Anda di halaman 1dari 18

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Dalam ajaran Islam, khitan sudah merupakan suatu ajaran yang dibawa Nabi
Muhammad saw sebagai kelanjutan dari millah atau ajaran Nabi ibrahim as. Saat itu,
Nabi Ibrahim dikhitan usianya 80 tahun dengan mengunakan suatu alat yang disebut
qudum atau alat untuk berkhitan sebagaiman disebutkan dalam hadits Rasulullah
saw:

َ‫ن َخلِ ْيلَ اِ بْ َرا ِه ْيمَ اِ ْخ َتت ََن‬


َ ِ ‫الر ْح َم‬
َ ‫د‬ َ ْ َ ‫ن عَل َْي َِه َماا َ ت‬
َ َ ‫ت ب َ ْع‬ َ َ ‫م ا ْخ َتت‬
َ َ ‫َن ََو َس َنةَ ث َ َمان ْو‬ َ ِ ‫ِبا لْقد ْو‬
“Nabi Ibrahim,kekasih Tuhan Yang Maha Pengasih telah berkhitan dengan
kampak pada saat beliau berumur delapan puluh tahun” ( H.R Bukhari - Muslim )
Masalah Khitan (Sunat) adalah masalah yang mengandung banyak hikmah,
ditinjau dari berbagai aspek, baik ilmu pengetahuan, agama, dan lain-lain. Akan
tetapi masalah khitana tersebut tidak dapat dipisahkan dari pandangan, ajaran hukum
islam dan efeknya terhadap bersuci yang selanjutnya akan berpengaruh terhadap sah
tidaknya dalam beribadah.
Khitan sebetulnya sudah dikenl sejak 100 tahun sebelum masehi. Dan anak
yang dikhitan itu sebetulnya tidak dibatasi usia .Maksudnya; saat usia berapa bagi
seorang anak harus di khitan. Yang jelas, Islam memberi tuntunan agar setiap
muslim membersihkan dirinya antara lain dengan berkhitan
Menurut sejarah, Nabi Muhammad saw adalah salah seorang Rasul keturunan
Nabi Ibrahim as. Melalui putranya, Nabi Ismail as. Atas dasar hubungan ini, kita
mengenal bagaimana ajaran khitan dalam Islam merupakan kelanjutan dari ajaran
Nabi Ibrahim as [1].
Nabi Muhammad saw diperintahkan juga untuk mengikuti ajaran agama Nabi
Ibrahim, termasuk juga dalam masalah khitan ini. Dalam al Qur'an disebutkan:

َ‫ك ا َ ْو َح ْي َنا ث َم‬ َ ‫م ِمل َ َة ا ت َ َب‬


َِ َ‫ع ا‬
َ َ ‫ن اِل َْي‬ َ َ ‫َح ِن ْيفا ا ِ ب ْ َرا ِه ْي‬

“ Kemudian Kami wahyukan kepadamu:”Ikutilah agama Ibrahim yang lurus”


( Q.S.An Nahl : 123)

1
Agama Islam bukanlah agama yang hanya melulu diturunkan kepada Nabi
Muhammad saw saja. Tetapi agama Islam adalah agama yang dahulu juga
diturunkan kepada para Nabi dan Rasul sebelumnya. Sebagaimana Nabi Adam, Nabi
Nuh, Nabi Hud, Nabi Shaleh, Nabi Ibrahim, Nabi Musa dan Nabi Isa, semua nabi
tersebut diperintah Allah untuk menegakkan agama tauhid, menjalankan hukum –
hukum Allah yang berlaku pada zamanya, menjalankan pokok –pokok syariat dan
juga melaksanakan hukum – hukum yang tidak berubah sampai akhir zaman, seperti
iman kepada Allah,iman kepada Malaikat,iman kepada para Rasul, iman kepada hari
akhir, iman kepada qadla dan qadar,soal akhlaq dan sifat -sifat utama lainya.
Hal ini sebagaimana dijelaskan oleh Allah dalam al –Qur'an:
" Dia Telah mensyari'atkan bagi kamu tentang agama apa yang Telah
diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan apa yang Telah kami wahyukan kepadamu dan apa
yang Telah kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa dan Isa yaitu: Tegakkanlah
agama[1340] dan janganlah kamu berpecah belah tentangnya. amat berat bagi orang-
orang musyrik agama yang kamu seru mereka kepadanya. Allah menarik kepada
agama itu orang yang dikehendaki-Nya dan memberi petunjuk kepada (agama)-Nya
orang yang kembali (kepada-Nya)" ( Q.S.asy Syuuraa: 13 ) [2].
Begitulah Allah menerangkan bahwa pokok – pokok syari'at asli dari-Nya
tidak berubah. Sebagaimana syri'at khitan yang telah diperintahkan kepada Nabi
Ibrahim dan kepada Nabi Isa as.
Adapun perincian hukum diaturnya sesuai dengan kecerdasan ummat yang
menerimanya. Termasuk pula bagi umat Nabi Muhammad saw. Umat Nabi
Muhammad saw diperintahkan pula mengikuti syri'at Nabi Ibrahim a.s, sebagaimana
disebutkan dalam firman Allah
" Dan tidak ada yang benci kepada agama Ibrahim, melainkan orang yang
memperbodoh dirinya sendiri, dan sungguh kami Telah memilihnya di dunia dan
Sesungguhnya dia di akhirat benar-benar termasuk orang-orang yang saleh " ( Q.S.al
Baqarah : 130 )
Dalam surat Ali Imran juga disebutkan;
" Katakanlah: "Benarlah (apa yang difirmankan) Allah". Maka ikutilah agama
Ibrahim yang lurus, dan bukanlah dia termasuk orang-orang yang musyrik " (
Q.S.Ali Imran :95 ).

