“Masail FikIhiyah”
Dosen Pengampu:
Frandy Argadinata
Disusun Oleh:
Kelompok 4/ PAI E
MARET 2022
PEMBAHASAN
Khitan berasal dari kata Khatnu ( )خطنsecara terminologis istilah khtan berarti:
Pada prosesnya, khitan perempuan dengan khitan laki-laki jelas berbeda karena
pada laki-laki, prosesnya adalah menyunat kulup dari batang dzakar (penis), sedanglam
khitan pada perempuan adalah menyunat bagian “Chitoral hood” atau disebut preputium
cltodris and clitoral pepuce yakni lipatan kulit yang mengelilingi dan melindungu
clitoral glans (batang klitoris).1
Ada beberapa pendapat dari sebagian ulama’ tentang khitan, yakni:
1. Imam Suyuti dalam asna I-matholib mengatakan bahwa dalam khitan seluruh
hasyafah (kepala penis) harus terbuka pada laki-laki dengan mengangkat kulit yang
menutupi hasyafah, maka tidak cukup dengan memotong sebagiannya. Kulit penutup
disebut qulfa (kulup). Sedangkan khitan wanita adalah memotong daging pada bagian
atas vagina diatas saluran kencing yang berbentuk mirip jengger ayam.
2. Imam Nawawi dalam al-majmu’ beata bahwa organ wani yang dipotong ketika khitan
adalah jildah (kulit) yang berbentuk mirip jengger ayam, yang terletak diatas saluran
kencing dan disepakati oleh ulama madzhab kami bahwasannya mereka
menganjurkan memotongnya sedikit saja.
3. Syaikh Ansori mengatakan bahwasannya jika memotong bagian yang seperti jengger
ayam maka tinggallah pangkalnya yang berbentuk seperti biji.2
Bentuk-bentuk khitan perempuan menurut versi WHO dibagi menjadi empat tipe:
1. Clitoridotomy yaitu eksisi (pengirisan) dari permukaan (perpuce) klitoris dengan atau
tanpa eksisi sebagian atau seluruh klitoris yang juga dikenal dengan istilah
1
Aini Aryani, Khitan Bagi Wanita Haruskah? (Jakarta: Rumah Fiqih Publishing, 2018), hlm 11.
2
Ardiansyah, “Hukum Khitan Antara Madzhab Maliki Dan Mazhab Syafi’i (Kajian Fiqh Islam)”
(Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar, 2018).
1
heedectomy.
2. Clitoridectomy yaitu pengirisan sebagian atau total dari klitoris hingga bibir vagina.
3. Infibulasi atau Pharaonic Circumcisian yaitu pengirisan sebagian atau seluruh bagian
genital eksternal dan penjahitan untuk menyempitkan mulut vulva dengan hanya
menyisakan lubang sebesar diameter pensil.
4. Khitan perempuan tidak terklarifikasi karena menggunakan berbagai cara seperti:
menusuk dengan jarum; mengupas klitoris dan bibir vagina; pengirisan; penggoresan;
dan lain sebagainya
Ibnu Qudamah dalam kitabnya al-Mughni menjelaskan bahwa khitan bagi laki-
laki hukumnya wajib dan kemuliaan bagi perempuan. Pendapat ini dilandaskan kepada
firman Allah SWT dalam Alquran surah An-Nisa [4] ayat 125, yang memerintahkan Nabi
Muhammad SAW agar mengikuti ajaran Nabi Ibrahim AS, yaitu:
ُ َو َم ْن اَحْ َس ُن ِد ْينًا ِّم َّم ْن اَ ْسلَ َم َوجْ هَهٗ هّٰلِل ِ َوهُ َو ُمحْ ِس ٌن َّواتَّبَ َع ِملَّةَ اِب ْٰر ِه ْي َم َحنِ ْيفًا ۗ َواتَّ َخ َذ هّٰللا
اِب ْٰر ِه ْي َم َخلِ ْياًل
Artinya: “Dan siapakah yang lebih baik agamanya daripada orang yang dengan
ikhlas berserah diri kepada Allah, sedang dia mengerjakan kebaikan, dan mengikuti
agama Ibrahim yang lurus? Dan Allah telah memilih Ibrahim menjadi kesayangan-
Nya”.
