Anda di halaman 1dari 17

EKSISTENSI POLIGAMI PADA MASA EMANSIPASI

Elga Oktaviyandi Albab 33010210010


viyandialbab11@gmail.com

ABSTRAK
Topik poligami tidak akan pernah habis untuk diperdebatkan. Banyak orang
yang mendukung, tapi juga tidak sedikit pula orang- orang yang menentang. Apalagi
pada masa emansipasi seperti sekarang ini. Mengenai topik inti, yakni lebih dari satu
istri ini kembali marak dengan berbagai alasan entah atas nama sunnah atau syahwat
belaka. Penulis menggunakan metode library research, mencoba memahami dan
memberikan pemaparan mengenai topik ini. Poligami yang sering dijadikan landasan
sunnah, yang menjadi alasan tentang masalah perselingkuhan ataupun pro kontra pada
masa emansipasi antara kaum laki- laki dan perempuan tentang eksistensinya pada
masa kini. Pendapat seorang yang cerdas menjadi landasan penulis pada hasil
penelitian.

PENDAHULUAN
Pernikahan yang harusnya dalam rangka mewujudkan keluarga (rumah) yang
sakinah, mawadah, dan juga warahmah, serta cinta yang bahagia dan abadi hingga
jannah, maka perkawinan merupakan suatu perbuatan yang sangat mulia karena
perkawinan merupakan penghubung lahir dan batin antara seorang pria dengan
seorang wanita sebagaimana suami istri yang sah (KHI, 1991: 14). Atau dengan kata
lain, perkawinan adalah ikatan yang sakral dan terhormat antara kedua mempelai yang
menjadi pembenaran hukum untuk melakukan interaksi biologis dengan tujuan
membangun keluarga yang kuat, penuh kasih, dan suportif. Keluarga yang sempurna
seperti ini tentu menjadi salah satu yang banyak didambakan oleh seluruh lapisan
masyarakat (Sudarsono, 91: 2).
Karena tidak sepantasnya ibadah yang paling lama ini dirusak oleh masalah-
masalah yang tidak penting begitu pernikahan dimulai, Allah SWT membenci segala
sesuatu yang dapat menyebabkan rumah tangga berantakan. Oleh karena itu,
perceraian adalah sesuatu yang sah tetapi Dia hina. Faktanya, banyak perceraian saat
ini terjadi akibat keengganan seorang istri untuk memiliki pasangan atau
ketidaksetujuannya dengan perilaku poligami suaminya.
Poligami adalah praktik menikahi banyak istri secara bersamaan. Poligami
adalah tindakan mempraktekkan poligami. Perbuatan menikahi banyak wanita
sekaligus dikenal dengan istilah poligini atau poligami.
(Gus Arifin, 2010: 291).
Penulis memilih tema ini didorong adanya budaya penolakan di masyarakat
mengenai poligami, bahkan banyak istri- istri yang lebih memilih suaminya jajan di
tempat- tempat seperti halnya lokalisasi bahkan sampai prostitusi, baik online maupun
offline pada tempat tempat yang legal maupun ilegal. Yang pada kenyataannya lebih
memilih suaminya untuk zina dari pada harus berbagi cinta. Dalam kasus ini banyak
para isteri, bahkan sudah menjadi mayoritas yang tidak rela untuk merelakan
suaminya untuk berpoligami (tidak mau membagi cintanya). Nah bagaimana sih
hukum poligami dalam islam jika diterapkan pada zaman sekarang? Apakah masih
relevan pada masa emansipasi saat ini? Nah untuk selanjutnya penulis akan
memaparkan materi pada topik pembahasan eksistensi poligami pada masa
emansipasi.

METODE PENELITIAN
Peneliti dalam penelitian ini menggunakan teknik penelitian library research.
Sedangkan metode analisisnya adalah analisis content, suatu metode kajian yang
menelaah data dokumentasi berupa teks, buku, dan materi lainnya, digunakan peneliti
untuk mengolah pesan yang terkandung dalam materi tersebut dalam bentuk yang
komunikatif. Dengan menggunakan analisis isi, akan mampu memahami berbagai
pesan yang terkandung dalam hadis, Alquran, dan sumber lainnya secara metodis,
objektif, dan jelas relevan jika digunakan pada masa saat kini.

