MAKALAH
Di susun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Tafsir Hadits II
Disusun Oleh :
2021
1
KATA PENGANTAR
Bismillahhirohmanirohim,
2
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
BAB II PEMBAHASAN
A. Kesimpulan .............................................................................................. 16
DAFTAR PUSTAKA
3
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
4
1. Mengetahui pengertian puasa
2. Mengetahui dasar hukum puasa
3. Mengetahui syarat dan rukun puasa
4. Mengetahui waktu dilaksakan puasa
5. Mengetahui keringanan puasa
6. Mengetahui tujuan hikmah puasa
BAB II
PEMBAHASAN
1. Pengertian Ibadah
1
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta:
Balai Pustaka, 1997), hlm. 364.
2
M. Hasbi Ash-Shiddieqy, Kuliah Ibadah, (Jakarta: Bulan Bintang, 1985), hlm. 1.
3
H. Mahmud Yusuf, Kamus Arab Indonesia, (Jakarta: PT. Hidakarya Agung, 1989), hlm.
252.
5
Yusuf Qardhawi memberikan definisi ibadah adalah puncak
perendahan diri seseorang yang berkaitan erat dengan puncak kecintaan
kepada Allah Swt.45 Abdullah Siddik berpendapat bahwa ibadah adalah usaha
manusia yang dipersembahkan kepada Allah SWT yang Mah Esa demi
keselamatan diri manusia masing-masing di dunia dan di akhirat dan berpokok
lima. Kelima ibadah itu disebut dalam syari’at dengan hukum Islam. 6
4
Yusuf Qardhawi, Konsep Kaidah dalam Islam, (Surabaya: Central Media, 1993), hlm.
5.
6
H. Abdillah Siddik, SH., Azas-azas Hukum Islam, (Jakarta: Wijaya, 1982), hlm. 70.
6
M. Hasbi Ash-Shiddieqy, Kuliah Ibadah, Op.Cit., hlm. 7.
7 K.H. ADIB BISRI DAN K.H. MUNAWAR AL-FATAH, KAMUS INDONESIA ARAB, ARAB
INDONESIA, (SURABAYA: PUSAKA PROGESSIFME, 1999), HLM. 272.
8 L. MARDIWARSITO, KAMUS JAWA KUNO(KAWI), (INDONESIA: NUSA INDAH, 1978), HAL.
380.
6
disebut shaum atau shiyam yang berarti menahan diri dari sesuatu dan
meninggalkan sesuatu atau mengendalikan diri.9 Abi Abdillah Muhammad bin
Qasim al-Syafi’i mengatakan:
Artinya: “Kata shiyam dan shaum keduanya merupakan bentuk mashdar dari
fi'il madhi shaama yang secara lughat (bahasa) berarti menahan diri dari
makan, berbicara, dan berjalan”.10
b. Pengertian puasa secara terminologi.
Secara terminologi, pengertian puasa banyak dikemukakan oleh para ahli, di
antaranya oleh:
Abi Abdillah Muhammad bin Qasim al-Syafi'i
(ال صيام (وشرعا امساك عن مفط ر) من نحو شهوت ي الف رج وال بطن لطا عة المول ى (بن ية1
مخصوصة) آن ية الصوم عن رمضان او آفارة او نذ ر(جميع نها ر) من اول النهار الى
اخره (قابل للصوم) فخرج به يوما العيد وايام التش ريق ويوم الشك با ل سبب (من مسلم
عاقل) اي مميز(طا هر من حيض ونف اس
10 جميع النها ر ومن اغماء وسكر ف ي بع ضه
)ووالدةArtinya: “Puasa menurut syara' adalah menahan diri dari segala
sesuatu yang dapat membatalkannya seperti keinginan untuk bersetubuh, dan
keinginan perut untuk makan semata-mata karena taat (patuh) kepada Tuhan
dengan niat yang telah ditentukan seperti niat puasa Ramadlan, puasa kifarat
atau puasa nadzar pada waktu siang hari mulai dari terbitnya fajar sampai
terbenamnya matahari sehingga puasanya dapat diterima kecuali pada hari
raya, hari-hari tasyrik dan hari syak, dan dilakukan oleh seorang muslim yang
berakal (tamyiz), suci dari haid, nifas, suci dari wiladah (melahirkan) serta
tidak ayan dan mabuk pada siang hari”.