2
ulama.”
Dalil yang menjadi landasan pendapat ini adalah hadits Ibnu Abbas marfu`
kepada Rasulullah SAW:
ح ّدثنا سري ٌح حدثنا عبّاد يعني ابن الع ّوام عن الحجّاج’ عن أبي المليح
لِلرِّج ٌان ُسنَّة ِ بن ُأسامة عن أبيه أن النب ّي صلّي هللا عليه وسلّم قال
ُ ِالخت
َم ْك ُر َمةٌ لِلنِّ َسا ِء
()رواه أحمد
Artinya: “Khitan itu sunnah buat laki-laki dan kemuliaan bagi perempuan." (HR
Ahmad dan Baihaqi)3
Berdasarkan hadits atau dalil di atas, maka dapat disimpulkan bahwa cara sunat
pada perempuan harus diperhatikan yakni, cukup dengan hanya menghilangkan selaput
(jaldah/colum/praeputium) yang menutupi klitoris dan tidak boleh berlebihan, seperti
memotong atau melukai klitoris (insisi dan eksisi).
Dalam sejarahnya, praktek sunat merupakan bentuk tradisi yang sudah lama
dikenal masyarakat Arab jauh sebelum Islam. Sunat tidak hanya dilakukan untuk laki-laki
tetapi juga untuk perempuan. Menurut Asriati Jamil dalam artikelnya menyebutkan
praktek sunat berkembang di negara-negara Afrika. Tradisi ini berasal dari Mesir kuno
sejak zaman Firaun. Hal ini didukung dengan ditemukannya mumi perempuan dengan
3
Agus Hermanto, “Khitan Perempuan Antara Tradisi Dan Syari’ah,” Kalam: Jurnal Studi Agama Dan
Pemikiran Islam 10, no. 1 (2016), https://doi.org/10.24042/klm.v10i1.343.
3
klitoris yang terpotong pada abad 16 SM. Bukti tersebut diperkuat dengan adanya relief-
relief tentang FGM (Female Genital Mutilation) di Mesir yang berasal dari tahun 2800
SM. Sebetulnya bila kita melihat sejarah umat manusia, praktek sunat sudah dilakukan
jauh sebelum peradaban Mesir kuno. Praktek sunat pertama kali dilakukan oleh Nabi
Ibrahim pada usianya yang kedelapan puluh tahun. Sebagaimana dalam hadis riwayat al-
Bukhari yang artinya:
Sementara itu, khusus untuk sunat perempuan, menurut catatan sejarah Abu al-
Hasan Ali ibn Muhammad al-Khaza’i al-Talmasani (w. 789 H.) dalam bukunya yang
berjudul Takhrij al-Dilalath al-Sam’iyyah, menyebutkan sunat perempuan pertama kali
dilakukan oleh Hajar istri kedua Nabi Ibrahim yaitu ibu dari Nabi Ismail. Bersamaan
dengan praktek sunat itu Hajar menindik kedua daun telinganya. Tindakan tersebut
diyakini sebagai bentuk ritual untuk penyucian jiwa. Itulah yang kemudian menyebabkan
Sarah istri pertama Nabi Ibrahim menjadi iri sehingga terdorong untuk melakukan hal
yang serupa.4
Berdasarkan data historis di atas, tidak salah apabila dikatakan tradisi sunat juga
dijumpai di zaman Mesir kuno. Zaman itu adalah masa kehidupan para pengikut ajaran
Nabi Ibrahim dan anak-anak keturunannya yang mewarisi tradisi nenek moyang. Mesir
kuno adalah wilayah yang dihuni oleh orangorang Bani Israil dan keluarga Firaun. Bani
Israil adalah keturunan Nabi Ishaq alias Israil dalam bahasa Ibrani, dia anak kedua Nabi
Ibrahim. Selain Bani Israil, praktek sunat perempuan juga dilakukan oleh keluarga Firaun
yang merupakan penduduk asli Afrika. Oleh sebab itu, penduduk Sudan saat ini
mengistilahkan sunat perempuan dengan sebutan “Khfad Fir’awni”, dengan maksud
menisbatkan sunat perempuan kepada tradisi di zaman Firaun.
