Anda di halaman 1dari 32

PUASA RAMADHAN MENURUT AL QUR’AN

MAKALAH
Di susun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Tafsir Hadits II

Fiqih Ibadah Muamalah

Dosen Pengampu : H. Mukhroji M.S.I.

Disusun Oleh :

1. Neni Dwi Handayani ( 1917402308 )

2. Fitri Nurul Ichsani ( 1917402309 )

3. Siti Juleha ( 1917402310 )

4. May Insiatul Khanifah ( 1917402311 )

PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN

INSTITUT AGAMA ISLAM PURWOKERTO

2021

1
KATA PENGANTAR

Bismillahhirohmanirohim,

Dengan mengucapkan syukur Alhamdulillah kehadirat Allah SWT. Atas


segala limpahan rahmat, taufik, hidayah dan inayah-Nya, sehingga kami dapat
menyelesaikan penulisan Makalah terhadap diri sendiri ini tepat pada
waktunya. Makalah ini adalah materi untuk mata kuliah Tafsir Hadits II : Fiqih
Ibadah Muamalah di Institut Agama Islam Negeri Purwokerto. Makalah ini
ditulis untuk memenuhi tugas mata kuliah Tafsir Hadits II : Fiqih Ibadah
Muamalah yang diampu oleh Bapak H. Mukhroji M.S.I. Kami berharap
dengan adanya makalah ini dapat memberikan sedikit kontribusi bagi para
pembaca khususnya mahasiswa dalam mengenal Puasa Ramadhan Menurut
Al qur’an. Makalah ini terdiri dari beberapa komponen dengan pemaparan atau
pembahasan yang nanti akan dijelaskan. Kami menyadari bahwa apa yang
disajikan dalam makalah ini masih jauh dari kata sempurna. Untuk itu dengan
segala kerendahan hati kami mengharap kepada semua pihak atas segala saran
dan kritiknya demi kesempurnaan makalah ini. Akhirnya dengan syukur
alhamdulillah atas terselesainya makalah yang sederhana ini, diiringi doa
semoga bermanfaat bagi kami khususnya dan pembaca pada umumnya.

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ................................................................................... 1

DAFTAR ISI .................................................................................................. 2

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah .......................................................................... 3

B. Rumusan Masalah ..................................................................................... 3

C. Tujuan Masalah ........................................................................................ 3

BAB II PEMBAHASAN

A. Pengertian Puasa ....................................................................................... 4

B. Dasar Hukum Puasa.................................................................................. 7

C Syarat dan Rukun Puasa. ........................................................................ 10

D. Waktu Dilaksanakan Berpuasa. ............................................................ 11

E. Keringanan Puasa. .................................................................................. 13

F. Tujuan dan Hikmah Puasa. .................................................................... 14

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan .............................................................................................. 16

DAFTAR PUSTAKA

3
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang

Puasa merupakan ibadah yang telah lama berkembang dan


dilaksanakan oleh manusia sebelum Islam. Islam mengajarkan agar manusia
beriman kepada Allah SWT, kepada malaikat-malaikatNya, kepada kitab-
kitabNya, kepada rosul-rosulNya, kepada hari akhirat dan kepada qodo
qodarNya. Islam juga mengajarkan lima kewajiban pokok, yaitu mengucapkan
dua kalimat syahadat, sebagai pernyataan kesediaan hati menerima Islam
sebagai agama, mendirikan sholat, membayar zakat, mengerjakan puasa dan
menunaikan ibadah haji.
Saumu (puasa), menurut bahasa Arab adalah “menahan dari segala
sesuatu”, seperti menahan makan, minum, nafsu, menahan berbicara yang
tidak bermanfaat dan sebagainya. Sedangkan menurut istilah, puasa adalah
menahan diri dari sesuatu yang membatalkannya, satu hari lamanya, mulai dari
terbit fajar sampai terbenamnya matahari dengan niat dan beberapa syarat.
Puasa merupakan ibadah yang memiliki keistimewaan dibandingkan dengan
ibadah-ibadah yang lain, seperti dituntutnya pelaku untuk benar-benar ikhlas
melakukannya, karena ibadah puasa boleh dikatakan sebagai ibadah yang
sifatnya rahasia, maka puasa hanya dapat dilaksanakan dengan baik oleh
orang-orang yang beriman.
B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian puasa?
2. Apa dasar hukum puasa?
3. Apa saja syarat dan rukun puasa?
4. Kapan waktu dilaksakan puasa?
5. Apa keringanan puasa?
6. Apa tujuan hikmah puasa?
C. Tujuan

4
1. Mengetahui pengertian puasa
2. Mengetahui dasar hukum puasa
3. Mengetahui syarat dan rukun puasa
4. Mengetahui waktu dilaksakan puasa
5. Mengetahui keringanan puasa
6. Mengetahui tujuan hikmah puasa
BAB II
PEMBAHASAN

PENGERTIAN DAN RUANG LINGKUP IBADAH PUASA

Puasa merupakan ibadah yang memiliki keistimewaan dibandingkan dengan


ibadah-ibadah yang lain, seperti dituntutnya pelaku untuk benar-benar ikhlas
melakukannya, karena ibadah puasa boleh dikatakan sebagai ibadah yang
sifatnya rahasia, maka puasa hanya dapat dilaksanakan dengan baik oleh
orangorang yang beriman saja.

A. Pengertian Ibadah Puasa

1. Pengertian Ibadah

Ibadah merupakan perbuatan untuk menyatakan bakti kepada Allah Swt


yang didasari mengerjakan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya.1

Ibadah secara bahasa (etimologi) berarti “ta’at” menurut, mengikuti,


tunduk yaitu tunduk yang setinggi-tingginya dengan do’a.2
Ibadah dalam bahasa Arab adalah ‫ عبودية) اﷲ‬,‫عبادة (عبودة‬-‫يعبد‬-‫ عبد‬Artinya,
menyembah, mengabdi, menghinakan diri kepada Allah Swt.3
Sedangkan secara terminologi, para ulama fiqh memberikan definisi
ibadah sebagai berikut:

1
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta:
Balai Pustaka, 1997), hlm. 364.
2
M. Hasbi Ash-Shiddieqy, Kuliah Ibadah, (Jakarta: Bulan Bintang, 1985), hlm. 1.
3
H. Mahmud Yusuf, Kamus Arab Indonesia, (Jakarta: PT. Hidakarya Agung, 1989), hlm.
252.

