Anda di halaman 1dari 23

Tokoh/Ulama Hadis Kontemporer

Tugas

Diajuakan untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Kuliah


Ulumul Hadis pada jurusan Pendidikan Agama Islam
Pascasarjana UIN Alauddin Makassar

OLEH:

Abdul Rajab Sulaiman

NIM: 802002118012

Dosen Pemandu:

Dr.H.Muh. Yahya, M.Ag.


Dr. Laode Ismail Ahmad, M,Th.I.

PASCASARJANA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI ALAUDIN MAKASSAR
2018

1
DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN ......................................................................... 1

A. Latar Belakang Masalah ....................................................... 1

B. Rumusan Masalah .................................................................. 3

C. Tujuan Penulisan .................................................................... 3

BAB II PEMBAHASAN ............................................................................ 3

A. Perkembangan hadis kontemporer dan coraknya ................... 3


B. Hadis dalam pandangan Yusuf al-Qordhawi .......................... 7

C. Pemikiran hadis M. Syuhudi Ismail........................................ 14

BAB III PENUTUP ...................................................................................... 19

A. Kesimpulan ............................................................................. 19

DAFTAR PUSTAKA
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Sejak pertengahan abad ke-19, definisi otoritas Rasulullah menjadi masalah

penting bagi pemikir Muslim. Karena abad ini merupakan periode ketika hegemoni

barat yang berkaitan dengan kelemahan politik dan agama telah menciptakan

dorongan kuat diadakannya reformasi


Sejak saat itu juga, para pemikir muslim menghadapi banyak tantangan

terhadap gagasan islami klasik tentang otoritas keagamaan. Pergolakan di dunia

Muslim telah mendorong meluasnya pengujian kembali sumber-sumber klasik

hukum Islam karena orang Muslim telah berjuang untuk memelihara, menyusuaikan,

atau mendefininsikan kembali norma-norma sosial dan hukum dalam menghadapi

kondisi yang berubah.

Isu sentral dalam perjuangan yang terus berlangsung ini adalah masalah

hakekat, status, dan otoritas sunnah (contoh-contoh normatif Nabi Muhammad

saw.) karena status Muhammad sebagai utusan Allah perkataan dan perbuatannya

diterima oleh sebagian besar Muslim sebagai sebuah sumber hukum kedua setelah
al-Quran. Oleh karena itu, imitatio Muhammadi menjadi dasar bagi hukum islam.

Akan tetapi, selama abad ke-20, kedudukan sunnah terancam dengan berbagai

cara, ketika para pemikir Muslim mencari basis kuat bagi kebangkitan kembali

Islam. Masalah sunnah telah menjadi sisi paling penting dalam krisis Muslim

modern seperti krisis otoritas keagamaan, yang menduduki tempat sentral di dalam

wacana keagamaan muslim.


Makalah ini akan mencoba menguraikan tentang bagaimana gejolak

pekembangan hadis kontemporen dan sikap para pemikir kontemporer menghadapi

hadis, terutama pemikir kontemporer yang diwakili oleh Yusuf al-Qardhawi dan

Muhammad Syuhudi Ismail.

B. Rumusan Masalah

Adapun beberapa rumusan masalah seputar makalah ini adalah sebagai

berikut:
1. Bagaimana gejolak perkembangan kajian hadis kontemporer dan coraknya?

2. Bagaimana hadis dalam pandangan Yusuf al-Qardhawi ?

3. Bagaimana Pemikiran Hadis Syuhudi Ismail ?

C. Tujuan

Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah sebagai berikut:

1. Untuk memahami gejolak perkembangan kajian hadis kontemporer dan

coraknya

2. Untuk memahami hadis dalam pendangan Yusuf al-Qardhawi

3. Untuk Mengetahui pemikiran hadis menurut Syuhudi Ismail


BAB II

PEMBAHASAN

A. Gejolak Perkembangan Kajian Hadis Kontemporer dan Coraknya

Kajian hadis sempat mengalami masa kevakuman sekitar 6 abad (abad 13-19

H). Namun, kembali menggeliat pada saat seorang orientalis Yahudi bernama Ignaz

Goldziher, kelahiran Hungaria yang hidup antara tahun 1850-1921 M,

menggoncangkan dunia penelitian hadis dengan menerbitkan sebuah buku berjudul


Muhammadenishe Studien (Studi Islam).1 Dalam buku ini, ia menolak kriteria dan
persyaratan otentisitas hadis seperti yang telah ditetapkan ulama-ulama hadis

terdahulu.2 Ia juga membahas suatu metode baru untuk menetukan valid tidaknya

sebuah hadis yang lebih menitik beratkan pada metode kritik matan.

