Anda di halaman 1dari 16

MAKALAH

Haji dan Umroh


Dosen Pengampu: FIRMAN, S.H.I, M.Pd

Disusun oleh:

Kelompok 1

Awaludin Hidayat (2141913038)

Melisa Putri (2141913005)

PROGRAM STUDI MANAJEMEN DAKWAH

FAKULTAS USHULUDDIN ADAB DAN DAKWAH

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SAMARINDA

2023

i
KATA PENGANTAR

Segala puji syukur atas kehadirat Allah ‫ ﷻ‬yang telah


melimpahkan rahmat, taufik dan hidayah-Nya kepada seluruh umat
manusia. Sholawat serta salam tetap terlimpahkan kepada Nabi
Muhammad ‫ ﷺ‬yang membawa kita dari zaman kegelapan menuju
zaman yang terang benderang.

Kami ucapkan terima kasih banyak untuk dosen mata kuliah


Tafsir Tematis yang telah menyerahkan kepercayaan kepada kami guna
untuk memenuhi tugas dari dosen kami yaitu FIRMAN S.H.I, M.P.d
dengan waktu yang telah di tentukan. Kami juga berharap dengan
sungguh-sungguh agar makalah ini mampu berguna serta bermanfaat
dalam meningkatkan pengetahuan sekaligus wawasan.

Penyusun menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata


kesempurnaan, karena kesempurnaan hanyalah milik Allah ‫ﷻ‬. Untuk itu
kritik dan saran sangat kami harapkan dari pembaca demi perbaikan dan
pengembangan makalah ini. Demikianlah makalah ini dibuat, semoga
dapat bermanfaat bagi penyusun khususnya dan pembaca pada
umumnya.

SAMARINDA, 20 Februari 2023

Penyusun

ii
DAFTAR ISI
BAB I........................................................................................................1
PENDAHULUAN....................................................................................1
A. Latar Belakang.....................................................................................1
B. Rumusan Masalah.................................................................................1
C. Tujuan...................................................................................................1
BAB II......................................................................................................2
PEMBAHASAN......................................................................................2
A. Pengertian, Perbedaan Haji dan Umroh...............................................2
B. Masru’iyyah haji dan Umroh................................................................6
C. Keutamaan dan Hikmah Haji dan Umroh............................................8
BAB II....................................................................................................12
PENUTUP..............................................................................................12
A. Kesimpulan.........................................................................................12
DAFTRA PUSTAKA.............................................................................12

iii
BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Ibadah haji adalah suatu ibadah yang memerlukan kebulatan tekad
dan kesungguhan hati. Kebulatan tekad untuk meninggalkan kampung
halaman beserta keluarga tercinta dan kesungguhan hati untuk
meninggalkan segala tingkah laku yang tidak baik. Haji diwajibkan bagi
setiap muslim, dengan syarat “bagi yang mampu”. Mampu baik secara
fisik dan materi. Dan yang lebih penting adalah kemampuan untuk
menyiapkan diri sebagai tamu Allah.
Haji adalah suatu ibadah yang tidak membedakan kedudukan dan
status sosial. Prosesi haji dan maknanya demikian penting untuk dikaji,
sebab jangan sampai ibadah ini hanya sebagai ritualnya tanpa mengetahui
makna terdalamnya. Ritual haji merupakan kumpulan simbol-simbol yang
sangat indah prosesi haji mengandung simbolisasi filosofis yang maknanya
sangat dalam yang dapat menyentuh aktivitas kehidupan manusia sehari-
hari. Makna prosesi haji apabila dihayati dan diamalkan secara baik dan
benar, maka akan mampu memberikan kesejukan, kecintaan, kebenaran
dan keadilan kepada umat manusia. Dengan demikian akan tercipta
kedamaian di muka bumi

B. Rumusan Masalah
1. Pengertian,Perbedaan, Syarat Haji dan Umroh?
2. Masru’iyyah Haji dan Umroh?
3. Keutamaan dan Hikmah Haji dan Umroh

C. Tujuan
1. Menjelaskan Pengertian, perbedaan, syariat Haji dan Umroh
2. Menjelaskan Masru’iyyah Haji dan Umroh
3. Menjelaskan Keutamaan dan Hikmah haji dan Umroh