5
Yusuf Qardhawi memberikan definisi ibadah adalah puncak
perendahan diri seseorang yang berkaitan erat dengan puncak kecintaan
kepada Allah Swt.45 Abdullah Siddik berpendapat bahwa ibadah adalah usaha
manusia yang dipersembahkan kepada Allah SWT yang Mah Esa demi
keselamatan diri manusia masing-masing di dunia dan di akhirat dan berpokok
lima. Kelima ibadah itu disebut dalam syari’at dengan hukum Islam. 6

Sedangkan ibadah menurut Hasbi ash Shiddieqy, ibadah mempunyai dua


pengertian, makna khas (tertentu) dan makna ‘am (lengkap, umum). Makna
khas, yaitu segala hukum yang dikerjakan untuk mengharap pahala di akhirat,
dikerjakan sebagai tanda pengabdian kita kepada Allah dan di ridhoi oleh-
Nya.6
Beberapa definisi tersebut, meskipun berbeda kalimatnya, akan tetapi
tidak berjauhan maksudnya. Ibadah merupakan mengabdi, tunduk, taat kepada
Allah Swt. Ibadah adalah ketundukan kepada Allah Swt dengan menjalankan
perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya.
Dengan demikian dapat disimpulkan pengertian ibadah adalah usaha
dan perbuatan manusia yang dilakukan untuk memperoleh keselamatan bagi
dirinya di dunia dan akhirat.
2. Pengertian Puasa

a. Pengertian puasa secara etimologi

Kata puasa yang dipergunakan untuk menyebutkan arti dari alShaum


dalam rukun Islam keempat ini dalam Bahasa Arab disebut ,‫ صوم صيام‬yang
berarti puasa. 7 Menurut L. Mardiwarsito dalam bahasa kawi disebut
“upawasa” yang berarti berpuasa.8 Dalam Bahasa Arab dan alQur’an puasa

4
Yusuf Qardhawi, Konsep Kaidah dalam Islam, (Surabaya: Central Media, 1993), hlm.
5.
6
H. Abdillah Siddik, SH., Azas-azas Hukum Islam, (Jakarta: Wijaya, 1982), hlm. 70.
6
M. Hasbi Ash-Shiddieqy, Kuliah Ibadah, Op.Cit., hlm. 7.
7 K.H. ADIB BISRI DAN K.H. MUNAWAR AL-FATAH, KAMUS INDONESIA ARAB, ARAB
INDONESIA, (SURABAYA: PUSAKA PROGESSIFME, 1999), HLM. 272.
8 L. MARDIWARSITO, KAMUS JAWA KUNO(KAWI), (INDONESIA: NUSA INDAH, 1978), HAL.
380.

6
disebut shaum atau shiyam yang berarti menahan diri dari sesuatu dan
meninggalkan sesuatu atau mengendalikan diri.9 Abi Abdillah Muhammad bin
Qasim al-Syafi’i mengatakan:
Artinya: “Kata shiyam dan shaum keduanya merupakan bentuk mashdar dari
fi'il madhi shaama yang secara lughat (bahasa) berarti menahan diri dari
makan, berbicara, dan berjalan”.10
b. Pengertian puasa secara terminologi.
Secara terminologi, pengertian puasa banyak dikemukakan oleh para ahli, di
antaranya oleh:
Abi Abdillah Muhammad bin Qasim al-Syafi'i
‫(ال صيام (وشرعا امساك عن مفط ر) من نحو شهوت ي الف رج وال بطن لطا عة المول ى (بن ية‬1
‫مخصوصة) آن ية الصوم عن رمضان او آفارة او نذ ر(جميع نها ر) من اول النهار الى‬
‫اخره (قابل للصوم) فخرج به يوما العيد وايام التش ريق ويوم الشك با ل سبب (من مسلم‬
‫عاقل) اي مميز(طا هر من حيض ونف اس‬
10 ‫جميع النها ر ومن اغماء وسكر ف ي بع ضه‬
‫ )ووالدة‬Artinya: “Puasa menurut syara' adalah menahan diri dari segala
sesuatu yang dapat membatalkannya seperti keinginan untuk bersetubuh, dan
keinginan perut untuk makan semata-mata karena taat (patuh) kepada Tuhan
dengan niat yang telah ditentukan seperti niat puasa Ramadlan, puasa kifarat
atau puasa nadzar pada waktu siang hari mulai dari terbitnya fajar sampai
terbenamnya matahari sehingga puasanya dapat diterima kecuali pada hari
raya, hari-hari tasyrik dan hari syak, dan dilakukan oleh seorang muslim yang
berakal (tamyiz), suci dari haid, nifas, suci dari wiladah (melahirkan) serta
tidak ayan dan mabuk pada siang hari”.

2) Menurut Abi Yahya Zakaria al-Anshari:

9
MOHAMMAD DAUD ALI, S.H., PENDIDIKAN AGAMA ISLAM, (JAKARTA: PT. RAJA
GRAFINDO PERSADA, 1998), HAL. 276.
10
Ibid., hal. 110.

7
11 ‫وشرعا امساك عن المفطر على وجه مخصوص‬
Artinya: “Puasa menurut istilah syara' (terminologi) yaitu menahan
diri dari segala sesuatu yang dapat membatalkannya sesuai dengan tata cara
yang telah ditentukan”.

3) Imam Taqiyuddin Abu Bakar bin Muhammad al-Husaini


mengartikan puasa sebagai berikut:

12 ‫الصي ام وهو في الش رع امس اك مخصوص من شخص مخصوص في وقت مخصوص بش رائط‬

Artinya: “Puasa menurut syara' adalah menahan diri dari sesuatu yang
telah ditentukan bagi seseorang yang telah ditentukan pula pada waktu
tertentu dengan beberapa syarat”.

