َم َو اِقْيُت ِللَّناِس َو اْلَح ِّجۗ َو َلْيَس اْلِبُّر ِبَاْن َتْأُتوا اْلُبُيْو َت ِم ْن ُظُهْو ِر َها َو ٰل ِكَّن‬ ‫َيْس َٔـُلْو َنَك َع ِن‬
‫َو ْأُتوا اْلُبُيْو َت ِم ْن َاْبَو اِبَهاۖ َو اَّتُقوا َهّٰللا َلَع َّلُك ْم ُتْفِلُحْو َن‬ ‫اْلِبَّر َمِن اَّتٰق ۚى‬

Artinya: Mereka bertanya kepadamu (Muhammad) tentang bulan sabit. Katakanlah, “Itu
adalah (penunjuk) waktu bagi manusia dan (ibadah) haji.” Dan bukanlah suatu kebajikan

3
memasuki rumah dari atasnya, tetapi kebajikan adalah (kebajikan) orang yang bertakwa.
Masukilah rumah-rumah dari pintu-pintunya, dan bertakwalah kepada Allah agar kamu
beruntung.

3. Surah al-Baqarah ayat 196

‫َو َاِتُّم وا اْلَح َّج َو اْلُع ْمَر َة ِهّٰلِلۗ َفِاْن ُاْح ِص ْر ُتْم َفَم ا اْسَتْيَسَر ِم َن اْلَهْدِۚي َو اَل َتْح ِلُقْو ا ُرُءْو َس ُك ْم َح ّٰت ى َيْبُلَغ اْلَهْد ُي‬
‫َم ِح َّلٗه ۗ َفَم ْن َك اَن ِم ْنُك ْم َّم ِر ْيًضا َاْو ِبٖٓه َاًذ ى ِّم ْن َّر ْأِس ٖه َفِفْد َيٌة ِّم ْن ِص َياٍم َاْو َص َد َقٍة َاْو ُنُس ٍك ۚ َفِاَذ ٓا َاِم ْنُتْم ۗ َفَم ْن‬
ۗ ‫َتَم َّتَع ِباْلُع ْمَر ِة ِاَلى اْلَح ِّج َفَم ا اْسَتْيَسَر ِم َن اْلَهْدِۚي َفَم ْن َّلْم َيِج ْد َفِص َياُم َثٰل َثِة َاَّياٍم ِفى اْلَح ِّج َو َس ْبَعٍة ِاَذ ا َر َج ْع ُتْم‬
‫ِتْلَك َع َش َر ٌة َك اِم َلٌةۗ ٰذ ِلَك ِلَم ْن َّلْم َيُك ْن َاْهُلٗه َح اِض ِر ى اْلَم ْس ِج ِد اْلَح َر اِم ۗ َو اَّتُقوا َهّٰللا َو اْع َلُم ْٓو ا َاَّن َهّٰللا َش ِد ْيُد‬
‫ࣖ اْلِع َقاِب‬

Artinya: Dan sempurnakanlah ibadah haji dan umrah karena Allah. Tetapi jika kamu
terkepung (oleh musuh), maka (sembelihlah) hadyu yang mudah didapat, dan jangan
kamu mencukur kepalamu, sebelum hadyu sampai di tempat penyembelihannya. Jika ada
di antara kamu yang sakit atau ada gangguan di kepalanya (lalu dia bercukur), maka dia
wajib berfidyah, yaitu berpuasa, bersedekah atau berkurban. Apabila kamu dalam
keadaan aman, maka barangsiapa mengerjakan umrah sebelum haji, dia (wajib
menyembelih) hadyu yang mudah didapat. Tetapi jika dia tidak mendapatkannya, maka
dia (wajib) berpuasa tiga hari dalam (musim) haji dan tujuh (hari) setelah kamu kembali.
Itu seluruhnya sepuluh (hari). Demikian itu, bagi orang yang keluarganya tidak ada
(tinggal) di sekitar Masjidilharam. Bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa
Allah sangat keras hukuman-Nya.