2
Dengan memperhatikan ayat – ayat tersebut, jelaslah bahwa umat Islam
diharuskan mengikuti Agama Nabi Ibrahim. Nabi Muhammad mentaati perintah
Allah tersebut, dan beliaupun memerintahkan kepada umatnya untuk
melaksanakanya. Dengan sendirinya, karena Nabi Ibrahim melaksanakan hukum
khitan, maka umat Islam pun melaksanakan khitan, dan khitan ini menjadi sunnah
Nabi Muhammad saw.

B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian khitan ditinjau dari bahasa dan syara‟?
2. Bagaimana hukum melakukan khitan bagi laki-laki dan perempuan?
3. Kapan waktu yang tepat untuk melakukan khitan?
4. Apa hubungan antara khitan dan Ibadah ?

C. Tujuan Penulisan
Makalah ini bertujuan untuk memberikan informasi terhadap penulis tentang khitan
dianataranya.
1. Mengetahui pengertian khitan ditinjau dari bahasa dan syara‟
2. Mengetahui Bagaimana hukum melakukan khitan bagi laki-laki dan perempuan
3. Mengetahui Kapan waktu yang tepat untuk melakukan khitan?
4. Menegtahui Apa hubungan antara khitan dan Ibadah ?

3
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Khitan
1. Pengertian Menurut Bahasa
Ibnu Faris berkata, “Kha, ta‟ ”, dan nun bisa membentuk dua kata yang
berbeda. Pertama, Khatn artinya „memotong‟. Kedua, Khatan artinya „jalinan
persaudaraan melalui perkawinan‟ (bahasa jawa: besan). Ada yang berpendapat
bahwa Khatn adalah istilah bahasa arab yang berarti „Khitan‟ bagi laki-laki,
sedangkan bagi perempuan adalah khafdh. Namun ada juga yang berpendapat
bahwa istilah Khatn berlaku bagi laki-laki ataupun perempuan. Makna asli kata
„Khitan‟ dalan bahasa arab adalah „bagian yang dipotong dari kemaluan laki-laki
atau perempuan‟. Al-uqluf adalah sebutan bagi orang yang belum dikhitan;
sedangkan qulfah adalah „kulit dari bagian kemaluan yang dipotong dalam khitan‟
(Bahasa Indonesia: Kulup).
Abu Ubaidah berkata, “Bangsa Arab beranggapan bahwa apabila seorang
dilahirkan pada malam bulan purnama, maka kulupnya sudah dalam keadaan
terpotong atau sudah dikhitan”.
Bagian yang dikhitan pada laki-laki adalah tepi bulat yang menutupi
hasyafah (ujung kemaluan), sedangkan pada anak perempuan adalah kulit yang
berbentuk jengger ayam jantan dibagian atas farji.
Arti „khitan‟ yang sebenarnya adalah nama bagian, berupa kulit yang
tersisa setelah dipotong. Orang yang mengkhitan dinamakan al-khatin (bahasa
Jawa: Calak) di dalam kamus Mu’jam Maqayisil-Lughah dan Lisamul-Arab juga
dikatakan bahwa khitan bisa berarti „undangan ke walimah‟.
2. Pengertian Khitan Menurut Syara’
Secara terminologis khitan adalah membuka atau memotong kulit (quluf)
yang menutupi ujung kemaluan dengan tujuan agar bersih dari najis.5 Selain itu,
sebagaimana yang dikemukakan oleh Abdullah Nasih Ulwan, khitan adalah
“memotong yaitu tempat pemotongan penis, yang merupakan timbulnya
konsekuensi hukum-hukum syara‟”.
Sementara Imam Al Mawardi mendefinisikan khitan sebagai berikut :