Imam Muhammad bin Ismail al-Kahlan


‫(االمساك عن اأآلل وال ش رب وال جماع وغي ر ها مما وردبه الش رع ف ى انهار عل ى الوحد‬4
‫المش روع ويتبع ذلك االمساك عن اللغو وال رفث وغي رها من الكالم والمحرم والمك روه‬
‫لوروداألحاديث بالن ه ي عنها في الصوم زيادة عل ى غي ره فى وقت مخص وص‬
13 .‫محصوصة‬
‫ بص روط‬Artinya: “Menahan diri dari makan, minum dan hubungan
seksual dan
lain-lain yang telah diperintahkan menahan diri dari padanya sepanjang hari
menurut cara yang telah disyaratkan. Disertai pula menahan diri dari
perkataan siasia (membuat), perkataan yang merangsang (porno), perkataan-
perkataan lainnya baik yang haram maupun yang makruh pada waktu yang
telah disyariatkan, disertai pula memohon diri dari perkataan-perkataan
lainnya baik yang haram maupun yang makruh pada waktu yang telah
ditetapkan dan menurut syara’ yang telah ditentukan”.
Fathul Mu’

11
Abi Yahya Zakaria al-Anshari, Fath al-Wahab bi Syarhi Manhaj al-Thulab,Juz I,
(Semarang: Maktabah wa Mathba'ah, Toha Putra, t.th.), hal, 118.
12
Imam Taqiyudin Abu Bakar bin Muhammad al-Husaini, Kifayat al-Akhyar Fi Hilli
Ghayat al-Ikhtishar, Juz I, (Semarang: Maktabah wa Mathba'ah, Toha Putra, t.th.), hal. 204.
13
Imam Muhammad bin Ismail al-Kahlani, Subulus Salam, Jilid III (Beirut: Darul al

8
Kitab al Ilmiyah, t.th.), hlm. 305.

9
ini .‫ لغة االمسا وش رعا امساك عن مفط ر بش روطه االتية‬:‫(هو‬5
Artinya: “Puasa menurut bahasa, kata
mempunyai arti “menahan” sedang menurut syara’ adalah
menahan diri dari segala yang membatalkan puasa dengan syarat-syarat”.14

6) Abdur Rahman Shad dalam bukunya yang berjudul The Rights of


Allah and Human Rights mengatakan:

"Fasting is a noble act of high merits because who so ever


observes it, suppresses his carnal lust, abjures his pleasures and
abstains from eating and drinking for his sake".15

“Puasa adalah perbuatan mulia yang mengandung manfaat


besar bagi siapa saja yang melaksanakannya, yaitu dengan
menahan hawa nafsu, meninggalkan kesenangan, dan menahan
makan dan minum yang dilakukan semata-mata karena Allah.”

Dari beberapa definisi di atas maka dapat ditarik pengertian


bahwa puasa (shiyam) adalah suatu substansi ibadah kepada Allah Swt.
yang memiliki syarat dan rukun tertentu dengan jalan menahan diri dari
segala keinginan syahwat, perut, dan dari segala sesuatu yang masuk ke
dalam kerongkongan, baik berupa makanan, minuman, obat dan
semacamnya, sejak terbit fajar hingga terbenam matahari yang
dilakukan oleh muslim yang berakal, tidak haid, dan tidak pula nifas
yang dilakukan dengan yakin dan disertai dengan niat.

B. Dasar Hukum Puasa

Allah Swt. memerintahkan hambanya untuk beribadah kepada-


Nya. Pada bulan Ramadhan Allah Swt. mewajibkan pada umat-Nya yang

14
Syeh Zainudin bin Abdul Aziz al-Malyabars, Fath al-Mu’in bi Syarhi Qurrot al-A’in,
(Indonesia: Dar al-Ikhya al Kutub al-Arabiyah, t. th), hlm. 54
15
Abdur Rahman Shad, The Right of Allah and Human Right, (Delhi: Shandar Market,
1993), hal. 47

10
beriman untuk menjalankan ibadah puasa. Sebagaimana dalam firman
Allah SWT. surat al-Baqarah ayat 183:
‫َن ْكَ َْم‬ ْ َْ ‫اَ َ ل‬ ‫ت‬ َ‫اَ مآ‬ َ ‫َب‬ ‫َيا أَ اَ َ ل َذي ن ن‬
‫ََوا ت‬
‫َذي ن قَ َْب‬ َ‫آ َمي آَ علَ َْي مال ك َام آَ ص‬
‫َلم‬ َ‫ل‬
‫َى‬ ‫ب‬
َ

)183:‫لَعََ ْكَ َْمتتقَ َو ن(البق رة‬


‫ل‬
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman diwajibkan atas kamu berpuasa
sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu, agar
kamu bertaqwa”. (Q.S. al-Baqarah: 183)16

Pada awal ayat dipergunakan kata-kata panggilan kepada orangorang


yang beriman (‫ )امنوا‬tentu hal ini mempunyai maksud-maksud yang terkandung
didalamnya. Karena puasa itu bukan suatu ibadah yang ringan, yakni harus
menahan makan, minum, bersenggama dan keinginan-keinginan lainnya.
Sudah tentu yang dapat melaksanakan ibadah tersebut hanyalah orang-orang
yang beriman saja. Dalam hal ini Prof. Hamka menjelaskan:

“Abdillah bin Mas’ud pernah mengatakan, bahwa apabila sesuatu ayat


telah dimulai dengan panggilan kepada orang-orang yang percaya sebelum
sampai ke akhirnya kita sudah tahu bahwa ayat ini mengandung suatu perihal
yang penting ataupun suatu larangan yang berat. Sebab Tuhan Yang Maha
Tahu telah memperhitungkan terlebih dahulu bahwa yang bersedia
menggalangkan bahu buat memikul perintah Ilahi itu hanya orang yang
beriman Maka perintah puasa adalah salah satu perintah yang meminta
pengorbanan kesenangan dia dan kebiasaan tiap hari. 17

Berdasarkan ayat di atas tegas bahwa, Allah Swt. mewajibkan puasa


kepada hamba-hamba-Nya yang beriman, sebagaimana Dia telah mewajibkan
kepada para pemeluk agama sebelum mereka. Dia telah menerangkan sebab
diperintahkannya puasa dengan menerangkan sebab diperintahkannya puasa
dengan menjelaskan faedah-faedahnya yang besar dan hikmah-hikmahnya

11
16
R. H.A. Soenarjo, SH, et.al., Al-Qur’an dan Terjemahannya, (Semarang: CV. Toha
Putra, 1989), hlm. 44.
17
Hamka, Tafsir al-Azhar, Jilid II, (Jakarta: PT. Pustaka, Panji Mas, 1994), hlm. 90.