4. Surah al-Baqarah ayat 197

‫َاْلَح ُّج َاْش ُهٌر َّم ْع ُلْو ٰم ٌت ۚ َفَم ْن َفَر َض ِفْيِهَّن اْلَح َّج َفاَل َر َفَث َو اَل ُفُسْو َق َو اَل ِج َداَل ِفى اْلَح ِّجۗ َو َم ا َتْفَع ُلْو ا ِم ْن‬
‫َخْيٍر َّيْع َلْم ُه ُهّٰللاۗ َو َتَز َّو ُد ْو ا َفِاَّن َخْيَر الَّز اِد الَّتْقٰو ۖى َو اَّتُقْو ِن ٰٓيُاوِلى اَاْلْلَباِب‬

Artinya: (Musim) haji itu (pada) bulan-bulan yang telah dimaklumi. Barangsiapa
mengerjakan (ibadah) haji dalam (bulan-bulan) itu, maka janganlah dia berkata jorok
(rafats), berbuat maksiat dan bertengkar dalam (melakukan ibadah) haji. Segala yang baik
yang kamu kerjakan, Allah mengetahuinya. Bawalah bekal, karena sesungguhnya sebaik-

4
baik bekal adalah takwa. Dan bertakwalah kepada-Ku wahai orang-orang yang
mempunyai akal sehat!

5. Surah Ali Imran ayat 97

ۗ ‫ِفْيِه ٰا ٰي ٌۢت َبِّيٰن ٌت َّم َقاُم ِاْبٰر ِهْيَم ۚە َو َم ْن َد َخ َلٗه َك اَن ٰا ِم ًناۗ َو ِهّٰلِل َع َلى الَّناِس ِح ُّج اْلَبْيِت َمِن اْسَتَطاَع ِاَلْيِه َس ِبْياًل‬
‫َو َم ْن َكَفَر َفِاَّن َهّٰللا َغ ِنٌّي َع ِن اْلٰع َلِم ْيَن‬

Artinya: Di sana terdapat tanda-tanda yang jelas, (di antaranya) maqam Ibrahim.
Barangsiapa memasukinya (Baitullah) amanlah dia. Dan (di antara) kewajiban manusia
terhadap Allah adalah melaksanakan ibadah haji ke Baitullah, yaitu bagi orang-orang
yang mampu mengadakan perjalanan ke sana. Barangsiapa mengingkari (kewajiban) haji,
maka ketahuilah bahwa Allah Mahakaya (tidak memerlukan sesuatu) dari seluruh alam.

6. Surah al-Maidah ayat 97

‫َجَعَل ُهّٰللا اْلَكْع َبَة اْلَبْيَت اْلَحَر اَم ِقٰي ًم ا ِّللَّناِس َو الَّش ْهَر اْلَح َر اَم َو اْلَهْد َي َو اْلَقۤاَل ِٕىَدۗ ٰذ ِلَك ِلَتْع َلُم ْٓو ا َاَّن َهّٰللا َيْع َلُم َم ا‬
‫ِفى الَّسٰم ٰو ِت َو َم ا ِفى اَاْلْر ِۙض َو َاَّن َهّٰللا ِبُك ِّل َش ْي ٍء َع ِلْيٌم‬

Artinya: Allah telah menjadikan Ka‘bah rumah suci tempat manusia berkumpul.
Demikian pula bulan haram, hadyu dan qala'id. Yang demikian itu agar kamu
mengetahui, bahwa Allah mengetahui apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi,
dan bahwa Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.