4
“Khitan adalah pemotongan kulit yang menutupi kepala penis (khasafah),
yang baik adalah mencakup memotongan pangkal kulit dan pangkal kepala penis
(khasafah), minimal tidak ada lagi kulit yang menutupinya”.
Sedangkan menurut Imam Haramain mendefinisikan sebagai berikut :
“Khitan adalah memotong qulfah, yaitu kulit yang menutupi kepala penis
sehingga tidak ada lagi sisa kulit yang menjulur.”
Sementara Abu Bakar Usman Al Bakri mendefinisikan khitan sebagai
berikut: “Khitan adalah memotong bagian yang menutupi khasafah (kepala
kemaluan) sehingga kelihatan semuanya, apabila kulit yang menutupi khasafah
tumbuh kembali maka tidak ada lagi kewajiban untuk memotongnya kembali”.
Dalam fiqh as-sunnah Sayyid Sabiq mendefiniskan khitan sebagai berikut:
“Khitan untuk laki-laki adalah pemotongan kulit kemaluan yang menutupi
khasafah agar tidak menyimpan kotoran, mudah dibersihkan setelah membuang
air kecil dan dapat merasakan jima‟ dengan tidak berkurang”.
Dalam pelaksanaan khitan biasanya digunakan untuk laki-laki atau istilah
orang jawa disebut sunnatan, dalam ilmu kedokteran disebut circumcisio, yaitu
pemotongan kulit yang menutupi kepala penis (praeputium glandis). Qulfah atau
qhurlah adalah bagian kulit yang dipotong saat dikhitan (disebut pula kuluf). Yang
dikhitan dari seorang laki-laki adalah bagian kulit yang melingkar dibawah ujung
kemaluan. Itulah kulit kemaluan yang diperintahkan untuk dipotong.
Berdasarkan pengertian di atas, dapat dipahami bahwa khitan adalah
perbuatan memotong bagian kemaluan laki-laki yang harus dipotong, yakni
memotong kulup atau kulit yang menutupi bagian ujungnya sehingga seutuhnya
terbuka. Pemotongan kulit ini dimaksudkan agar ketika buang air kecil mudah
dibersihkan, karena syarat dalam ibadah adalah kesucian.

B. Hukum Khitan Bagi Laki-Laki


Para ulama berbeda pendapat tentang hukum khitan. Akan tetapi, mereka
sepakat bahwa khitan telah disyariatkan agama. Mereka mengatakan hukum khitan
wajib sedang yang lain mengatakan sunnah. Sehubungan dengan hal itu, maka perlu
dipelajari masing-masing pendapat tersebut baik yang mengatakan wajib maupun
yang sunnah.
1. Hukum Wajib
Asy-Syafi‟i mengatakan bahwasanya khitan hukumnya wajib, dengan alasan:
5
a. Nabi diperintahkan mengikuti syariat Nabi Ibrahim (QS. An-Nahl ayat 123)
dan salah satu syariatnya adalah khitan.

َ َ َ ‫ث َمَأَوح ْي َناَإل َي‬


َ‫ِنَالْم ْش ِر ِكي َن‬
َ ‫َانَم‬
َ ‫َح ِنيفاَۖ ََو َماَك‬ َ ‫كَأ ِنَا ت ِب ْعَ ِمل َ َةَإِب ْ َرا ِه‬
َ ‫يم‬ ْ ِ َ ْ
Terjemah Arti: Kemudian Kami wahyukan kepadamu (Muhammad): "Ikutilah
agama Ibrahim seorang yang hanif" dan bukanlah dia termasuk orang-orang
yang mempersekutukan Tuhan. (QS. An-Nahl 6:123)
b. Sekiranya khitan tidak wajib, mengapa orang yang dikhitan membuka aurat
yang diharamkan.
Imam Nawawi berpendapat ini adalah pendapat shahih dan masyhur yang
ditetapkan oleh Syafi‟i dan disepakati oleh sebagian besar ulama. Dalil yang
menyatakan pendapat ini adalah firman Allah SWT. :