PEMBAHASAN
Poligami merupakan praktek memiliki banyak suami atau istri, tergantung
pada jenis kelamin individu, dikenal sebagai poligami. Definisi khas poligami
melibatkan perkawinan antara laki-laki dan lebih dari satu perempuan. Ini berarti
bahwa pria di rumah harus berbagi cinta dan kasih sayang mereka dengan banyak istri
mereka, yang dapat menimbulkan reaksi baik dan negatif dari orang lain. tentang
akhlak pelaku poligami (Yahya, 2013: 3).
Kata poligami berasal dari bahasa Yunani "poly" atau "polus", yang berarti
"banyak", dan "gamain" atau "gamos", yang berarti "perkawinan" atau "perkawinan",
adalah asal kata poligami. Akibatnya, jika digabungkan, mereka menandakan
pernikahan ganda yang dapat terjadi dalam berbagai cara (Labib MZ, 1986: 15), atau
seorang pria yang memiliki banyak istri sekaligus, atau seorang istri yang memiliki
banyak suami sekaligus. sama dengan (Sadily, 1994: 2736).
Dalam literatur yang lain menyebutkan bahwasanya poligami juga berasal dari
bahasa Inggeris yaitu "poligamy" dan juga dalam hukum Islam menyebutkan ‫تعدد‬
‫ الزوجات‬yang memiliki arti beristeri lebih dari satu seorang perempuan (Mahjuddin,
1990: 49). Begitupun juga dalam halnya dengan istilah polyandri berasal dari bahasa
Inggris "polyandry" dan nyatanya dalam hukum Islam disebut ‫ تعدد الزواج‬atau ‫تعدد‬
‫ البعول‬yang memiliki arti bersuami lebih dari satu seorang pria. Dalam The
Encyclopedia Americana disebutkan ( Entri, 1986: 345):
“Poligamy is a form of poligamy in which one male is married to more than
one female. Poliandry is a form of poligamy in which one female is married more
than one male.”
Jika seorang laki-laki menikah dengan lebih dari satu perempuan, itu dianggap
poligami, dan ketika seorang perempuan menikah dengan lebih dari satu laki-laki, itu
dianggap poliandri.
Namun demikian, umumnya dipahami sebagai "seorang pria menikahi banyak
wanita" dalam masyarakat poligami. Kajian antropologi sosial menyatakan bahwa
poligami memang melibatkan seorang pria yang memiliki banyak istri atau sebaliknya.
Anda dapat membedakan antara dua jenis poligami:(Suprapto, 1990: 71):
1. Polyandri merupakan perkawinan silang antara perempuan dengan banyak
laki-laki.
2. Poligini ialah perkawinan antara laki-laki dengan banyak orang wanita.
Istilah poligami secara langsung menggantikan istilah poligini dengan
pengertian perkawinan antara satu laki-laki dan beberapa perempuan sebagai lawan
dari, namun dalam perkembangannya istilah poligini jarang digunakan, bahkan dapat
dikatakan istilah ini sudah tidak ada lagi. digunakan dalam masyarakat di luar
kelompok antropologi.
Di Indonesia, poligami sering disebut dengan pacaran atau berbulan madu.
Kata “poligami” disebut wayuh dalam bahasa Jawa. Sementara istri disebut berbulan
madu, suami dianggap berbulan madu. Istilah madu atau maru mengacu pada jarak
antara masing-masing istri yang dimadu. Selain digunakan sebagai predikat antara
setiap istri yang menikah, kata maru juga digunakan antara istri laki-laki dan mantan
istrinya.
Kombinasi kata Yunani mono dan gamy, yang berakar pada kata monos (satu,
tunggal, sendiri) dan gamos (perkawinan), atau kata Latin monogamia, adalah
kebalikan dari poligami. Monogami pada dasarnya adalah pernikahan tunggal (hanya
ada satu hubungan pernikahan), sederhananya. Sebaliknya, istilah "monogami"
memiliki dua arti: (1) praktik atau persyaratan pernikahan yang hanya dilakukan oleh
satu orang (pasangan) pada suatu waktu. (2) skenario di mana pernikahan satu
pasangan berlangsung seumur hidup.
Pengertian "monogami" telah diringkas dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia.
Dalam hal ini, sistem yang mengizinkan seorang laki-laki untuk memiliki hanya satu
istri pada satu waktu disebut sebagai monogami. Istilah lain, monogyny, digunakan
untuk arti yang kurang lebih sama.
Penulis secara khusus menggunakan frase poligami dan monogami sebagai
acuan dalam esai ini. Untuk sementara mengesampingkan istilah “ketidaktepatan”
dalam penggunaan poligami dan monogami sebagaimana diuraikan di atas, kita
beralih ke istilah “sudah” yang lebih umum diguna
Namun secara historis, poligami bukanlah fenomena baru pada masa Nabi
Muhammad; sebaliknya, itu adalah fenomena yang sudah berlangsung lama. Sejarah
menunjukkan bahwa poligami telah dikenal luas oleh masyarakat jauh sebelum
Muhammad diangkat menjadi nabi, termasuk nabi-nabi seperti Nabi Ibrahim as yang
menikah dengan Siti Hajar selain Siti Sarah. Oleh karena itu, jika poligami
dilambangkan dengan sunnah fi'liyyah (contoh nyata), maka itu salah.
Dalam fikih, istilah "poligami" (ta'addud al-zaujt) mengacu pada penyatuan
dua sampai empat wanita secara bersamaan oleh seorang suami. Tidak mungkin untuk
mengatakan dengan pasti kapan poligami pertama kali muncul. Sebelum kedatangan
Islam, poligami adalah praktik yang diterima selama ribuan tahun (Umar, 2014: 126).
Ada dukungan substansial untuk klaim bahwa poligami bukanlah ajaran Islam.
Rusia, Yugoslavia, Cekoslowakia, Jerman, Belgia, Belanda, Denmark, Swedia, dan
Inggris adalah beberapa negara yang mempraktikkan poligami. Mirip dengan
beberapa negara Timur, termasuk Ibrani dan Arab. Selain itu semua, mereka diduga
melakukan poligami. Oleh karena itu, tidaklah benar jika para penulis dari Barat
menyatakan bahwa poligami adalah akibat dari prinsip-prinsip Islam. Hal ini karena
negara-negara tersebut telah melakukan poligami jauh sebelum Islam hadir, bahkan
menyebar dengan cepat ke negara-negara seperti Afrika, India, Cina, dan Jepang yang
pada dasarnya tidak menganut Islam ( Alhamdani, 1972: 79-80).
Istilah "poligami" sendiri adalah bahasa Yunani. Kata ini merupakan
gabungan dari kata gemein atau gamos yang berarti perkawinan atau perkawinan, dan
kata poli dan polus yang berarti banyak. Oleh karena itu, kedua kata ini bersama-sama
menunjukkan sejumlah besar pernikahan. Dalam Islam, poligami didefinisikan
sebagai beberapa pernikahan dengan batas-batas yang telah ditentukan, yang biasanya
dianggap hingga empat wanita. Yang lain sadar bahwa poligami dalam Islam bisa
berkisar dari satu hingga sembilan istri. Nabi Muhammad, bagaimanapun, telah
berkontribusi pada pemahaman poligami yang lebih luas dengan maksimal empat istri.
melarang kaumnya menikah lebih dari empat (Yahya, 2013: 3).
Karena tidak ada satu kata pun dalam Alkitab yang langsung melarang
poligami, Kekristenan pada awalnya tidak mengizinkan atau melarangnya.
Pembenaran untuk ini adalah diperbolehkan. Berbeda dengan kepercayaan orang
Yunani dan Romawi yang melarang poligami sejak awal. Mereka terus mengikuti
monogami setelah masuk Kristen karena mereka percaya itu adalah ajaran nenek
moyang mereka sebelumnya yang melarang poligami. Oleh karena itu, perkawinan
monogami masih dilakukan oleh orang Kristen Eropa. Akibatnya, instruksi monogami
ini didasarkan pada kepercayaan tradisional mereka daripada hanya agama Kristen.
Setelah itu, gereja melarang poligami sebagai hukum dan ajaran agama, meskipun
faktanya sebagian besar Alkitab mengabaikan masalah ini (Alhamdani, 1972: 80).
Islam tidak selalu membenarkan poligami. Islam mengandung larangan dan
persyaratan yang ketat bagi seseorang yang ingin melakukan poligami, termasuk
kebolehan untuk memiliki hingga empat istri jika orang tersebut dapat
memperlakukan mereka secara setara dalam hal pengaturan hidup, ruang hidup, dan
pembagian waktu. Islam dengan tegas menegaskan bahwa memiliki satu istri saja
sudah cukup jika Anda khawatir tidak dapat bertindak dengan baik. Seperti yang
dinyatakan oleh Allah dalam QS. al-Nisa/ 4