Pada dasarnya, kritik hadis yaitu menyeleksi otentisitas berita yang

bersumber dari Nabi Muhammad saw telah dimulai oleh para ulama bahkan pada

masa sahabat. Namun, hal tersebut masih terbatas pada kritik sanad hadis.

Ignaz Goldziher menuduh bahwa penelitian hadis yang dilakukan oleh ulama

klasik tidak dapat dipertanggungjawabkan secara ilimiah karena kelemahan

metodenya. Hal ini karena para ulama lebih banyak menggunakan metode kritik
sanad dan kurang menggunakan metode kritik matan. Sebenarnya para ulama klasik,

sudah menggunakan metode kritik matan. Hanya saja, apa yang dimaksud dengan

metode kritik matan oleh Goldziher itu berbeda dengan metode kritik matan yang

digunakan oleh para ulama. 3

1
Ali Mustafa Ya’qud, Kritik Hadis, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2008), h.8.
2
Manna al-Qatthan, Mabahits Fi Ulum al-Hadist.terj.Pengantar Studi Ilmu Hadis.Alih
Bahasa Mifdhol Abdurrahman, (Jakarta: Pustaka al-kautsar, 2008), h.177.
3
Ali Mustafa Ya’qud, Kritik Hadis, h.15.
Metode yang dirumuskan ulama klasik dalam kritik matan diantaranya,

membandingkan riwayat hadis yang akan dikritik dengan riwayat-riwayat hadis

lainnya, bandingkan beberapa hadis yang kelihatannya bertentangan, bandingkan

matan hadis dengan peristiwa sejarah yang validitasnya diakui oleh mayoritas

ulama, dan lain sebagainya. Hal inilah yang menjadi perbedaan mendasar dengan

kritik matan menurut goldziher dimana beliau bahwa matan hadis harus

dibandingkan dengan perubahan politik, perubahan zaman, perkembangan ilmu


pengetahuan, sosial budaya dan lain lain.

Salah satu kritiakan Golziher yang terkenal yaitu tentang hadis berziarah

hanya boleh ke tiga masjid, isi kritikan Beliau yaitu, Abdul Malik bin Marwan

(Khalifah dari dinasty Umayah di Damaskus) merasa khawatir apabila Abdullah bin

Zubair (yang memproklamirkan dirinya sebagai khalifah di Mekah) mengambil

kesempatan dengan menyuruh orang-orang Syam (Syiria dan sekitarnya) yang

sedang melakukan ibadah haji di Mekah untuk berbaiat (sumpah prasetia)

kepadanya. Karenanya Abdul Malik bin Marwan berusaha agar orang-orang Syam

tidak lagi pergi ke Mekah, tetapi cukup hanya pergi ke Qubbah Shakhara di al-Quds

pada saat itu menjadi wilayah Syam. Untuk mewujudkan usaha yang bersifat politis
ini, Abdul Malik bin Marwan menugaskan Ibnu Shihab az-Zuhri agar ia membuat

hadis yang sanadnya bersambung sampai kepada Nabi saw. Dimana isinya umat

Muslim hanya boleh pergi menuju tiga masjid saja. Jadi kesimpulannya, hadis

tersebut tidak sahih, karena ia merupakan karangan Ibnu Shihab az-Zuhri, dan bukan

sabda Nabi saw. Meskipun hadis tersebut tercantum dalam sahih al-Bukhari.4

4
Ali Mustafa Ya’qud, Kritik Hadis, (Jakarta: Pustaka Firdaus 2008), h.10.
Setelah Goldziher meninggal pada 1921 pengkajian hadis dilanjutkan oleh

orientalis bernama Joseph Schacht. Karyanya yang paling monumental dan

melambungkan namanya adalah bukunya yang berjudul The Origins Of

Muhammadan Jurisprudence yang terbit pada tahun 1950, kemudian bukunya An


introduction to islamic law yang terbit pada tahun 1960. Dalam dua karyanya ini, ia
menyajikan hasil kajian tentang hadis nabawi, dimana dia berkesimpulan bahwa

hadis nabawi terutama hadis yang berkaitan dengan hukum Islam, adalah buatan
parah ulama pada abad kedua dan ketiga Hijriah.5

Schacht juga terkenal dengan teorinya, yaitu teori ‚Projecting Back‛ yaitu

memproyeksikan periwayatan hadis kepada tokoh-tokoh terdahulu. Ia menyatakan

bahwa isnad , yakni rangkaian periwayat hadis yang menjadi sandaran kasahihan

sebuah matan hadis memiliki kecenderungan untuk berkembang ke belakang.