D. Hukum Khitan
4
Ratna Suraiya, “Sunat Perempuan Dalam Perspektif Sejarah, Medis Dan Hukum Islam (Respon
Terhadap Pencabutan Aturan Larangan Sunat Perempuan Di Indonesia),” CENDEKIA : Jurnal Studi Keislaman
5, no. 1 (2019), https://doi.org/10.37348/cendekia.v5i1.73.
4
masyarakat masa lalu. Sejak awal sejarah, manusia sudah mengetahui praktek tersebut.
Mereka melakukan praktek khitan terus-menerus sampai datangnya Islam, kebanyakan
manusia, baik laki-laki maupun perempuan melakukan khitan.
Menurut Madzhab Syafi’iyah dan Hanibilah, sebagaimana dikutip Husain
Muhammad, bahwa hukum mengkhitan adalah wajib bagi anak laki-laki. Hal itu
berdasarkan pada ayat al-Qur’an surat Ali Imron ayat 95 yang artinya: “Katakanlah:
“Benarlah (apa yang difirmankan) Allah”. Maka ikutilah agama Ibrahim yang lurus,
dan bukanlah Dia Termasuk orang-orang yang musyrik.” Maksud perintah untuk
mengikuti agama Nabi Ibrahim pada ayat tersebut adalah pelaksanaan seluruh ajarannya,
termasuk di dalamnya khitan. Maka ayat ini sebagai dasar diwajibkannya khitan bagi
laki-laki dalam agama Islam.
Sementara Zainuddin berpendapat bahwa kewajiban khitan bagi laki-laki dan
perempuan didasarkan pada QS. Al-Nahl ayat 123: “…Ikutilah agama Ibrahim seorang
yang hanif…”. Di antara ajaran agamanya adalah khitan. Ia melakukan khitan ketika
berusia 80 tahun. Ada juga yang mengatakan khitan bagi laki-laki hukumnya wajib, dan
bagi perempuan hukumnya sunah.
Nampaknya para ulama tidak sependapat tentang hukum khitan. Sebagaimana
penjelasan Syaikh Hasanain Muhammad Makhluf, bahwasannya di kalangan fuqaha
berbeda pendapat dalam menetapkan status hukum khitan bagi setiap laki-laki dan
perempuan. Madzhab Syafi’iyyah sebagaimana disebutkan oleh Imam al-Nawawy dalam
kitabnya al-Majmu’, mengatakan wajib hukumnya bagi laki-laki dan perempuan.
Pendapat semacam ini merupakan pendapat yang banyak diikuti Jumhur Ulama.
Sedangkan madzhab Hanabilah sebagaimana yang disebutkan oleh Ibnu Qadamah dalam
kitab al-Majmu’, mengatakan wajib hukumnya bagi laki-laki, dan tidak wajib atau sunnah
dan lebih bagus bagi perempuan. Nampaknya pendapat inilah yang diikuti oleh
kebanyakan ahli ilmu kesehatan.5
Adapun khitan bagi perempuan yang ditetapkan oleh madzhab Hanafiyah,
Malikiyah dan Hanabilah yaitu sunah. Dengan berdasarkan sebuah hadits: “Bahwasannya
seorang perempuan dikhitankan di Madinah maka Nabi SAW., berkata kepadanya;
jangan engkau merusak (kelaminnya), karena hal itu merupakan kehormatan bagi
perempuan”. (HR. Abu Daud yang bersumber dari Ummi Athiyyah).
Maksud perkataan Nabi yang mengatakan; “Janganlah engkau merusak alat
kelamin perempuan itu”, bukan melarang mengkhitannya, akan tetapi hanya perintah
5
Asrorun Ni’am Sholeh and Lia Zahiroh, Hukum & Panduan Khitan (Depok: Erlangga, 2017), hlm 25.
5
untuk berhati-hati ketika melaksanakan khitanan itu. Dan hadits tersebut di atas, tidak
terdapat unsur kewajiban, kecuali hanya unsur legalitas (pengakuan) nabi saw, terhadap
perbuatan perempuan yang mengadakan khitanan di Madinah ketika itu.