ْ‫َ فو رُ بٰ فَ َفا نا‬ ‫َ اا اِ فَْن بٰى فوُ ر بٰ ف‬‫اَ لف رُ نْ ا ََّف ال اّٰ ف‬


‫َ ف‬ ‫ُ نوا اَى نالَف بٰٰب ى َفا نْ اُ رُ نوا فَا ف‬
‫فوا ناْ اِ نْٰ ر نْ افل ت ر نْ اَ ر‬
‫فْ ا ف نْ فٰاْر رُ نْ بٰلاَف ا ف ند بْنى ا ف لل تفعر نولر نو اا‬ ‫اِ نْٰ ر نْ ا ف لل ت ف نع ادلر نوا َف فو ا‬
‫اِدفً ة ا ف نو فَا فَٰفُ ن‬
Terjemahnya:
“Apabila kamu tajut tidak dapat berlaku adil terhadap perempuan yatim (yang kamu
kawini) maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi, dua, tiga atau
empat. Kemudian jika kamu takut tidak dapat berlaku adil maka kawinilah seorang
saja, atau budak-budakmu. Yang demikian itu lebih dekat untuk tidak berlaku
aniaya”.1
Maksud dari adil kepad istri ialah bukan sekadar yang dapat dilakukan oleh
seorang yang dapat berlaku adil, baik misalnya dalam perihal membagi waktu, nafkah
lahir atau batin, pakaian serta tentunya yakni tempat tinggal (Alhamdani, 1972: 79).

Poligami dalam Hukum Islam


Ketika menetapkan standar poligami, Allah SWT. Maha Bijak memastikan
bahwa mereka tepat dan tanpa kesalahan. Islam melarang baik poligami maupun
penerimaan perkawinan dari laki-laki yang telah dinikahi oleh perempuan dan
keluarganya.
Di sini, penting ditekankan bahwa penegakan hukum Islam dilakukan untuk
kebaikan semua orang. Dengan prinsip-prinsip pedoman seperti itu, jelas bahwa
larangan poligami juga melayani kepentingan masyarakat. Keluarga yang baik adalah
tujuan poligami, bukan kepuasan suami semata. Dari logika ini, poligami tidak boleh
dilakukan jika tidak dapat menghasilkan keuntungan. Islam menawarkan pedoman
yang dapat dijadikan landasan pelaksanaan poligami untuk mencapai kemaslahatan
tersebut.
Meski landasannya sama—satu ayat di Alquran, yakni QS—para ulama
memiliki pemahaman yang berbeda tentang larangan poligami. An-Nisa (4): 3.
Jumhur (kebanyakan) ulama mengklaim bahwa ayat di atas diturunkan pada akhir
Perang Uhud, di mana banyak tentara Muslim yang gugur sebagai syahid. Akibatnya,
ayah atau suami mereka menelantarkan banyak janda dan anak yatim piatu. Selain itu,
kehidupan mereka diabaikan sebagai akibatnya, terutama dalam hal masa depan dan
sekolah mereka (Nasution, 1996: 85).
Keadaan ini menjadi landasan hukum Islam tentang poligami. Penafsiran ayat
di atas menurut Ibnu Jarir al-Tabari adalah bahwa seorang wali tidak dapat
memperlakukan harta anak yatim secara adil. Karena itu, Anda harus memperhatikan
wanita dan juga anak yatim. Karena itu, nikahkan mereka hanya dengan satu sampai
empat wanita yang Anda yakin bisa memperlakukan mereka dengan adil. Tetapi jika