9
MOHAMMAD DAUD ALI, S.H., PENDIDIKAN AGAMA ISLAM, (JAKARTA: PT. RAJA
GRAFINDO PERSADA, 1998), HAL. 276.
10
Ibid., hal. 110.
7
11 وشرعا امساك عن المفطر على وجه مخصوص
Artinya: “Puasa menurut istilah syara' (terminologi) yaitu menahan
diri dari segala sesuatu yang dapat membatalkannya sesuai dengan tata cara
yang telah ditentukan”.
12 الصي ام وهو في الش رع امس اك مخصوص من شخص مخصوص في وقت مخصوص بش رائط
Artinya: “Puasa menurut syara' adalah menahan diri dari sesuatu yang
telah ditentukan bagi seseorang yang telah ditentukan pula pada waktu
tertentu dengan beberapa syarat”.
11
Abi Yahya Zakaria al-Anshari, Fath al-Wahab bi Syarhi Manhaj al-Thulab,Juz I,
(Semarang: Maktabah wa Mathba'ah, Toha Putra, t.th.), hal, 118.
12
Imam Taqiyudin Abu Bakar bin Muhammad al-Husaini, Kifayat al-Akhyar Fi Hilli
Ghayat al-Ikhtishar, Juz I, (Semarang: Maktabah wa Mathba'ah, Toha Putra, t.th.), hal. 204.
13
Imam Muhammad bin Ismail al-Kahlani, Subulus Salam, Jilid III (Beirut: Darul al
8
Kitab al Ilmiyah, t.th.), hlm. 305.
9
ini . لغة االمسا وش رعا امساك عن مفط ر بش روطه االتية:(هو5
Artinya: “Puasa menurut bahasa, kata
mempunyai arti “menahan” sedang menurut syara’ adalah
menahan diri dari segala yang membatalkan puasa dengan syarat-syarat”.14
14
Syeh Zainudin bin Abdul Aziz al-Malyabars, Fath al-Mu’in bi Syarhi Qurrot al-A’in,
(Indonesia: Dar al-Ikhya al Kutub al-Arabiyah, t. th), hlm. 54
15
Abdur Rahman Shad, The Right of Allah and Human Right, (Delhi: Shandar Market,
1993), hal. 47
10
beriman untuk menjalankan ibadah puasa. Sebagaimana dalam firman
Allah SWT. surat al-Baqarah ayat 183:
َن ْكَ َْم ْ َْ اَ َ ل ت َاَ مآ َ َب َيا أَ اَ َ ل َذي ن ن
ََوا ت
َذي ن قَ َْب َآ َمي آَ علَ َْي مال ك َام آَ ص
َلم َل
َى ب
َ
11
16
R. H.A. Soenarjo, SH, et.al., Al-Qur’an dan Terjemahannya, (Semarang: CV. Toha
Putra, 1989), hlm. 44.
17
Hamka, Tafsir al-Azhar, Jilid II, (Jakarta: PT. Pustaka, Panji Mas, 1994), hlm. 90.
12
yang tinggi, yaitu mempersiapkan jiwa orang yang berpuasa untuk
mempercayai derajat yang takwa kepada Allah Swt dengan meninggalkan
keinginan-keinginan yang dibolehkan demi mematuhi perintah-Nya dan demi
mengharapkan pahala dari sisi-Nya, supaya orang mukmin termasuk golongan
orang-orang yang bertakwa kepada-Nya yang menjauhi laranganlarangan-
Nya.
Perintah puasa bagi umat Islam diwajibkan oleh Allah SWT. pada bulan
yang mulia yaitu bulan Ramadhan karena di bulan Ramadhan itulah
diturunkan al-Qur’an kepada umat manusia melalui Nabi besar Muhammad
Saw.
