Anda di halaman 1dari 8

STUDI ANALISIS HADITS-HADITS TENTANG KHIFADH

(Kajian Sanad dan Matan)

PROPOSAL SKRIPSI
Diajukan Untuk Memenuhi Syarat Penulisan Skripsi
pada Program Studi Ilmu Hadits

Oleh:
Indah Nursaadah
NIM: 18.1.028

PROGRAM STUDI ILMU HADITS


SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM PERSIS GARUT
1442 H/2021 M
INDAH NURSAADAH

STUDI ANALISIS HADITS-HADITS TENTANG KHIFADH


(Kajian Sanad dan Matan)

Disetujui dan Disahkan oleh Panitia Ujian Proposal Skripsi

Penguji Utama Penguji Pendamping

( ………………………………… ) ( …………………………………. )
NIDN. NIDN.

Mengetahui,
Ketua Prodi Studi Ilmu Hadits

Azis Asmana, LC., M.Ag.


NIDN. 2104067601
PROPOSAL SKRIPSI
STUDI ANALISIS HADITS-HADITS TENTANG KHIFADH
(Kajian Sanad dan Matan)
Oleh:
Indah Nursaadah
NIM: 18.1.028
Program Studi Ilmu Hadits

A. Latar Belakang Masalah


Praktik khifadh atau sunat perempuan yang dilakukan masyarakat sudah
menjadi tradisi lama yang dikaitkan dengan syariat agama. Dalam sejarahnya,
praktek sunat merupakan bentuk tradisi yang sudah lama dikenal masyarakat
Arab jauh sebelum Islam. Sunat yang dimaksudpun tidak hanya dilakukan
untuk laki-laki tetapi juga untuk perempuan.
Banyak sekali referensi terkait sejarah awal adanya praktik sunat ini
yang beberapa diantaranya telah dikutip oleh Muhammad Mustaqim dalam
penelitiannya bahwa dalam catatan sejarah, sunat telah dilakukan sejak zaman
prasejarah. Hal ini dapat diamati dari gambar-gambar di gua yang berasal dari
Zaman Batu dan makam Mesir purba. Alasan tindakan ini masih belum jelas
pada masa itu, tetapi teori-teori memperkirakan bahwa tindakan ini
merupakan bagian dari ritual pengorbanan atau persembahan, tanda
penyerahan pada Yang Maha Kuasa, langkah menuju kedewasaan, tanda
kekalahan atau perbudakan, atau upaya untuk mengubah estetika atau
seksualitas.
Pendapat lain mengatakan bahwa praktik sunat telah dilakukan pada
zaman Mesir Kuno. Praktik ini diduga berasal dari Afrika, yang merupakan
sebuah ritus remaja yang kemudian disebarkan ke Mesir melalui difusi. Selain
itu, diperkirakan praktik ini sudah dikenal baik pada masa pra-Islam di daerah
Mesir, Arabia, dan daerah-daerah tepi Laut Merah. (Jawad, 2002: 181).
sunat sering dilukiskan pada tembok-tembok kuil pada masa 3000 SM.
Orang Hindu menganggap penis dan testis sebagai lambang pusat kehidupan
dan pengorbanan prepusium sebagai persembahan khusus untuk dewa.
(Swartz, 1995:263). Data ini memberikan gambaran bahwa praktik sunat
merupakan warisan tradisi sejarah yang sudah sangat tua. Sehingga praktik ini
tidak hanya di dominasi oleh suatu agama, suku maupun bangsa tertentu. Dan
tidak heran jika saat ini sunat menjadi sebuah bagian dari tradisi yang (harus)
dipraktekkan di banyak negara.1
Sejarah adanya praktek sunat Menurut Asriati Jamil dalam penelitiannya
menjelaskan bahwa praktek sunat berkembang di negara-negara Afrika, yang
mana tradisi ini berasal dari Mesir kuno yang ada sejak zaman Firaun. Hal ini
didukung dengan ditemukannya mumi perempuan dengan klitoris yang
terpotong, yang menurut penelitian ada sekitar abad 16 SM2, yang mana
menurut Gadis Arivia dalam bukunya Feminisme: sebuah kata hati yang
dikutip oleh Ratna Suraiya dalam tulisannya bahwa Bukti tersebut diperkuat
dengan adanya relief-relief tentang FGM (Female Genital Mutilation) di Mesir
yang berasal dari tahun 2800 SM.3
Berbagai referensi sejarah menujukkan bahwa beberapa bangsa kuno telah
mengenal khitan. Injil barnabas menyebutkan bahwa Adam adalah manusia
pertama yang berkhitan, dan ia melakukannya setelah bertaubat dari dosa
memakan buah pohon larangan. Keturunan Adam berikutnya melupakan tradisi
ini hingga Allah memerintahkan Nabi Ibrahim a.s. supaya menghidupkan
kembali tradisi ini.
Sama-sama telah kita ketahui bersama juga banyak sekali sumber yang
menyebutkan bahwa praktek sunat sudah dilakukan jauh sebelum peradaban
Mesir kuno. Karena didalam buku sejarah para Nabi, diceritakan bahwa Nabi
Ibrahim melakukan Praktek sunat pada usianya yang kedelapan puluh tahun.
Sebagaimana dalam hadis riwayat Bukhari menyebutkan :