1
Kemeterian Agama, Al-Qur’an dan Terjemahannya
Anda khawatir tidak dapat menegakkan hukum jika Anda memiliki banyak istri, Anda
hanya perlu menikah dengan satu (Al-Thabari, hlm 155).
Kata wa dalam ayat matsna wa tsulatsa wa ruba' berfungsi sebagai
penjumlahan (li al-jam'i) dalam penafsiran ayat di atas. Dia menegaskan bahwa
akibatnya, bertentangan dengan apa yang diyakini kebanyakan sarjana, laki-laki yang
dapat melakukan keadilan tidak hanya diperbolehkan menikahi sembilan wanita
daripada empat(Al-Zamakhsyari, 1966: 568).
Ketika menafsirkan surat al-Nisa ayat 129 yang berbunyi: “Dan kamu sekali-
kali tidak akan dapat berlaku adil di antara istri-istrimu, padahal kamu sangat
menginginkannya, maka janganlah kamu condong (kepada orang yang kamu cintai),
sehingga kamu meninggalkan yang lain terpaut,” konon syarat kesanggupan berlaku
adil terhadap istri adalah sesuai dengan kesanggupan yang maksimal, karena
memaksakan diri melakukan sesuatu mengakibatkan kegagalan (Al-Zamakhsyari,
1966: 568).
Ketika mencermati frasa “aw ma malakat aimanukum”, al-Zamakhsyari
menyatakan bahwa majikan budak harus dinikahkan sebelum mereka dapat memiliki
hubungan yang sah. Al-Qurthubi setuju dengan al-Zamakhsyari tentang menikah
dengan seorang budak yang tuannya akan melakukan aktivitas seksual dengannya. Al-
Qurthubi, bagaimanapun, memiliki pandangan yang berbeda tentang jumlah
maksimum pasangan dalam poligami dari al-Zamakhsyari. Al-Qurthubi sependapat
dengan poin-poin yang dibuat oleh Nabi SAW. ketika menyuruh seorang teman untuk
mengambil tidak lebih dari empat orang dan meninggalkan istrinya. Oleh karena itu
Al-Qurthubi menyatakan bahwa empat wanita adalah jumlah pasangan maksimum
untuk suami poligami ( Al-Qurthubi, 1967: 17).
Menurut Al-Syaukani, kebiasaan orang Arab pra-Islam menjadi faktor
turunnya ayat 3 An-Nisa. Salah satu tradisi mereka adalah wali yang ingin
menikahkan anak yatim tidak membayar mahar yang setara dengan yang dibayarkan
kepada wanita lain. Oleh karena itu Allah memerintahkan agar empat wanita yang
bukan yatim piatu boleh menikah, asalkan mereka berlaku adil, jika tidak dapat
memberikan mahar yang sama bagi anak yatim dan non-yatim. Satu sudah cukup jika
Anda tidak bisa berlaku adil untuk lebih. Al Syaukani lebih lanjut menggarisbawahi
bahwa dilarang menikahi wanita yang memiliki lebih dari empat pasangan karena hal
itu bertentangan dengan sunnah Nabi dan cara pemahaman bahasa Arab pada
umumnya (Al-Syaukani, 1973: 420).
Ketika membaca ayat aw ma malakat aimanukum al-Syaukani, dikatakan
bahwa karena budak disamakan dengan harta, tidak perlu menikahinya untuk
menjadikannya istrimu. Al-Syaukani menambahkan bahwa sekeras apa pun manusia
berusaha mencapai keadilan, apalagi jika berkaitan dengan kemampuannya untuk
berbagi di alam non-materi, sebagaimana lazimnya para penafsir ketika menafsirkan
QS. An-Nisa ayat 129. Karena itu Allah melarang condong kepada yang satu yang
mengabaikan yang lain. Dengan kata lain, seorang suami yang berpoligami harus
mengerahkan segala upayanya untuk memperlakukan perempuannya secara adil (Al-
Syaukani, 1973: 521)
Kebolehan poligami, menurut pandangan Al-Maraghi, adalah sesuatu yang
bernuansa dan terbatas. Dia mengklaim bahwa poligami hanya diperbolehkan dalam
keadaan ekstrim dan hanya dapat dilakukan oleh mereka yang benar-benar
membutuhkannya. Kaidah fikih “dar'u al-mafasid muqaddamun 'ala jalbi al-mashalih”
(menolak yang merugikan harus didahulukan dari mengambil yang bermanfaat) itulah
yang kemudian ditulisnya. Surat ini bertujuan untuk menekankan betapa pentingnya
berhati-hati saat mempertimbangkan poligami. Al-Maraghi mencantumkan
pembenaran berikut untuk memungkinkan poligami:
1. Kemandulan istri, bahkan ketika keduanya atau salah satu dari mereka
dengan tulus ingin memiliki anak..
2. Jika pasangan memiliki kecakapan seksual yang kuat tetapi orang lain
tidak dapat memenuhi kebutuhannya.
3. Jika seseorang memiliki cukup hati untuk menangani semua kepentingan
keluarga, dari kepentingan istri hingga kepentingan anak, mereka harus
melakukannya.
Jika jumlah orang melebihi jumlah laki-laki, perang mungkin menjadi
penyebabnya. Atau mungkin banyak anak yatim piatu dan janda akibat bahaya juga
mendorong penggunaan poligami (Al-Maraghi, 1969: 181- 182).
Al-Maraghi juga menggarisbawahi alasan Nabi Muhammad untuk pernikahan
poligami. Hal itu, menurutnya, dimaksudkan untuk memajukan Islam. Karena Nabi
akan secara alami memilih wanita dan gadis muda yang menarik jika tujuannya
adalah untuk memuaskan rasa lapar seksual. Nabi menikahi setiap janda kecuali
'Aisha, sebagaimana didokumentasikan dalam sejarah. Menurut al-Maraghi, terkait
dengan QS. An-Nisa ayat 129, faktor yang paling krusial adalah segala upaya harus
dilakukan untuk menegakkan keadilan. Di luar kapasitas manusia bukanlah sesuatu
yang diperlukan.
Poligami dipandang oleh Sayyid Qutub sebagai bentuk rukhshat. Oleh karena
itu, poligami hanya dimungkinkan dalam keadaan yang sangat mengerikan. Untuk
tidak memihak pada istri, Anda harus tetap memiliki keterampilan ini. Ranah
kehidupan, muamalah, pergaulan, dan tidur malam semuanya termasuk dalam
keadilan yang ditanyakan di sini. Satu istri cukup bagi suami yang tidak mampu
memperlakukan istrinya dengan adil (Sayyid Qutub, 1967: 236).
Muhammad Abduh bahkan berkesimpulan bahwa poligami itu haram (haram).
Hanya dalam kondisi tertentu, seperti istri tidak bisa hamil atau melahirkan, suami
boleh beristri banyak. Islam memperbolehkan poligami, namun Abduh menegaskan
bahwa istri harus bisa diperlakukan secara adil. Abduh akhirnya sampai pada
pendapat bahwa perkawinan monogami adalah norma dalam Islam (Nasution, 1996:
103).
a) Sementara itu, Abdul Halim Abu Syuqqah menguraikan hal-hal yang dapat
menimbulkan poligami, yaitu: a) Menyelesaikan masalah rumah tangga
seperti kemandulan, cacat fisik, atau penyakit yang berkepanjangan bagi istri.
b) Memenuhi tuntutan suami yang mendesak, seperti sering melakukan
perjalanan jauh dan sulit bagi istri untuk bepergian bersamanya karena terlalu
sibuk mengurus anak atau karena alasan lain.
c) Bersedia beramal untuk wanita saleh yang terlantar karena berbagai alasan,
seperti usia wanita, fakta bahwa dia mengasuh anak yatim, atau faktor
lainnya.
d) Ingin menambah kenikmatan karena kesehatannya yang prima dan ekonomi
yang kuat. Pasangan yang berpoligami harus memenuhi semua kriteria ini
serta tuntutan keadilan, keamanan finansial, dan pengasuhan yang baik untuk
istri dan anak-anaknya. (Abu Syuqqah, 1997: 388).
Ini adalah beberapa pandangan akademisi tentang poligami, yang semuanya
memungkinkan secara teori tetapi dengan batasan yang berbeda-beda. Ada yang
mengizinkan poligami di bawah aturan yang relatif lunak dan ada yang memaksakan
standar yang ketat. Banyak juga di antara mereka yang mengklaim bahwa poligami
hanya dapat diterima dalam keadaan yang sangat buruk. Beberapa poligami
membatasi jumlah wanita yang dapat mereka miliki menjadi empat, sementara yang
lain menetapkan sembilan. Tidak ada yang secara tegas menegaskan bahwa poligami
dilarang berdasarkan jangkauan pandangan mereka. Mereka takut mengesahkan
undang-undang yang bertentangan dengan Sunnah atau Alquran, yang tidak pernah
melarang mereka. Mungkin salah satu ciri sarjana klasik dalam menetapkan hukum.
Pedoman poligami masih berbeda di antara banyak hukum modern yang
disahkan di negara-negara Islam. Ada yang melakukan akomodasi liberal dan ada
yang membatasi dengan kriteria yang sangat berat. Indonesia adalah negara dengan
hukum yang keras terhadap poligami. Menurut UU No. 1 Tahun 1974 pasal 3 ayat (2),
seorang suami diperbolehkan beristri lebih dari seorang jika para pihak menyetujuinya
dan pengadilan memberikan kuasa. Pasal 4 ayat (2) menekankan pada faktor-faktor
yang digunakan pengadilan sebagai kriteria sebelum mengabulkan poligami, yaitu:
a. Wanita tidak mampu memenuhi tanggung jawabnya sebagai istri
b. Istri mengalami cacat fisik atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan
c. Sang istri tidak dapat memiliki anak.
Ketentuan serupa ditegaskan dalam pasal 41 huruf a PP no. 9 Tahun 1975 dan
pasal 57 KHI. Berikut syarat poligami sebagaimana diatur dalam Pasal 5 UU
Perkawinan:
1) Istri atau para istri telah memberikan persetujuannya.
2) Kepastian bahwa suami dapat memenuhi kebutuhan dasar istri dan anak-
anaknya.
3) Suami akan selalu memperlakukan istri dan anaknya dengan hormat.
Selain klausul tersebut, UU Perkawinan juga mengatur langkah-langkah yang
harus ditempuh suami untuk melakukan poligami, yaitu proses pengadilan. Dua
negara Islam, Mesir dan Pakistan, memiliki undang-undang yang membahas masalah
poligami. Hukum kedua negara ini juga cukup keras dalam hal poligami (Marzuki,
1996: 175- 177).
Jadi, secara teori, poligami diperbolehkan oleh hukum Islam, namun dengan
sejumlah persyaratan yang sangat ketat. Seperti aturan hukum Islam lainnya, poligami
ditahbiskan untuk kebaikan umat manusia. Dari sini harus dipahami bahwa siapa saja
boleh melakukan poligami sepanjang dia dapat melihat keuntungannya. Dia tidak
diperbolehkan melakukan poligami, bagaimanapun, jika dia tidak dapat meraup
keuntungan ini. Syarat-syarat yang ditetapkan al-Qur'an (seperti kewajiban berlaku
adil) dan berbagai syarat yang direkomendasikan oleh para akademisi terkait poligami
harus dilihat sebagai upaya untuk meraih keuntungan poligami. Ini hanya bisa
dilakukan jika laki-laki (suami) melakukan poligami; istri tidak dapat mencapai ini.
Poligami Rasulullah
Rasulullah melakukan poligami, namun secara substansial berbeda dengan
praktik yang dilakukan saat ini. Oleh karena itu Nabi dapat melihat masalah atau
penyebab di balik praktek poligami untuk memahami maksud dan tujuannya. Mereka
termasuk (Mustofa, 226).
Pertama, Allah SWT mengutus Rasulullah untuk menyebarkan kasih sayang
dan cinta kasih kepada seluruh ciptaan. Menurut QS. al-Anbiya (21):107,
‫َ نٰ بَٰف ا لال فُِن فًٰة الّ نٰعب ٰف اَٰنَف‬
‫فو فَا ن ا ف نُ ف‬