4
BAB II

PEMBAHASAN
A. Pengertian, Perbedaan Haji dan Umroh
a. Perngertian
Pengertian haji secara etimologis berasal dari qashdu (maksud, niat,
menyengaja), sedangkan kata umrah berarti ziarah. Secara terminologis,
haji adalah ialah bermaksud (menyengaja) menuju Baitullah dengan cara
dan waktu yang telah ditentukan. Dari pengertian tersebut dapat dipahami
bahwa haji dan umrah adalah untuk melakukan kewajiban ziarah ke
Baitullah karena Allah.
Haji dan umroh adalah ibadah yang sangat dimuliakan dalam Islam.
Keduanya memiliki keistimewaan dan keutamaannya masing-masing. Haji
maupun orang dilakukan di tempat terbaik, yakni Mekkah. Tak hanya itu,
haji dan umroh juga memiliki kesamaan, seperti halnya baju yang
digunakan, hal yang tidak boleh dilakukan, hingga beberapa pendapat
ulama akan hukumnya.

Dalam bahasa Arab, haji berarti menyengaja atau mengunjungi.


Makna yang lebih luas lagi adalah menyengaja datang ke Baitullah secara
fisik dan jiwa untuk menunaikan amalan-amalan tertentu, dengan
mengikuti syarat tertentu, dan pada waktu tertentu, yakni pada bulan haji
Selain itu, haji juga merupakan rukun Islam yang kelima, yang bermakna
bahawa haji merupakan salah satu ibadah wajib bagi seorang muslim yang
mampu melaksanakannya. Beda halnya dengan umroh, menurut bahasa,
haji adalah al-qasdhu, yang artinya menuju sesuatu. Menurut syariat, haji
memiliki makna yaitu beribadah kepada Allah dengan mengerjakan
thawaf, sa’i, wukuf di Arafah, dan seluruh manasik haji di Mekkah al
Mukarramah pada bulan haji dengan syarat tertentu berdasarkan Al Quran
dan sunnah Nabi yang dianggap sahih. Sementara, untuk umroh sendiri
secara bahasa dipahami sebagai berziarah. Dalam artian, berziarah ke
Baitullah untuk melaksanakan amalan tertentu, mulai dari thawaf, sa’i, dan
juga bercukur. Berbeda dengan haji, umroh dapat dikerjakan kapanpun
dalam setahun tak perlu menunggu waktu tertentu. Secara definisi, umroh
merupakan salah satu perjalanan yang paling dicita-citakan seluruh umat
muslim di dunia. Saat umroh pun umat muslim dapat beribadah dan
bersujud dengan khusyuk di rumah Allah.

b. Perbedaan

1. Perbedaan berdasarkan Hukum

Perbedaan antara haji dan umroh yang pertama beserta dalilnya adalah
berdasarkan hukumnya. Kalau dilihat dari sudut pandang hukum
menunaikan kedua ibadah ini, Haji dan Umroh terdapat dua perbedaan
(ikhtilaf) ulama terdahulu. Ada yang punya pemahaman bahwa hukum

5
umroh sama dengan haji, yaitu wajib bagi yang mampu. Hal ini diambil
dari surah Ali Imran ayat 97,

َ‫ت َم ِن ا ْستَطَا َع ِإلَ ْي ِه َسبِياًل َو َم ْن َكفَ َر فَِإ َّن هَّللا َ َغنِ ٌّي ع َِن ْال َعالَ ِمين‬
ِ ‫اس ِحجُّ ْالبَ ْي‬
ِ َّ‫َوهَّلِل ِ َعلَى الن‬

Artinya: Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap


Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke
Baitullah. Barangsiapa mengingkari (kewajiban haji), maka sesungguhnya
Allah Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam. (QS. Ali
Imron: 97)

Dan ada juga riwayat dari Ibnu Umar, yang berbunyi: “Islam
didirikan atas lima hal, bersaksi tiada tuhan selain Allah sesungguhnya
Nabi Muhammad utusan Allah, mendirikan salat, melaksanakan zakat, haji
ke Baitullah dan puasa Ramadan,” (HR. al-Bukhari dan Muslim).
Sedangkan ulama yang menyatakan umroh wajib, mengambil pendapat
dari tafsir Surah Al-Baqarah:196,

…ِ ‫ۚ َوَأتِ ُّموا ْال َح َّج َو ْال ُع ْم َرةَ هَّلِل‬

Artinya: Dan sempurnakanlah ibadah haji dan umroh untuk Allah!