D. Pandangan Orientalis Mengenai Ibadah Haji


Dalam penelitiannya, William R. Roff menganut pandangan Arnold van Gennep
tentang serangkaian ritus keagamaan yang disebutnya rites de passage, yang merupakan
suatu kerangka untuk menuliskan pandangannya tentang serangkaian ritus-ritus tersebut.
Dalam tahapannya, haji di reduksi menjadi tiga, yaitu: pra pelaksanaan, pelaksanaan,
dan pasca pelaksanaan atau tahap perpisahan. Dia juga mengatakan bahwa pada
hakikatnya, perjalanan ke Tanah Suci tidak memainkan peranan penting dalam contoh-
contoh mengenai pelaksanaan ibadah haji, namun sangat jelas bahwa penduduk Tanah itu
sendiri harus meninggalkan rumahnya untuk memulai haji mereka, tak ada bedanya
dengan orang Indonesia yang harus melewati setengah belahan dunia. Maksudnya, ibadah

5
haji haruslah dilakukan di tanah suci meskipun rumah tinggal pelaksananya berada di
sekitar Tanah Suci. Dalam konteks ini, ibadah haji melibatkan baik perjalanan teritorial
maupun perjalanan simbolik.5
Perjalanan teritorial yang dimaksud dalam hal ini, yakni perjalanan melewati berbagai
daerah atau begara untuk sampai ke tanah suci, contohnya: perjalanan dari Indonesia ke
Makkah. Sedangkan perjalanan simbolik berarti perjalanan keluar dari rumah untuk
menuju tanah suci, yang dimaksud adalah penduduk Arab sendiri yang melakukan
perjalanan dari rumahnya menuju tanah suci.
Dari perjalanan teritorial inilah Arnold Van Gennep menemukan pandangan yang
disebutnya sebagai rites de passage, ia bertitik tolak dari profan, melintasi ambang yang
suci dan penggabungan yaitu tahap-tahap pelaksanaan ibadah haji yang akan
dikemukakan penulis pada paragraf dibawah.
Sebelum masuk panggung haji ini, manusia lupa kepada persamaan diantara sesama
mereka. mereka tercerai berai karena kekuatan, kekayaan, keluarga, tanah, dan ras
mereka. kehidupan mereka hanyalah eksistensi semata. Tapi pengalaman haji membuat
mereka menemukan diri mereka sendiri yang telah lama hilang dan berpandangan satu,
bahwa mereka semua adalah satu dan masing-masing diantara mereka tak lebih dari
seorang “manusia”.6
William menyebutkan bahwa ibadah haji memiliki tiga tahapan dari kerangka rites de
passage, yang akan diuraikan sebagai berikut:
a. Tahap Pra-pelaksanaan.
Bagi kaum muslim yang datang dari jarak tertentu yang jauh, dengan beban keuangan
yang cukup berat, dua bulan sebelum Dzulhijjah atau sejak akhir bulan Ramadhan dan
seterusnya, mereka mempersiapkan perbekalan yang cukup untuk keberangkatannya
menuju tanah suci. Perbekalan tersebut mulai dari keuangan, mental, psikologi, keilmuan
dan kesehatan, serta bekal bagi keluarga yang ditinggalkan termasuk pelunasan hutang
dan permintaan maaf kepada sanak saudara dan tetangganya atau dengan kata lain

5
William R. Roff, “Haji dan Sejarah Agama-Agama” dalam Richard C. Martin, Pendekatan Terhadap
Islam dalam Studi Agama (Yogyakarta: Suka Press, 2010), hlm. 88