Menurut ayat di atas, Allah memerintahkan kepada Nabi Muhammad


SAW. untuk mengikuti syariat Nabi Ibrahim AS. Hal ini menunjukkan bahwa
segala ajaran beliau wajib kita ikuti, misalnya melaksanakan khitan. Orang yang
kulufnya tidak dikhitan itu bisa membatalkan wudhu dan shalatnya. Qulfah yang
menutupi dzakar secara keseluruhan bisa menghalangi air untuk membersihkan
sisa air kencing yang masih menempel didalamnya. Atas dasar itu maka benyak
diantara ulama‟ salaf dan khalaf melarang menjadikan orang yang tidak dikhitan
sebagai imam.

Ulama lain yang mengatakan khitan wajib adalah Imam Malik dan Imam
Hambali, mereka berpendapat bahwa orang yang tidak berkhitan tidak sah
menjadi imam dan tidak diterima syahadatnya. Jadi, begitu wajibnya khitan
sehingga orang yang tidak dikhitan tidak bisa menjadi imam.

Dalam kitab Al Majmu‟ diungkapkan mayoritas ulama berpendapat bahwa


hukum khitan adalah wajib. menurut Al Khitabi, Ibnul Qayyim berkata bahwa
hukum khitan adalah wajib, selain itu Imam Al Atha‟ berkata “Apabila orang
dewasa masuk Islam belum dianggap sempurna Islamnya sebelum di khitan”.

Ada beberapa hal yang mereka jadikan alasan kenapa khitan itu wajib, antara lain:

6
a. Khitan adalah perbuatan memotong sebagian dari anggota badan. Seandainya
tidak wajib, tentu hal ini dilarang untuk melakukannnya sebagaimana
dilarang memotong jari-jari atau tangan kita selain karena hukum qisas.
b. Memotong anggota badan akan berakibat sakit, maka tidak diperkenankan
memotongnya kecuali dalam tiga hal, yakni : demi kemaslahatan, karena
hukuman (qishas)dan demi kewajiban. Maka pemotongan anggota badan
dalam khitan adalah demi kewajiban.
c. Khitan hukumnya wajib karena salah satu bentuk syiar Islam yang dapat
membedakan antara muslim dan non muslim. Sehingga ketika mendapatkan
Jenazah ditengah peperangan melawan non muslim, dapat dipastikan sebagai
jenazah muslim jika ia berkhitan. Kemudian jenazahnya bisa diurus secara
Islam.

2. Hukum Sunah

Apabila diamati kebiasaan masyarakat, ada yang mengistilahkan khitan ini


dengan istilah “sunnat”. Hal ini menunjukkan bahwa hukum khitan adalah
sunnah. Pendapat ini merupakan pengikut Imam Hanafi. Alasan mereka yang
berpendapat bahwa hukum khitan sunnah adalah sebagai berikut :

a. Adanya Hadits riwayat Baihaqi

ِ ِ‫ال َمكْرَ َمةَ ل‬


َ‫لن َسا ِء‬ ِ ِ‫ ل‬، َ‫الْ ِخ َتانَ س َنة‬
َ ِ ‫لر َج‬

Dari Ibnu Abbas dari Nabi SAW., bersabda : “Khitan itu sunnah untuk laki-
laki dan mukarramah bagi kaum perempuan “(HR. Al Baihaqi).
b. Adanya Hadits masalah fitrah yang diriwayatkan oleh Ibnu Majjah
Dari abu hurairah ra berkata : “Rasulullah SAW. bersabda: “fitrah itu ada
lima macam : atau lima macam dari fitrah : yaitu berkhitan, mencukur bulu
kemaluan, memotong kuku, mencabut bulu ketiak dan memotong kumis.
(HR. Ibnu Majjah).
Dalam hadis tersebut Nabi mensejajarkan khitan dengan memotong kumis,
mencabut bulu ketiak, memotong bulu kemaluan dan memotong kuku
sehingga khitan bukan perkara wajib.
c. Khitan termasuk salah satu bentuk syiar Islam dan tidak semua syiar Islam itu
wajib

7
Dari berbagai pendapat tersebut, penulis cenderung untuk mengikuti
pendapat yang mengatakan khitan hukumnya wajib, sebab dalil-dalil yang
mewajibkannya sangat kuat dan shahih. Apalagi dalam praktek khitan aurat harus
terbuka, orang lain yang mengkhitan jelas melihatnya bahkan memegangnya,
padahal semacam itu diharamkan dalam hukum Islam. Jika bukan karena hukumnya
wajib, tentu hal itu tidak diperbolehkan karena menutup aurat hukumnya wajib.
Argumen lain bahwa khitan dikaitkan dengan adanya pelaksanaan ibadah, misalnya
shalat yang mensyaratkan kesucian badan, tempat dan pakaian.

