PROPOSAL SKRIPSI
Diajukan Untuk Memenuhi Syarat Penulisan Skripsi
pada Program Studi Ilmu Hadits
Oleh:
Indah Nursaadah
NIM: 18.1.028
( ………………………………… ) ( …………………………………. )
NIDN. NIDN.
Mengetahui,
Ketua Prodi Studi Ilmu Hadits
1
Muhammad Mustaqim, Konstruksi dan Reproduksi Budaya Khitan Perempuan: Pergulatan
Antara Tradisi, Keberagaman dan Kekerasan Seksual di Jawa. Palastren, Vol. 6, No. 1, Juni 2013],
Hlm. 92.
2
Asriati Jamil, Sunat Perempuan dalam Islam: Sebuah Analisis Gender, Jurnal Kajian Agama Vol. 3
No. 2 Tahun 2001], hlm. 53.
3
Ratna Suraiya, Sunat Perempuan Dalam Perspektif Sejarah, Medis dan Hukum Islam ( Respon
Terhadap Pencabutan Aturan Larangan Sunat Perempuan Di Indonesia ). Cendekia Jurnal
Keislaman. Hal. 65.
ِ َالزن
َع ِن،اد ِّ َع ْن أَبِي،الر ْح َم ِن ال ُق َر ِش ُّي
َّ َح َّدثَنَا ُمغِ َيرُة بْ ُن َع ْب ِد،يد
ٍ ِح َّدثَنَا قُتَ يبةُ بن سع
َ ُ ْ َْ َ
ِول اللَّهِ صلَّى اهلل َعلَيه ُ ال َر ُس َ َ ق:ال َ َ ق،ُض َي اللَّهُ َع ْنه ِ َعن أَبِي ُهريْ رَة ر،األَ ْعر ِج
ْ ُ َ َ ََ ْ َ
4 ِ ِ ِ
»ين َسنَةً بِال َق ُّدوم ِ َّ يم َعلَْي ِه
َ السالَ ُم َو ُه َو ابْ ُن ثَ َمان َّ
ُ «ا ْختَتَ َن إبْ َراه:َو َسل َم
Telah menceritakan kepada kami Qutaibah bin Sa’id, telah menceritakan
kepada kami Mughirah bin ‘abdurrahman Al-Qurasyi, dari Abi az-Zanad, dari
al-A’raj, dari Abi Hurairah ra berkata: bahwa Rasulullah Saw. bersabda:
“Ibrahim As. telah melakukan khitan pada usia delapan puluh tahun dengan
beliung”.
Sementara itu, khusus untuk sunat perempuan, menurut catatan sejarah
Abu al-Hasan ‘Ali ibn Muhammad al-Khaza’i al-Talmasani (w. 789 H.) dalam
bukunya yang berjudul Takhrij Al-Dilalath Al-Samiyyah, menyebutkan sunat
perempuan pertama kali dilakukan oleh Hajar, istri kedua Nabi Ibrahim dan
merupakan ibu dari Nabi Ismail. Bersamaan dengan praktek sunat itu Hajar
menindik kedua daun telinganya. Tindakan tersebut diyakini sebagai bentuk
ritual untuk penyucian jiwa. Itulah yang kemudian menyebabkan Sarah istri
pertama Nabi Ibrahim terdorong untuk melakukan hal yang serupa.
Berdasarkan data historis di atas, Ratna Suraiya dalam penelitiannya
menyebutkan bahwa tidak salah apabila dikatakan tradisi sunat juga dijumpai
di zaman Mesir kuno. Zaman itu adalah masa kehidupan para pengikut ajaran
Nabi Ibrahim dan anak-anak keturunannya yang mewarisi tradisi nenek
moyang. Mesir kuno adalah wilayah yang dihuni oleh orang-orang Bani Israil
dan keluarga Fir’aun. Bani Isranil adalah keturunan Nabi Ishaq alias Israil
dalam bahasa Ibrani, dia anak kedua Nabi Ibrahim. Selain Bani Israil, praktek
sunat perempuan juga dilakukan oleh keluarga Fir’aun yang merupakan
penduduk asli Afrika. Oleh sebab itu, penduduk Sudan saat ini mengistilahkan
sunat perempuan dengan sebutan Khifadh Fir’auni dengan maksud
menisbatkan sunat perempuan kepada tradisi di zaman Fir’aun.
Sami al-Dayb dalam penelitiannya mengenai praktek sunat pada agama
Yahudi, Nasrani dan Islam, menegaskan bahwa tidak ditemukan pernyataan
4
HR. Bukhari, Shahih Bukhari/IV/Bab Qaul Allah Ta’ala Waatakhadallahu Ibrahim, no. 3356, hlm.
140.
dari kitab suci Taurat dan Injil yang memerintahkan sunat untuk perempuan.
Bahkan sebagian pemeluk Yahudi mengklaim tradisi sunat perempuan bukan
berasal dari zaman Ibrahim dan Ishaq, melainkan berasal dari tradisi di zaman
Raja Sulayman.