6
Ali Syari‟ati, “Menjadi Manusia Haji” (Yogyakarta: Jalasutra, 2003), hlm. 33

6
seorang calon haji haruslah membereskan segala kewajibannya. Adapun ongkos yang
digunakan untuk berhaji haruslah didapat dari cara yang halal, karena Tuhan tidaklah
menerima ibadah haji seseorang yang perbekalannya di dapat dari jalan yang tidak halal
atau merugikan. Pinjaman yang digunakan untuk ibadah haji pada kebanyakan
masyarakat bukan tidak diperbolehkan, tapi dipandang sinis. Diantara persiapan-
persiapan ini juga adalah pelunasan segala hutang dan pemberesan segala kewajiban
seorang calon haji.7
Di Indonesia biasanya calon jemaah haji mengadakan tasyakuran atau
menghidangkan makanan kepada tamu undangan, yakni teman, sanak saudara, dan
tetangga sebagai bentuk kesyukuran dan permintaan do‟a untuk keselamatannya selama
melaksanakan ibadah haji. Ada kalanya calon jemaah haji memberikan wasiat-wasiat
sebelum keberangkatannya, kalau-kalau dia meninggal di tanah suci. Mereka menyesali
semua dosa yang pernah dilakukannya, dengan demikian, sesuatu yang mulanya
dianggap sulit dikerjakan akan menjadi mudah.
Perjalanan jamaah haji telah terbentuk menjadi suatu rangkaian ritus keagamaan yang
secara bersama-sama membentuk “une premiere etape entre la vie laique et une
existence qui va etre de plus en plus voisine du sanctuarie (langkah pertama seorang
awam dalam keberadaan yang semakin dekat dengan kehidupan beragama)”.
Tahap selanjutnya dalam pra pelaksanaan ibadah haji adalah bila sampai di Makkah,
maka yang harus pertama kali dilakukan adalah Miqat, sebagai bagian dari ibadah
penyucian diri yang menjadi symbol atau kegiatan menandai tahap akhir usaha
meninggalkan kebiasaan lama, dan melepaskan diri secara total dari kaitan-kaitan dan
status duniawi dari masa lampau dan dari dosa. Sambil melepaskan pakaian sehari-hari,
mencukur rambut dan jenggot serta memotong kuku, mandi besar (ghusl) dan niat
melaksanakan ibadah haji, kemudian mengenakan baju ihram, yaitu dua potong kain
berwarna putih yang harus digunakan ketika menunaikan ibadah haji.
Mencukur rambut bagi orang yang melaksanakan ibadah haji berarti kerelaannya
untuk menanggalkan pikiran-pikiran yang berfokus selain kepada Allah SWT. Dalam hal
ini, ibadah haji benar-benar menjadi satu rangkaian ibadah yang dilaksanakan untuk
fokus hanya kepada Allah SWT.
7
William R. Roff, “Haji dan Sejarah Agama-Agama” dalam Richard C. Martin, Pendekatan Terhadap
Islam dalam Studi Agama (Yogyakarta: Suka Press, 2010), hlm. 89

7
Sedangkan kaum wanita diharuskan memakai pakaian putih yang harus menutupi
sekujur tubuhnya kecuali muka dan telapak tangan. Dalam situasi demikian, Tuhan tak
mempersoalkan masalah derajat, jenis kelamin, atau status bawaan lain selain mereka
adalah seorang Muslim yang bersama- sama melaksanakan ibadah haji.
Seorang yang berhaji, sebelum memasuki Miqat, yang merupakan titik awal revolusi
besar ini, haruslah mengukuhkan niat. Apa saja yang harus dikukuhkan? Yaitu
meninggalkan rumah untuk menuju rumah bersama rumah ummat manusia,
meninggalkan hidup sehari-hari yang melupakan untuk menggapai cinta, meninggalkan
keakuannya untuk berserah diri kepada Allah SWT, meninggalkan penghambaan untuk
memperoleh kemerdekaan, meninggalkan diskriminasi rasial untuk mencapai persamaan,
ketulusan, dan kebenaran. Meninggalkan pakaian untuk beroleh kesucian, meninggalkan
hidup sehari-hari yang fana untuk memperoleh kehidupan yang abadi, dan meninggalkan
sikap mementingkan diri sendiri dan hidup yang hampa untuk menjalani kehidupan yang
penuh bakti dan tanggungjawab. Intinya adalah peralihan total kedalam keadaan Ihram.
Kemudian di Miqat juga seorang calon haji melaksanakan shalat dua rakaat. Dalam shalat
ini, dia menghadap Allah sambil berdoa dan berkata bahwasannya ia menghadap Allah
sebagai seorang manusia dengan mengenakan pakaian yang sama seperti yang akan
dikenakannya ketika menghadap Tuhan. Perkataan ini haruslah dilakukan dengan
sesadar-sadarnya dan tulus menaati dan menjadi hamba Allah SWT.
b. Tahap Pelaksanaan
Seperti yang telah disebutkan diatas, setelah usaha untuk meninggalkan kepentingan
duniawi yang disimbolkan dalam ritual pra pelaksanaan ibadah haji, para jamaah haji
bebas bergerak di segala penjuru kota suci sebagai tamu Allah sambil menyerukan
talbiyah.
Pemisahan yang total dari ikatan-ikatan sosial ini menjadi bukti dari apa yang Van
Gennep, kemudian Turner lihat sebagai permulaan tahap liminal atau transisi dalam
seluruh proses ibadah haji, para jamaah haji telah berubah menjadi “sebagai bayi yang
baru lahir dari rahim ibunya”. Puncak ibadah haji, yang berlangsung selama beberapa
hari, ditandai dengan serangkaian peribadahan yang sentral, esensial yang dilakukan
secara bersama-sama, yang sudah sering dipaparkan, yakni: Thawaf, yaitu mengelilingi
Ka‟bah ketika sampai di Makkah. Sa’i, yaitu berlari-lari kecil antara bukit Safa dan

