Sedangkan khitan bagi perempuan adalah memotong sedikit kulit (selaput) yang menutupi ujung klitoris
(preputium clitoris) atau membuang sedikit dari bagian klitoris (kelentit) atau gumpalan jaringan kecil yang
terdapat pada ujung lubang vulva bagian atas kemaluan perempuan. Khitan bagi laki-laki dinamakan
juga I’zar dan bagi perempuan disebut khafd.
Para ulama sepakat bahwa khitan wanita secara umum ada di dalam Syari’at Islam. (al-Bayan min Al Azhar as-
Syarif: 2/18). Tetapi mereka berbeda pendapat tentang status hukumnya, apakah wajib, sunnah, ataupun hanya
anjuran dan suatu kehormatan.
Hal ini disebabkan dalil-dalil yang menerangkan tentang khitan wanita sangat sedikit dan tidak tegas, sehingga
memberikan ruangan bagi para ulama untuk berbeda pendapat. Diantara dalil-dalil tentang khitan wanita adalah
sebagai berikut :
Pertama:
ب ُّ س ِم ْن ا ْل ِف ْط َر ِة ا ْل ِخ َتانُ َوااِل ْس ِت ْحدَا ُد َو َن ْتفُ اإْل ِ ْب ِط َو َت ْق ِل ُيم اأْل َ ْظ َفا ِر َو َق
ِ ص الشَّا ِر ٌ َخ ْم
“Lima hal yang termasuk fitroh yaitu: khitan, mencukur bulu kemaluan, mencabut bulu ketiak, memotong kuku
dan memotong kumis.” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhari (6297 -Fathul Bari), Muslim (3/257 - Nawawi), Malik
dalam Al-Muwatha’ (1927), Abu Daud (4198), At-Tirmidzi (2756), An-Nasa'i (1/14-15), Ibnu Majah (292), Ahmad
dalam Al-Musnad (2/229) dan Al-Baihaqi (8/323)].
Bagi yang mewajibkan khitan wanita mengatakan bahwa arti “ fitrah “ dalam hadist di atas perikehidupan yang
dipilih oleh para nabi dan disepakati oleh semua syari’at, atau bisa disebut agama, sehingga menunjukkan
kewajiban.
Sebaliknya yang berpendapat sunnah mengatakan bahwa khitan dalam hadist tersebut disebut bersamaan
dengan amalan-amalan yang status hukumnya adalah sunnah, seperti memotong kumis, memotong kuku dan
seterusnya, sehingga hukumnya-pun menjadi sunnah.
Kedua:
Sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
“Bila telah bertemu dua khitan (khitan laki-laki dan wanita dalam jima’-pent) maka sungguh telah wajib mandi
(junub)” [Hadis shahih, diriwayatkan oleh At-Tirmidzi (108-109), Asy-Syafi'i (1/38), Ibnu Majah (608), Ahmad
(6/161), Abdurrazaq (1/245-246) dan Ibnu Hibban (1173-1174 - Al Ihsan)]
Kelompok yang berpendapat wajib mengatakan, bahwa hadist di atas menyebut dua khitan yang bertemu,
maksudnya adalah kemaluan laki-laki yang dikhitan dan kemaluan perempuan yang dikhitan.
Hal ini secara otomatis menunjukkan bahwa khitan – menurut pendapat ini – bagi wanita hukumnya wajib.
Sedangkan bagi yang berpendapat khitan wanita adalah sunnah mengatakan bahwa hadist tersebut tidak tegas
menyatakan kewajiban khitan bagi perempuan. (Asy Syaukani, Nailul Author : 1/147)
Ketiga:
Hadist Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, bahwasanya Rosulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada
kepada Ummu ‘Athiyah (wanita tukang khitan):
ج َّ َو َأ ْح َظى ِع ْن َد،ض ُر ِل ْل َو ْج ِه
ِ الز ْو َ َف ِإ َّن ُه َأ ْن، َوال ُت ْن ِه ِكي،ضي
ِ ْاخ ِف
“Apabila engkau mengkhitan wanita potonglah sedikit, dan janganlah berlebihan (dalam memotong bagian yang
dikhitan), karena itu lebih bisa membuat ceria wajah dan lebih menyenangkan (memberi semangat) bagi suami.”
[Hadis Shahih, diriwayatkan oleh Abu Daud (5271), Al-Hakim (3/525), Ibnu Ady dalam Al-Kamil (3/1083) dan Al-
Khatib dalam Tarikhnya 12/291)].
