Anda di halaman 1dari 16

SEJARAH PERTUMBUHAN DAN PERKEMBANGAN ILMU HADITS

Konsep Riwayah Dan Dirayah Hadits

Anggun Agzistasari (1281221005)


Program Magister Tadris Matematika
UIN Syarif Ali Rahmatullah Tulungagung
Email: anggun.agzistasari31@gmail.com

ABSTRAK
Islam telah mengajarkan kehidupan yang dinamis dan progresif, menghargai
perkembangan ilmu pengetahuan termasuk di dalamnya ilmu pengetahuan tentang
hadis yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia seperti dalam hal
sosial, hukum, kemitraan, kebersihan, egaliter (kesetaraan), persaudaraan, akhlak
yang mulia dan sikap positif lainnya. Para pemalsu hadits benar-benar telah menodai
agama dengan sangat kritis. mencemarkan wajah Islam dan memasukkan ajaran-
ajaran lain yang tidak termasuk ajaran Islam. Namun Allah swt. memelihara ajaran
Islam dari pengubahan dan penggantian serta menjaga perkataaan nabi dari usaha
menjadikannya alat tunggangan bagi para ambisius, dia juga melahirkan orang-orang
yang dapat dipercaya dan ikhlash untuk umat ini, yang menentang dan menelusuri
jejak para pemalsu hadits dan membedakan hadits yang shahih dari yang bathil.
sekiranya tidak ada upaya-upaya dari para shahabat tabiin dan para ulama sesudah
mereka. niscaya sebagian persoalan agama menjadi kabur bagi banyak orang karena
banyaknya hal yaang dibuat-buat oleh para pendusta dan pemalsu hadits.
Kata kunci: Sejarah Ilmu Hadits, Ilmu Hadits Riwayah, Ilmu Hadits Dirayah.

PENDAHULUAN
Al-Quran adalah sumber pertama syariat Islam dan hadis adalah sumber kedua.
al-Sunnah merupakan penjelas Alquran, pemerinci hukum-hukumnya, dan
mengeluarkan furū‟ cabang dari ushūl pokoknya. 1 Alquran adalah petunjuk bagi umat
Islam. 2
Sebagai sumber hukum Islam yang kedua setelah al-Qur‟an, hadits Nabi memiliki
fungsi strategis dalam kajian-kajian keIslaman. Namun karena pembukuan hadits baru
dilakukan dalam rentan waktu yang cukup lama sejak meninggalnya Nabi, ditambah
kenyataan sejarah bahwa hadis pernah dipalsukan dengan berbagai motif, maka
orisinalitas hadits yang beredar di kalangan umat Islam patut diteliti. Pada sisi lain,
kenyataan sejarah tersebut juga sering dijadikan celah dan startingpoint oleh musuh-
musuh Islam untuk merongrong akidah umat supaya mau berpaling dari hadits Nabi.
Lebih-lebih diketahui bahwa lingkungan Nabi hidup ketika itu kurang akrab dengan

1M. Ajjaj Al-Khatib, al-Sunnah Qabla Tadwīn, diterjemahkan AH. Akrom Fahmi, Hadits Nabi Sebelum
Dibukukan (Cet. 1; Gema Insani Press, 1999), h. 21
2 Lihat QS. Al-Isra‟ (79): 9. Lihat uraian Muhammad Abduh mengenai wahyu dan Alquran dalam
“Risalah al-Tauhid” (Cet. 7; Jakarta: Bulan Bintang, 1979), h. 144-154 dan h. 185-192.

1
2

budaya tulis-menulis. Karena itu keabsahan dan orisinalitas hadits yang ada memang
harus diteliti.
Pada waktu Rasul Allah masih hidup, para sahabat yang menemukan suatu
permasalahan atau menginginkan suatu penjelasan mengenai suatu ayat, langsung
bertanya kepada Rasul. Para ulama, sejak masa-masa awal Islam telah menunjukkan
dedikasi untuk melakukan penelitian dan seleksi ketat terhadap hadits-hadits Nabi.
Sejarah pembukuan dan penulisan hadits dan ilmu hadits telah melewati
serangkaian fase historis yang sangat panjang mulai dari Rasullullah s.a.w., kemudian
terus kepada sahabat, tabi‟in, dan seterusnya hingga saat sekarang hingga mencapai
puncaknya pada abad ketiga hijriah.
Sebenarnya, setelah para ulama berhasil menyusun kitab-kitab hadits seperti
Shahih Al-Bukhari, kajian terhadap periwayatan hadits sudah berakhir, tapi sekarang ini
terjadi kecenderungan umat Islam telah melupakan ilmu hadits ini, kebanyakan mereka
hanya mengutip hadits-hadits ulama terdahulu tanpa mengetahui apakah hadits tersebut
shahih atau dha’if.

PEMBAHASAN
A. Konsep Riwayah dan Dirayah Hadits
1. Konsep Ilmu Hadits Riwayah
Ilmu Hadits Riwayah adalah “ilmu yang mempelajari hadits-hadits yang
disandarkan kepada Nabi saw, baik perkataan, perbuatan, ketetapan, tabi‟at
maupun tingkah lakunya.”3
Ada juga para ulama yang memberikan pengertian bahwasanya Ilmu Hadits
Riwayah adalah ilmu yang dalam pembahasannya mencakup perkataan dan
perbuatan Nabi saw, baik yang menyangkut masalah periwayatan, pemeliharaan,
maupun penulisan, atau pembukuan lafadz-lafadznya. 4

Dari definisi diatas dapat dipahami Hadits Riwayah pada dasarnya adalah
membahas tentang cara periwayatan, pemeliharaan, dan penulisan atau
pembukuan Hadis Nabi saw. Objek kajian Ilmu Hadis Riwayah adalah Hadis
Nabi SAW dari segi periwayatan dan pemeliharaannya. Hal tersebut mencakup:
1) Cara periwayatan Hadis, baik dari segi cara penerimaan dan demikian juga
cara penyampaiannya dari seorang perawi kepada perawi yang lain;
2) Cara pemeliharaan Hadis, yaitu dalam bentuk penghafalan, penulisan, dan
pembukuannya.
Ilmu Hadis Riwayah ini sudah ada sejak zaman Nabi saw masih hidup,
yaitu bersamaan dengan dimulainya periwayatan Hadis itu sendiri. Para sahabat