12
yang tinggi, yaitu mempersiapkan jiwa orang yang berpuasa untuk
mempercayai derajat yang takwa kepada Allah Swt dengan meninggalkan
keinginan-keinginan yang dibolehkan demi mematuhi perintah-Nya dan demi
mengharapkan pahala dari sisi-Nya, supaya orang mukmin termasuk golongan
orang-orang yang bertakwa kepada-Nya yang menjauhi laranganlarangan-
Nya.
Perintah puasa bagi umat Islam diwajibkan oleh Allah SWT. pada bulan
yang mulia yaitu bulan Ramadhan karena di bulan Ramadhan itulah
diturunkan al-Qur’an kepada umat manusia melalui Nabi besar Muhammad
Saw.
Rasulullah memberi petunjuk tentang ketentuan tibanya waktu
kewajiban yaitu datangnya bulan suci Ramadhan, dengan sabdanya: ‫ليلة عن‬
‫ الشهر تسع وعشرون‬:‫م قال‬.‫عبداﷲ ان رسول اﷲ ص‬
18)‫فالتصومواحتىتروه فإن غم عليكم فأآملوا لعدة ثالثين (رواه البخا رى‬
Artinya: “Dan Abdullah katanya, sesungguhnya Rasulullah bersabda:
sebulan dua puluh sembilan malam, maka janganlah kamu puasa
hingga kamu melihatnya, jika tertutup atasmu cukupkanlah tiga
puluh (H.R. Bukhari)

Petunjuk Rasulullah di atas menunjukkan bahwa umat Islam wajib


melaksanakan puasa di bulan Ramadhan, yakni “apabila telah melihat bulan,
atau dengan persaksian seorang yang adil, apabila tidak terlihat bulan dan tidak
ada persaksian tentang telah ada bulan, beliau menyempurnakan bulan
Sya’ban 30 hari”

C. Syarat dan Rukun puasa

1. Syarat puasa

Pada ulama ahli fiqh membedakan syarat-syarat puasa atas:

18
Al-Imam Abu Abdillah Muhammad bin Ismail, Al-Bukhari, Shahih Bukhari, (Beirut
Libanon: Dar al-Fikr, al-Ilmiyah, t.th.), hlm. 588.

13
a. Syarat wajib puasa yang meliputi19

1) Berakal (‘aqli)

Orang yang gila tidak diwajibkan puasa

2) Baligh (sampai umur)


Oleh karena itu anak-anak belum wajib berpuasa

3) Kuat berpuasa (qadir)

Orang yang tidak kuat untuk berpuasa baik karena tua atau sakit yang
tidak dapat diharapkan sembuhnya, tidak diwajibkan atasnya puasa, tapi wajib
bayar fidyah.
b. Syarat syah puasa yang mencakup20 1) Islam
Orang yang bukan Islam (kafir)

2) Mumayiz (mengerti dan mampu membedakan yang baik dengan


yang baik)
3) Suci dari pada darah haid, nifas dan wiladah

Wanita yang diwajibkan puasa selama mereka tidak haid. Jika mereka
sedang haid tidak diwajibkan puasa, tetapi diwajibkan mengerjakan qadha
sebanyak puasa yang ditinggalkan setelah selesai bulan puasa.

Nifas dan wiladah disamakan dengan haid. Bedanya bila sang ibu itu
menyusui anaknya ia boleh membayar fidyah. Disinilah letak perbedaan antara
meninggalkan shalat dan meninggalkan puasa bagi orang yang sedang haid.
Pada shalat, bagi orang haid lepas sama sekali kewajiban shalat,
sedangkan pada puasa tidak lepas, tetapi didenda untuk dibayar (diqadha) pada
waktu yang lain.
4) Dikerjakan dalam waktu atau hari yang dibolehkan puasa.

19
TEAM PENYUSUN TEXT BOOK ILMU FIQH I, ILMU FIQH, JILID I (JAKARTA: PROYEK
PEMBINAAN PRASARANA DAN SARANA PERGURUAN TINGGI AGAMA/IAIN JAKARTA, 1983), HLM.
302.
20
Ibid., hlm. 303.

14
2. Rukun Puasa

Ada dua rukun puasa. Tanpa memenuhi rukun puasa, tidak ada.
Dhurukun puasa itu yaitu:

a. Niat

b. Menahan diri dari segala yang membukakan

a. Niat
Berniat mengerjakan sesuatu dengan sadar dan sengaja mengerjakan
sesuatu berarti sesuatu itu dikerjakan dengan kemampuan kita. Hasil perbuatan
itu mungkin baik mungkin tidak. Nilai tidak dikaitkan dengan hasil itu, tetapi
pada nilai perbuatan. Perbuatan khilaf, tidak mampu, tidak tahu akibatnya
karena lupa dan dipaksa oleh keadaan atau oleh orang (sehingga tidak ada jalan
lain) adalah tindakan yang dikerjakan di luar kemampuan. Dengan demikian
perbuatan itu tidak berpangkal dengan niat. Maka betapa buruk atau jahatpun
akibat dari perbuatan itu, si pelaku tidak dibebankan dosa, artinya dinilai tidak
bersalah oleh ajaran Islam.21
Niat itu adalah amalan hati, dan niat puasa dilakukan pada malam hari,
dengan niat itu orang mulai mengarahkan hatinya untuk berpuasa esok hari,
karena Allah SWT. dan mengharap larangan-larangan-Nya. Karena Allah
SWT. dan mengharap ridhaNya. Diingatkannya dan bertekad mengerjakan
suruhan Agama dan meninggalkan larangan-larangan-Nya. Karena itulah yang
mesti mengucapkan niat itu hati. Karena hati itulah memancar kemauan
keharusan niat berpuasa, sebagaimana dalam Hadits Rasul:

‫ من لم يبيت‬:‫ م قال‬.‫وعن حف صة ام المؤمنين أن النبى ص‬

21 SIDI GAZALBA, ASAS-ASAS AGAMA ISLAM, (JAKARTA: BULAN BINTANG, 1975), HLM.
142.

15
)‫ (رواه الخمسه‬.‫الص يام قبل الفجر فال صيام له‬

Artinya: “Dari Hafsah Ummul Mu’minin ra bahwasanya Nabi SAW


bersabda: “Barangsiapa yang tidak menetapkan berpuasa sebelum fajar,
maka tidak sah berpuasanya.22