Rasulullah memberi petunjuk tentang ketentuan tibanya waktu
kewajiban yaitu datangnya bulan suci Ramadhan, dengan sabdanya: ليلة عن
الشهر تسع وعشرون:م قال.عبداﷲ ان رسول اﷲ ص
18)فالتصومواحتىتروه فإن غم عليكم فأآملوا لعدة ثالثين (رواه البخا رى
Artinya: “Dan Abdullah katanya, sesungguhnya Rasulullah bersabda:
sebulan dua puluh sembilan malam, maka janganlah kamu puasa
hingga kamu melihatnya, jika tertutup atasmu cukupkanlah tiga
puluh (H.R. Bukhari)
1. Syarat puasa
18
Al-Imam Abu Abdillah Muhammad bin Ismail, Al-Bukhari, Shahih Bukhari, (Beirut
Libanon: Dar al-Fikr, al-Ilmiyah, t.th.), hlm. 588.
13
a. Syarat wajib puasa yang meliputi19
1) Berakal (‘aqli)
Orang yang tidak kuat untuk berpuasa baik karena tua atau sakit yang
tidak dapat diharapkan sembuhnya, tidak diwajibkan atasnya puasa, tapi wajib
bayar fidyah.
b. Syarat syah puasa yang mencakup20 1) Islam
Orang yang bukan Islam (kafir)
Wanita yang diwajibkan puasa selama mereka tidak haid. Jika mereka
sedang haid tidak diwajibkan puasa, tetapi diwajibkan mengerjakan qadha
sebanyak puasa yang ditinggalkan setelah selesai bulan puasa.
Nifas dan wiladah disamakan dengan haid. Bedanya bila sang ibu itu
menyusui anaknya ia boleh membayar fidyah. Disinilah letak perbedaan antara
meninggalkan shalat dan meninggalkan puasa bagi orang yang sedang haid.
Pada shalat, bagi orang haid lepas sama sekali kewajiban shalat,
sedangkan pada puasa tidak lepas, tetapi didenda untuk dibayar (diqadha) pada
waktu yang lain.
4) Dikerjakan dalam waktu atau hari yang dibolehkan puasa.
19
TEAM PENYUSUN TEXT BOOK ILMU FIQH I, ILMU FIQH, JILID I (JAKARTA: PROYEK
PEMBINAAN PRASARANA DAN SARANA PERGURUAN TINGGI AGAMA/IAIN JAKARTA, 1983), HLM.
302.
20
Ibid., hlm. 303.
14
2. Rukun Puasa
Ada dua rukun puasa. Tanpa memenuhi rukun puasa, tidak ada.
Dhurukun puasa itu yaitu:
a. Niat
a. Niat
Berniat mengerjakan sesuatu dengan sadar dan sengaja mengerjakan
sesuatu berarti sesuatu itu dikerjakan dengan kemampuan kita. Hasil perbuatan
itu mungkin baik mungkin tidak. Nilai tidak dikaitkan dengan hasil itu, tetapi
pada nilai perbuatan. Perbuatan khilaf, tidak mampu, tidak tahu akibatnya
karena lupa dan dipaksa oleh keadaan atau oleh orang (sehingga tidak ada jalan
lain) adalah tindakan yang dikerjakan di luar kemampuan. Dengan demikian
perbuatan itu tidak berpangkal dengan niat. Maka betapa buruk atau jahatpun
akibat dari perbuatan itu, si pelaku tidak dibebankan dosa, artinya dinilai tidak
bersalah oleh ajaran Islam.21
Niat itu adalah amalan hati, dan niat puasa dilakukan pada malam hari,
dengan niat itu orang mulai mengarahkan hatinya untuk berpuasa esok hari,
karena Allah SWT. dan mengharap larangan-larangan-Nya. Karena Allah
SWT. dan mengharap ridhaNya. Diingatkannya dan bertekad mengerjakan
suruhan Agama dan meninggalkan larangan-larangan-Nya. Karena itulah yang
mesti mengucapkan niat itu hati. Karena hati itulah memancar kemauan
keharusan niat berpuasa, sebagaimana dalam Hadits Rasul:
21 SIDI GAZALBA, ASAS-ASAS AGAMA ISLAM, (JAKARTA: BULAN BINTANG, 1975), HLM.
142.
15
) (رواه الخمسه.الص يام قبل الفجر فال صيام له
16
22 AL-HAFID BIN HAJAR AL-ASQOLANI, BULUGHUL MARAM, (AN-NASIR: SYIRKATUN
NUR ASYYAA, T.TH), HLM : 132.