3Ahmad, M. dan Muzakkir,Ilmu Hadis. (Bandung: Pustaka Setia, 1998) hal. 7


4Teungku M. Hasbi Ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits. (Semarang: PT. Pustaka Rizki
Putra, 1997) hal. 12
3

Nabi saw menaruh perhatian yang tinggi terhadap Hadis Nabi saw. mereka
berupaya untuk memperoleh hadis-hadis Nabi saw dengan cara mendatangi
majelis Rasul saw serta mendengar dan menyimak pesan atau nasihat yang
disampaikan beliau. Mereka juga dengan seksama memperhatikan apa yang
dikatakan rasul saw baik dalam hal ibadah maupun aktivitas sosial serta akhlaq
Nabi saw sehari-hari. Semua yang mereka terima dan dengar dari Rasul saw
mereka pahami dengan baik dan mereka pelihara melalui hapalan mereka. Apa
yang telah dimiliki dan dihapal oleh para sahabat selanjutnya mereka sampaikan
dengan sangat hati-hati kepada sahabat lain yang kebetulan belum
mengetahuinya atau kepada para tabi‟in, dan para tabi‟in pun melakukan hal
yang demikian.
Contoh hadits Riwayah
1. ‫( سمعت سسٌل هللا صلَّ هللا عليو ًسلّم‬Saya mendengar Rasulullah saw)

Contonya:

:‫ سمعت سسٌل هللا صلَّ هللا عليو ًسلّم يقٌل‬:‫عن المغيشة قال‬
‫ِإ َّن َك ِإز ا ًا َكع َكل َّن لَك ْيي َك َك َك ِإز ٍب َكعلَكَ َك َك ٍبذ َك َكم ْين َك َكز َك َكع َكل َّن ُم َك َكع ِّممذاًا‬
‫ْي‬
‫َك ْيليَك َكبَك َّنٌ َك ْيق َكع َكذهُم ِإ نَك النَّن ِإ‬
)‫اس (سًاه سلم ًغيشه‬
Artinya: Dari Al-Mughirah ra., ia berkata: Aku mendengar Rasulullah saw.
bersabda: “Sesungguhnya dusta atas namaku itu tidak seperti dusta atas nama
orang lain, dan barang siapa dusta atas namaku dengan sengaja, maka
hendaknya ia menempati tempat duduknya di neraka.” (HR. Muslim dan lain-
lainnya)
2. ‫( ّذثنَ سسٌل هللا صلَّ هللا عليو ًسلّم‬Menceritakan kepadaku Rasulullah saw)

Contohnya:

‫َكن ا ِإْين ِإ َكيا ٍب ع ْيَكن ُم َكم ْيي ِإذ ِإْين َكع ْيب ِإذ ال َّنش ْي َكم ِإن‬
‫َك َّنذ َك ِإنَ َك ا ِإل ٌك ع ِإ‬

‫صلَّنَ هللاُم َكعلَك ْيي ِإو َكً َكسلَّن َكم قَك َك‬
:‫ال‬ ‫ع ْيَكن اَك ِإَ ى َكُمشي َكْيشةَك َكس ِإ َك هللاُم َكع ْينوُم اَك َّن َكسسُمٌْي ُمل هللاِإ َك‬

‫َك ْين قَكا َكا َكس َك َك ا َك اِإ ْيي َكمااًاا َكًا ْي ِإ َكسا ًاا ُمغ ِإ َكش لَكوُم َك ا َكقَك َّنذ َكا ِإ ْين َكر ْيابِإ ِإو‬
Artinya: Telah bercerita kepadaku Malik dari Ibnu Syihab dari Humaidi bin
Abdur Rahman dari Abi Hurairah bahwa Rasulullah saw bersabda: “Siapa
yang beramadhan dengan iman dan mengharap pahala, dihapus doasa-dosanya
yang telah lalu.”
3. ‫( خبشاَ سسٌل هللا صلَّ هللا عليو ًسلّم‬Mengkhabarkan kepadaku Rasulullah
saw)

4. ‫( س يت سسٌل هللا صلَّ هللا عليو ًسلّم‬Saya melihat Rasulullah saw berbuat)
4

Contohnya:

َ‫هللا عنو يقبّل الحجش “يعن‬ ‫ س يت عمش ن الخطّا س‬:‫عن عبّاس ن س يع قال‬
‫األسٌد” ًيقٌل‬

َ‫ال َك ْين َك ُمع َكًلَكٌْي الَك َكاِّم‬


‫ِإاِّمَ الَك َكء ْيعلَك ُمم َكاَّن َك َك َكج ٌكش الَك َك ُمشُّ َكً َك‬

‫صلَّنَ هللاُم َكعلَك ْيي ِإو َكً َكسلَّن َكم يُمقَكبِّملُم َك َك ا قَكب ْيَّنل ُم َك‬ ‫َكس َكي ُم‬
‫ْيت َكسسُمٌْي َكل هللاِإ َك‬
)‫(سًاه البخاسٍ ً سلم‬
Artinya: Dari Abbas bin Rabi‟ ra., ia berkata: Aku melihat Umar bin
Khaththab ra., mencium Hajar Aswad dan ia berkata: “Sesungguhnya benar-
benar aku tahu bahwa engkau itu sebuah batu yang tidak memberi mudharat
dan tidak (pula) memberi manfaat. Seandainya aku tidak melihat Rasulullah
saw. menciummu, aku (pun) tak akan menciummu.” (HR. Bukhari dan
Muslim)
Faedah mempelajari ilmu ini adalah untuk menghindari adanya
kemungkinan salah kutip terhadap apa yang disandarkan kepada Nabi
Muhammad saw.
2. Konsep Ilmu Hadits Dirayah
Ilmu Hadits Dirayah adalah “Ilmu yang membahas tentang kaidah-kaidah,
dasar-dasar, peraturan-peraturan yang dengannya diketahui perbedaan antara
hadits yang shahih yang disandarkan kepada Rasulullah saw, dan hadits yang
diragukan penyandaran kepadanya.
Yang termasuk cabang-cabang ilmu Hadits Dirayah adalah ilmu rijal al-
hadits, ilmu tarikh ar-ruwat, dan ilmu jarh wa ta‟dil. Objek pembahasan Ilmu
Dirayah, diantaranya:
1. Keadaan para perawi, baik yang berkaitan dengan sifat kepribadian (seperti
perilaku keseharian, watak dan kualitas daya ingatannya) maupun masalah
sambung tidaknya rangkaian mata rantai para perawinya.
2. Keadaan yang diriwayatkan, baik dari sisi keshahihan dan kedha‟ifannya
maupun dari sisi lain yang berkaitan dengan keadaan matan.
Dengan demikian, manfaat yang dapat diambil dari mempelajari ilmu Hadits
Dirayah adalah ilmu yang dapat dijadikan sebagai alat yang dapat dijadikan
sebagai alat untuk mengetahui sejauh mana kualitas sebuah hadits.
Selain manfaat diatas, juga ada manfaat yang lain, diantaranya: 5
1. Mengetahui pertumbuhan dan perkembangan hadits dan ilmu hadits dari
masa ke masa sejak masa Rasulullah saw sampai sekarang.