“Bagi yang mewajibkan khitan wanita, menganggap bahwa hadist di atas derajatnya ‘Hasan’, sedang yang
menyatakan sunnah atau kehormatan wanita menyatakan bahwa hadist tersebut lemah.
Keempat:
Riwayat Aisyah Radhiyallahu ‘anha secara marfu’:
“Artinya : Jika seorang lelaki telah duduk di antara cabang wanita yang empat (kinayah dari jima, -pent) dan
khitan yang satu telah menyentuh khitan yang lain maka telah wajib mandi (junub)” [diriwayatkan oleh Al-Bukhari
(1/291 - Fathul Bari), Muslim (249 - Nawawi), Abu Awanah (1/269), Abdurrazaq (939-940), Ibnu Abi Syaibah
(1/85) dan Al-Baihaqi (1/164)]
Hadits ini juga mengisyaratkan dua tempat khitan yang ada pada lelaki dan wanita, maka ini menunjukkan
bahwa wanita juga dikhitan.
Berkata Imam Ahmad : “Dalam hadits ini ada dalil bahwa para wanita dikhitan” [Tuhfatul Wadud].
Kelima:
“ Khitan itu sunnah bagi laki-laki dan kehormatan bagi wanita. “ (HR. Ahmad dan Baihaqi)
Ini adalah dalil yang digunakan oleh pihak yang mengatakan bahwa khitan wanita bukanlah wajib dan sunnah,
akan tetapi kehormatan. Hadist ini dinyatakan lemah karena di dalamnya ada perawi yang bernama Hajaj bin
Arthoh.
Dari beberapa hadist di atas, sangat wajar jika para ulama berbeda pendapat tentang hukum khitan wanita. Tapi
yang jelas semuanya mengatakan bahwa khitan wanita ada dasarnya di dalam Islam, walaupun harus diakui
bahwa sebagian dalilnya masih samar-samar sehingga terjadi perbedaan pendapat di kalangan ulama’.
Perbedaan para ulama di atas di dalam memandang khitan wanita harus disikapi dengan lapang dada,
barangkali di dalam perbedaan pendapat tersebut ada hikmahnya, diantaranya bahwa keadaan organ wanita
(klitorisnya) antara satu dengan yang lainnya berbeda-beda.
Bagi yang mempunyai klitoris yang besar dan mengganggu aktivitasnya sehari-hari dan mebuatnya tidak pernah
tenang karena seringnya kena rangsangan dan dikhawatirkan akan menjeremuskannya ke dalam tindakan yang
keji seperti berzina, maka bagi wanita tersebut khitan adalah wajib.
Sedang bagi wanita yang klitoris berukuran sedang dan tertutup dengan selaput kulit, maka khitan baginya
sunnah karena akan menjadikannya lebih baik dan lebih dicintai oleh suaminya sebagaimana yang dijelaskan
dalam hadist diatas, sekaligus akan membersihkan kotoran-kotoran yang berada dibalik klistorisnya.
Adapun wanita yang mempunyai klitoris kecil dan tidak tertutup dengan kulit, maka khitan baginya adalah
kehormatan. (Ridho Abdul Hamid, Imta’ul Khilan bi ar-Raddi ‘ala man Ankara al-Khitan, hal. 21-22 )
Ada perbedaan pendapat tentang kapan waktu disyariatkan khitan. Jumhur ulama berpendapat tdk ada waktu
khusus utk melaksanakan khitan.
Al-Imam Al-Mawardi rahimahullahu menjelaskan untuk melaksanakan khitan ada dua waktu waktu yang wajib
dan waktu yang mustahab . Waktu yang wajib adalah ketika seorang anak mencapai baligh sedangkan waktu
yang sunnah adalah sebelum baligh. Boleh pula melakukan pada hari ketujuh setelah kelahiran. Juga
disunnahkan untuk tidak mengakhirkan pelaksanaan khitan dari waktu yang sunnah kecuali karena ada uzur.
Ibnul Mundzir rahimahullahu mengatakan :“Tidak ada larangan yg ditetapkan oleh syariat yg berkenaan dgn
waktu pelaksanaan khitan ini juga tdk ada batasan waktu yg menjadi rujukan dlm pelaksanaan khitan tersebut
begitu pula sunnah yg harus diikuti. Seluruh waktu diperbolehkan. Tidak boleh melarang sesuatu kecuali dgn
hujjah dan kami juga tdk mengetahui ada hujjah bagi orang yg melarang khitan anak kecil pada hari ketujuh.”