8
Marwah. Wuquf di padang Arafah. Berkurban di Mina dan melempar batu di Aqabah
(jumrah al aqabah). Melempar batu di Aqabah bermakna bahwasannya pelaku ibadah
haji siap berjihad dijalan Allah untuk memerangi kebatilan dan kedzaliman, kapanpun
dan dalam keadaan apapun.
Jika manusia menyadari, haji akan melahirkan gagasan-gagasan Rabbani,
peningkatan akhlak islami dan semangat keteladanan yang lebih tinggi terhadap
Rasulullah SAW. Contohnya, di Arafah, manusia berkumpul sebelum melaksanakan
thawaf rukun. Semua orang yang berniat haji berkumpul disana. Kemudian mereka
secara serentak, mereka memulai keberangkatan untuk mengagungkan Ka’bah, kemudian
menuju Muzdalifah dalam keadaan telah bertaubat dan berserah diri. Mereka menuju
Ka‟bah dengan jiwa bersih.
Dari Muzdalifah menuju Mina, untuk melempar jumrah sebagai pernyataan bahwa
musuh Allah adalah musuh mereka juga. Kemudian memotong hewan qurban sebagai
tanda syukur kepada Allah dan mencukur rambut sebagai persiapan Thawaf dengan hati
yang bersih, pakaian yang suci dan penampilan yang bagus.
Setelah thawaf, dilanjutkan dengan Sa’i yang sebelumnya dilakukan oleh Ibu Hajar
yang shalihah pada awal mula baitullah dibangun. Setelah perjalanan ini, manusia
menjadi seperti dilahirkan kembali yang kemudian mereka melanjutkan perjalanan ke
Mina untuk melontar jumrah sebagai pernyataan permusuhan total terhadap setan untuk
selama-lamanya.8
Keseluruhan periode inilah yang dicirikan oleh liminalitasnya Turner dilihat dari
struktur sosial yang biasa, atau komunitas suatu keterikatan yang muncul secara spontan
dan dibangun secara normatif diantara makhluk manusia yang sejajar dan seimbang,
bersifat total dan terindividualkan dan lepas dari atribut-atribut struktural.
Pengalaman komunitas ini jelas tampak dalam pelaksanaan haji, dan kandungan ritual
dan simboliknya membutuhkan analisis yang paling mendalam didalam terma-terma rites
de passege. Dalam hal ini, lebih umum lagi sajian deskriptif tentang haji seperti tawaf
yang dilakukan oleh para jamaah haji misalnya, diketahui bahwa tawaf di Ka’bah dan
mencium atau menyentuh hajar aswad sebagai ibadah puncaknya. Mereka
memperlihatkan kekuatan emosional dan larut dalam satu kesatuan antara seluruh kaum
8
Hawwa, Said, Al Islam Jilid 1 (Diterjemahkan oleh Abu Ridho dan Aunur Rofiq Shaleh Tamhid, Lc.),
(Jakarta: AlI‟tishom Cahaya Umat, 2012), hlm. 308-309.