5Mudasir, Ilmu Hadits, (Bandung: Pustaka Setia, 2008), hlm. 42


5

2. Dapat mengetahui tokoh-tokoh serta usaha-usaha yang telah mereka lakukan


dalam mengumpulkan, memelihara, dan meriwayatkan hadits,
3. Mengetahui kaidah-kaidah yang dipergunakan oleh para ulama dalam
megklasifikasikan hadits lebih lanjut.
4. Dapat mengetahui istilah-istilah, nilai-nilai, dan kriteria hadits sebagai
pedoman dalam beristinbat.
Pembedaan di sini perlu dilakukan karena bahwasanya munculnya disiplin Ilmu
Hadits Dirayah tidaklah sama waktu dan pencetusnya. Ilmu Hadits Riwayat
dipelopori oleh Muhammad bin Syihab Az Zuhry (51 – 124 H). Ia adalah orang
pertama yang menghimpun hadits Nabi saw atas perintah Khalifah Umar bin Abdul
Aziz (Umar II, memerintah tahun 99 – 102 H/717 – 720 M ).6 Sedangkan Ilmu
Hadist Dirayah dipelopori oleh Al Qadli Abu Muhammad Al Hasan bin
Abdurrahman bin Khalad Ar Ramahurzuri tahun 360 H.
B. Tahapan Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Ilmu Hadits
Sebelum kita menguraikan periode/masa pertumbuhan dan pembinaan ilmu
hadits perlulah kiranya dijelaskan di sini pengertian pertumbuhan dan pembinaan
ilmu hadits. Hal ini sangat penting, karena masih ada yang menyamakan antara
perkembangan hadits dengan ilmu hadits itu sendiri. Padahal keduanya berbeda,
meskipun demikian, keduanya tidak bisa dipisahkan. Hal ini disebabkan karena
pertumbuhan ilmu hadits selalu mengiringi pertumbuhan hadits itu sendiri. 7
Jadi, pertumbuhan ilmu hadis diartikan sebagai perkembangan ilmu hadits
mulai dari perintisannya sampai tumbuh dan perkembangnya hingga masa sekarang.
Sedang pembinaan ilmu hadis, secara singkat, adalah usaha, tindakan dan kegiatan
yang dilakukan secara berdaya guna dan berhasil guna terhadap ilmu-ilmu hadits
mulai cikal bakalnya hingga hadits bisa menjadi sebuah disiplin ilmu yang berdiri
sendiri, sitematis, luas dan lengkap bahasannya.
1. Masa Kelahiran Ulumul Hadits
„Ulum al-Hadis sebagai sebagai suatu disiplin ilmu mengalami masa
pertumbuhan dan perkembangan, Muhammad „Ajjaj al-Khatib mengemukakan
hal ini sebagai berikut:
Ulumul Hadis tumbuh bersama dengan tumbuhnya periwayatan dan
pemindahan hadis dalam Islam. Dasar-dasar ini mulai tampak setelah Nabi saw
wafat, yakni tatkala kaum muslimin memberikan perhatian serius dalam
mengoleksi hadis Nabi, karena khawatir tersia-siakan. Mereka berusaha keras
menghapal, menandai, memindahkan dan mengkodifikasikannya. Secara alamiah
kodifikasi hadis mendahului kodifikasi Ilmu Ushulul Hadis. Karena hadis adalah
materi yang dikumpulkan dan dikaji. Sedang Ushulul Hadis adalah kaedah dan

6 Abdul Majid Khon, Ulum Hadis, (Jakarta: Amzah, 2009), Cet. Ke-2 hal. 70
7 Abdul Majid Khon,Ulum Hadis, (Jakarta:Amzah,2009) hal. 78
6

metode yang harus diikuti untuk menerima dan menolak hadis dan mengetahui
yang shahih dari yang dha‟if. 8
Penjelasan „Ajjaj ini, memberikan pemahaman bahwa pertumbuhan dan
perkembangan „Ulum al-Hadis melalui suatu tahapan yang cukup panjang. Ilmu
itu tumbuh dan berkembang dari masa ke masa secara terus menerus dan
berkesinambungan mengkuti irama periwayatan hadis terutama sebelum hadis
terkodifikasi dengan baik.
2. Masa Penulisan Ilmu Hadits
Tahap kedua dari perkembangan „Ulum al-Hadis ialah tahap
penyempurnaan. Pada tahap ini, ilmu hadis mencapai titik kesempurnaannya.
Setiap cabangnya dapat berdiri sendiri dan sejalan dengan kaidah-kaidah yang
telah ditetapkan dan dipergunakan oleh ulama. Tahap ini berlangsung dari abad
kedua sampai awal abad ketiga. Peristiwa-peristiwa menonjol yang menendai
periode ini ialah:
a. Melemahnya daya hapal di kalangan umat Islam sebagaimana disebutkan al-
Dzahabi dalam kitab Tazkirat al-Huffazh
b. Panjang dan bercabangnya sanad-sanad hadis, lantaran bentangan jarak
waktu dan semakin banyak rawi
c. Munculnya sejumlah kelompok umat Islam yang menyimpang dari jalan
kebenaran yang ditempuh para sahabat dan tabi‟in, seperti Mu‟tazilah,
Jabariyah, Khawarij, dan sebagainya. Oleh karena itu, para ulama bangkit
untuk mengantisipasi kekacauan ini dengan langkah yang dapat menutupi
pengaruh yang mungkin timbul. Antara lain:
a) Pembukuan hadis secara resmi
b) Mengembangkan jarh wa ta‟dil untuk mengkritisi rawi hadis
c) Mengembangkan sikap tawaqquf yaitu tidak menolak atau menerima bila
mendapatkan hadis dari sesorang yang mereka tidak kenal sebagai ahli
hadis.
d) Menelusuri sejumlah hadis untuk mengungkap kecacatan yang mungkin
tersembunyi di dalamnya. 9
Para ulama sangat ketat dalam menyeleksi hadis. Mereka meneliti setiap
keadaan perawi sehingga hadis dapat diketahui kualitasnya. Bahkan, mereka
bersedia melakukan perjalanan panjang untuk mengecek kebenaran sebuah hadis
yang diriwayatkan oleh seseorang dengan mempersyaratkan kriteria-kriteria
tertentu sesuai dengan kaidah yang ditetapkan para ulama. 10 Dengan demikian,