Menurutnya isnad berawal dari bentuk yang sederhana, lalu diperbaiki sedemikian

rupa dengan cara mengaitkan doktrin-doktrin aliran fikih klasik kepada tokoh yang

lebih awal, seperti tokoh yang lebih awal, seperti sahabat dan akhirnya kepada Nabi.

Inilah yang dinamakan teori projecting back.6

Kajian hadis yang menjadi corak utama kajian hadis kontemporer tidak
berhenti sampai disitu saja. Lebih-lebih dari kalangan orientalis. Mereka terus

melakukan penelitian dan pengkajian. Selanjutnya, muncul seorang orentialis

Belanda yang bernama Gautier H>.A. juynboll yang terkenal dengan teori common

link-nya. Sebenarnya, Juynboll bukanlah orang yang pertama kali membicarakan


fenomena common link dalam periwayatan hadis. Ia mengakui dirinya sebagai

5
Ali Mustafa Ya’qud, Kritik Hadis, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2008), h.20.
6
Ali Masrur, Teori Common Link G.H.A. Juynboll: Melacak akar Kesejarahan Hadis Nabi
(LKIS: Yogyakarta, 2017), h.2.
pengembang dan bukan penemu teori tersebut. Dalam beberapa tulisannya, ia selalu

merujuk kepada Schacht seraya berkata bahwa dialah pembuat istilah common link

dan yang pertama The Origins Of Muhammadan Jurisprudence.

Meski demikian, Schacht ternyata gagal mengamati frekuensi fenomena

tersebut dan kurang memberikan perhatian dan elaborasi dengan metode analisis

isnad-nya tidak lain adalah sebuah metode kritik sumber (source critical method)
dalam ilmu sejarah. Metode Schacht yang dikembangkan lebih rinci oleh Juynboll
ini kemudian dielaborasi lebih rinci oleh Motzki yang menjadi metode analisis isn^ad-

cum-matn. Secara keseluruhan, metode yang sangat terkait dengan masalah


penanggalan hadis ini merupakan salah satu metode dalam pendekatan sejarah

(historial approach).

Common link adalah istilah untuk seorang periwayat hadis yang mendengar
suatu hadis yang mendengar suatu hadis dari (jarang lebih dari) seorang yang

berwenang dan lalu ia menyiarkannya kepada sejumlah murid yang pada gilirannya

kebanyakan dari mereka menyiarkan lagi kepada satu atau lebih muridnya. Dengan

kata lain, common link adalah periwayatan tertua yang disebut dalam berkas isnad

hadis kepada lebih dari satu murid. Dengan demikian, ketika berkas isnad itu mulai
menyebar untuk yang pertama kalinya maka disanalah ditemukan common link-

nya.7

Selain kritik hadis yang menjadi corak utama kajian hadis kontemporer,

reorientasi istilah-istilah teknis yang dipakai dalam penyebaran hadis (tahammul al-

hadits) juga menjadi corak lain dari kajian hadis kontemporer. Munculnya kajian
tersebut disebabkan karena adanya pemahaman bahwa penyebaran hadis tidak hanya

7
Ali Masrur, Teori Common Link G.H.A. Juynboll: Melacak akar Kesejarahan Hadis Nabi
(Yogyakarta: LKIS, 2017), h.10.
dilakukan melalui lisan, hal ini tidak lepas karena adanya shighah-sighah tahammul

hadist yang menunjukan transmisi hadis seolah-olah hanya dilakukan dengan lisan
misalnya kata-kata akhbarana, haddatsana, dan lain-lain, yang menunjukan bahwa

transmisi hadis itu dilakukan dengan lisan (oral transmission) padahal sebenarnya

tidak demikian. Azami, misalnya, membuktikan bahwa istilah-istlah itu

membuktikan adanya penyebaran hadis secara tertulis. Beliau juga membuktikan

bahwa hadis telah ditulis oleh para sahabat sejak zaman Nabi sehinggah missing link
yang terjadi penulisan hadis dapat disanggah.8