C. Hukum Khitan Bagi Perempuan


Para ulama memang berbeda pendapat tentang hukum khitan, akan tetapi
mereka sepakat bahwa khitan disyari‟atkan baik untuk laki-laki maupun perempuan.
Di antara para ulama itu ada yang berpendapat bahwa khitan itu wajib. Namun, ada
juga ulama yang berpendapat bahwa khitan wanita itu hukumnya sunnah dan
mustahab (dipandang baik). Berikut ini adalah pembagian hukum khitan wanita :
a. Khitan wanita hukumnya wajib. Pendapat ini dikemukakan oleh Al Bazazi, Imam
syafi‟i dan para pengikutnya, Imam Nawawi, Hanabillah dan sebagian pengikut
madzhab Hanbali.
b. Khitan wanita hukumnya sunnah. Pendapat ini dikemukakan oleh Imam Malik,
beberapa pengikut Imam Syafi‟i dan sebagian pengikut Imam Hanafi,
sebagaimana dituturkan oleh Ar Rafi‟i dan Imam Ahmad. Mereka menggunakan
sejumlah dalil yang mengatakan bahwa khitan untuk laki-laki hukumnya sunnah
dan khitan merupakan syi‟ar agama Islam.
Dalil-dalil atas sunnahnya khitan bagi wanita, diantaranya:
1) Di dalam sebuah hadist Ummu „Athiyyah bahwasanya di Madinah ada
seorang wanita yang (pekerjaannya) mengkhitan wanita, kemudian
Rasulullah shallallahu „alaihi wa sallam bersabda:

8
2) Rasulullah shallallahu „alaihi wa sallam bersabda:

Ini menunjukkan bahwa wanitapun berkhitan. Khitan bagi wanita hanya


berkaitan dengan sebuah kesempurnaan saja yaitu pengurangan syahwat.
c. Khitan wanita hukumnya mustahab (dipandang baik). Pendapat ini dikemukakan
oleh para pengikut Imam Hanafi, sebagian pengikut Imam Malik dan Imam
Hanbali serta beberapa ulama lain dengan berdalil pada sebuah hadits yang
diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Imam Baihaqi yang berbunyi: “Khitan itu
sunnah bagi laki-laki dan dipandang baik bagi perempuan”. Namun, hadits
tersebut berderjat dhaif karena melalui sanad al Hajjaj bin Artha'ah yang
merupakan periwayat lemah dan seorang yang dikenal sebagai Mudallis oleh
sebab itu sanadnya cacat.
Nabi Muhammad SAW pernah bersabda, “Apabila kamu berkhifadh, maka
janganlah berlebihan, karena jika tidak berlebihan akan menjadikan wajah
lebih ceria dan teraa lebih nikmat saat melakukan hubungan badan.”

Hadits ini termasuk hadits hasan dan memberi isyarat bahwa wanita
muslimah pada masa Rasulullah SAW sudah melaksanakan khifadh. Rasulullah
SAW sendiri menunjukkan cara khitan yang baik, sehingga tidak menimbulkan
bahaya. Petunjuk Rasulullah SAW tersebut bisa dijadikan dasar bahwa hukum khitan
bagi wanita adalah sunnah.

D. Waktu Melakukan Khitan


Waktu pelaksanaan khitan menurut ulama, dikelompokan dalam tiga waktu
yaitu waktu wajib, waktu sunnah, dan waktu makruh.
1. Waktu Wajib
Menurut keterangan Abu Bakar bin Muhammad Satha Ad-Dimyati bahwa
khitan diwajibkan bagi laki-laki baligh, berakal dan berfisik sehat. Keterangan ini
menunjukkan bahwa wajibnya khitan adalah saat datang waktu baligh (dewasa)