8 Muhammad „Ajaj al-Khatib, Ushul al-Hadis. terj. M. Qadirun Nur & Ahmad Musyafiq, Pokok-Pokok
Ilmu Hadis (Cet. 1; Jakarta: Gaya Media Pratama, 1998), h. xiv
9 Nur al-Din, op.cit., h. 36.
10 Perjalanan untuk meneliti suatu hadis dideskripsikan dalam Subhi Al-Shalih, op.cit., h. 61-80.
Perjalanan ini diistilahkan dengan Rihlah Checking oleh Abdul Majid Khon, op.cit., h. 80
7

hadis yang diriwayatkan oleh seseorang akan dapat diketahui antara lain
keadilan, kecacatan, dan kedhabitan seorang perawi dan sebagainya.
3. Masa Pembukuan Ilmu Hadits
a. Tahap Pembukuan Ilmu Hadis secara terpisah
Tahap ini berlangsung sejak abad ketiga sampai pertengahan abad
keempat Hijriah. Tahap ini merupakan tahap pembukuan hadis dan
merupakan zaman keemasan sunnah. Sebab, dalam abad inilah sunnah dan
ilmu-ilmunya dibukukan dengan sempurna.
Tahap ini ditandai dengan inisiatif para ulama untuk membukukan
hadis Rasul secara khusus. Untuk itu mereka susun kitab-kitab musnad untuk
menghimpun hadis Rasul yang mereka kelompokkan berdasarkan nama-
nama sahabat, sehinga hadis-hadis yang diriwayatkan dari Abu Bakar,
misalnya dikumpulkan dalam satu tempat dengan judul Musnad Abu Bakar,
demikian pula hadis-hadis umar yang lainnya.
Pada tahap ini, cabang-cabang ilmu hadis telah berdiri sendiri sebagai
suatu ilmu, seperti ilmu hadis shahih, ilmu hadis mursal, ilmu al-Asma wa al-
Kuna, dan sebagainya. Ulama yang dikenal menyusun buku yang berkaitan
dengan ilmu hadis pada masa ketiga ini ialah:
1. Yahya ibn ma‟in (234 H) menyusun kitab tentang biografi para rawi
2. Muhammad ibn Sa‟d (230 H) menyusun kitab tentang thabaqat para rawi.
Kitab ini merupakan kitab yang paling baik.
3. Ahmad ibn Hanbal (241 H) menyusun kitab al-„Ilal wa al-Ma‟rifah al-
Rijal dan al-Nasikh wa al-Mansukh.
4. „Ali ibn „Abdullah ibn al-Madani (234 H) Guru al-Bukhari, menyusun
buku tentang banyak hal yang mencapai dua ratus judul. Kebanyakan
kitab yang disusunnya selalu menjadi perintis dalam bidangnya sehingga
para ulama menyatakan bahwa tiada cabang ilmu hadis yang luput dari
bahasannya dan tidak tersentuh dalam tulisannya. 11
b. Tahap penyusunan Kitab-Kitab Induk „Ulum al-Hadis dan penyebarannya
Masa ini bermula pada pertengahan abad keempat dan berakhir pada
awal abad ketujuh. Pada periode ini, para ulama menekuni dan mendalami
kitab-kitab yang telah disusun oleh para ulama sebelumnya. Kemudian
mereka menghimpun keterangan-keterangan yang masih berserakan
kemudian melengkapinya dengan keterangan-keterangan ulama lain yang
diriwayatkan dengan sanad yang sampai kepada pembicaranya. Sesudah itu
mereka memberi komentar terhadap keterangan-keterangan dan digali
hukumnya.

11 Nur al-Din, op.cit., h. 49.


8

Dalam catatan sejarah perkembangan hadits, diketahui bahwa ulama


yang pertama kali berhasil menyusun ilmu hadis dalam suatu disiplin ilmu
secara lengkap, adalah seorang ulama sunni bernama al-Qadi Abu
Muhammad al-Hasan bin Abd ar-Rahman bin Khalad ar-Ramahurmuzi (360
H), dengan kitabnya Al-Muhaddiits al-Fashil baina ar-Rawi wa al-Wa‟i.
Menurut Ibn Hajar al-Asqalani, 12 karya ar-Ramahurmuzi ini belum
mencakup seluruh ilmu hadis. Meskipun demikian, menurutnya lebih lanjut,
kitab ini sampai pada masanya merupakan kitab terlengkap, yang kemudian
dikembangkan oleh para ulama berikutnya.
Orang kedua setelah ar-Ramahurmuzi, ialah al-Hakim Abu Abdillah
Muhammad bin Abdillah an-Naisaburi (321-405H) dengan kitabnya
Ma‟rifah „Ulum al-Hadis. Pada kitab ini dibahas sebanyak 52 macam
pembahasan. Namun, seperti karya ar-Ramahurmuzi, karya al-Hakim ini juga
belum sempurna dan kurang sistematis dibanding dengan kitab-kitab karya
ulama berikutnya. 13
Setelah itu, muncul Abu Nu‟aim Ahamad bin Abdillah al-Ashafani
(336-430 H) dengan kitabnya al-Mustakhraj „ala Ma‟rifah‟Ulum al-Hadits.
Dalam kitab ini, ia mengemukakan kaidah-kaidah temuannya yang tidak
terdapat dalam kitab Ma‟rifah „Ulum al-Hadits karya al-Hakim. 14
Berikutnya, al-Khathib al-Bagdadi Abu Bakr ahmad bin Ali (463 H)
dengan kitabnya yang terkenal, ialah “Al-Kifayah fi Qawanin ar-Riwayah”.
Kitab ini berisi berbagai uraian ilmu hadis da kaidah-kaidah periwayatan.
Karya lainnya, ialah Al-Jami‟ li Adabi asy-Syeikh wa As-Sa‟mi. Menurut
Abu Bakr bin Nuqthah, para ulama muhaddisin yang menyusun ilmu ini
setelah al-Khatib al-Bagdadi, menginduk kepada kitabnya. 15
Selang beberapa waktu, menyusul al-Qadi „Iyadh bin Musa al-Yahshibi
(544 H) dengan kitabnya Al-Ilma‟ fi Dabth ar-Riwayah wa Taqyid al-Asma‟.
Berikutnya, ialah Abu Hafidz Umar bin Abd Majid al-Mayanji (580 H)
dengan kitabnya „Ulum al-Hadits yang dikenal dengan Muqaddimah ibn ash-
Shalah. Kitab ini oleh para ulama berikutnya disyarahkan dan dibuat 27
mukhtashar-nya, sehingga dapat dijadikan pegangan oleh ulama generasi
berikutnya.16
4. Masa Pentashihan ‘Ulum al-Hadis
Tahap kematangan dan kesempurnaan pembukuan „Ulum al-Hadis bermula
pada abad ketujuh dan berakhir pada abad kesepuluh. Pembukuan „Ulum al-
Hadis pada tahap ini mencapai tingkat kesempurnaan dengan ditulisnya sejumlah