Terjemahnya:
Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta
alam.2
Kedua, Rasulullah diutus untuk menjadi contoh serta suri tauladan untuk
seluruh umat manusia. Yang dijelaskan pada QS. al-Ahzab (33):
‫لف فَْاَ ةنً اا‬ ‫لف فو نالَف نو فَ ن ب‬
‫ال اِ فً فوٰف فَ فً ل‬ ‫َٰفًة الّ فٰ نَ فَاْف ْف نً رجوا ل‬
‫لا ارَ فنوً ة فِ ف‬ ‫لفْف ند فَاْف لف رُ نْ َا نْ فُ ر‬
‫َ نو ال ل‬
Terjemahnya:
Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu
(yaitu) bagi orang-orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari
kiamat dan dia banyak menyebut Allah.3
Dan yang Ketiga, nabi Muhammad diutus sebagai pelindung dan mengangkat
martabat kaum wanita, dan anak-anak yatim, serta para budak, dan kaum- kaum
tertindas lainnya. Yang dijelaskan pada QS. al-Nisā (4): 127
‫َ اا اِ اللٰا نْ فل‬ ‫ِ َا نْ ْف بٰ فٰى ال اّٰ ف‬ ‫لر ْر نْٰا نَ رُ نْ َا نَ اه لَ فو فَا ْرٰن بٰى ف‬
‫َٰف نَ رُ نْ َاى نال اُ بٰ ا‬ ‫َ اا اِ ُر اِ ل‬‫فوْف نَٰ ف نْٰ ر نوْفَف َاى ال اّٰ ف‬
‫اْ فوا ف نْ تفْر نو رَ نوا ال نَٰف بٰٰب ى‬
‫ْعف اَْنَف اََف نال او نلدف ن ا‬ ‫َب نروْف ا ف نْ ت ف نٰ اُ رُ نوه لرَ فو نال رٰ نَٰ ف ن‬‫ِ لف ره لَ فوت نفً ف‬ ‫ترؤن ت ر نوْف ره لَ فَا رَ اٰ ف‬
‫لف فَاْف اٰ هٖ ف‬
‫َ اٰ نَ ةٰا‬ ‫نِ فو فَا ت ف نْعفٰر نوا اَ نَ فَِ رنً َفا لاْ ل‬ ‫اٰ نال اَْ ا‬
Terjemahnya:
Dan mereka meminta fatwa kepadamu tentang para wanita. Katakanlah: “Allah
memberi fatwa kepadamu tentang mereka, dan apa yang dibacakan kepadamu dalam
al-Qur’an tentang para wanita yatim yang kamu tidak memberikan kepada mereka apa
yang ditetapkan untuk mereka, sedang kamu ingin mengawini mereka dan tentang
anak-anak yang masih dipandang lemah. Dan (Allah menyuruh kamu) supaya kamu