1
Muhammad Mustaqim, Konstruksi dan Reproduksi Budaya Khitan Perempuan: Pergulatan
Antara Tradisi, Keberagaman dan Kekerasan Seksual di Jawa. Palastren, Vol. 6, No. 1, Juni 2013],
Hlm. 92.
2
Asriati Jamil, Sunat Perempuan dalam Islam: Sebuah Analisis Gender, Jurnal Kajian Agama Vol. 3
No. 2 Tahun 2001], hlm. 53.
3
Ratna Suraiya, Sunat Perempuan Dalam Perspektif Sejarah, Medis dan Hukum Islam ( Respon
Terhadap Pencabutan Aturan Larangan Sunat Perempuan Di Indonesia ). Cendekia Jurnal
Keislaman. Hal. 65.
ِ َ‫الزن‬
‫ َع ِن‬،‫اد‬ ِّ ‫ َع ْن أَبِي‬،‫الر ْح َم ِن ال ُق َر ِش ُّي‬
َّ ‫ َح َّدثَنَا ُمغِ َيرُة بْ ُن َع ْب ِد‬،‫يد‬
ٍ ِ‫ح َّدثَنَا قُتَ يبةُ بن سع‬
َ ُ ْ َْ َ
ِ‫ول اللَّهِ صلَّى اهلل َعلَيه‬ ُ ‫ال َر ُس‬ َ َ‫ ق‬:‫ال‬ َ َ‫ ق‬،ُ‫ض َي اللَّهُ َع ْنه‬ ِ ‫ َعن أَبِي ُهريْ رَة ر‬،‫األَ ْعر ِج‬
ْ ُ َ َ ََ ْ َ
4 ِ ِ ِ
»‫ين َسنَةً بِال َق ُّدوم‬ ِ َّ ‫يم َعلَْي ِه‬
َ ‫السالَ ُم َو ُه َو ابْ ُن ثَ َمان‬ َّ
ُ ‫ «ا ْختَتَ َن إبْ َراه‬:‫َو َسل َم‬
Telah menceritakan kepada kami Qutaibah bin Sa’id, telah menceritakan
kepada kami Mughirah bin ‘abdurrahman Al-Qurasyi, dari Abi az-Zanad, dari
al-A’raj, dari Abi Hurairah ra berkata: bahwa Rasulullah Saw. bersabda:
“Ibrahim As. telah melakukan khitan pada usia delapan puluh tahun dengan
beliung”.
Sementara itu, khusus untuk sunat perempuan, menurut catatan sejarah
Abu al-Hasan ‘Ali ibn Muhammad al-Khaza’i al-Talmasani (w. 789 H.) dalam
bukunya yang berjudul Takhrij Al-Dilalath Al-Samiyyah, menyebutkan sunat
perempuan pertama kali dilakukan oleh Hajar, istri kedua Nabi Ibrahim dan
merupakan ibu dari Nabi Ismail. Bersamaan dengan praktek sunat itu Hajar
menindik kedua daun telinganya. Tindakan tersebut diyakini sebagai bentuk
ritual untuk penyucian jiwa. Itulah yang kemudian menyebabkan Sarah istri
pertama Nabi Ibrahim terdorong untuk melakukan hal yang serupa.
Berdasarkan data historis di atas, Ratna Suraiya dalam penelitiannya
menyebutkan bahwa tidak salah apabila dikatakan tradisi sunat juga dijumpai
di zaman Mesir kuno. Zaman itu adalah masa kehidupan para pengikut ajaran
Nabi Ibrahim dan anak-anak keturunannya yang mewarisi tradisi nenek
moyang. Mesir kuno adalah wilayah yang dihuni oleh orang-orang Bani Israil
dan keluarga Fir’aun. Bani Isranil adalah keturunan Nabi Ishaq alias Israil
dalam bahasa Ibrani, dia anak kedua Nabi Ibrahim. Selain Bani Israil, praktek
sunat perempuan juga dilakukan oleh keluarga Fir’aun yang merupakan
penduduk asli Afrika. Oleh sebab itu, penduduk Sudan saat ini mengistilahkan
sunat perempuan dengan sebutan Khifadh Fir’auni dengan maksud
menisbatkan sunat perempuan kepada tradisi di zaman Fir’aun.
Sami al-Dayb dalam penelitiannya mengenai praktek sunat pada agama
Yahudi, Nasrani dan Islam, menegaskan bahwa tidak ditemukan pernyataan