12 Shubhi as-Shalih, op.cit., h. 5


13 Kitab Ma’rifat ‘Ulum al-Hadits ini diikhtiarkan oleh Thahir al-Jaza‟iri (w. 1338 H) dalam kitabnya
berjudul “Taujih an-Nazhar”
14 Utang Ranuwijaya, Ilmu Hadis, (Jakarta: Gaya Media Pratama, Cet.4; 2001) hal. 89.
15 Mahmud ath-Thahhan, Tafsir Musthalah al-Hadits (Beirut: Dar ats-Tsaqafah al-Islamiyah, t.th), h. 12.
16 Shubhi as-Shalih, op.cit., h. 89.
9

kitab yang mencakup seluruh cabang ilmu hadis. Pada tahap ini dilakukan
penelitian secara mendetail terhadap sejumlah masalah dan upaya perbaikan
sejumlah ungkapan yang memerlukan penghalusan redaksi. Para penyusun kitab
adalah para imam besar yang hapal semua hadis dan menyamai pengetahuan dan
penalaran para imam besar terdahulu terhadap cabang-cabang hadis, sanad dan
matannya.
Pelopor pembaharuan dalam pembukuan ilmu hadis pada masa ini ialah al-
Imam al-Muhaddits al-Faqih al-Hafidz al-Ushul Abu „Amr „Utsman ibn al-
Shalah (643 H) dengan kitab „Ulum al-Hadis yang sangat masyhur.
Kitab-kitab yang tercatat sebagai tahap kematangan dan kesempurnaan
pembukuan „Ulum al-Hadis ialah:
1. Al-Irsyad karya Imam Yahya ibn Syaraf al-Nawawi (676 H). Kitab ini
merupakan ringkasan dari kitab „Ulum al-Hadis kemudian diringkaskan lagi
menjadi al-Taqrib wa al-Taisir li Ahadis al-Basyir al-Nadzir.
2. Al-Tabshirah wa al-Tadzkirah. Kitab yang disusun dalam bentuk syair
sebanyak seribu bait karya al-Hafidz Abd al-Rahman ibn al-Husain al-Iraq
(806 H). Kitab ini mencakup seluruh isi kitab „Ulum al-Hadis dengan
menjelaskan dan menambah kekurangannya dengan beberapa masalah lalu
disyarahi dengan syarah yang sangat baik.
3. Al-Taqyid wa al-Lidhah li ma Uthliqa min Kitab ibn al-Shalah yang dikenal
dengan nama al-Nukat. Kitab ini diberi catatan kaki oleh Fadhilat al-Syaikh
Muhammad Raghib al-Thabbah dengan keterangan-keterangan yang sangat
bermanfaat.
4. Al-Ifshah „ala Nukat ibn al-Shalah. Kitab syarah „Ulum al-Hadis disusun oleh
al-Hafidz Ahmad ibn „Ali ibn Hajar al-Atsqalani (852 H). kitab ini sampai
sekarang masih dalam bentuk naskah tulisan tangan yang terdapat di India.
5. Fath al-Mughits Syarh Al-Fiyah al-Iraqi fi „Ilm al-Hadis karya al-Hafidz
Syamsuddin Muhammad al-Shakhawi (902 H). Kitab ini memuat hasil studi
kritis terhadap masalah-masalah yang terdapat dalam kitab-kitab sunnah dan
„Ulum al-Hadis. Kitab ini dicetak di India dalam satu jilid tebal.
6. Tadrib al-Rawi Syarah Taqrib al-Nawawi karaya al-hafidz Jalaluddin Abd al-
Rahman al-Suyuthi (911 H). Nukhbat al-Fikr dan syarahnya Nuzhat al-
Nadzar. Keduanya karya al-hafidz Ibn Hajar.17
5. Masa Kebekuan dan Kejumudan
Dalam perkembangannya, „Ulum al-Hadis sempat mengalami masa
kebekuan dan kejumudan. Keadaan ini berlangsung dari abad kesepuluh sampai
awal abad keempat belas Hijriyah. Pada masa ini, ijtihad dalam masalah ilmu
hadis dan penyusunan kitab nyaris berhenti total. Kitab-kitab yang ditulis pada