Beberapa dalil di atas menjelaskan tentang wajibnya haji dan


umroh. Kalimat dalam dalil-dalil tersebut menggunakan kalimat perintah
yang berarti wajib. Dengan demikian, bisa dikatakan bahwa seorang
muslim yang sudah mampu dari segi ilmu agama, fisik, dan finansial,
wajib hukumnya mengerjakan haji maupun umroh. Sedangkan, ada juga
sebagian ulama terdahulu yang menyebut hukum umroh ialah sunnah,
yakni jika tidak dikerjakan tidak berdosa, dan jika ditunaikan, akan
mendapatkan pahala. Mereka menggunakan hadist riwayat dari Jabir bin
Abdillah, bahwa Nabi pernah ditanya mengenai umroh wajib atau tidak.
Beliau lalu menjawab, “Tidak, dan ketika kau umroh maka itu lebih baik
bagimu.” (HR. at-Tirmidzi). Namun, riwayat hadist ini dikatakan Imam
Nawawi dalam al-Majmu Fatawanya sebagai hadist yang masih lemah
(dhaif).

2. Perbedaan berdasarkan waktu pelaksanaan

Perbedaan haji dan umrah yang kedua dapat dilihat dari segi waktu
pelaksanaannya. Seperti yang telah dibahas di atas bahwa ibadah haji
sendiri memiliki waktu khusus untuk menunaikannya, yaitu pada musim
haji, tepatnya di bulan-bulan harom. Bulan harom terhitung sejak bulan
syawal hingga awal Zulhijah. Waktu tersebut telah difirmankan dalam Al
Quran, dalam surah Al Baqoroh ayat 197 yang berbuyi,

‫الحج أشهر معلومات فمن فرض فيهن الحج فال رفث وال فسوق وال جدال فى الحج‬

Artinya: (Musim) haji adalah beberapa bulan yang dimaklumi.


Barangsiapa yang menetapkan niatnya dalam bulan itu akan mengerjakan
6
haji, maka tidak boleh rafats, berbuat kefasikan, dan berbantah-bantahan
di dalam masa mengerjakan haji. (QS Al-Baqarah, 197)

Sementara itu Abdullah bin Umar berkata pada Rasulullah


salallahu’alayhi wa sallam, “Bulan-bulan haji Syawal, Zulqa’dah, dan 10
hari (pertama) Zulhijah” (H.R. Bukhari). Sehingga, kita tak boleh berhaji
sebelum bulan syawal dan tidak boleh mengakhirkan suatu amalan haji
setelah bulan Dzulhijjah. Contohnya, jika seorang yang berhaji mulai sejak
bulan Ramadhan, maka ihramnya tidak sah untuk haji, akan tetapi berubah
menjadi ihram untuk umroh. Untuk pelaksanaan ibadah umroh sendiri,
waktunya akan lebih leluasa, yaitu sepanjang tahun, karena di dalamnya
tidak terdapat rukun wukuf diArafah, yang dilakukan pada 9 Zulhijah.

3. Perbedaan berdasarkan Syarat

Selanjutnya, ada perbedaan dari segi syarat dalam melaksanakan


ibadah haji dan umroh. Syarat ini sifatnya wajib untuk dipenuhi terlebih
dahulu sebelum melakukan kedua ibadah ini. Kira-kira apa saja perbedaan
dari syarat antara haji maupun umroh

1) Syarat menunaikan haji

Ibadah haji diwajibkan atas orang muslim dengan lima syarat yang
tertulis dalam Al Quran juga hadist-hadist Nabi salallahu’alayhi wa sallam,
yakni:

- Islam, Syarat utama orang yang ingin beribadah haji harus beragama
Islam. Bagi orang non Muslim yang beribadah, maka tidak diangga[ sah
dan tidak akan mendapat pahala apapun, karena ia tidak memenuhi syarat
utama yaitu Islam.

- Berakal,Orang yang ingin berhaji harus berakal, atau sadar, dalam artian
tidak dalam keadaan gila atau sakit hilang ingatan. Tak hanya syarat untuk
menunaikan haji, syarat ini juga berlaku untuk beberapa ibadah umat
Islam, termasuk solat dan haji.

- Baligh, Seperti yang dilihat, banyak jamaah haji yang membawa anak
kecil terutama warga jazirah Arab. Hal ini tidak ada larangan, namun sang
anak tidak boleh membuat kegaduhan atau merepotkan jamaah haji
lainnya. Bagi sang anak yang belum baligh, pahala hajinya dihitung
sebagai ibadah sunnah. Artinya, ia belum mengantongi ibadah haji yang
rukun dalam hidupnya, dan saat baligh nanti sang anak masih masih harus
menunaikan minimal satu kali, jika mampu. Tanda-tanda baligh bagi
seorang anak laki-laki antara lain adanya perubahan suara, mimpi basah,

7
dan keluarnya rambut di sekitar kemaluannya. Beberapa pertanda itu juga
berlaku bagi anak perempuan, tetapi terdapat tambahan yaitu sudah haid
dan nifas khusus perempuan.