Corak lain yang tentunya tidak bisa dikesampingkan yaitu metode tahkrij

hadist. Corak ini menjadi corak yang paling unik dari seluruh ciri kajian hadis
kontemporer.9

B. Hadis dalam Pandangan Yusuf al-Qordhawi

1. Riwayat dan Latar Belakang Yusuf al-Qordhawi

Yusuf al-Qardhawi lahir di Shafth Turaab, di tengah Delta Sungai Nil, daerah

Mahallah al-Kubra, Kairo, Republik Arab Mesir, 9 september 1926. Ayahnya

bernama Abdullah, Yusuf al-Qardhawi, hanya dua tahun bersama ayahnya, karena

ayahnya dipanggil oleh Allah taala.


Pelajaran pertama yang ditekuninya adalah al-Quran. Pada usia sepuluh

tahun, Ia sudah hafal al-Quran dengan bacaan yang sangat baik. Dengan keahliannya

itu, ia dijadikan imam rawatib di desanya pada usia yang sangat muda.10

8
Azami, Muhammad Mustafa, Hadis Nabawi dan Sejarah Kodifikasi, (Jakarta: Pustaka
Firdaus, 1994), h.7.
9
Azami, Muhammad Mustafa, Hadis Nabawi dan Sejarah Kodifikasi, h.11.
10
Isam Talimah, Manhaj Fikih Yusuf al-Qardhawi (terj) Samson Rahman, (Pustaka al-
Kautsar: Jakarta 2001), h.3.
Beliau mendapatkan ijazah diploma tinggi dalam bidang bahasadan sastra

Arab. Namun keahliannya yang menonjol ketika beliau melanjutakan pendidikan ke

Universitas al-Azhar, Fakultas Ushuluddin (aqidah, tafsir, dan hadis). Dan lulus pada

tahun 1952. Tapi gelar doktornya baru ia peroleh pada di tahun 1972 dengan

disertasi ‚Zakat dan Dampak dalam Penanggulangan Kemiskinan‛, yang kemidian

disempurnakan menjadi Fikih Zakat. Sebab keterlambatan meraih gelar doktor

karena Dia sempat meninggalkan Mesir akibat kejamnya rezim yang berkuasa saat
itu. Ia terpaksa menuju Qatar pada tahun 1961.11

2. Sikap Yusuf al- Qardhawi terhadap Hadis

Diantara para pemikir kontemporer, al-Qardhawi memberikan penjelasan

yang luas tentang bagaimana pemikirannya tentang hadis yang dikembangkan

menjadi metode sistematis untuk menilai otentisitas hadis. Menurut al-Qardhawi

sunah (hadis) Nabi mempunyai 3 karakteristik yaitu komprehensif (manhaj syumul),

seimbang (manhaj mutawazzun), dan memudahkan (manhaj muyyasar}). Ketiga

karakteristik ini akan mendatangkan pemahaman yang utuh terhadap hadis.12

Atas dasar inilah al- Qardhawi menetapkan juga tiga hal yang harus dihindari

dalam berinteraksi dengan sunah , yaitu penyimpangan kaum ekstrim, kedua


manipulasi orang-orang sesat yaitu pemalsuan terhadap ajaran-ajaran Islam, dengan

membuat berbagai macam bid’ah yang jelas bertentangan dengan akidah dan syariat.

Ketiga penafsiran orang-orang bodoh. Oleh sebab itu pemahaman yang tepat

terhadap sunah (hadis) adalah mengambil sikap moderat, yaitu tidak berlebihan atau

ekstrim, tidak menjadi kelompok sesat, dan tidak menjadi kelompok yang bodoh.