17 Nur al-Din, op.cit., h. 49.


10

umumnya ringkas dan praktis, baik dalam bentuk syair maupun prosa. Para
penulis hanya sibuk dengan kritikan-kritikan terhadap istilah-istilah yang
terdapat dalam kitab yang telah ada tanpa ikut menyelami inti permasalahannya.
Mereka kurang melakukan penelitian dan ijtihad sehingga perkembangan „Ulum
al-Hadis mengalami kemandekan. Walaupun demikian masih ada penerbitan
buku yang berkaitan dengan „Ulum al-Hadis, di antaranya:
1. Al-Manzhumat al-Baiquniyyah karya „Umar ibn Muhammad ibn futuh al-
Baiquni al-Dimasqi (1080 H). kitab ini berisi 36 bait syair. Keistimewaan
kitab karena disusun secara sistematis dan dengan bahasa yang sangat
sederhana sehingga mudah dihapalkan oleh orang-orang yang
mempelajarinya.
2. Taudhih al-Afkar karya Al-Shan‟ani Muhammad ibn Isma‟il al-Amir (1182
H).
3. Syarah Nuzhat al-Nazhar karya Syekh „Ali ibn Sulthan al-Harawi al-Qari‟i
(1014 H).18
Pada masa kebekuan dan kejumudan ini, bangkit pengkajian al-Hadis di
India yang dipelopori oleh al-Allamah al-Imam al-Muahddits syah Waliyu Aliah
al-Dahlawi (1176 H). Upaya pengkajian ini dilanjutkan oleh anak dan cucunya
serta murid-muridnya dengan berpedoman kepada kaedah-kaedah yang sudah
baku. 19
6. Masa Kontemporer
Setelah mengalami masa kebekuan dan kejumudan, pengkajian terhadap
„Ulum al-Hadis semakin dikembangkan oleh ulama-ulama kontemporer. Tahap
ini diistilahkan oleh Nur al-Din sebagai masa kebangkitan kedua. Masa
kebangkitan kedua bermula pada permulaan abad keempat belas hijriyah. Umat
Islam bangkit kembali karena khawatir pengaburan ajaran agama akibat
persentuhan dunia Islam dengan dunia Barat dan Timur, bentrokan militer yang
tidak manusiawi, orientalis kolonialisme pikiran yang lebih jahat dan lebih
berbahaya. Kondisi telah menuntut untuk disusunnya kitab-kitab yang membalas
tuduhan dan menyanggah kesalahan-kesalahan dann kedustaan mereka. Tuntutan
ini menghasilkan beberapa karya ulama antara lain:
1. Qawaid al-Tahdits karya Syekh Jamaluddin al-Qasimi. Kitab ini membahas:
Hadis Shahih dan Hadis Hasan Hadis dhaif, dan Hal-hal yang berkaitan
dengan ketiga hadis tersebut.
2. Miftah al-Sunnah atau Tarikh Funun al-Hadis karya „Abd Aziz al-Khuli.
Kitab ini menjadi pelopor pengkajian sejarah Hadis dan perkembangan ilmu-
ilmunya.

18 Ibid
19 Ibid
11

3. Al-Sunnah wa Makanatuha fi al-Tasyri al-Islami karya Dr. Musthafa al-


Siba‟i. Kitab ini membicarakan hal ikhwal orientalis, serangan mereka
terhadap Hadis, dan serangan balik mereka ketika kalah berargumentasi.
Kitab ini juga menyanggah anggapan-anggapan kelompok ingkar al-Sunnah
baik dari generasi terdahulu dan pada saat itu.
4. Al-Hadis wa al-Muhadditsin karya Dr. Muhammad Abu Zahw. Kitab ini
menjelaskan tentang ketekunan para ulama dalam mengabdi kepada al-
Sunnah disertai hasil penelitian kondisi hadis pada periode pertama yaitu
periode sahabat, tabi‟in sampai periode pembukuan hadis. Kitab ini juga
dilengkapi dengan sanggahan terhadap isu dan anggapan yang bathil
berkenaan dengan hadis.
5. Al-Manhaj al-Hadis fi „Ulum al-Hadis karya Dr. Syekh Muhammad al-
simahi, yang menguasai seluruh cabang Ilmu Hadis secara luas dan
komprehensif
C. Hadits Pada Masa Rasulullah saw
Sesuai dengan perkembangan hadits, Ilmu Hadits Riwayah dan Ilmu Hadits
Diroyah selalu mengiringinya sejak masa Rasulullah saw. sekalipun belum
dinyatakan sebagai ilmu secara eksplisit. Pada masa Nabi masih hidup di tengah-
tengah sahabat, hadits tidak ada persoalan karena jika menghadapi suatu masalah
atau skeptis dalam suatu masalah mereka langsung bertemu dengan beliau untuk
mengecek kebenarannya. Pemalsuanpun tidak pernah terjadi menurut pendapat
ulama ahli hadits.20
Sekalipun pada masa Nabi tidak dinyatakan adanya ilmu hadits, tetapi para
peneliti hadits memperhatikan adanya dasar-dasar dalam al-Quran dan hadits
Rasulullah saw. Misalnya anjuran pemeriksaaan berita yang datang dan perlunya
persaksian yang adil. Firman Allah dalam Alquran surat Al Hujurat: 6, demikian
juga dalam surat Al Baqarah: 282 dan At Thalaq: 2.21
Ayat-ayat di atas menunjukkan pemberitaan dan persaksian orang fasik tidak
diterima. Ayat-ayat di atas berarti perintah memeriksa, meneliti, dan mengkaji berita
yang datang dibawa seorang fasik yang tidak adil. Diperiksa untuk diverifikasi
keobyektifannya dari sumber berita tersebut. Demikian juga sabda Nabi Muhammad
dalam haditsnya :
Artinya: Allah menerangi (menggembirakan) seseorang yang mendengar
sesuatu daripada kami kemudian ia menyampaikannya sebagaimana ia
mendengarnya.maka banyak orang yang menyampaikan lebih mengerti daripada
yang mendengar”. (HR. Al Turmuzdi).
Ayat dan hadits di atas menjadi dasar perlunya pemeriksaan dan penelitian
berita dan hadits yang yang dismpaikan oleh seseorang, cara memelihara, dan cara

20Abdul Majid Khon, Ulum Hadis, (Jakarta: Amzah, 2009), Cet. Ke-2 hal. 78
21ibid hal. 79
12