- Memiliki kemampuan pefbekalan dan kendaraan, Ibadah haji dianggap


ibadah yang cukup berat bagi umat muslim yang jauh dari jazirah Arab.
Oleh karenanya, Rasulullah salallahu ‘alayhi wa sallam memberikan syarat
keempat ini, yakni memiliki kemampuan. Dengan seluruh penjelasan tadi,
kamu juga perlu mencatat bahwa orang yang diwajibkan untuk
melaksanakan haji adalah bagi orang-orang yang mampu. Jadi, jika kamu
mampu secara keuangan atau finansial, itu tandanya kamu wajib
menunaikan ibadah haji

2) Syarat mampu bagi laki laki-laki dan perempuan

Ada beberapa syarat kemampuan bagi laki-laki dan


perempuan

- Mampu dari sisi bekal dan kendaraan, atau mampu membayar


ongkos menuju Baitullah. Selain itu, memiliki kelebihan nafkah
bagi, keluarga yang ditinggal dan yang diberi nafkah. Kedua,
memiliki kelebihan kebutuhan keluarga berupa tempat tinggal dan
juga pakaian.

- Selanjutnya adalah sehat badannya. Pemerintah Indonesia


memiliki aturan ketat terkait kesehatan jamaah, karena beratnya
ibadah ini. Tak sedikit orang yang ingin berangkat, namun ketika tes
kesehatan, tidak memenuhi persyaratan. Ada pula beberapa jamaah
yang harus dirawat terlebih dahulu, dioperasi terlebih dahulu, dan
lain sebagainya.

- Selanjutnya adalah jalan penuh rasa aman, dan mampu melakukan


perjalanan.

- Ada satu syarat khusus bagi perempuan yang harus dipenuhi untuk
menunaikan ibadah haji, yaitu wajib ditemani suami atau mahrom,
dan tidak berada dalam masa ‘iddah.

- Merdeka dari perbudakan dalam artian bukan merupakan budak


belian, yang terjadi pada zaman Rasulullah dan sahabat. Sedangkan
saat ini, hal tersebut sudah sangat jarang yang tidak
menyanggupinya.

3) Syarat Umroh

Untuk syarat menunaikan ibadah umroh sendiri, Imam Ibnu Katsir


menerangkan, “Diriwayatkan secara shahih bahwa Nabi melakukan umroh
sebanyak empat kali, dan semuanya beliau kerjakan pada bulan
Dzulqo’dah, yaitu Umroh Hudaibiyyah pada tahun ke 6 H, Umratul
8
Qadha’ pada tahun ke 7 H, Umroh Ji’ranah pada tahun ke 8 H, dan umroh
terakhir saat Haji Wada’ di tahun ke 10 H.” Sebelum melakukan ibadah
umroh, ada baiknya kita melihat apakah sudah memenuhi syarat wajibnya
atau belum. Sebaliknya, jika kita termasuk ke dalam semua syarat wajib ini
maka kita sudah bisa untuk menunaikannya.

- Beragama Islam merupakan syarat utama sebagaimana ibadah


lainnya. Bersyahadat dan memeluk Agama Islam merupakan hal
wajib sebagai syarat diterimanya amalan ibadah-ibadah.

- Kedua, balik dan berakal. Baligh merupakan batas manusia sudah


masuk ke perhitungan amalan baik atau buruk. Semua yang
dilakukan manusia yang baligh akan dicatat menjadi pahalanya atau
dosanya. Untuk batasan baligh terdapat tanda-tanda seperti mimpi
basah, munculnya bulu kemaluan, haid untuk perempuan, dan
lainnya atau beberapa hal yang sempat dibahas pada syarat
menunaikan ibadah haji di atas.

- Kemampuan dalam hal ini yang dimaksud adalah finansial,


kesehatan, maupun ilmu pengetahuan karena ibadah umroh juga
sama beratnya dengan ibadah haji.

- Ditemani mahrom merupakan salah satu syarat perempuan boleh


bepergian jauh di dalam Islam. Ibadah ini merupakan salah satu
ibadah yang wajib bersafar, oleh karenanya perlu bersama mahrom.