2
Kemeterian Agama, Al-Qur’an dan Terjemahannya.
3
Ibid.
mengurus anak-anak yatim secara adil. Dan kebajikan apa saja yang kamu kerjakan,
maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahuinya.4
Keempat, Rasulullah mengatakan kepada umatnya agar berumah tangga
dengan membentuk keluarga yang bahagia, sejahtera, serta menumbuhkan generasi
yang Islami dan kuat keimanannya dimasa depan. Bukan hanya semata-mata sebagai
penyaluran fitrah seksnya saja.
Kelima, pengkajian wahyu yang tentunya diturunkan kepada Rasulullah saw.
agar makna yang terkandung menjadi jelas dan dapat dicontohkan secara nyata serta
sesuai dengan makna yang terkandung dalam wahyu tersebut. Mengetahui konotasi
yang dimaksud, jelaslah bahwa Nabi mengikuti logika di balik praktik poligami.
Rasulullah mengamati bahwa poligami bukan semata-mata sebagai alat reproduksi
atau respon terhadap kebutuhan biologis. Dalam pernikahan Nabi, poligami dilakukan
dengan menikahi wanita yang lebih tua, kecuali Aisyah, dan juga dilakukan dalam
situasi perang jihad, perjuangan, dan pengabdian yang tujuan utamanya adalah untuk
mendakwahkan dan menegakkan syiar Islam (Ridwan, 2014: 59).
Untuk mencegah umat Islam meniru-niru poligami Nabi secara sewenang-
wenang, Al-Qur'an dengan tegas merinci detail dan batasan poligami Nabi, meskipun
ia memiliki lebih dari empat istri. Perdebatan yang komprehensif semacam ini akan
membantu kita memahami poligami Nabi secara lebih proporsional.

PEMAKNAAN MASA EMANSIPASI


Persona Raden Ajeng Kartini nampaknya tidak dapat dipisahkan dari
pembahasan tentang emansipasi wanita. Kartini menjadi terkenal sebagai penganjur
emansipasi perempuan yang terkemuka sebagai hasil dari perjuangannya untuk hak-
hak perempuan atas pendidikan yang terbaik dan kesempatan yang sama untuk
menggunakan ilmunya agar tidak terdegradasi (Susanto, 1967).
Emansipasi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah pembebasan dari
perbudakan atau tercapainya persamaan dalam berbagai bidang kehidupan sosial,
seperti hak-hak perempuan dan laki-laki. Pembebasan perempuan juga merujuk pada
proses pembebasan perempuan dari batasan-batasan legislatif yang membatasi
kemampuannya untuk maju dan berkembang, serta dari posisi sosial ekonomi yang
inferior (Susanto, 1967).