Lebih lanjut ditegaskan oleh Mahjudin dalam bukunya “Masa’il al-Fiqh” bahwa
khitan bagi laki-laki hukumnya wajib, berdasarkan beberapa keterangan di atas, disertai
dengan alasan bahwa khitan itu merupakan wahana untuk melakukan thaharah dari najis
(hadats) yang status hukumnya wajib. Sedangkan khitan terhadap perempuan, Mahjudin
memberikan kesimpulan sunah, berdasarkan hal tersebut di atas disertai dengan alasan
bahwa tidak ada alat kelamin perempuan yang perlu dibuang untuk kepentingan thaharah.
Dan disunahkan bagi perempuan agar khitan hanya sebagai ikatan terhadap ajaran Nabi
Ibrahim as., bila disanggupinya.6
1. Mazhab Al-Hanafiyah dan Al-Malikiyyah
Kedua madzhab ini sepakat bahwa berkhitan tidak diwajibkan bagi
perempuan, mayoritas ulama dari madzhab ini tidak memandangnya dari sisi hukum
taklifi, namun sebagai bentuk pemuliaan bagi perempuan. Ibnul Humam (w. 681 H)
salah satu ulama mazhab Al-Hanafiyah dalam kitab Fathul Qadir menuliskan sebagai
berikut:
Khitan itu memotong sebagian dari zakar (kemaluan laki-laki) dan farji
(kemaluan perempuan). Hukumnya Sunnah bagi laki-laki, dan bagi perempuan
merupakan sebuah kemuliaan.
2. Mazhab Asy-Syafi’i
Madzhab ini memandang bahwa berkhitan bagi laki-laki dan perempuan itu
hukumnya wajib. Sebagaimana penuturan An-Nawawi (w. 676 H) salah satu ulama
dalam mazhab Asy-Syafi'iyah di dalam kitabnya Minhaj At-Thalibin wa Umdatu Al-
Muftiin fi Al-Fiqh, bahwasannya wajib bagi perempuan berkhitan, dengan memotong
sebagian daging kecil yang berada di bagian atas kemaluan, dan bagi laki-laki dengan
menghilangkan sebagian kulit penutup bagian depan dari kemaluan, dan disunnahkan
bagi laki-laki untuk menyegerakan khitan di umur tujuh tahun.
3. Mazhab Hanabilah
Adapun madzhab Al-Hanabilah, hukum berkhitan dibedakan antara laki-laki
dan perempuan. Wajib bagi laki-laki, dan tidak wajib bagi perempuan. Ibnu
Qudamah (w. 620 H) ulama dari kalangan mazhab Al-Hanabilah di dalam kitabnya
Al-Mughni menuliskan sebagai berikut: Diwajibkan bagi laki-laki berkhitan,
6
Hermanto, “Khitan Perempuan Antara Tradisi Dan Syari’ah.”
6
sedangkan bagi perempuan tidaklah diwajibkan, melainkan hanya sebuah kemuliaan
bagi yang mengerjakannya.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa perbedaan pendapat di kalangan
ulama fiqih ada 3 pendapat terkait khitan bagi wanita. Pertama, pendapat yang
mewajibkan sebagaimana dijelaskan oleh para ulama dari madzhab Syafi’i. Kedua,
pendapat yang membedakan hukum khitan bagi laki-laki dan wanita, wajib bagi
lelaki dan tidak wajib bagi wanita. Hal ini dijelaskan oleh para ulama dari madzhab
Hambali. Ketiga, pendapat yang tidak memandang dari sisi hukum taklifi, namun
khitan bagi wanita adalah satu bentuk pemuliaan bagi wanita.7
7
atau fitrah yang diarahkan kepada laki-laki, sama dengan memelihara jenggot dan
mencukur kumis.
Selanjutnya, fatwa dari MUI terkait khitan ini baik untuk laki-laki maupun
perempuan. Diantaranya:8
8
Lukman Hakim, “Khitan Perempuan Dalam Perspektif Hukum Islam,” Ar-Risalah: Media
Keislaman, Pendidikan Dan Hukum Islam 15, no. 1 (2017): 139–47,
http://ejournal.iaiibrahimy.ac.id/index.php/arrisalah/article/view/89.