4
HR. Bukhari, Shahih Bukhari/IV/Bab Qaul Allah Ta’ala Waatakhadallahu Ibrahim, no. 3356, hlm.
140.
dari kitab suci Taurat dan Injil yang memerintahkan sunat untuk perempuan.
Bahkan sebagian pemeluk Yahudi mengklaim tradisi sunat perempuan bukan
berasal dari zaman Ibrahim dan Ishaq, melainkan berasal dari tradisi di zaman
Raja Sulayman.
Praktek sunat perempuan yang mentradisi di Mesir tersebut kemudian
menyebar ke wilayah-wilayah lain di kawasan benua Afrika. Lalu melebar
keluar sampai ke Jazirah Arab yang pada akhirnya tradisi itu sampai ke kota
Madinah. Masyarakat Makkah belum mengenal tradisi sunat perempuan sama
sekali, tradisi itu baru dijumpai Rasulullah setelah berhijrah ke kota Madinah. 5
Data-data historis mengungkapkan, sunat perempuan telah diperkenalkan
dalam kitab suci Taurat yang di bawa Nabi Musa as untuk di imani dan ditaati
orang-orang Yahudi dari bangsa Israel. Akan tetapi, jauh sebelumnya tradisi
sunat telah dilakukan Nabi Ibrahim as dan diyakini sebagai petunjuk dari
Allah. Sunat dalam kitab Taurat dijadikan sebagai tanda yang membedakan
bangsa Israel dengan bangsa-bangsa lain. Tanda ini terkait dengan janji
kedatangan Mesies (Nabi Isa as) yang akan turun dari garis keturunan bangsa
Israel, khususnya orang-orang Yahudi. Selain itu sunat pada zaman tersebut
hanya dikhususkan untuk laki-laki sedangkan prempuan tidak diperkenankan.6
Syaikh Aly Jum’ah dalam salah satu kitabnya menyatakan bahwa tidak
ada satu teks yang menyatakan bahwa Rasululah Mengkhitan putri-putrinya,
padahal praktek khitan ketika itu menyebar di Madinah. Di sisi lain tidak satu
teks sharih yang shahih yang memerintahkan kaum muslimin untuk menghitan
putrinya. Tidak mempraktekkannya Nabi dan tidak memerintahkannya, sebagai
dalil yang kuat bahwa khitan perempuan tidak dianjurkan dalam Islam.7
Pembahasan mengenai sunat perempuan telah menjadi perdebatan yang
serius bukan hanya dikalangan agamawan, yang bukan hanya dikalangan umat
islam saja melainkan juga umat agama lain. Juga dikalangan dunia Medis, yang
bukan hanya di Indonesia saja tetapi juga di negara-negara muslim lainnya.
Perdebatan legalitas khitan terjadi, khususnya dikalangan umat islam, karena