9
dari seluruh dunia, dari seluruh jenis kulit, status sosial dan kondisi. Mereka bersama-
sama berdzikir menyebut nama Allah, melantunkan ayat-ayat Al Qur‟an, mengucap
talbiyah, dan berdoa dengan khusyu.9
c. Tahap Pasca-pelaksanaan.
Setelah serangkaian ibadah tersebut, sampailah para jamaah haji kepada waktu
mereka untuk kembali ke tanah kelahiran dan masyarakat masing-masing sebagai
individu yang baru, ada yang menjadi semakin baik, ada juga yang sebaliknya.
Tentu saja, dalam penampilan lahiriyah, banyak jamaah haji yang berubah sejak
kepulangan mereka dari tanah suci. Mereka bahkan mengganti nama, seakan-akan
mengalami lahir kembali. Mereka juga mendapat status baru yang disebut “haji”.
Sebagian jamaah haji juga berubah persepsinya tentang Islam dan kaum Muslim,
dorongan-dorongannya dan kekuatannya. Seluruh bukti, mulai dari hadis yang awal
sampai modern, menunjukkan bahwa haji yang sukses (al-hajj al mabrur), mengandung
suatu perubahan. Van Gennep melihat rites de passage sebagai perubahan yang efektif
bagi seorang individu dari posisi tertentu sebelumnya ke posisi yang lainnya. Abu Yazid
Al Bistami, sebagaimana diriwayatkan oleh al Hujwiri, mengatakan: “Pada perjalanan
haji saya yang pertama, saya hanya melihat rumah Tuhan; pada yang kedua, saya melihat
rumah Tuhan dengan pemiliknya; dan pada saat yang ketiga, saya hanya melihat Tuhan
saja”.
Secara normal, manusia yang kembali dari tanah suci hendaknya lebih shalih dan
santun dalam sikap serta ucapannya, karena saat berhaji mereka mempelajari nilai-nilai
kehidupan yang tak didapatkan sebelumnya. Seperti tidak berkata kasar dan kotor,
sebagai wujud dari kebiasaannya ketika haji untuk tidak berkata kotor di tanah suci yang
kemudian dibawanya sampai ke masyarakat di tempat asalnya.
Sebagai seorang orientalis, William R. Roff berusaha masuk dalam ritual haji ini dan
menempatkan dirinya sebagai objek penelitian sehingga pernyataan-pernyataan tersebut
dinilai masuk akal dan membantu orang lain memahami hakikat haji yang sebenarnya.
Dalam buku Hakikat Islam dijelaskan, perintah haji memang berbeda dengan
perintah-perintah ibadah lain dalam Islam. Haji dilakukan hanya karena Allah semata.
Haji harus betul-betul dilakukan dengan niat dan motivasi yang murni, 100% karena
9
William R. Roff, “Haji dan Sejarah Agama-Agama” dalam Richard C. Martin, Pendekatan Terhadap
Islam dalam Studi Agama (Yogyakarta: Suka Press, 2010), hlm 93- 94.

10
Allah, bukan untuk piknik, karena gengsi atau untuk memutihkan dosa dan meminta
jabatan, yang kesemuanya itu hanyalah kesenangan duniawi, padahal haji adalah ritual
untuk mencapai ketenangan dan kesenangan ukhrowi (akhirat).
Pelanggaran yang paling banyak dilakukan oleh alumni haji adalah akidah dan tauhid,
sebagian dari mereka masih terkontaminasi perbuatan kemusyrikan, misalnya masih
mendatangi dukun ketika ada barang yang hilang, atau bernadzar di tempat yang
dikeramatkan, padahal tujuan utama ibadah haji adalah meyakinkan kembali monoteisme
absolut (tauhid murni) yang dicontohkan oleh Ibrahim a.s. Jadi, tujuan utama haji adalah
meniru tauhid Ibrahim yang murni, yang akibatnya lahirlah ma‟rifatullah yang benar,
mengakui eksistensi manusia sebagai hamba, yang dicerminkan dalam pakaian ihram,
yang warnanya putih bersih laksana kain kafan, sebagai simbol bahwa manusia akan
kembali kepada Tuhan.10

10
Dr. Mochtar Husein, “Hakikat Islam: Sebuah Pengantar Meraih Islam Kaffah”, (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2008), hlm. 165.