- Perbedaan antara haji dan umrah lainnya terletak pada sifat


kewajibannya. Pada ibadah haji dan umroh, bagi yang ingin
menunaikannya wajib menjalankan serangkaian ritual manasik,
yang apabila ditinggalkan tidak membatalkan ibadah, tapi wajib
diganti dengan denda.

Jadi, apa saja kewajiban dari haji dan umroh itu? Berikut beberapa
hal wajib yang perlu diperhatikan untuk mengetahui perbedaan antara haji
dan umrah, yang salah satu pembahasannya adalah mengenai ihram.

B. Masru’iyyah haji dan Umroh

Kalau ditilik dari sejarahnya, sesungguhnya ibadah haji termasuk


ibadah yang paling kuno. Sebab ibadah haji sudah ada sejak zaman Nabi
Ibrahim dan putera beliau, nabi Ismail alaihimassalam. Bahkan sebagian
analis sejarah menyebutkan bahwa ibadah haji ke Ka’bah sudah dilakukan
oleh Nabi Adam alaihissalam. Hal itu mengingat bahwa Baitullah atau
Ka’bah di Mekkah Al-Mukarramah memang merupakan masjid pertama
yang didirikan di muka bumi.

‫س لَلَّ ِذي بِب َّكةَ مباركًا وهدى لِّ ْلعالَ ِمين‬


ِ ‫ضع لِلنا‬ ٍ ‫ِإنَّ َأو َل بي‬
ِ ‫ت و‬

9
“Sesungguhnya rumah yang mula-mula dibangun untuk manusia, ialah
Baitullah yang di Bakkah yang diberkahi dan menjadi petunjuk bagi
semua manusia.” (QS. Ali Imran : 96)

Namun ibadah haji kemudian mengalami berbagai macam


perubahan tata cara dan ritual. Perubahan itu terkadang memang datang
Allah SWT sendiri, dengan bergantinya para nabi dan rasul, namun tidak
jarang terjadi juga perubahan itu diciptakan oleh manusia sendiri, yang
umumnya cenderung merupakan bentuk-bentuk penyimpangan ajaran.
Seperti yang dilakukan oleh bangsa Arab di sebelum masa kenabian, yang
mengubah ritual haji dan menodai rumah Allah dengan meletakkan
berbagai macam patung dan berhala di seputar banguan milik Allah SWT
ini. Kemudian setelah diutusnya Rasulullah SAW sebagai nabi terakhir
yang memuat risalah yang abadi, barulah kemudian ketentuan manasik haji
dibakukan sampai hari kiamat. Sejak itu tidak ada lagi perubahan-
perubahan yang berarti, kecuali pertimbangan-pertimbangan yang bersifat
teknis semata, tanpa mengubah esensinya.

1. Al-Quran

Dalam syariat Islam, ibadah haji adalah ibadah yang disyariatkan di


masa ketika Rasululah SAW telah berhijrah meinggalkan kota kelahiran
beliau Mekkah Al-Mukaramah menuju ke tempat tinggal yang baru, Al-
Madinah Al- Munawwarah. Selama 13 tahun beliau diangkat menjadi
pembawa risalah, Allah SWT tidak memerintahkannya untuk
melaksanakan manasik haji. Barulah setelah Rasulullah SAW pergi
berhijrah, turun ayat berikut ini :

َّ‫من استطَاع ِإلَي ِه سبِيالً ومن َكفَر فَِإن‬


ِ ‫ت‬ِ ‫س ِحج ا ْلبي‬
ِ ‫وهَّلِل ِ علَى النا‬

‫هَّللا َغنِي ع ِن ا ْلعالَ ِمين‬

Artinya;: “Mengerjakan ibadah haji adalah kewajiban manusia


terhadap Allah, yaitu orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke
Baitullah . Siapa mengingkari, maka sesungguhnya Allah Maha Kaya dari
semesta alam.” (QS. Ali Imran : 97)

Kata “bagi Allah atas manusia” adalah shighah ilzam wa ijab ( ‫صیغة‬
‫اب‬www‫زام و إیج‬www‫) إل‬, yaitu ungkapan untuk mengharuskan danmewajibkan.
Apalagi ditambah dengan ungkapan padabagian akhir ayat, yaitu kalimat
“siapa yang mengingkari(kafir)”. Jelas sekali penegasan Allah dalam
kalimat itu bahwahaji adalah kewajiban dan menentang kewajiban haji
inimenjadi kafir. Terdapat perbedaan pendapat di kalangan mufassirindan
fuqaha tentang kapan turunnya ayat ini. Sebagian darimereka, seperti
mazhab As-Syafi’iyah, menyebutkan bahwaayat ini turun di tahun keenam
hijriyah. Dan karenaRasulullah SAW melaksanakan haji di tahun
kesepuluhhijriyah, maka dalam pandangan mazhab ini, kewajiban
hajisifatnya boleh ditunda.Sementara sebagian ulama yang lainnya
mengatakanturunnya di tahun kesembilan atau kesepuluh hijriyah.Mereka

10
berpendapat Rasululullah SAW tidak menundapelaksanaan ibadah haji
meski hanya setahun.