8
tentang masalah khitan perempuan. Kedua menganjurkan kepada depertemen
kesehatan untuk menberikan penyuluhan dan pelatihan kepada tenga medis untuk
melakukan khitan perempuan sesuai dengan ketentuan fatwa MUI ini.
PENUTUP
9
A. Kesimpulam
1. Secara definisi, khitan memiliki arti yaitu memotong sebagian kulit yang menutup
bagian depan (penis) bagi laki-laki, dan memotong nawah bagi perempuan. Dalam
prakteknya, khitan itu berarti membuat seluruh hasyafah (kepala penis) harus terbuka
pada laki-laki dengan mengangkat kulit yang menutupi hasyafah. Sedangkan, praktek
khitan wanita adalah memotong daging pada bagian atas vagina diatas saluran
kencing yang berbentuk mirip jengger ayam.
2. Dalil tentang khitan itu dijelaskan dalam Al-Qur’an maupun Hadist. Untuk yang
didalam Al-Qur’an itu terdapat pada QS An-Nisa [4] ayat 125, yang mana dalam surat
tersebut memerintahkan Nabi Muhammad SAW agar mengikuti ajaran Nabi Ibrahim
AS. Sedangkan dalil yang ada dalam hadist, itu dijelaskan dalam HR Ahmad dan
Baihaqi.
3. Secara historis, praktek khitan pada perempuan sejatinya sudah dilakukan oleh orang-
orang Arab sebelum agama Islam masuk. Tak hanya itu, khitan pada perempuan juga
merupakan tradisi dari bangsa Mesir kuno yang mana hal ini dibuktikan dengan
ditemukannya relief-relief terkait khitan perempuan.
4. Untuk hukum berkhitan, bahwasannya baik Al-Qur’an dan Hadist sudah banyak
menjelaskan. Untuk laki-laki hukum berkhitan itu wajib, karena berkhitan adalah
sebuah ibadah yang dilakukan untuk kepentingan thaharah. Sedangkan khitan bagi
perempuan itu adalah suatu bentuk kemuliaan.
5. Pandangan ulama terkait khitan perempuan sebetulnya beragam, mulai dari keempat
Imam mazhab yang berpendapat bahwa: Imam Syafi’i mewajibkan untuk berkhitan
baik itu laki-laki maupun perempuan; Imam Hanafi dan Maliki sepakat bahwa
berkhitan tidak diwajibkan bagi perempuan; sedangkan Imam Hanabilah menegaskan
tidak wajib bagi perepuan untuk berkhitan, namun jika melakukan ia akan mendapat
kemuliaan.
DAFTAR PUSTAKA
10
Ardiansyah. “Hukum Khitan Antara Madzhab Maliki Dan Mazhab Syafi’i (Kajian Fiqh
Islam).” Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar, 2018.
Aryani, Aini. Khitan Bagi Wanita Haruskah? Jakarta: Rumah Fiqih Publishing, 2018.
Hakim, Lukman. “Khitan Perempuan Dalam Perspektif Hukum Islam.” Ar-Risalah: Media
Keislaman, Pendidikan Dan Hukum Islam 15, no. 1 (2017): 139–47.
http://ejournal.iaiibrahimy.ac.id/index.php/arrisalah/article/view/89.
Hermanto, Agus. “Khitan Perempuan Antara Tradisi Dan Syari’ah.” Kalam: Jurnal Studi
Agama Dan Pemikiran Islam 10, no. 1 (2016). https://doi.org/10.24042/klm.v10i1.343.
Mashita Maisarah, Masayu. “Polemik Khitan Perempuan: Tinjauan Dari Berbagai Aspek.”
Jurnal Al-Huda 7, no. 2 (2015): 69–96.
Sholeh, Asrorun Ni’am, and Lia Zahiroh. Hukum & Panduan Khitan. Depok: Erlangga, 2017.
Suraiya, Ratna. “Sunat Perempuan Dalam Perspektif Sejarah, Medis Dan Hukum Islam
(Respon Terhadap Pencabutan Aturan Larangan Sunat Perempuan Di Indonesia).”
CENDEKIA : Jurnal Studi Keislaman 5, no. 1 (2019).
https://doi.org/10.37348/cendekia.v5i1.73.
11