11
BAB III

KESIMPULAN

Haji artinya menyengaja atau menuju. Pengertian Haji dalam Islam merupakan suatu
ibadah yang dilakukan oleh para muslim untuk mengunjungi Baitullah (rumah Allah) di
Mekah. Proses haji yang dilakukan meliputi berbagai aktivitas, mulai dari berpakaian
ihram, berdiam (wuquf) di Arafah, melontar jumrah di Mina, ṭawaf, kemudian saʻi, serta
di akhirnya mencukur rambut (tahallul). Ibadah haji telah ada sebelum diutusnya Nabi
Muhammad SAW, khususnya pada masa Nabi Ibrahim AS. Ibadah haji adalah rukun
Islam ke-5, yang berarti menyengaja mengunjungi Ka'bah di Mekah. Hukum pelaksanaan
ibadah haji adalah wajib, bagi umat Islam yang telah balig dan mampu melaksanakannya.

Ritual pelaksanaan, yang mencakup semua proses ibadah haji, seperti: Miqat,
memakai pakaian ihram, bercukur dan memotong kuku, tawaf, sa’i, wukuf, mabit dan
melempar jumrah, sebagai wujud ketaatannya kepada Allah. Ritual ini melibatkan emosi,
yaitu rasa kebersamaan sebagai suatu komunitas jamaah haji tanpa memandang ras, status
sosial dan hal-hal yang bersifat duniawi. Selain itu, pada tahapan pelaksanaan ini
manusia dengan mantap hati bersedia menanggalkan pikirannya hanya untuk berfokus
ibadah yang khusyu kepada Allah SWT.

Ritual pasca-pelaksanaan, yang ditandai dengan pulangnya jamaah haji ke tempat


asalnya dengan membawa jati diri yang baru, sifat yang santun dan kesalehannya, yang
kemudian menjadikan mereka salah satu manusia yang disebut Haji Mabrur. Dalam
kehidupannya, orang yang sudah melaksanakan ibadah haji memiliki perilaku yang lebih
baik dan santun, tidak berkata buruk dan hanya membawa kebiasaan baik yang biasa ia
lakukan di tanah suci.

12
DAFTAR PUSTAKA

Departemen Agama RI. 2009. Al-Qur’an dan Tafsirnya, Jilid 1. Jakarta: PT. Karya Toha
Putra.

Hawwa, Said. 2012. Al Islam, Diterjemahkan oleh Abu Ridho dan Aunur Rafiq Shaleh
Tamhid. Jakarta: Al-I’tishom Cahaya Umat.

Husein, Mochtar. 2008. Hakikat Islam: Sebuah Pengantar Menuju Islam Kaffah.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

M. Ash-Shiddieqy. 1994. Pedoman Haji. Jakarta: Bulan Bintang.

M. Shaleh Putuhena. 2007. Historiografi Haji Indonesia. Yogyakarta: LkiS.

R. Roff, William. 2010. Haji dan Sejarah Agama-Agama dalam Richard C. Martin, Pendekatan
Terhadap Islam dalam Studi Agama. Yogyakarta: Suka Press.

Syari‟ati, Ali. 2003. Menjadi Manusia Haji. Yogyakarta: Jalasutra.

Suyadi. 2011. Kajian Yuridis Terhadap Jamaah Haji Sebagai Konsumen Jasa Pelayanan
Penyelenggaraan Ibadah Umroh dan Haji Plus Berdasarkan UU Nomor 8 Tahun
1999 Tentang Perlindungan Konsumen, Artikel Jurnal, SAINTEKS. UMP:
Purwokerto.

13

Anda mungkin juga menyukai