2. Hadits
Selain ayat quran di atas, haji juga disyariatkan lewat hadits yang
menjadi intisari ajaran Islam.
‫ وا ْلحج‬: ‫س … منها‬
ٍ ‫بنِي اِْإلسالَم علَى خم‬
Islam itu ditegakkan di atas lima perkara . . . haji. (HR. Bukhari dan Muslim)
‫ َأ ُ كل‬: ‫َأيها الناس قَد فَرض هَّللا علَيكم ا ْلحج فَحجوا فَقَال ر جل‬

ِ ‫ فَقَال ر سول هَّللا‬. ‫عام يا ر سول هَّللا ِ ؟ فَسكَت حتى قَالَها ثَالَثًا‬
ٍ
‫صلَّى هَّللا علَي ِه وسلَّم لَو ُق ْلت نعم لَوجبت ولَما استطَعتم‬

Artinya: “Wahai manusia, sesungguhnya Allah telah mewajibkan


atas kalian ibadah haji, maka berangkatlah menunaikan ibadah haji.
Seseorang bertanya,”Apakah tiap tahun ya Rasulallah?”. Beliau Saw pun
diam, sampai orang itu bertanya lagi hingga tiga kali. Akhirnya beliau
Saw menjawab,”Seandainya Aku bilang ‘ya’, pastilah kalian tidak akan
mampu.” (HR. Muslim)
Hadits ini menegaskan bahwa kewajiban berhaji bukan setiap
i

tahun, namun cukup sekali saja dalam seumur hidup.


3. Ijma’
Umat Islam sejak masa Rasulullah SAW hingga 14 abad kemudian
secara ijma’ keseluruhnya, bahwa menunaikan ibadah haji adalah salah
satu dari rukun Islam yang lima, dan merupakan kewajiban setiap mukallaf
yang diberikan keluasan dan kemampuan lahir dan batin oleh Allah SWT
untuk mengerjakannya. Dan para ulama juga telah berijma’ atas
pensyariatan ibadah umrah, baik yang berpendapat hukumnya wajib atau
pun sunnah.

C. Keutamaan dan Hikmah Haji dan Umroh


Ibadah haji adalah safar ruhani menuju Allah. Sebagai tamu-tamu
Allah harus menjaga adab-adab batiniyah. Imam al-Ghazali menyebutkan
ada beberapa etika dalam berhaji, di antaranya adalah:
1. Berhaji dengan harta yang halal.
2. Tidak boros dalam membelanjakan hartanya
3. Meninggalkan segala macam akhlak yang tercela.
4. Memperbanyak berjalan.
5. Berpakaian sederhana.
6. Bersabar ketika menerima musibah.
Setelah memenuhi adab dan etika haji, sebagai tamu Allah perlu
mengetahui makna dari prosesi haji. Makna prosesi haji demikian indah
dan sangat dalam maknanya, sebagaimana nasehat Imam Junaid, seorang
11
sufi terkenal dari Baqhad. Suatu hari, datanglah seorang laki-laki ke
hadapan Imam Junaid al-Bagdadi, “Dari manakah anda?” tanya Junaid
kepadanya. “Aku baru saja melakukan ibadah haji.” Jawabnya. “Ketika
pertama kali melangkahkan kaki meninggalkan rumahmu, apakah engkau
juga telah meninggalkan semua dosamu?” “Tidak,” jawab sang lelaki.
“Berarti engkau “tidak mengadakan perjalanan..