17
sesungguhnya Allah SWT. tidak menyukai orang-orang yang berlebih-
lebihan”.23
D. Waktu Puasa
23
R.H.A.Soenarjo, SH., et all, Op., Cit., hlm.225.
24
Hamka, Tafsir al Azhar, juz VIII, (Jakarta: PT. Pustaka Pandji Mas, 1984), hlm. 210.
25
H. Salim Bahreisy dan H. Said Bahresey, Terjemahan Singkat Ibnu Katsier, Jilid III,
(Surabaya; PT. Bina Ilmu, 1986), hlm. 396.
18
berpuasa pada siang hari dan berlaku pada malam harinya. Untuk mengetahui
mulainya puasa atau 1 hari bulan Ramadhan. Allah SWT. dan Rasul
menunjukkan jalannya, yaitu melihat bulan. Sebagaimana dalam firman Allah
SWT. dalam S. al-Baqarah ayat 185:
ََ نا َد َْقرَ َا نف َن أ َْن َز ا َْلقَ َْ آرَ ن نا سى هش َْ َ مر َن
َناوْ ْ َم َْلهَ مت ى َل ََا َلل هَ َدَي َه َا ر
ََْلف َ َبو ي َذي ََ ا
ض
26
R.H.A.Soenarjo, SH. et all, Op.Cit., hlm. 45.
27
M. Quraish Shihab, MA, Wawasan al-Qur'an, (Bandung: Penerbit Mizan, 1996), hlm.
28
20
Menurut istilah fiqh ru’yah adalah melihat bulan untuk menetapkan
satu hari bulan Ramadhan sebagai tanda mulai puasa, dan satu hari bulan
Syawal untuk berhari raya. Sedangkan istilah hisab yaitu menetapkan satu hari
bulan Ramadhan dan satu hari bulan Syawal menurut perhitungan ilmu falak
(hisab).29
Dengan demikian untuk mengetahui jatuhnya waktu puasa dapat
dilakukan dengan melihat bulan (ru’yah) dan dengan ilmu falak (hisab)
E. Keringanan Puasa
Puasa Ramadhan diwajibkan bagi tiap mukmin yang aqil (yang sudah
dapat membedakan sendiri antara yang baik dan buruk). Baligh (sudah dewasa
dan qaddir dan sehat jasmani).30 Wajib dijalankan selama hayat dikandung
badan, dimanapun juga. Apabila seseorang atau sekelompok orang-orang
benar-benar tidak mampu atau sukar sekali untuk menjalankannya, baru
terbuka kelonggaran adalah mereka yang puasa itu menyiksa baginya. Kalau
diperinci orang-orang yang diberi kelonggaran adalah sebagai berikut:31 1. 1.
1. Orang sakit dan orang yang dalam perjalanan. Golongan ini dibebaskan dan
wajib puasa selama sakit atau selama musafir. Akan tetapi mereka diwajibkan
mengganti puasa sebanyak hari yang ditinggalkannya pada hari-hari lain.
3. Perempuan dalam haid (menstruasi), perempuan hamil
dan perempuan yang menyusui anak. Tapi mereka harus
mengqodho lain-lain yang mereka tiada berpuasa atau mereka
membayar fidyah, bagi kedua golongan yang terakhir ini.
Orang tua yang sudah lanjut umur tiada kuasa lagi berpuasa.
4. Orang sakit yang tidak ada harapan lagi sembuh dari sakitnya
5. Mereka yang bekerja berat dan karena berat kerjanya itu tidak kuasa
puasa, seperti pekerja-pekerja tombang, abang-abang becak, buruh-
29
H. Abdullah Siddik, SH. Op.Cit., hlm. 146.
30
Sidi Gazalba, Op.Cit., hlm. 149.
31
Nazaruddin Razak, Dienul Islam, (Bandung: PT. Al-Ma’arif, 1993), hlm. 262.
21
buruh kasar di pabrik-pabrik dan di pelabuhan-pelabuhan dan
sebagainya.