4
Kemeterian Agama, Al-Qur’an dan Terjemahannya.
Di era modern ini telah terjadi semacam makna pergeseran. Hampir setiap
wanita tidak yakin tentang bagaimana menangani hal ini dengan bahasa sederhana.
Jika Kartini mengambil keputusan di saat-saat terakhir untuk memberikan perempuan
akses ke hak-hak mereka, emansipasi perempuan mungkin bisa dilakukan sekarang
dengan bahasa yang lebih mudah dipahami (Susanto, 1967).
Satu-satunya hal terpenting yang terjadi selama emansipasi adalah ketika
seorang wanita berhenti berbagi kehidupan sehari-harinya dengan orang lain dan
mempelajari pelajaran yang lebih mandiri. Sebaliknya, kehidupan sehari-hari
memungkinkan terjadinya emansipasi dari tindakan skala kecil, seperti menjadi agen
perubahan dalam komunitas kecil seperti keluarga atau sekelompok kecil teman.
Tugas seorang agen perubahan adalah membujuk orang untuk mengambil tindakan
positif daripada mengambil tugas besar yang tidak menarik. Oleh karena itu,
melaksanakan tugas-tugas langsung dan memperbaiki lingkungan sudah merupakan
salah satu bentuk emansipasi (Susanto, 1967).
Cara emansipasi lainnya termasuk bersikap baik kepada orang lain dan
menghargai apa yang mereka miliki sebagai imbalan atas harta yang telah Tuhan
berikan kepada kita. Tapi lebih baik untuk menghindari bertindak dengan enggan,
terutama jika Anda tidak memiliki semangat juang yang kuat. Selain kecerdasan
emosional, spiritual, dan intelektual, penguasaan adversity quotient juga penting.Akan
menjadi tantangan jika seseorang tetap gigih mengejar sesuatu tanpa memiliki
kekuatan batin. Setiap orang memiliki motivasi, tetapi bagaimana mereka memilih
untuk menggunakannya tergantung pada bagaimana mereka memilih untuk fokus
padanya (Susanto, 1967).
Emansipasi wanita tidak hanya berkonsentrasi pada laki-laki dan perempuan
yang memiliki hak yang sama atas kesempatan yang sama di berbagai sektor. Makna
sebenarnya dari kemandirian perempuan adalah tentang bagaimana mereka bisa
sesekali maju tanpa kehilangan jati dirinya. Perempuan berkontribusi dalam
emansipasi masyarakat dan bangsa dengan memahami sepenuhnya konsep emansipasi
perempuan (Susanto, 1967).