menyampaikannya kepada orang lain. Apakah pembawa berita memenuhi


persyaratan sebagai perowi yang dapat diterima pemberitannya atau tidak? 22
Ada suatu keistimewaan pada masa ini, yaitu umat Islam dapat secara
langsung memperoleh hadits Rasul saw sebagai sumber hadits. Antara Rasulullah
dengan mereka tidak ada jarak atau hijab yang menghambat dan mempersulit
pertemuannya.
Dengan demikian, kedudukan Nabi menjadikan semua perkataan, perbuatan
dan taqrir nabi sebagai referensi para sahabat dan para sahabat tidak menyia-nyiakan
kesempatan ini. Mereka secara proaktif berguru dan bertanya kepadanya tentang
segala sesuatu yang tidak diketahuinya baik dalam urusan dunia maupun urusan
akhirat. Mereka mentaati semuanya bahkan menirunya. Ketaatan itu sendiri
dimaksudkan agar keberagamannya dapat mencapai tingkat kesempurnaan.
Ada beberapa cara Rasulullah saw dalam menyampaikan hadits kepada para
sahabat, yaitu: 23
a. Melalui para jema‟ah pada pusat pembinaannya yang disebut dengan majelis al-‘
ilmi.
b. Dalam banyak kesempatan Rasulullah saw juga menyampaikan haditsnya melalui
para sahabat tertentu, yang kemudian disampaikannya kepada orang lain.
c. Melalui ceramah atau pidato ditempat terbuka, seperti ketika haji wada’ dan
fathul makkah.
D. Hadits Pada Masa Sahabat
Periode sahabat berlangsung sekitar tahun 11 H sampai 40 H. Masa ini juga
disebut dengan masa sahabat besar dan juga terkenal dengan sebutan “zamanut
tastabbuti wal iqlali minarriwayah ( ‫”)زمن التثبت واالقالل من الرواية‬yaitu masa
pengokohan dan penyederhananaan riwayat, sehingga masalah penulisan hadits
belum dianggap suatu hal yang mendesak untuk dilaksanakan, hadits masih tetap
dihafal dan upaya-upaya penulisan masih dianggap mengkhawatirkan akan
mengganggu perhatian mereka terhadap penulisan al-Qur‟an lantaran keterbatasan
tenaga dan sarana.
Oleh karena itu, Abu Bakar sebagai kalifah pertama mengeluarkan kebijakan
tidak mengizinkan sahabat menulis hadits, bahkan beliau memerintahkan untuk
membakar 500 hadits yang telah dicatatnya.
Selanjutnya, melihat faktor kekhawatiran perhatian para sahabat terhadap
program penulisan al-Qur‟an terganggu, lalu niat Umar bin Khattab untuk membuat
program penulisan hadits dibatalkan, apalagi mayoritas sahabat tidak sepakat dengan
usaha tersebut.

22ibid hal. 81-82


23Munzier Suparta,. Ilmu Hadis, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2001) hal. 22
13

Sekalipun demikian penulisan hadits tetap saja dilakukan oleh sahabat,


diantaranya adalah Ibnu mas‟ud, Ali bin Abi thalib, dan Aisyah, dan yang lainnya.
Karakter yang menonjol dari periode ini adalah kuatnya komitmen para sahabat
terhadap segala bentuk perintah Allah dengan cara memelihara ayat-ayat al-Qur‟an
dalam satu mushaf, sehingga setelah terkumpul barulah mereka menulis hadits.
E. Hadits Pada Masa Tabi’in
Melihat kondisi seperti hal diatas, para ulama` bangkit membendung hadits
dari pemalsuan dengan berbagai cara diantaranya rihlah cecking kebenaran hadits
dan mempersyaratkan kepada siapa saja yang mengaku mendapatkan hadits harus
disertai dengan sanad. Keharusan sanad dalam periwayatan bahkan menjadi tuntutan
yang sangat kuat ketika Ibnu Syihab Az Zuhri menghimpun hadits dari para ulama
diatas lembaran kodifikasi. Sanad adalah merupakan syarat mutlak bagi yang
meriwayatkan hadits, maka dapat disimpulkan bahwa pada saat itu telah timbul
pembicaraan periwayat mana yang adil dan mana yang cacat (ilm jarh wa ta`dil),
sanad mana yang terputus (munqothi`) dan yang tersambung (muttashil), dan cacat
(illat) yang tersembunyi.
Perkembangan ilmu hadits semakin berkembang pesat ketika para ahli hadits
membicarakan tentang daya ingat para pembawa dan perawi hadits kuat apa tidak
(dlobith), bagaimana metode penerimaan dan penyampaiannya (tahammul wa ada`),
hadits yang kontra berisifat menghapus (nasikh dan mansukh) atau kompromi,
kalimat hadits yang sulit dipahami (gharib al hadits) dan lain-lain. Akan tetapi,
aktifitas seperti itu dalam perkembangannya baru berjalan secara lisan (syafawi)
dari mulut ke mulut dan tidak tertulis. Baru ketika pada pertengahan abad kedua
sampai dengan ketiga hijriyah ilmu hadits mulai ditulis dan dikodifikasikan dalam
bentuk yang sederhana, belum terpisah dari ilmu-ilmu lain, belum berdiri sendiri,
masih campur dengan ilmu – ilmu lain atau berbagai buku atau berdiri secara
terpisah. Misalnya ilmu hadis bercampur dengan ilmu ushul fiqh, seperti dalam kitab
Ar Risalah yang ditulis oleh As Syafi`i, atau campur dengan fiqih seperti kitab Al
Umm dan solusi hadis –hadis yang kontra dengan diberi nama Ikhtilaf Al –Hadits
karya As Syafi`i (204 H).24
Kemudian ketika pemerintahan dipegang oleh „Umar bin Abdul „Aziz
terbentuklah Lembaga Kodifikasi Hadits secara resmi. Adapun yang
melatarbelakangi Khalifah Umar bin Abdul „Aziz untuk mengumpulkan dan
mengkodifikasi hadits pada waktu itu antara lain:25
1. Banyak penghafal hadits yang meninggal dunia, baik karena sudah lanjut usia,
ataupun gugur sebagai pahlawan perang.

24 Abdul Majid Khon, Ulum Hadis, (Jakarta: Amzah 2009), Cet. Ke-2 hal. 81
25Teungku M. Hasbi Ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits. (Semarang: PT. Pustaka Rizki
Putra, 1997) hal. 28
14