Hadits di atas menyatakan bahwa puasa tidak sah kecuali dengan


menetapkan niat pada waktu malam sebelum terbit fajar dan waktu penetapan
niat itu semenjak terbenam matahari. Sebagaimana dijelaskan dalam Kitab
Subulus Salam:
Dalam ilmu kesehatan ada orang yang berpuasa untuk kesehatan,
berpuasa tanpa adanya niat puasa untuk melaksanakan ibadah, tapi semata-
mata untuk kesehatannya. Orang yang demikian akan mendapatkan manfaat
jasmaniah saja, tapi tidak mendapatkan rohaniah. Dengan demikian niat puasa
harus ada pada orang yang berpuasa, karena tanpa niat berarti tidak ada puasa.
b. Menahan dari segala yang membatalkan puasa
Dengan niat berpuasa sungguh-sungguh maka orang yang berpuasa
tidak saja menahan untuk tidak makan, tidak minum dan tidak pula bersetubuh
dengan suami dan istri dari terbit fajar sampai terbenam matahari. Tetapi juga
menjauhkan segala perbuatan kotor dan jahat. Orang yang berpuasa menahan
haus dan lapar sepanjang hari tetapi setelah malam lalu makan dan minum
sebanyak-banyak menghilangkan akan maksud puasa yang dikehendaki Allah
SWT. sebagaimana firman Allah SWT. dalam QS. al-A’raf ayat 31:

‫مس وآَ ل اوش َر َبوا َ اول‬ ‫ْ ع ْن َآ ل‬ ‫خ يزن‬ َ ‫َني آ‬ ‫َيا‬


‫َ د وا‬ َ
‫د‬ َ ‫َ م َ َت‬ ‫َدب‬
‫ذَ وا َ َْمك‬

)31:‫ي ا َْل سَرفي ن(ألعراف‬ ‫ََوا َإ‬


‫تَس َر ف‬
‫ن َهال َ َمب‬
‫َح‬

Artinya: “Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap


(memasuki) masjid, makan dan minumlah dan janganlah berlebih-lebihan,

16
22 AL-HAFID BIN HAJAR AL-ASQOLANI, BULUGHUL MARAM, (AN-NASIR: SYIRKATUN
NUR ASYYAA, T.TH), HLM : 132.

17
sesungguhnya Allah SWT. tidak menyukai orang-orang yang berlebih-
lebihan”.23

Pada ayat di atas menjelaskan bahwa Wahai anak-anak Adam: pakailah


perhiasan kamu pada tiap-tiap masjid. Dengan menyampaikan seruan kepada
seluruh anak Adam, dapatlah kita fahamkan bahwa agama Islam bukanlah
khusus untuk suatu bangsa saja, melainkan benarlah bahwa Muhammad Saw
rahmat bagi seluruh Islam, laki-laki dan perempuan. Disini diperintahkan
kepada mereka tegasnya kepada kita masuk ke suatu masjid ialah kalau kita
hendak bersujud sembahyang, karena arti asal dari masjid ialah tempat sujud,
hendaklah kita upamakan perhiasan. Artinya hendaklah memakai pakaianmu
yang pantas.24
Sedangkan menurut Ibnu Katsir, ayat ini sebagai penolakan atas
pendapat kaum musyakan yang towaf di Ka’bah dengan telanjang.
Sebagaimana diriwayatkan oleh Ibnu Abbas. Karena itu maka Allah dalam
ayat ini menyuruh berpakaian terutama yang dapat menutupi aurat dan juga
dianjurkan memakai pakaian yang bagus pada tiap ibadah di masjid untuk
sholat dan towaf.25
Ditinjau dari ilmu kesehatan makan yang berlebih-lebihan
membahayakan kesehatan biarpun tidak dalam puasa, apalagi dalam puasa
sesudah perut dalam keadaan kosong. Orang yang berpuasa pada siang hari
sedang dalam malam harinya ia makan dan minum sepuas-puasnya, bukanlah
timbul dari iman dan keinsyafan akan perbaikan dan faedah puasa yang
dikehendaki itu.

D. Waktu Puasa

Allah SWT. telah memilih bulan Ramadhan, yaitu bulan diturunkannya


Al-Qur’an untuk berpuasa pada bulan itu kaum muslimin diperintahkan

23
R.H.A.Soenarjo, SH., et all, Op., Cit., hlm.225.
24
Hamka, Tafsir al Azhar, juz VIII, (Jakarta: PT. Pustaka Pandji Mas, 1984), hlm. 210.
25
H. Salim Bahreisy dan H. Said Bahresey, Terjemahan Singkat Ibnu Katsier, Jilid III,
(Surabaya; PT. Bina Ilmu, 1986), hlm. 396.

18
berpuasa pada siang hari dan berlaku pada malam harinya. Untuk mengetahui
mulainya puasa atau 1 hari bulan Ramadhan. Allah SWT. dan Rasul
menunjukkan jalannya, yaitu melihat bulan. Sebagaimana dalam firman Allah
SWT. dalam S. al-Baqarah ayat 185:
َ‫َ نا َد َْقرَ َا نف‬ َ‫ن‬ ‫أ َْن َز ا َْلقَ َْ آرَ ن نا سى‬ ‫هش َْ َ مر َن‬
‫َناو‬ْ ْ ‫َم‬ ‫َْلهَ مت ى‬ ‫َل ََا‬ ‫َلل هَ َدَي َه‬ َ‫ا‬ ‫ر‬
َ‫َْلف‬ َ َ‫بو ي‬ ‫َذي‬ َ‫َ ا‬
‫ض‬

)185 :‫َ َْمه (البق رة‬‫ص‬ْ ‫َ َْل َي‬‫ش َم ك‬ ‫ه‬


َ‫د َْ َمالش َرف‬
َ ‫ن‬

Artinya: “(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan,


bulan yang didalamnya diturunkan (permulaan) Al-Qur’an sebagai petunjuk
bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda
(antara yang hak dan yang batil). Karena itu, barang siapa diantara kamu
hadir (…tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa) Q.S.
Al Baqarah: 185.26

Quraish Shihab berpendapat bahwa uraian al-Qur'an tentang puasa


Ramadhan, ditemukan dalam surat Al Baqarah ayat 183, 184, 185 dan 187, ini
berarti bahwa puasa Ramadhan itu diwajibkan setelah Nabi saw, tiba di
Madinah, karena Ulama’ al-Qur'an sepakat bahwa surat Al Baqarah turun di
Madinah. Para sejarawan menyatakan bahwa kewajiban melaksanakan puasa
Ramadhan ditetapkan oleh Allah Swt pada 10 Sya’ban tahun kedua Hijrah.
Uraian al-Qur'an tentang kewajiban puasa di bulan Ramadhan, dimulai dengan
satu pendahuluan yang mendorong umat Islam untuk melaksanakannya
dengan baik, tanpa sedikit kesalahan pun.2728
Dalam ayat di atas secara jelas menyatakan bahwa orang mulai
berpuasa sesudah melihat bulan dalam arti sesudah masuk bulan Ramadhan
dan bukan dalam arti sesudah tiap-tiap kita melihat bulan. Begitu juga dengan
hendak berhari raya karena dalam melakukan cara ru’yah cukup dengan satu
keterangan satu saksi saja. Saksi seorang muslim telah cukup syarat untuk
mulai berpuasa tetapi jika ada dua atau lebih saksi yang mengaku melihat
19
bulan itu adalah lebih baik dan afdhol.