11
Isam Talimah, Manhaj Fikih Yusuf al-Qardhawi, h.4.
12
Yusuf Qardhawi, Bagaimana Memahami Hadis Nabi saw, (Bandung: Karisma, 1999),h.92.
Adapun prinsip-prinsip dalam berinteraksi dengan as-Sunnah adalah sebagai

berikut:

a. Meneliti dengan seksama kesahihan hadis yang dimaksud.sesuai dengan acuan

ilmiah yang telah ditetapkan oleh para pakar. Hadis yang dipercaya, yakni

meliputi sanad dan matannya, baik merupakan ucapan Nabi saw., perbuatannya,

ataupun pesetujuannya.

b. Dapat memahami dengan benar nash-nash yang berasal dari Nabi saw., sesuai
dengan pengertian bahasa arab, kerangka prinsip-prinsip umum serta tujuan-

tujuan universal Islam dan dalam rangka konteks hadis tersebut serta sebab

wurud (diucapkannya) oleh Beliau.

c. Memastikan bahwa nash tersebut tidak bertentangan dengan nash lainnya yang

lebih kuat kedudukannya, baik yang berasal dari al-Quran, atau hadis-hadis lain

yang lebih banyak jumlahnya, atau lebih sahih darinya, atau lebih sejalan dengan

ushul.13

Dapat kita pahami dari uraian di atas, bahwa prinsip yang harus kita pegang

dalam memahami hadis haruslah memperhatikan nash secara menyeluruh bukan

hanya tekstual tapi juga kontekstual. Kemudian memperhatikan maksud hadis


dengan kaidah bahasa, tujuan universal, serta perbandingan dengan nash yang lebih

kuat.

3. Metode Pemahaman Hadis Yusuf al-Qardhawi

a. Memahami hadis sesuai dengan petunjuk al-Quran untuk memahami sunah

dengan baik, jauh dari penyimpangan, pemalsuan, dan penakwilan yang keliru,

kita harus memahamnyai dengan petunjuk al-Quran, yaitu dalam bingkai

13
Yusuf Qardhawi, Bagaimana Memahami Hadis Nabi saw, (Bandung: Karisma, 1999),h.26-
27.
tuntunan-tuntunan Ilahi yang kebenaran dan keadilannya bersifat pasti, seperti

yang dijelaskan dalam surat al-An’am/6 : 155, yakni:

)١١١( ‫س ِمي ُع ۡٱلعَ ِلي ُم‬


َّ ‫ع ۡد ٗ ۚٗل َّٗل ُمبَ ِدّ َل ِل َك ِل َٰ َمتِ ِۚۦه َو ُه َو ٱل‬
َ ‫ص ۡد ٗقا َو‬
ِ َ‫َوت َ َّم ۡت َك ِل َمتُ َر ِبّك‬
Terjemahannya:
Dan telah sempurnalah kalimat Tuhanmu dalam kebenaran dan keadilan-Nya.
Tidak ada yang dapat mengubah-ubah kalimat-Nya dan Dia-lah yang Maha
mendengar Maha mengetahui.14
Tugas seorang Rasul dalah menjelaskan kepada manusia risalah yang
diturunkan untuk mereka. Oleh karena itu, tidak mungkin sebuah penjelasan dalam

hal ini hadis bertentangan dengan apa yang hendak dijelaskan (al-Quran). Maka dari

itu, tidak sunah yang sahih yang bertentangan dengan ayat-ayat al-Quran yang

muhkamat keterangan-keterangannya jelas.


b. Menghimpun hadis-hadis yang terjalin denga tema yang sama untuk memahami.

Hadis-hadis yang mutasyabih dikembalikan kepada yang muhkam, yang mutlaq

dihubungkan dengan yang muqhayyat dan yang ‘am ditafsirkan dengan yang

khas. Dengan demikian, makna yang dimaksud akan semakin jelas dan satu

sama tidak boleh dipertentangkan. Sebagaimana yang sudah disepakati, sunah

berfungsi sebagai penjelas dan penafsir al-Quran. Artinya, sunah merinci ayat-

ayat yang global, menjelaskan yang masih samar, menghususkan yang masih
umum, dan membatasi yang mutlak. Dengan demikian, ketentuan-ketentuan

tersebut harus diterapkan dalam memahami hadis yang satu dengan yang

lainnya.

a. Penggabungang atau pentarjihan antara hadis-hadis yang (tampaknya)

bertentangan (kompromi atau tarjih tarjih antara hadis-hadis yang kontadiktif).