5
Ratna Suraiya, Op.Cit, hlm. 66-67.
6
Ardiansyah, “ Hukum Khitan Antara Mazhab Maliki Dengan Mazhab Syafi’I (Kajian Fiqh Islam)”.
Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum. UIN Alaudin Makasar. Hal. 16-18.
7
Imam Nahe’I MHI, 2019. Khitan Perempuan Perspektif Islam. Situbondo: Jawa Timur.
tidak ada satupun teks di dalam Alquran yang secara tegas, memerintahkan
khitan. Memang ada beberapa hadist yang memuat pembahasannya. Akan
tetapi, menurut penilaian dari banyak ulama, tidak ada satupun hadist yang
shahih.
Begitupun Ibnu Munzir mengatakan bahwa tidak ada hadits yang bisa
dijadikan rujukan dalam masalah khifadh. Dari beberapa pendapat ini penulis
mencoba meneliti bagaimana hukum dari hadits-hadits yang bisa dijadikan
landasan mengenai amalan ini, dengan menganalisis HADITS-HADITS
TENTANG KHIFADH (KAJIAN SANAD DAN MATAN), Sehingga
dalam menjalankan suatu amalan yang dikaitkan dengan syariat memang
benar karena ada landasan dalam agama, bukan hanya menjalankan tradisi
semata.

B. Rumusan Masalah
Dari latar belakang masalah yang penulis paparkan diatas, maka yang
menjadi pokok masalah dalam penelitian ini adalah apakah ada dalil yang
bisa dijadikan landasan dari praktik khifadh, serta bagaimana kedudukan
hadits tersebut. Selanjutnya penulis merumuskannya dalam beberapa
pertanyaan berikut:
1. Bagaimana analisis sanad dalam hadits-hadits khifadh?
2. Bagaimana analisis matan dalam hadits-hadits khifadh?

C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah diatas, maka tujuan pokok penulisan
penelitian ini adalah untuk meneliti hadits-hadits yang bisa dijadikan landasan
dari praktik khifadh yang menjadi tradisi dimasyarakat luas. Untuk mencapai
tujuan pokok tersebut, ada beberapa tujuan khusus yang harus diketahui, yaitu
sebagai berikut:
1. Mengetahui analisis sanad dalam hadits-hadits khifadh
2. Mengetahui analisis matan dalam hadits-hadits khifadh
D. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat dalam menambah
wawasan bagi umat muslim, khusus nya bagi kaum perempuan. Baik
dikalangan pelajar, mahasiswa dan peneliti dibidangnya, yang bisa
menjadikan penulisan ini sebagai salah satu referensi yang bisa menjadi
pertimbangannya.
Apalagi bagi peneliti yang ahli dibidang hadits, yang tentu kajian sanad
dan matan ini sangat penting untuk dikaji, kajian yang berpengaruh pada
penghukuman suatu hadits dan begitupun dengan pengamalannya.
Selain itu, penelitian ini diharapkan dapat menghilangkan keraguan
dikalangan masyarakat mengenai pengamalan Khifadh ini, dengan kata lain
masyarakat khususnya umat muslim dalam melaksanakan amalannya
mengetahui landasan hukumnya seperti apa dan bukan hanya sekedar
menjalankan tradisi semata yang dikaitkan dengan syariat keagamaan.

E. Kerangka Pemikiran

Anda mungkin juga menyukai