26
R.H.A.Soenarjo, SH. et all, Op.Cit., hlm. 45.
27
M. Quraish Shihab, MA, Wawasan al-Qur'an, (Bandung: Penerbit Mizan, 1996), hlm.
28

20
Menurut istilah fiqh ru’yah adalah melihat bulan untuk menetapkan
satu hari bulan Ramadhan sebagai tanda mulai puasa, dan satu hari bulan
Syawal untuk berhari raya. Sedangkan istilah hisab yaitu menetapkan satu hari
bulan Ramadhan dan satu hari bulan Syawal menurut perhitungan ilmu falak
(hisab).29
Dengan demikian untuk mengetahui jatuhnya waktu puasa dapat
dilakukan dengan melihat bulan (ru’yah) dan dengan ilmu falak (hisab)

E. Keringanan Puasa

Puasa Ramadhan diwajibkan bagi tiap mukmin yang aqil (yang sudah
dapat membedakan sendiri antara yang baik dan buruk). Baligh (sudah dewasa
dan qaddir dan sehat jasmani).30 Wajib dijalankan selama hayat dikandung
badan, dimanapun juga. Apabila seseorang atau sekelompok orang-orang
benar-benar tidak mampu atau sukar sekali untuk menjalankannya, baru
terbuka kelonggaran adalah mereka yang puasa itu menyiksa baginya. Kalau
diperinci orang-orang yang diberi kelonggaran adalah sebagai berikut:31 1. 1.
1. Orang sakit dan orang yang dalam perjalanan. Golongan ini dibebaskan dan
wajib puasa selama sakit atau selama musafir. Akan tetapi mereka diwajibkan
mengganti puasa sebanyak hari yang ditinggalkannya pada hari-hari lain.
3. Perempuan dalam haid (menstruasi), perempuan hamil
dan perempuan yang menyusui anak. Tapi mereka harus
mengqodho lain-lain yang mereka tiada berpuasa atau mereka
membayar fidyah, bagi kedua golongan yang terakhir ini.

Orang tua yang sudah lanjut umur tiada kuasa lagi berpuasa.
4. Orang sakit yang tidak ada harapan lagi sembuh dari sakitnya

5. Mereka yang bekerja berat dan karena berat kerjanya itu tidak kuasa
puasa, seperti pekerja-pekerja tombang, abang-abang becak, buruh-

29
H. Abdullah Siddik, SH. Op.Cit., hlm. 146.
30
Sidi Gazalba, Op.Cit., hlm. 149.
31
Nazaruddin Razak, Dienul Islam, (Bandung: PT. Al-Ma’arif, 1993), hlm. 262.

21
buruh kasar di pabrik-pabrik dan di pelabuhan-pelabuhan dan
sebagainya.
Jadi bukan keinginan yang Allah SWT. tetapi keadaan yang
benarbenar tidak memungkinkan kita. Apabila terhalang mengerjakan
puasa boleh tidak berpuasa di bulan itu, untuk mengerjakannya sesudah
halangan itu lenyap. Atau mengganti hari-hari terlarang berpuasa di bulan
tersebut dengan hari-hari lain. Tetapi kalau halangan itu terus menerus
sehingga betul-betul tidak mampu mengganti hari-hari tidak berpuasa itu
dengan hari-hari lain, bolehlah ia mengganti tiap hari wajib puasa dengan
memberi sedekah makanan kepada orang miskin tiap-tiap hari sebanyak ¾
liter beras satu dengan uang yang seharga dengan beras itu (fidyah)
Puasa itu wajib tetapi Islam tidaklah memberatkan dan
menyaksikan penganutnya, tapi untuk mewujud jalan baginya, di dunia dan
di akhirat.
Apabila suatu kewajiban yang dibebankan Islam benar-benar tidak terpikat
(sehingga benar-benar bersifat menyiksa) dengan sendirinya datang
kelonggaran. Disebutlah firman Allah SWT. dalam surat al-Baqarah ayat
286:

)286 :‫وس ا قلى …(البقرة‬ ‫فنَ َإا‬ ‫ا له‬ ‫ال‬


‫ع‬ ‫ل‬ ‫ف‬ ْ
َ َ‫يَك ل‬
َ َ‫اس‬

Artinya: “Allah SWT. tidak membebani seseorang melainkan sesuai


dengan kesanggupannya (Q.S. al-Baqarah: 286).32

Pada ayat terakhir S. Al Baqarah ialah lanjutan dan gambaran orang


yang beriman bersama Rasul itu. Dan mengandung pula sambutan Tuhan
atas permohonan ampun mereka jika terdapat kekurangan pada amal
mereka. Allah berfirman: memang tidaklah ada suatu perintah dan
didatangkan oleh Tuhan yang tidak akan terpikul oleh tiap-tiap diri. Tidak
ada perintah yang berat, apalagi kalau iman telah ada. Seumpama perintah
sembahyang tidak sanggup berdiri boleh duduk atau tidak sanggup duduk,

22
32
R. H.A. Soenarjo, S.H., Op.Cit., hlm. 72.

23
boleh tidur. Tidak ada air bolehlah tayamun. Puasa di dalam musafir dan
sakit, boleh diganti di hari yang lain.33
Bahwa dengan demikian puasa itu ialah untuk melindungi mu’min
dan kejahatan bukan untuk menyiksa atau memasukkannya. Karena itu
anak juga belum diwajibkannya puasa, namun demikian ia sudah
dibiasakan sebagai persiapan dan latihan untuk ketika aqil baligh, yang
nantinya puasa sudah menjadi kebiasaannya.