KESIMPULAN
Kata poligami berasal dari bahasa Yunani "poly" atau "polus", yang berarti
"banyak", dan "gamain" atau "gamos", yang berarti "perkawinan" atau "perkawinan",
adalah asal kata poligami. Akibatnya, jika digabungkan, mereka menandakan
pernikahan ganda yang dapat terjadi dalam berbagai cara, atau seorang pria yang
memiliki banyak istri sekaligus, atau seorang istri yang memiliki banyak suami
sekaligus.
Praktek memiliki banyak suami atau istri, tergantung pada jenis kelamin
individu, dikenal sebagai poligami. Definisi khas poligami melibatkan perkawinan
antara laki-laki dan lebih dari satu perempuan. Ini berarti bahwa pria di rumah harus
berbagi cinta dan kasih sayang mereka dengan banyak istri mereka, yang dapat
menimbulkan reaksi baik dan negatif dari orang lain. tentang etika pelaku poligami.
Pada masa emasipasi, poligami sering dikaitkan tentang persetaraan gender.
Sementara itu, Emansipasi mengacu pada kebebasan dari perbudakan atau pencapaian
kesetaraan dalam berbagai bidang kehidupan sosial, seperti hak-hak perempuan dan
laki-laki. Pembebasan perempuan juga merujuk pada proses pembebasan perempuan
dari batasan-batasan legislatif yang membatasi kemampuannya untuk maju dan
berkembang, serta dari posisi sosial ekonomi yang inferior.
Arti kata "emansipasi" telah berubah sepanjang periode modern. Hanya saja,
sebagian besar wanita masih belum mengetahui bagaimana sebenarnya
mempraktikkannya. Jika dulu Kartini memperjuangkan hak-hak perempuan,
emansipasi perempuan kini benar-benar bisa dilakukan dengan prosedur yang lebih
sederhana. bahkan sebagai dasar pembelaan atas perbuatan salah maupun lainnya
yang dilakukan wanita.
Eksistensi poligami pada masa emansipasi tentunya akan menuai pro kontra
antara satu pihak dengan yang lainnya, entah dari pihak para lelaki dengan dasar
hukumnya dan pihak perempuan atau wanita dengan dalih persetaraan gendernya.
Dari topik ini penulis meninjau kembali kesimpulan dengan berdasar kepada
perkataan KH. Baha’udin Nur Salim mengenai poligami yang tentunya menjadi
penengah antara pro kontra dari kalangan laki- laki maupun perempuan.
Beliau KH Baha'udin Nur Salim berkata, "Kalau mau poligami silahkan." Tapi
kalau itu sunnah Nabi, jangan diungkit-ungkit. kemudian mengklaim bahwa Nabi
Muhammad memiliki banyak istri. Perlu diketahui bahwa setelah meninggalnya istri
pertamanya, Siti Khadijah, Nabi melakukan poligami. KH. Bahaudin Nur Salim
mengatakan sebagai berikut: Semua orang tahu bahwa ketika Siti Khadijah meninggal,
Nabi Muhammad SAW memiliki banyak istri, menurut Gus Baha.
Gus Baha menegaskan, jika ingin berpoligami, silakan saja dan jangan
diungkit-ungkit apakah individu yang melakukan itu sedang menunggu masa
depannya. Pastikan istri pertamamu sudah meninggal jika kamu masih bersikeras
bahwa kamu ingin sama persis seperti Nabi. Karena Nabi Muhammad SAW tidak
pernah melakukan poligami selama menjadi suami dari Siti Khadijah. Selain itu,
menurut Gus Baha, beberapa mempelai Nabi berasal dari kalangan biasa yang
suaminya tewas dalam pertempuran. Tujuan nabi memperisteri mereka agar
menyelamatkan dan meningkatkan harkat dan martabat para perempuan ini adalah
salah satu tujuannya.
Perselingkuhan dalam poligami memiliki sejarah, seperti yang terjadi pada
masyarakat Indonesia modern. Masalah beratnya, selain pejabat, warga biasa juga
terlibat dalam kasus ini. Perselingkuhan adalah fenomena yang menyedihkan dan
umum.
Menurut Gus Baha, tersenyum adalah jawaban terbaik untuk selingkuh.
Senyum dapat dimanfaatkan sebagai sedekah, sesuai dengan prinsip sunnah, dan
sebagai sarana menghadapi tipu muslihat, menurut Gus Baha. Gus Baha mengatakan,
cengiran itu wajib bagi pasangan suami istri dalam penjelasannya. Sebab, menurut
Gus Baha, hal ini penting untuk mencegah terjadinya perselingkuhan. Gus Baha
mengatakan bahwa dia bisa melihat sebuah keluarga yang tidak ada senyum sama
sekali. Ini akan sangat berisiko karena keluarga bisa hancur karena hubungan yang
sumbang. Tersenyum wajib saat bersama keluarga karena itu adalah kemewahan.
Dari pemaparan diatas bisa kita ambil kesimpulan mengenai topik inti
eksistensi poligami pada masa emansipasi, yang akhirnya semua akan dikembalikan
kepada pribadi masing- masing dalam menanggapi dari mulai seorang laki- laki yang
jika memang ingin berpoligami sama dengan nabi harus sampai istri pertama
meninggal dahulu, bukan malah perselingkuhan berujung duka masalah rumah tangga.
Serta bukan untuk pemenuhan syahwat semata, ada beberapa syarat yang harus
terpenuhi jika inggin berpoligami.
Dan kemudian pihak wanita yang jika memang tidak atau belum bisa
memenuhi kebutuhan suaminya harus sadar dan rela membagi cintanya dengan wanita
lain dan harus siap dengan segala resikonya. Entah apapun itu kaum wanita tidak
boleh serta merta menolak atau menentang poligami, karena mau bagaimanapun itu
poligami tetaplah hukum dari sang Ilahi. Yang dalam prateknya kita tidak boleh sama
sekali untuk menafikan segala hukum- Nya.
SARAN
Demikian materi tulisan ini dipaparkan. Untuk memanfaatkan
sepenuhnya potensi generasi dalam mempertahankan diri terhadap kurangnya ilmu
agama yang berkembang, diperlukan lebih banyak metode penelitian untuk
meningkatkan pembicaraan dengan para narasumber dan juga referensi yang tentunya
lebih banyak.
DAFTAR PUSTAKA
‘Abd al-Halim Abu Syuqqah. Tahrir al-Mar’ah fi ‘Ashr al-Risalah. Alih bahasa oleh
Chairul Halim dengan judul “Kebebasan Wanita”. Jilid 5, Jakarta: Gema Insani
Press. Cet. I. 1997.
Agus Mustofa, Poligami Yuuk!, Surabaya: Padma Press, 2008.
Ahmad Musthafa Al-Maraghi. Tafsir al-Maraghi. Mesir: Mushthafa al-Bab al-Halabi.
Jilid IV. 1969. hlm 181- 182.
Alhamdani H.S.A, Risalah Nikah: Hukum Perkawinan Islam, Yogyakarta: PT. Raja
Grafindo Persada, 1989.
Al-Qurthubi. Al-Jami’ li al-Ahkam al-Qur’an. Kairo, Dar al-Kitab al-‘Arabiyyah. Jilid
V. 1967.
Al-Syaukani. Fath al-Qadir: al-Jami’ Bain Fann al-Riwayah wa al-Dirayah min ‘Ilm
al-Tafsir. Beirut, Dar al-Fikr. Jilid I. 1973. hlm 420.
Al-Zamakhsyari. Al-Kasysyaf ‘an Haqaiq al-Tanzil wa ‘Uyun al-Aqawil fi Wujuh al-
Ta’wil. Mesir, Mushthafa al-Bab al-halabi, jilid I, 1966.
Amir Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia:
Kemeterian Agama, Al-Qur’an dan Terjemahannya
Marzuki. “Beberapa Aspek Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, Mesir, dan
Pakistan: Suatu Studi Perbandingan”. Tesis S-2 di Program Pascasarjana IAIN
Syarif Hidayatullah Jakarta. 1996.
Muhammad Yahya, Poligami Dalam Perspektif Nabi saw, Makassar: Alauddin
University Perss, 2013.
Nasaruddin Umar, Ketika fikih Membela Perempuan, Jakarta: PT. Gramedia, 2014.
Sayyid Qutub. Fi Zhilal al-Qur’an. Dar Ihya’ al-Turats al-’Arabiy, jilid IV. 1967.
Studi Kritis Perkembangan Hukum Islam dari Fikih, Cet. V. Jakarta: Kencana
Prenadamedia Group, 2014.
Susanto Ready, Kartini : guru emansipasi perempuan nusantara, Penerbit Marja,
Bandung: 2017.

Anda mungkin juga menyukai