9
bagi anak laki-laki yang berakal sehat dan berfisik sehat. Jadi sekalipun ia sehat
akal dan telah berusia baligh namun bila belum memiliki fisik yang sehat maka ia
tidak berkewajiban khitan. Dengan demikian, hal di atas merupakan syarat wajib
untuk dikhitan.
Sementara madzhab Syafi‟iy berpendapat bahwa waktu khitan sudah aqil
baligh, karena sebelum aqil baligh seorang anak tidak wajib menjalankan syariat
agama. Kewajiban dalam menjalankan syariat Islam ketika anak sudah baligh
yaitu wajib menjalankan ibadah, misal shalat, puasa dan lain sebagainya.
Usia baligh merupakan batas usia taklif (pembebanan hukum syar‟iy).
Sejak usia baligh itulah seorang anak tergolong mukallaf (terbebani hukum
syar‟iy). Apa yang diwajibkan syariat kepada muslim wajib dilaksanakannya,
sedang yang diharamkan wajib dijauhinya.
Satu hal yang diwajibkan syara‟ kepada anak berusia aqil baligh ialah
menunaikan shalat lima waktu sehari semalam. Sedang khitan merupakan syarat
sahnya shalat, sehingga ketika anak menginjak usia baligh maka ia wajib dikhitan
agar kewajiban ibadah dapat ditunaikan.
Waktu pelaksanaan khitan menurut para ulama, wajib dilaksanakan ketika
anak mendekati masa aqil baligh. Dengan harapan bahwa anak itu siap menjadi
mukallaf yang akan memikul tanggung jawab dalam melaksakan hukum-hukum
syariat. Ketika memasuki masa baligh ia telah dikhitan sehingga ibadahnya sah
seperti yang digariskan dan diterangkan Islam.
Ketentuan balighnya seorang anak dalam khitan ini selain ketentuan fiqh
yang menyatakan bahwa usia baligh bagi anak laki-laki maksimum genap berusia
15 tahun atau minimum sudah bermimpi basah, tentunya itu adalah batas usia
maksimum anak harus melaksanakan shalat.
Rasulullah saw, telah mengajarkan bahwa anak berusia 15 tahun harus
mulai dilatih shalat dan ketika berusia 10 tahun mereka harus mulai disiplin shalat
sebagimana dijelaskan Rasulullah saw dalam sabdanya:
Dari Umar bin Syuaib dari bapaknya dari kakeknya dia berkata: Rasulullah
saw bersabda: “Suruhlah anak-anak kalian berlatih shalat sejak mereka
berusia 7 tahun dan pukulah mereka jika meninggalkan shalat pada usia 10
tahun dan pisahkanlah tempat tidur mereka (sejak usia 10 tahun)”. (HR.
Abu Dawud).

10
Dengan demikian, jelaslah bahwa semua ulama sepakat menyatakan
kewajiban melaksanakan khitan ketika anak sudah baligh. Bagi orang tua muslim
wajib memerintahkan anak melaksanakan khitan jika ia sudah mencapai usia
tersebut. Karena pada masa itu anak dituntut kewajibannya melaksankan syariat
agama.
2. Waktu Sunnah
Waktu pelaksanaan khitan menurut ulama mayoritas bahwa waktu yang
dimaksud adalah sebelum aqil baligh. Kategori waktu sunnah dalam khitan yang
ditentukan dalam rentang waktu (masa) persiapan menyongsong usia mukallaf.
Pada usia tujuh tahun anak dilatih melaksanakan shalat karena sudah memasuki
usia pra baligh. Hal ini untuk mengajarkan anak agar terbiasa dan siap menjadi
anak shaleh yang didambakan keluarga.
Sementara pengikut Imam Hanafi dan Maliki menentukan bahwa waktu
khitan yang disunnahkan adalah masa kanak-kanak-kanak, yakni pada usia 9 atau
10 tahun atau anak mampu menahan sakit bila dikhitan.
Asy-Syafi‟iy menekankan keutamaan khitan ketika anak masih kecil.
Memang agaknya jika kita merujuk Rasulullah saw, saat mengkhitankan cucunya
Hasan dan Husain pada usia bayi yakni baru berusia tujuh hari sebagaimana
disebutkan dalam Hadis Nabi saw bahwasannya Aisyah ra mengatakan:

Dari Aisyah ra, Sesungguhnya Nabi saw mengkhitankan Hasan dan Husain
ketika berusai tujuh hari dari kelahiranya. (HR. Al-Hakim)

Jika memang demikian, maka hari ketujuh dari kelahiran anak merupakan
hari istimewa bagi orang tua. Pasalnya, mereka harus mengerjakan banyak hal
yakni mengaqiqahkan, mencukur rambut, menamai dan sekaligus mengkhitankan
anaknya.
Syekh Zainuddin bin Abdul Aziz al-Malibari memberikan keterangan yang
fleksibel sebagai berikut:
a) Pelaksanaan khitan di sunnahkan pada usia bayi 7 hari mengikuti jejak
Rasul(ittiba‟ Rasul).