Praktek sunat perempuan yang mentradisi di Mesir tersebut kemudian
menyebar ke wilayah-wilayah lain di kawasan benua Afrika. Lalu melebar
keluar sampai ke Jazirah Arab yang pada akhirnya tradisi itu sampai ke kota
Madinah. Masyarakat Makkah belum mengenal tradisi sunat perempuan sama
sekali, tradisi itu baru dijumpai Rasulullah setelah berhijrah ke kota Madinah. 5
Data-data historis mengungkapkan, sunat perempuan telah diperkenalkan
dalam kitab suci Taurat yang di bawa Nabi Musa as untuk di imani dan ditaati
orang-orang Yahudi dari bangsa Israel. Akan tetapi, jauh sebelumnya tradisi
sunat telah dilakukan Nabi Ibrahim as dan diyakini sebagai petunjuk dari
Allah. Sunat dalam kitab Taurat dijadikan sebagai tanda yang membedakan
bangsa Israel dengan bangsa-bangsa lain. Tanda ini terkait dengan janji
kedatangan Mesies (Nabi Isa as) yang akan turun dari garis keturunan bangsa
Israel, khususnya orang-orang Yahudi. Selain itu sunat pada zaman tersebut
hanya dikhususkan untuk laki-laki sedangkan prempuan tidak diperkenankan.6
Syaikh Aly Jum’ah dalam salah satu kitabnya menyatakan bahwa tidak
ada satu teks yang menyatakan bahwa Rasululah Mengkhitan putri-putrinya,
padahal praktek khitan ketika itu menyebar di Madinah. Di sisi lain tidak satu
teks sharih yang shahih yang memerintahkan kaum muslimin untuk menghitan
putrinya. Tidak mempraktekkannya Nabi dan tidak memerintahkannya, sebagai
dalil yang kuat bahwa khitan perempuan tidak dianjurkan dalam Islam.7
Pembahasan mengenai sunat perempuan telah menjadi perdebatan yang
serius bukan hanya dikalangan agamawan, yang bukan hanya dikalangan umat
islam saja melainkan juga umat agama lain. Juga dikalangan dunia Medis, yang
bukan hanya di Indonesia saja tetapi juga di negara-negara muslim lainnya.
Perdebatan legalitas khitan terjadi, khususnya dikalangan umat islam, karena
5
Ratna Suraiya, Op.Cit, hlm. 66-67.
6
Ardiansyah, “ Hukum Khitan Antara Mazhab Maliki Dengan Mazhab Syafi’I (Kajian Fiqh Islam)”.
Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum. UIN Alaudin Makasar. Hal. 16-18.
7
Imam Nahe’I MHI, 2019. Khitan Perempuan Perspektif Islam. Situbondo: Jawa Timur.
tidak ada satupun teks di dalam Alquran yang secara tegas, memerintahkan
khitan. Memang ada beberapa hadist yang memuat pembahasannya. Akan
tetapi, menurut penilaian dari banyak ulama, tidak ada satupun hadist yang
shahih.
Begitupun Ibnu Munzir mengatakan bahwa tidak ada hadits yang bisa
dijadikan rujukan dalam masalah khifadh. Dari beberapa pendapat ini penulis
mencoba meneliti bagaimana hukum dari hadits-hadits yang bisa dijadikan
landasan mengenai amalan ini, dengan menganalisis HADITS-HADITS
TENTANG KHIFADH (KAJIAN SANAD DAN MATAN), Sehingga
dalam menjalankan suatu amalan yang dikaitkan dengan syariat memang
benar karena ada landasan dalam agama, bukan hanya menjalankan tradisi
semata.
B. Rumusan Masalah
Dari latar belakang masalah yang penulis paparkan diatas, maka yang
menjadi pokok masalah dalam penelitian ini adalah apakah ada dalil yang
bisa dijadikan landasan dari praktik khifadh, serta bagaimana kedudukan
hadits tersebut. Selanjutnya penulis merumuskannya dalam beberapa
pertanyaan berikut:
1. Bagaimana analisis sanad dalam hadits-hadits khifadh?
2. Bagaimana analisis matan dalam hadits-hadits khifadh?
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah diatas, maka tujuan pokok penulisan
penelitian ini adalah untuk meneliti hadits-hadits yang bisa dijadikan landasan
dari praktik khifadh yang menjadi tradisi dimasyarakat luas. Untuk mencapai
tujuan pokok tersebut, ada beberapa tujuan khusus yang harus diketahui, yaitu
sebagai berikut:
1. Mengetahui analisis sanad dalam hadits-hadits khifadh
2. Mengetahui analisis matan dalam hadits-hadits khifadh
D. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat dalam menambah
wawasan bagi umat muslim, khusus nya bagi kaum perempuan. Baik
dikalangan pelajar, mahasiswa dan peneliti dibidangnya, yang bisa
menjadikan penulisan ini sebagai salah satu referensi yang bisa menjadi
pertimbangannya.
Apalagi bagi peneliti yang ahli dibidang hadits, yang tentu kajian sanad
dan matan ini sangat penting untuk dikaji, kajian yang berpengaruh pada
penghukuman suatu hadits dan begitupun dengan pengamalannya.
Selain itu, penelitian ini diharapkan dapat menghilangkan keraguan
dikalangan masyarakat mengenai pengamalan Khifadh ini, dengan kata lain
masyarakat khususnya umat muslim dalam melaksanakan amalannya
mengetahui landasan hukumnya seperti apa dan bukan hanya sekedar
menjalankan tradisi semata yang dikaitkan dengan syariat keagamaan.
E. Kerangka Pemikiran