Jadi bukan keinginan yang Allah SWT. tetapi keadaan yang
benarbenar tidak memungkinkan kita. Apabila terhalang mengerjakan
puasa boleh tidak berpuasa di bulan itu, untuk mengerjakannya sesudah
halangan itu lenyap. Atau mengganti hari-hari terlarang berpuasa di bulan
tersebut dengan hari-hari lain. Tetapi kalau halangan itu terus menerus
sehingga betul-betul tidak mampu mengganti hari-hari tidak berpuasa itu
dengan hari-hari lain, bolehlah ia mengganti tiap hari wajib puasa dengan
memberi sedekah makanan kepada orang miskin tiap-tiap hari sebanyak ¾
liter beras satu dengan uang yang seharga dengan beras itu (fidyah)
Puasa itu wajib tetapi Islam tidaklah memberatkan dan
menyaksikan penganutnya, tapi untuk mewujud jalan baginya, di dunia dan
di akhirat.
Apabila suatu kewajiban yang dibebankan Islam benar-benar tidak terpikat
(sehingga benar-benar bersifat menyiksa) dengan sendirinya datang
kelonggaran. Disebutlah firman Allah SWT. dalam surat al-Baqarah ayat
286:
22
32
R. H.A. Soenarjo, S.H., Op.Cit., hlm. 72.
23
boleh tidur. Tidak ada air bolehlah tayamun. Puasa di dalam musafir dan
sakit, boleh diganti di hari yang lain.33
Bahwa dengan demikian puasa itu ialah untuk melindungi mu’min
dan kejahatan bukan untuk menyiksa atau memasukkannya. Karena itu
anak juga belum diwajibkannya puasa, namun demikian ia sudah
dibiasakan sebagai persiapan dan latihan untuk ketika aqil baligh, yang
nantinya puasa sudah menjadi kebiasaannya.
33
Hamka, Tafsir al-Azhar, Juz III, Op. Cit, hlm. 92.
34
M. Quraish Shihab, Wawasan al-Qur'an, Op. cit., hlm. 530
24
Tidak ada jariku yang lebih kuat dan pada makan dan minum
serta berhubungan dengan istri, manakala kita memiliki tiga unsur itu,
namun demikian nafsu itu kita tundukkan, karena puasa. Banyak hal-
hal yang tidak baik tapi menyenangkan. Kita senang melihatnya,
mengucapkannya dan memperbuatnya, tetapi nafsu kita kendalikan
karena puasa.35
Wahbah Al-Zuhaily yang juga menyatakan, “puasa dapat
menenangkan nafsu amarah dan meruntuhkan kekuatan yang
tersalurkan dengan anggota tubuh, seperti, mata, lidah, telinga, dan
kemaluan. Dengan puasa aktivitas nafsu menjadi lemah.36
Puasa yang dilakukan disini ialah mengendalikan hawa nafsu
dan mengontrolnya. Dengan puasa orang siddik untuk mengendalikan
nafsunafsunya. Nafsu-nafsu itu ditundukkannya terhadap kemauan
untuk tunduk atas semata Allah Swt. dengan diri, dari fajar menyingsing
sampai malam. Tiap tahun dalam sebulan lamanya mukmin
mendisiplinkan jiwanya dengan mengendalikan nafsu-nafsu yang vital
dalam dirinya.
2. Disiplin Akhlak
35
Sidi Gazalba, Op.Cit., hlm. 51
36
Wahbah al-Zuhaily, Puasa dan Itikaf, Terj. Agus Effendi dan Bahruddin Funnany,
(Bandung : Remaja Rosdakarya, 1995) hlm. 89.
37
H. Abdullah Sidik, S.H., Op.Cit., hlm. 131.
25
selalu memilih yang baik sehingga melahirkan tingkah laku perbuatan
yang baik pula. Dibiasakan seorang mukmin mendisiplinkan akhlaknya
untuk suatu ketika menjadi kebiasaan dan tabiatnya. Dan tabiat akan
membentuk kepribadian muttaqin yaitu orang yang senantiasa tattaqun.
Disiplin akhlak melindungi jiwa manusia agar dapat menghindarkan
diri dari perbuatan jahat. Puasa dapat menertibkan kemauan dan
jiwanya dari pada maksud-maksud hina dan keji yang senantiasa
menggoda hatinya
3. Disiplin Sosial
38
Wahbah al Zuhayly, Op. Cit., hlm. 88.
26
tumbuh. Disuruh memberikan sebagian makannya kepada orang miskin
dengan zakat fitrah. Kalau itu dilakukan dengan ikhlas terwujudlah nilai
sosial dari puasa.