Senada dengan nasehat Ja’far al-Shadiq, seorang tokoh dalam dunia


taSawuf. Pertama kali melangkahkan kaki dari rumah, kosongkanlah
hatimu dari segala urusan, hadapkanlah dirimu sepenuhnya kepada Allah.
Tinggalkan setiap penghalang dan serahkan urusanmu kepada Penciptamu
dan bersihkanlah dosa- dosamu 1
Demikian pula nasehat dari Ali Syari’ati seorang tokoh intelektual
muslim dari Iran. Ketika meninggalkan rumah, niatkan menuju rumah
umat manusia; meninggalkan hidup untuk memperoleh cinta;
meninggalkan keakuan untuk berserah diri kepada Allah; meninggalkan
penghambaan untuk memperoleh kemerdekaan; meninggalkan
diskriminasi rasial untuk mencapai persamaan, ketulusan dan kebenaran.
Hadapkan dirimu dan berserah diri hanya kepada Allah dalam segala gerak
dan diammu.2
“Ketika engkau mengenakan pakaian ihram di tempat yang telah
ditentukan, apakah engkau membuang sifat-sifat manusiawi sebagaimana
engkau melepaskan pakaian-pakaian sehari-harimu?” “Tidak.” “Berarti
engkau tidak mengenakan pakaian haji.”
Ibadah haji dimulai dengan niat sambil mengenakan pakaian ihram.
Ketika mengenakan pakaian ihram, lepaskan pakaian sehari-hari dan
buanglah semua sifat-sifat keangkuhan, kebanggaan dan semua atribut
(label) serta simbol-simbol yang melekat yang biasa menghiasi diri.
Dengan memakai pakaian ihram berarti menanggalkan semua
perbedaan serta menghapus segala keangkuhan yang ditimbulkan dari
status sosial. Dalam keadaan demikianlah seorang hamba menghadap
Tuhan pada saat kematiannya. Sebab ibadah haji adalah simbol dari
kematian. Haji adalah simbol kepulangan manusia menuju Zat Yang Maha
Mutlak yang tidak memiliki keterbatasan. Dan pada saat kematian tiba,
tidak ada yang bisa dibanggakan sebagai bekal menuju Tuhan, kecuali
iman dan amal shaleh.3
Pakaian ihram yang berwarna putih (bersih) adalah mengajarkan
kepada umat manusia untuk mengubur pandangan yang mengukur
keunggulan manusia dari kedudukan, pangkat, status sosial, dan keturunan.
Pakaian ihram adalah simbol egalitarianisme bahwa manusia tidak
dipandang dari pangkat, kedudukan dan superioritas lainnya, melainkan
dilihat dari tingkat ketakwaannya.

1
Rakhmat,199. hal. 182
2
Shariati, 1995. hal. 16
3
Madjid, 1997, hal. 12
12
Dengan memakai pakaian ihram yang berwarna putih yang berarti
suci, maka harus berniat dengan sungguh-sungguh untuk memakai pakaian
kejujuran, kerendahan hati, kesucian jiwa, dan keikhlasan hanya karena
Allah. Menurut Ali Shariati, ketika di Miqat berperanlah sebagai manusia
yang sesungguhnya, tanggalkan pakaian yang berbentuk (a) serigala (yang
melambangkan kekejaman dan penindasan); (b) tikus yang melambangkan
(kelicikan); (c) anjing (yang melambangkan tipu daya); (d) domba (yang
melambangkan penghampaan).4
Setelah mengenakan pakaian ihram, maka sejumlah laranganpun
harus diindahkan, tidak menyakiti binatang, membunuh, menumpakan
darah, dan mencabut pepohonan. Dengan demikian, manusia harus
berfungsi untuk memelihara makhluk-makhluk Tuhan. Dilarang juga
memakai wangi-wangian, bercumbu, menikah dan berhias, karena manusia
bukan materi semata-mata.
Dan hiasan yang dinilai Tuhan adalah hiasan Ruhani. Tinggalkan
semua yang dilarang dan yang menghalangi untuk mengingat kepada
Allah. Dalam keadaan demikianlah sambil mengucapkan talbiyah
“Labbaika Allahumma labbaik labbaik la syarikalah innal hamda
wannikmata laka wal mulk”5
“Ketika engkau mengelilingi Ka’bah (thawaf), apakah engkau sudah
memandangi keindahan nonmateriil Tuhan di tempat-Nya yang suci?”
“Tidak.” “Berarti engkau tidak mengelilingi Ka’bah.”
Thawaf adalah mengelilingi Ka’bah yang berputar dengan
berlawanan arah jarum jam. Ka’bah yang menghadap ke segala arah
melambangkan universitalitas dan kemutlakan Tuhan; suatu sifat Tuhan
yang tidak berpihak tetapi merahmati seluruh alam