11
b) Jika pada usia tujuh hari belum terlaksana, maka disunnahkan pada usia 40
hari. Jika pada usia 40 hari belum terlaksana, maka disunnahkan pada usia 7
tahun, karena pada usia ini anak harus dilatih melaksanakan shalat.
3. Waktu makruh
Waktu makruh melaksanakan khitan yakni dimana fisik anak kurang
memungkinkan menanggung rasa sakit untuk berkhitan, waktu yang dimaksud
adalah bayi kurang dari umur 7 hari. Adapun menurut keterangan lain khitan pada
waktu anak berusia kurang dari tujuh hari semenjak kelahirannya dimakruhkan
karena selain fisiknya lemah, juga disinyalir menyerupai perbuatan orang yahudi.

E. Khitan dan Ibadah


1. Khitan dan Pengaruhnya Terhadap Ibadah
Jika kita akan melakukan ibadah sholat maka syarat untuk melakukan
ibadah tersebut ialah kita wajib terbebas dari segala najis maupun dari hadats, baik
hadats besar maupun hadats kecil.
Kualitas pahala ibadah juga dipermasalah jika kebersihan dan kesucian diri
seseorang dari hadats maupun najis belum sempurna. Maka ibadah tersebut tidak
akan diterima. Ini berarti bahwa kebersihan dan kesucian dari najis maupun hadats
merupakan keharusan bagi setiap manusia yang akan melakukan ibadah, terutama
sholat, membaca Al-Qur'an, naik haji, dan lain sebaginya.
Ibadah yang paling penting adalah shalat. Salah satu syarat sah dari shalat
adalah harus bebas dari hadast besar dan hadast kecil. Jika seorang laki-laki belum
berkhitan, kemungkinan tidak terbebas dari hadast sangat besar. Karena pada
penis lelaki yang belum berkhitan, sisi air kencing di kulit kulup sangat besar,
sehingga akan sulit untuk membersihkannya dan memastikan tidak adanya air
kencing di kulit kulup sedikit susah. Oleh sebab itu munculah keraguan-keraguan
babas tidaknya dari hadast dan menjadikan ibadah shalat kemungkinan tidak sah.
Khitan berhubungan dengan ibadah tidak hanya dari sisi thaharah saja.
Khitan bukan hanya sebagai media penyucian diri saja, lebih dari itu, Khitan juga
adalah sebagai bukti ketundukan seseorang kepada ajaran agama.
2. Maanfaat Khitan dari Pandangan Kesehatan

12
Terlepas dari ajaran agama. Khitan tentunya juga memiliki keuntungan
dalam kesehatan. Keuntungan berkhitan dari pandangan kesehatan diantaranya
adalah sebagi berikut:
a) Menjaga kebersihan
Khitan membuat pria lebih mudah membersihkan organ intimnya. Kebersihan
organ intim tentu bisa melindungi pria dari berbagai penyakit menular yang
mematikan
b) Mencegah infeksi
Sebenarnya risiko serangan infeksi saluran kemih pada pria tidak begitu
tinggi ketimbang wanita. Namun infeksi lebih mudah menyerang pria yang
organ intimnya tidak dikhitan.
c) Mencegah infeksi
Sebenarnya risiko serangan infeksi saluran kemih pada pria tidak begitu
tinggi ketimbang wanita. Namun infeksi lebih mudah menyerang pria yang
organ intimnya tidak dikhitan.
d) Mencegah penyakit
Pria yang sudah dikhitan memiliki risiko rendah untuk terkena penyakit
menular seksual, salah satunya adalah HIV. Namun tetap saja, seks dengan
pengaman tetap dianjurkan meski sudah berkhitan.
e) Mencegah inflamasi
Bagian ujung organ intim pria merupakan tempat tumbuhnya banyak bakteri.
Jika tidak dikhitan, pria berisiko menderita inflamasi yang berujung pada
berbagai masalah kesehatan.
f) Mencegah kanker
Terakhir dan tidak kalah penting, manfaat khitan bagi kesehatan pria adalah
mencegah kanker. Bahkan pria yang berkhitan juga membantu pasangan
menurunkan risiko kanker serviks.