4. Disiplin Jasmaniah
39
Sidi Gazalba, Op. Cit., hlm. 154.
40
Ibid. hlm. 154.
41
A. A. A. H. al-Hasani ar-Nadwi, Empat Sendi Agama Islam, disadur dari Drs.
Zainuddin et all, (Jakarta: Rineka Cipta, 1991) hlm.213.
27
beriman. Maka nilai dan hikmah rohaniah dan jasmaniah dari puasa itu
hanya akan diterima oleh orang mukmin yang menjalankan puasa atas
dasar iman dan takwa.
Dari uraian-uraian tentang puasa serta melihat dari berbagai
aspek, tergambarlah bahwa puasa sangat banyak hikmah dan efeknya
(pengaruhnya) bagi orang-orang yang melaksanakannya, baik
dipandang sebagai ubudiah maupun sebagai latihan. Secara ringkas
dapat dapatlah dirumuskan hikmah puasa sebagai berikut:
a. Tazkiyat al-Nafsi (membersihkan jiwa), yaitu dengan jalan
mematuhi perintah-perintahnya, menjauhi segala larangan-
larangan-Nya, dan melatih diri untuk menyempurnakan peribadatan
kepada Allah Swt semata.
b. Puasa disamping menyehatkan badan sebagaimana yang telah
diteliti oleh dokter spesialis, juga memenangkan aspek kejiwaan
atas aspek materiil yang ada dalam diri manusia.
c. Puasa mendidik iradah (kemauan), mengendalikan hawa nafsu,
42
Yusuf Qardhawi, Fiqh Puasa, (Surakarta: Era Inter Media, 2000), hlm. 21-27.
28
a. Untuk menanamkan rasa sayang dan ramah kepada fakir miskin,
kepada anak yatim dan kepada orang melarat hidupnya.
b. Untuk membiasakan diri dan jiwa memelihara amanah. Perlu
diketahui bahwa puasa itu suatu amalan Allah Swt yang berat dan
sukar. Maka apabila kita dapat memelihara amanah Allah Swt
dengan sempurna terdidiklah kita untuk memelihara segala amanah
yang sempurna yang dipertaruhkan kepada manusia.
c. Untuk menyuburkan dalam jiwa manusia kekuatan menderita, bila
terpaksa menderita dan untuk menguatkan iradah atau kehendak
manusia dan untuk meneguhkan keinginan dan kemauan.43
43
TM. HASBY ASH-SHIDDIQIE, PEDOMAN PUASA, (SEMARANG: PT. PUSTAKA RIZKI
PUTRA, 1997), HLM. 44.
BAB III
PENUTUP
29
puasa (shiyam) adalah suatu substansi ibadah kepada Allah Swt. yang
memiliki syarat dan rukun tertentu dengan jalan menahan diri dari segala
keinginan syahwat, perut, dan dari segala sesuatu yang masuk ke dalam
kerongkongan, baik berupa makanan, minuman, obat dan semacamnya, sejak
terbit fajar hingga terbenam matahari yang dilakukan oleh muslim yang
berakal, tidak haid, dan tidak pula nifas yang dilakukan dengan yakin dan
disertai dengan niat.
30
Daftar Pustaka
Al-Zuhaily,W. 1995. Puasa dan Itikaf, Terj. Agus Effendi dan Bahruddin Funnany,
Bandung : Remaja Rosdakarya.
Bahreisy,S. 1986. Terjemahan Singkat Ibnu Katsier, Jilid III. Surabaya; PT.
Bina Ilmu.
Bisri A.dkk.1999 Kamus Indonesia Arab. Surabaya: Pustaka Progressfme.
Mardiwarsito,L. 1978. Kamus Jawa Kuno Indonesia(KAWI). Indonesia: Nusa Indah
Rahman,S. 1993. The Right of Allah and Human Right, Delhi: Shandar Market.
Quraish,S. Wawasan al-Qur'an, Op. cit., hlm. 530
Siddik.A.1982. Azas-azas Hukum Islam. Jakarta: Wijaya Kuliah Ibadah, Op.Cit., hlm.
7.
Sidi Gazalba, Op.Cit., hlm. 51
31
32