2. Al-Qur‟an sudah berkembang begitu luas dalam masyarakat dan telah


dikumpulkan menjadi mushaf, karenanya tidak perlu dikhawatirkan lagi hadits
bercampur dengan al-Qur‟an.
3. Islam telah mulai melebarkan syi‟arnya melampaui jazirah Arab, maka hadits
sangat diperlukan sebagai penjelas al-Qur‟an.
Oleh karena itu, maka masa ini dikenal dengan sebutan masa pembukuan
(‘ashr al-tadwin / ‫)عصر التدوين‬, sehingga pada abad 2 H ini, tersusunlah kitab-kitab
koleksi hadits.26 Diantara tokoh-tokoh tabi‟in yang termashur dalam bidang riwayat
antara lain Sa‟id, Az-Zuhry, „Umar ibn Abdul Aziz dan Yazid ibn Habib. 27
F. Hadits Pada Abad Ke-3
Masa ini dikenal dengan sebutan “masa penyaringan pensyarahan hadits”,
terutama pada masa pemerintahan Dinasti Abbasiyyah, mulai dari khalifah Al-
Ma‟mum sampai Muqtadir (201-300 H). Pensyarahan dan penyaringan hadits
dilakukan karena masa sebelumnya belum berhasil melakukan pemisahan beberapa
hadits dha’if dengan hadits shahih, bahkan terkesan hadits maudlu’ bercampur
dengan hadits shahih.
Ulama yang pertama kali melakukan penyaringan hadits-hadits shahih adalah
Ishak ibn Rahawaih, dan kemudian dilanjutkan oleh Imam Bukhari, dan diteruskan
oleh muridnya Imam Muslim. Pada masa ini, umat Islam telah berhasil melakukan
beberapa hal, diantaranya: 28
1. Memisahkan hadits Nabi saw dari yang bukan hadits (fatwa sahabat dan tabi‟in)
2. Mengadakan penyaringan secara ketat terhadap apa saja yang dikatakan hadits
Nabi SAW dengan melakukan penelitian pada matan dan mata rantai sanadnya.
G. Hadits Pada Abad Ke- 4
Pada masa ini dilakukan sistem penyusunan kitab-kitab koleksi hadits yang
lebih mengarah pada upaya pengembangan dalam berbagai variasi pentadwinan
terhadap kitab-kitab yang sudah ada secara sistematis, misalnya pola-pola:
1. Menghimpun hadits-hadits yang terdapat pada kitab shahihaini (kitab shahih
Bukhari dan shahih Muslim).
2. Mengumpulkan hadits menurut bidangnya, seperti yang memuat hadits-hadits
tentang hukum.
3. Kolektor menyusun kitab athraf, artinya pengarang hanya menyebutkan
permulaan dari tiap-tiap hadits yang dapat menunjukkan kelanjutannya.

26M. Mashum Zein, Ilmu Hadits dan Musthalah Hadits. (Jakarta: Direktorat Pendidikan Madrasah Dirjen
Pendis Depag, 2007) hal. 17
27Ibid
28Teungku M. Hasbi Ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits. (Semarang: PT. Pustaka Rizki
Putra, 1997) hal. 22
15

H. Hadits Pada Abad Ke-5 – Sekarang


Setelah umat Islam ditaklukkan oleh Bangsa Barat, penyampaian ajaran Nabi
tidak dapat dilakukan secara terang-terangan, akibatnya kegiatan penelitian terhadap
para perawi hadits terhenti.
Sekalipun demikian, masih ada ditemukan ulama yang berani berkunjung ke
berbagai daerah untuk mendiktekan hadits, dengan cara duduk didalam masjid setiap
hari jum‟at, lalu menguraikan hadits tentang nilai dan kandungan sanadnya kepada
para jama‟ah dan jama‟ah mencatatnya, seperti yang dilakukan oleh Zainuddin al-
„Iraqi (806 H), Ibnu Hajar (858 H), al-Syakhawi (murid Ibnu Hajar).29

PENUTUP
Kita patut bersyukur dengan adanya sejumlah sahabat/ulama yang menaruh
perhatian begitu mulia terhadap keberadaan hadits-hadits Rasulullah saw kehadiran
beliau telah menyelamatkan sejumlah hadits, yang menjadi rujukan kedua setelah al-
Qur`an.
Berbagai bidang ilmu hadits telah dibuat oleh sejumlah ulama sehingga kita
dapat mengetahui kondisi para penyampai hadits serta hadits itu sendiri. Hal ini
sangat penting, mengingat masih banyaknya ayat-ayat al-Qur`an yang harus
mendapat penjelasan langsung dari hadits-hadits Rasulullah.
Di sisi lain, tidak dipungkiri lagi bahwa dengan adanya perbedaan hadits yang
diambil oleh umat Islam dalam melaksanakan ibadah khususnya, telah menciptakan
berbagai macam perbedaan pelaksanaan ritual. Yang terpenting adalah keharusan
bagi kita untuk mengetahui sumber-sumber rujukan yang mereka ambil dalam
melaksanakan ibadah, sehingga perbedaan yang terjadi justru mendatangkan rahmat
Allah swt. dan bukan sebaliknya. Sehingga kebersamaan dalam perbedaan dapat
tercipta dalam kehidupan sehari-hari.

DAFTAR PUSTAKA

Ahmad, M. dan Muzakkir,Ilmu Hadis. (Bandung: Pustaka Setia, 1998)


Al-Khatib, M. Ajjaj,al-Sunnah Qabla Tadwīn, diterjemahkan AH. Akrom Fahmi, Hadits
Nabi Sebelum Dibukukan (Cet. 1; Gema Insani Press, 1999)
Al-Khatib, M. „Ajaj Ushul al-Hadis. terj. M. Qadirun Nur & Ahmad Musyafiq, Pokok-
Pokok Ilmu Hadis (Cet. 1; Jakarta: Gaya Media Pratama, 1998)
Ash-Shiddieqy, Teungku M. Hasbi,Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits. (Semarang: PT.
Pustaka Rizki Putra, 1997)
Ash-Shiddieqy, Teungku M. Hasbi,Sejarah dan Pengantar Ilmu Tafsir (Djakarta: Bulan
Bintang, 1967)

29Munzier Suparta,. Ilmu Hadis, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2001) hal. 19
16

Ath-Thahhan, Mahmud,Tafsir Musthalah al-Hadits (Beirut: Dar ats-Tsaqafah al-


Islamiyah, t.th)
„Itr, Nūr al-Dīn, Manhaj al-Naqd fi ‘Ulūm al-Hadis, terj. Mujiyo, „Ulum Al-Hadits I
(Cet. 1; Bandung: Remaja Rosdakarya, 1994)
Khon, Abdul Majid, Ulum Hadis, 2009 (Jakarta:Amzah), Cet. Ke-2
Mudasir, Ilmu Hadits, (Bandung: Pustaka Setia, 2008)
Nata, Abuddin M.A., Metodologi Studi Islam, Edisi Revisi (Jakarta: RajaGrafindo
Persada, 2008)
Ranuwijaya, Utang,Ilmu Hadis, (Jakarta: Gaya Media Pratama, Cet.4; 2001)
Suparta, Munzier,Ilmu Hadis, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2001)
Syuhudi Ismail, M.Pengantar Ilmu Hadis (Cet. 2; Bandung; Angkasa, 1994)
Zein, M. Mashum,Ilmu Hadits dan Musthalah Hadits. (Jakarta: Direktorat Pendidikan
Madrasah Dirjen Pendis Depag, 2007)

Anda mungkin juga menyukai