F . Tujuan Hikmah Puasa

Puasa yang dijalankan sebagai pengabdian kepada Allah Swt


mengandung nilai dan hikmah bagi manusia yang menjalankan dengan
baik. Nilai dan hikmah ini bukanlah tujuan dari puasa, melainkan
merupakan efek langsung yang diterima oleh hamba yang berpuasa.
Dalam al-Qur'an menyatakan bahwa tujuan puasa yang hendaknya
dipegangkan adalah untuk mencapai ketaqwaan/la’alakum tattaqun.
Taqwa diambil dari kata yang bermakna, menghindar, menjauhi atau
menjaga diri. Kalimat perintah Ittaqullah secara harfiyah berarti hindarilah,
jauhilah atau
jagalah dirimu dari Allah Swt.34

Hikmah puasa sangat banyak, baik yang bersifat spiritual maupun


yang bersifat material, jasmani maupun rohani. Diantara hikmah-hikmah
puasa dapat dikelompokkan menjadi:
1. Disiplin Rohaniah
Puasa melepaskan manusia dari pada ikatan kehewanan, karena
hanya binatanglah yang tidak sanggup menahan seleranya. Tidak
sanggup menahan syahwat birahinya dan hanya takut kepada apa-apa
yang dilihatnya. Sebagaimana pendapat Sidi Gazalba ;

33
Hamka, Tafsir al-Azhar, Juz III, Op. Cit, hlm. 92.
34
M. Quraish Shihab, Wawasan al-Qur'an, Op. cit., hlm. 530

24
Tidak ada jariku yang lebih kuat dan pada makan dan minum
serta berhubungan dengan istri, manakala kita memiliki tiga unsur itu,
namun demikian nafsu itu kita tundukkan, karena puasa. Banyak hal-
hal yang tidak baik tapi menyenangkan. Kita senang melihatnya,
mengucapkannya dan memperbuatnya, tetapi nafsu kita kendalikan
karena puasa.35
Wahbah Al-Zuhaily yang juga menyatakan, “puasa dapat
menenangkan nafsu amarah dan meruntuhkan kekuatan yang
tersalurkan dengan anggota tubuh, seperti, mata, lidah, telinga, dan
kemaluan. Dengan puasa aktivitas nafsu menjadi lemah.36
Puasa yang dilakukan disini ialah mengendalikan hawa nafsu
dan mengontrolnya. Dengan puasa orang siddik untuk mengendalikan
nafsunafsunya. Nafsu-nafsu itu ditundukkannya terhadap kemauan
untuk tunduk atas semata Allah Swt. dengan diri, dari fajar menyingsing
sampai malam. Tiap tahun dalam sebulan lamanya mukmin
mendisiplinkan jiwanya dengan mengendalikan nafsu-nafsu yang vital
dalam dirinya.
2. Disiplin Akhlak

Ibadah puasa menanamkan sifat lurus dan jujur dalam segala


urusan dan mempertanggungjawabkan, sekalipun manusia tidak ada
yang mengawasinya. Selanjutnya puasa meninggikan budi pekerti
manusia, karena ia tidak lagi menjadi budak dari hawa nafsu dan
keinginannya, tetapi ia dapat menguasai siswa itu dan sedikit yang telah
diakui oleh para sarjana itu jiwa seluruh dunia seorang yang dapat
menguasai hawa nafsunya adalah yang mempunyai keluhuran budi.37
Manusia dalam tingkah lakunya perbuatannya selalu dalam
pilihan antara baik dan buruk. Dalam puasa kemauan dilatih untuk

35
Sidi Gazalba, Op.Cit., hlm. 51
36
Wahbah al-Zuhaily, Puasa dan Itikaf, Terj. Agus Effendi dan Bahruddin Funnany,
(Bandung : Remaja Rosdakarya, 1995) hlm. 89.
37
H. Abdullah Sidik, S.H., Op.Cit., hlm. 131.

25
selalu memilih yang baik sehingga melahirkan tingkah laku perbuatan
yang baik pula. Dibiasakan seorang mukmin mendisiplinkan akhlaknya
untuk suatu ketika menjadi kebiasaan dan tabiatnya. Dan tabiat akan
membentuk kepribadian muttaqin yaitu orang yang senantiasa tattaqun.
Disiplin akhlak melindungi jiwa manusia agar dapat menghindarkan
diri dari perbuatan jahat. Puasa dapat menertibkan kemauan dan
jiwanya dari pada maksud-maksud hina dan keji yang senantiasa
menggoda hatinya
3. Disiplin Sosial

Puasa dapat menumbuhkan rasa solidaritas dikalangan umat


Islam. Baik yang ada di timur ataupun di barat. Mereka berpuasa dan
berbuka pada satu waktu. Puasa dapat menumbuhkan rasa kasih sayang,
ukhuwah dan perasaan keterikatan dalam tolong menolong yang dapat
38
menjamin rasa persaudaraan sesama umat Islam. Perasaan lapar
mukmin misalnya bisa mendorong seorang untuk bersilaturrahmi
dengan orang lain serta ikut berpuasa dalam menghilangkan bahaya
kemiskinan, kelaparan dan penyakit. Hal ini akan semakin menguatkan
ikatan solusi antara sesama manusia dan akan membangkitkan. Mereka
untuk saling membantu dan memberantas penyakit-penyakit
masyarakat sosial (deviasi sosial).
Puasa terkadang bisa menyetarakan orang yang berpuasa dengan
orang-orang miskin yaitu dengan ikut menanggung aku merasakan
penderitaan mereka. Tindakan seperti ini akan menyangkut
kedudukannya disisi Allah SWT. Dengan lapar dan haus yang
dirasakan ketika puasa, sadarkan mukmin betapa penderitaan orang tak
mampu itu menderita, sekarang ia tidak hanya tahu yang bersifat teori
tapi merasakannya sendiri yang bersifat praktek.
Setelah sebulan mukmin merasakan penderitaan orang-orang
miskin pada akhir bulan itu diujikan dia, apakah rasa sosial itu telah

38
Wahbah al Zuhayly, Op. Cit., hlm. 88.

26
tumbuh. Disuruh memberikan sebagian makannya kepada orang miskin
dengan zakat fitrah. Kalau itu dilakukan dengan ikhlas terwujudlah nilai
sosial dari puasa.
4. Disiplin Jasmaniah