Namun Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullahu menyebutkan dua hadits yang menunjukkan ada pembatasan waktu
khitan:
Pertama: Dari Jabir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhuma ia menyatakan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
mengaqiqahi cucu beliau Al-Hasan dan Al-Husain dan mengkhitan kedua pada hari ketujuh.
Kedua: Dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma ia berkata “Ada tujuh perkara yang sunnah dilakukan pada hari
ketujuh seorang bayi yaitu diberi nama dikhitan…”
Kemudian beliau menyatakan bahwa walaupun kedua hadits di atas memiliki kelemahan namun kedua hadits ini
saling menguatkan karena makhraj kedua hadits ini berbeda dan tidak ada dalam sanad rawi yang tertuduh
berdusta.
Kalangan Syafi’iyyah mengambil hadits ini sehingga mereka menganggap sunnah dilakukan khitan pada hari
ketujuh dari kelahiran seorang anak sebagaimana disebutkan dalam Al-Majmu’ dan selainnya.
Batas tertinggi dilakukan khitan adalah sebelum seorang anak baligh. Ibnul Qayyim rahimahullahu berkata:
“Tidak boleh bagi si wali menunda dilakukan khitan anak sampai si anak melewati masa baligh.”
Bismillah
Kaum Muslimin yang dirahmat Allah. Suatu hal yang tersembunyi bagi sebagian kaum muslimin
adalah mereka tidak mengetahui hakikat khitan bagi wanita, padahal mereka memiliki adik
perempuan, anak perempuan, keponakan perempuan, yang mana sebagaimana halnya dengan laki
laki mereka juga ada syariat untuk di khitan.
Tahukah anda wahai saudara saudariku bagaimanakah khitan yang dilakukan oleh sebagian atau
kalau mau dikatakan sebagian besar ahli medis di Negara kita? Na’am, mereka hanya menyayat /
melukai tidak memotong bagian khitan. Yang mana tentu ini tidak memberikan faedah bagi wanita
yang dikhitan tadi. Apalagi sekarang sebagaimana yang dikatakan kalangan orentalis bahwa khitan
pada wanita tidak perlu dilakukan bahkan termasuk sesuatu yang melanggar HAM. Lalu bagaimana
kita menyikapi hal ini?Pengertian Khitan
Khitan secara bahasa diambil dari kata ( ) ختنyang berarti memotong. Sedangkan al-khatnu
berarti memotong kulit yang menutupi kepala dzakar dan memotong sedikit daging yang
berada di bagian atas farji (clitoris) dan al-khitan adalah nama dari bagian yang dipotong
tersebut. (lihat Lisanul Arab, Imam Ibnu Manzhur).
Berkata Imam Nawawi, “Yang wajib bagi laki-laki adalah memotong seluruh kulit yang
menutupi kepala dzakar sehingga kepala dzakar itu terbuka semua. Sedangkan bagi wanita,
maka yang wajib hanyalah memotong sedikit daging yang berada pada bagian atas
farji.”(Syarah Sahih Muslim 1/543, Fathul Bari 10/340)
Khitan merupakan ajaran nabi Ibrohim ‘alaihissalam, dan umat ini diperintahkan untuk
mengikutinya, sebagaimana dalam QS. An-Nahl: 123,
“Kemudian Kami wahyukan kapadamu (Muhammad), “Ikutilah agama Ibrohim, seorang yang
hanif.”
Disebutkan dalam Tufatul Maudud, halaman 164 bahwa Saroh ketika menghadiahkan Hajar
kepada nabi Ibrohim ‘alaihissalam , lalu Hajar hamil, hal ini menyebabkan ia cemburu. Maka ia
bersumpah ingin memotong tiga anggota badannya. Nabi Ibrohim ‘alaihissalam khawatir ia
akan memotong hidung dan telinganya, lalu beliau menyuruh Saroh untuk melubangi telinganya
dan berkhitan. Jadilah hal ini sebagai sunnah yang berlangsung pada para wanita sesudahnya.
Dari Abu Harairah radhiyallahu’anhu Rosulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, ” lima
hal yang termasuk fitroh yaitu: mencukur bulu kemaluan, khitan, memotong kumis, mencabut
bulu ketiak, dan memotong kuku.” (HR. Imam Bukhori dan Imam Muslim)