13
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Bagi seorang muslim, khitan adalah penyucian diri agar ibadah yang
dilakukan sah, terutama ibadah shalat, karena dengan berkhitan akan memudahkan
saat melakukan Thaharah. Lebih dari itu, khitan juga adalah sebagai bukti
ketundukan seseorang kepada ajaran agama islam.

B. Saran
Semoga makalah dengan judul…ini bermampaat bagi kita semua dan
terutama bagi pembaca yang budiman. Dan jikalau makalah ini masih banyak
kekurangannya kami berharap untuk para pembaca untuk menambahkannya
terimakasih.

14
DAFTAR PUSTAKA

Abu Bakar.Iman Taqiyuddin, Kifayatul Akhyar, Surabaya:Bina Imam, 2003.


Al Marshafi, Saad M. 1996. Khitan. Jakarta : Gema Insani Press
Hasan, M. Ali.2003.Masail Fiqhiyah al-Haditsah.Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Khitan bagi Wanita, Ustadz Ahmad Sabiq bin Abdul Lathif Abu Yusuf, Al-Furqonedisi 6
Tahun V/ Muharram 1427/ Februari 2009
Keajaiban Khitan. Abdullah bin Abdirrohim. Al Qowam. Cetakan pertama: 2008
Khitan Bagi Wanita. Ahmad Sabiq bin Abdul Lathif Abu Yususf. Majalah Al
FurqonEdisi 6 Tahun V/Muharram 1427/Februari 2006M
Sismono. 1973. Khitan (Circimcisio) "Pandangan Menurut Ilmu dan Agama". Bandung :
CV. Modernis
http://suaragemaislami.blogspot.com/2011/10/khitan-menurut-islam.html
http://www.alkhoirot.net/2013/11/sunat-khitan-dalam-islam.html
http://fhitweroszoga.blogspot.com/2012/12/hukum-khitan-wanita-menurut-hukum-
islam_19.html
http://www.konsultasisyariah.com/apa-hukum-khitan-bagi-wanita/
http://www.referensimakalah.com/2012/12/waktu-pelaksanaan-khitan-menurut-
ulama.html

15
MAKALAH

KHITAN

Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas


Mata kuliah : Fiqih MI
Dosen pengampu : Masruri, M.Ag

Disusun oleh :
Nama : Mubarokah
NIM : 1712015

SEKOLAH TINGGI ISLAM KENDAL (STIK KENDAL)


TAHUN PELAJARAN 2019/2020

16
KATA PENGANTAR

Pertama-tama kami ingin mengucapkan puji dan syukur kepada Tuhan yang Maha
Esa yang telah memberkati kami sehingga makalah ini dapat diselesaikan. Kami juga
ingin mengucapkan terima kasih bagi seluruh pihak yang telah membantu kami dalam
pembuatan makalah ini dan berbagai sumber yang telah kami pakai sebagai data dan
fakta pada makalah ini.Kami mengakui bahwa kami adalah manusia yang mempunyai
keterbatasan dalam berbagai hal.
Oleh karena itu tidak ada hal yang dapat diselesaikan dengan sangat sempurna.
Begitu pula dengan makalah yang telah kami selesaikan. Tidak semua hal dapat kami
deskripsikan dengan sempurna dalam makalah ini. Kami melakukannya semaksimal
mungkin dengan kemampuan yang kami miliki. Di mana kami juga memiliki
keterbatasan kemampuan. Maka dari itu seperti yang telah dijelaskan bahwa kami
memiliki keterbatasan dan juga kekurangan, kami bersedia menerima kritik dan saran
dari pembaca yang budiman. Kami akan menerima semua kritik dan saran tersebut
sebagai batu loncatan yang dapat memperbaiki makalah kami di masa datang.
Dengan menyelesaikan makalah ini kami mengharapkan banyak manfaat yang
dapat dipetik dan diambil dari makalah ini.

Penulis

17
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .......................................................................................... i


DAFTAR ISI ......................................................................................................... ii
BAB I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ............................................................................... 1
B. Rumusan Masalah ......................................................................... 3
C. Tujuan Penulisan ............................................................................ 3

BAB II. PEMBAHASAN


A. Pengertian Khitan .......................................................................... 4
B. Hukum Khitan bagi Laki-laki ........................................................ 5
C. Hukum Khitan bagi Perempuan .................................................... 8
D. Waktu Melakukan Khitan ............................................................. 9
E. Khitan dan Ibadah ......................................................................... 12

BAB III. PENUTUP


A. Kesimpulan .................................................................................... 14
B. Saran .............................................................................................. 14

DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................. 15

18

Anda mungkin juga menyukai