Puasa secara praktis memperbaharui kehidupan manusia yaitu


membuang makanan yang telah lama mengendap dan menggantinya
dengan yang baru, mengistirahatkan perut dan alat pencernaan,
memelihara tubuh, membersihkan sisa-sisa makanan dan minuman.
Menurut statistik ilmu kesehatan lebih dari 60% penyakit berasal
dari perut, apabila perut tidak dikendalikan, banyak penyakit akan
tumbuh.39
Dalam hal ini Sidi Gazalba menjelaskan bahwa kendalikan
perutmu, maka akan berlindunglah kita dan sebagian besar kejahatan
(penyakit) yang diakibatkan perut.40
Hal yang sama juga dikemukakan oleh al-Hasani ar-Nadwi
bahwa manusia telah berlebih-lebihan di dalam makan dan minum dan
tergilagila dalam bermacam-macam makanan dan minuman sehingga
mereka diserang penyakit-penyakit baik badan maupun mental.41
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa hikmah puasa bagi
orang mukmin bisa berupa fisik atau jasmaniah maupun psikis atau
rohaniah. Hikmah itu melindungi mukmin dari kejahatan jasmaniah dan
rohaniah.
Dari empat nilai hikmah yang dapat dipetik dalam menjalankan
ibadah puasa tersebut menyatakan bahwa dengan puasa akan
terpeliharalah kehidupan rohani dan jasmani seorang muslim, tetapi
harus kita ingat bahwa puasa itu ditujukan kepada orang-orang yang

39
Sidi Gazalba, Op. Cit., hlm. 154.
40
Ibid. hlm. 154.
41
A. A. A. H. al-Hasani ar-Nadwi, Empat Sendi Agama Islam, disadur dari Drs.
Zainuddin et all, (Jakarta: Rineka Cipta, 1991) hlm.213.

27
beriman. Maka nilai dan hikmah rohaniah dan jasmaniah dari puasa itu
hanya akan diterima oleh orang mukmin yang menjalankan puasa atas
dasar iman dan takwa.
Dari uraian-uraian tentang puasa serta melihat dari berbagai
aspek, tergambarlah bahwa puasa sangat banyak hikmah dan efeknya
(pengaruhnya) bagi orang-orang yang melaksanakannya, baik
dipandang sebagai ubudiah maupun sebagai latihan. Secara ringkas
dapat dapatlah dirumuskan hikmah puasa sebagai berikut:
a. Tazkiyat al-Nafsi (membersihkan jiwa), yaitu dengan jalan
mematuhi perintah-perintahnya, menjauhi segala larangan-
larangan-Nya, dan melatih diri untuk menyempurnakan peribadatan
kepada Allah Swt semata.
b. Puasa disamping menyehatkan badan sebagaimana yang telah
diteliti oleh dokter spesialis, juga memenangkan aspek kejiwaan
atas aspek materiil yang ada dalam diri manusia.
c. Puasa mendidik iradah (kemauan), mengendalikan hawa nafsu,

membiasakan bersifat sabar, dan dapat membangkitkan semangat.

d. Puasa dapat menurunkan daya seksual.

e. Dapat menumbuhkan semangat bersyukur terhadap nikmat Allah.

f. Puasa mengingatkan orang-orang yang kaya akan penderitaan dan


kelaparan yang dialami oleh orang-orang miskin.
g. Dapat menghantarkan manusia menjadi insan bertakwa.42

Menurut TM. Hasbi Ash-Shiddiqie, hikmah puasa itu telah


diterangkan dalam Al-Qur'an yaitu menjadi orang yang takwa dan
menjadi tangga yang menyampaikan kita kepada derajat muttaqin. Jadi
Allah Swt memfardlukan puasa kepada kita agar:

42
Yusuf Qardhawi, Fiqh Puasa, (Surakarta: Era Inter Media, 2000), hlm. 21-27.

28
a. Untuk menanamkan rasa sayang dan ramah kepada fakir miskin,
kepada anak yatim dan kepada orang melarat hidupnya.
b. Untuk membiasakan diri dan jiwa memelihara amanah. Perlu
diketahui bahwa puasa itu suatu amalan Allah Swt yang berat dan
sukar. Maka apabila kita dapat memelihara amanah Allah Swt
dengan sempurna terdidiklah kita untuk memelihara segala amanah
yang sempurna yang dipertaruhkan kepada manusia.
c. Untuk menyuburkan dalam jiwa manusia kekuatan menderita, bila
terpaksa menderita dan untuk menguatkan iradah atau kehendak
manusia dan untuk meneguhkan keinginan dan kemauan.43

43
TM. HASBY ASH-SHIDDIQIE, PEDOMAN PUASA, (SEMARANG: PT. PUSTAKA RIZKI
PUTRA, 1997), HLM. 44.

BAB III
PENUTUP

29
puasa (shiyam) adalah suatu substansi ibadah kepada Allah Swt. yang
memiliki syarat dan rukun tertentu dengan jalan menahan diri dari segala
keinginan syahwat, perut, dan dari segala sesuatu yang masuk ke dalam
kerongkongan, baik berupa makanan, minuman, obat dan semacamnya, sejak
terbit fajar hingga terbenam matahari yang dilakukan oleh muslim yang
berakal, tidak haid, dan tidak pula nifas yang dilakukan dengan yakin dan
disertai dengan niat.

Allah Swt. memerintahkan hambanya untuk beribadah kepada-Nya.


Pada bulan Ramadhan Allah Swt. mewajibkan pada umat-Nya yang beriman
untuk menjalankan ibadah puasa. Sebagaimana dalam firman Allah SWT.
surat al-Baqarah ayat 183. Kemudian ada syarat dan rukun dalam berpuasa,
waktu berpuasa, keringanan berpuasa, dan hikmah dibalik berpuasa.

30
Daftar Pustaka
Al-Zuhaily,W. 1995. Puasa dan Itikaf, Terj. Agus Effendi dan Bahruddin Funnany,
Bandung : Remaja Rosdakarya.

Bahreisy,S. 1986. Terjemahan Singkat Ibnu Katsier, Jilid III. Surabaya; PT.
Bina Ilmu.
Bisri A.dkk.1999 Kamus Indonesia Arab. Surabaya: Pustaka Progressfme.
Mardiwarsito,L. 1978. Kamus Jawa Kuno Indonesia(KAWI). Indonesia: Nusa Indah
Rahman,S. 1993. The Right of Allah and Human Right, Delhi: Shandar Market.
Quraish,S. Wawasan al-Qur'an, Op. cit., hlm. 530

Siddik.A.1982. Azas-azas Hukum Islam. Jakarta: Wijaya Kuliah Ibadah, Op.Cit., hlm.
7.
Sidi Gazalba, Op.Cit., hlm. 51

31
32

Anda mungkin juga menyukai