Pada hakikatnya ibadah haji merupakan suatu tindak mujahadah


(upaya jiwa yang sungguh-sungguh) untuk memeperoleh kesadaran
musyahadah (penyaksian). Yakni proses kegigihan seorang hamba
mengunjungi Baitullah sebagai sarana dan upaya bertemu (liqa’) dengan
Tuhan. Mujahadah sebagai sarana penghubung seorang hamba untuk
bertemu dengan Tuhan. Berpakaian ihram, thawaf, sa’i

dan melempar jumrah adalah sebagai sarana yang mengantarkan


seorang hamba menuju Tuhannya. Sedangkan musyahadah sebagai titik
orientasi dari segala prosesi tersebut, yakni tercapainya kondisi percintaan
(hubb) antara hamba dengan Sang Khalik. Ketika musyahadah tercapai,
maka yang terlihat di segala penjuru yang ada adalah “wajah” Tuhan.
Dalam perspektif sufi kekuatan ke-aku-an akan lebur dalam ke-Maha-
hadir-an Tuhan. Simbol-simbol tidak lagi menjadi penting dan puji- pujian
manusia tidak lagi bermakna.
4
Shariati, 1995. hal. 8
5
Shihab, 1999, hal. 336
13
Maka tujuan esensial haji bukanlah mengunjungi Ka’bah, tetapi
memperoleh musyahadah sebagaimana yang dikatakan oleh para sufi.
Dalam pandangan kaum sufi, boleh jadi ada yang melihat ka’bah, wukuf,
sa’i dan sebagainya namun tidak mencapai makna haji. Yang sama Tuhan
di Makkah, bagaikan berkunjung ke rumah yang tidak berpenghuni. Dan
yang tidak berkunjung ke rumah Tuhan, tetapi merasakan kehadiran-Nya,
maka Tuhan telah mengunjungi rumahnya.6
Menunaikan ibadah haji tidak cukup dicapai hanya dengan pergi ke
Makkah. Namun aksi-aksi yang memberikan makna dan manfaat praktis
bagi kehidupan umat manusia jauh lebih penting. Jika ada orang yang
berkali-kali menunaikan ibadah haji ke Makkah, tetapi dalam dirinya tidak
terjadi proses transformasi nilai- nilai religius artinya ia belum menunaikan
panggilan Tuhan. Proses mujahadahnya ke Mekkah belum memberikan
bekas sedikitpun dalam perilaku kehidupannya.
Di sinilah perlu digaris bawahi bahwa keberhasilan ibadah haji bukan
dilihat dari berapa kalinya seseorang menunaikannya dan bukan pula
simbol atau gelar haji atau hajjah yang disandangnya, namun ditentukan
oleh kesadaran musyahadahnya kepada Tuhan. Karena musyahadah inilah
yang akan membentuk visi kemanusiaan, keadilan dan solidaritas sosial.
Dengan melakukan ibadah haji mestinya mampu membersihkan dari
unsur-unsur duniawi dan membangunnya di atas batin yang tulus. Haji
yang demikianlah yang pantas mendapat gelar haji yang mabrur, haji yang
berhasil melakukan musyahadah dengan Tuhan dan mampu memberikan
kebaikaan (birr), menaburkan kedamaian di muka bumi. Maka pantaslah
surga sebagai balasannya.

BAB II

PENUTUP
A. Kesimpulan
Demikian makna prosesi haji yang demikian indah. Haji
merupakan kumpulan simbol-simbol yang maknanya sangat dalam.
Mestinya sebagai tamu Allah perlu menghayati makna-makna
terdalamnya. Sehingga ibadahnya tidak hanya sekedar menggugurkan
kewajiban dan bahkan dianggap sebagai ibadah paripurna. Makna- makna
prosesi haji perlu dihayati dan diamalkan secara baik dan benar. Dengan
demikian akan mengantarkannya menjadi manusia yang mampu keluar
dari hegemoni kepentingan hawa nafsu yang cenderung menjauhkan diri
dari Allah. Sehingga mampu memberikan kebaikaan (birr), menaburkan
kedamaian di muka bumi.

DAFTRA PUSTAKA

Al-Qur’an al-Karim

6
Shihab, 2001, hal. 212-213
14
Ghafur, Waryono Abdul, 2005, Tafsir Sosial Mendialogkan Teks dengan
Konteks, Yogyakarta: eLSAQ press.
Gusmian, Islah, 2006, Surat Cinta al-Ghazali Nasihat-nasihat Pencerah
Hati, Bandung: Mizania.

15
i

Anda mungkin juga menyukai