14
Kementrian Agama, al-Quranulkarim & terjemahan Hadiah Terindah ,(Depok: Quranab,
2015),h.142.
Pada prinsipnya kebenaran tidak akan bertentangan dengan kebenaran

seandainya ada pertentangan maka hal itu merupakan hal luarnya saja, atau

kelihatan diluar saja yang bertentangan, tapi makna yang terkandung adalah

sama. Dan kewajiban kita terhadap hal tersebut dapat dihilangkan dengan cara

menggabungkan atau menyesuaiakan antara kedua nash, tanpa harus

memaksakan atau mengada-ada sehingga keduanya dapat diamalkan. Salah satu

yang menjadi hal penting untuk memahami sunah dengan baik adalah
menyesuaikan hadis-hadis yang sahih tapi tampak bertentangan, yang

kandungannya sepintas berbeda-beda antara satu dengan lainnya. Kemudian

meletakkan masing-masing hadis sesuai dengan tempatnya sehingga tidak lagi

kelihatan berbeda.

b. Memahami hadis dengan mempertimbangkan latar belakangnya situasi, dan

kondisinya ketika diucapkan serta tujuannya. Ini artinya hukum yang dibawah

oleh status hadis adakalanya ada kalanya tampak bersifat umum dan waktu tak

terbatas, namun jika diperhatiakan lebih lanjut, akan diketahui bahwa hukum

tersebut berkaitan dengan suatu illah tertentu. Atau harus diketahui kondisi

yang meliputinya serta di mana dan untuk tujuan apa dia diucapkan.
c. Membedakan antara sarana yang berubah-ubah dan tujuan yang tetap.

Mencampuradukan antara tujuan atau sasaran yang hendak dicapai oleh hadis

(sunah) dengan prasarana temporer atau lokal yang kadangkala menunjang

pencapain tujuan merupakn penyebab kekacauan kekeliruan dalam memahami

hadis. Oleh sebab itu, apabila suatu hadis menunjuk kepada suatu yang

menyangkut sarana atau prasarana tertentu, maka itu hanyalah untuk

menjelaskan tentang suatu fakta, namun sama sekali tidak dimaksudkan


dengannya untuk mengikat kita dengannya ataupun membekukan kita

disampingnya. Bahkan sekiranya al-Quran sendiri menegaskan tentang suatu

sarana atau prasarana yang cocok untuk suatu tempat atau masa tertentu, hal itu

tidak berarti bahwa kita harus berhenti padanya saja dan tdak memikirkan

tentang prasarana lainnya yang selalu berubah dengan berubahnya waktu dan

tempat.

d. Membedakan antara hakikat dan ungkapan. Teks-teks hadis banyak sekali yang
mengguanakn majas atau metafora, karena Rasulullah adalah orang Arab yang

menguasai balaghah. Rasul menggunakan majas untuk mengemukakan maksud

beliau dengan cara yang sangat mengesankan. Hadis-hadis yang bersifat seperti

ini tidak bisa secara langsung dipahami, tapi harus perhatikan berbagai indikasi

yang menyertainya, baik secara tekstual maupu kontektual.

e. Membedakan antara alam gaib dan alam kasat mata (Nyata). Maksudnya adalah

dalam hal memaknai teks hadis. Diantara kandungan hadis , ada beberapa hal

yang berkaitan dengan alam gaib, yang sebagiannya menyangkut makhluk-

makhluk yang tidak dapat dilihat di alam kita ini, misalnya malaikat. Atau yang

berkaitan dengan alam barzah yaitu kehidupan setelah mati dan sebelum
kebangkitan di hari kiamat. Demikian pula kenikmatan dan siksaan di alam

akhirat.

f. Memastikan makna dan konotasi dalam hadis. Pengunaan atau pemaknaan kata

dan konotasi setiap masyarakat atau masing-masing orang itu berbeda dalam

memaknai suatu kata. Adakalanya kelompok manusia mengunakan kata tertentu


untuk makna tertentu pula, dan ditakutkan apabila mereka menafsirkan kata-

kata tersebut yang digunakan dalam hadis sesuai dengan istilah mereka saja.15

Keseluruhan dari metode yang dikemukakan oleh Beliau dapat kita pahami

bahwa, jika salah satu dari banyak metode ini ditinggalkan, maka akan menyebabkan

kekeliruan dalam memahami hadis. Hingga pada akhirnya akan mempengaruhi baik

atau buruknya ibadah kita kepadah Allah swt., serta interaksi kita kepada manusia

dan alam.
4. Impelementasi Pemahaman Yusuf al-Qardhawi

Dari pemikiran yang tawarkan oleh Yusuf al-Qardhawi ini, mengindikasikan

bahwa metode yang ditawarkan oleh Beliau telah menimbulkan dialog yang marak

maupun kontra, yang pada akhirnya membuka peluang adanya upaya pengambangan

dalam studi pemikiran hadis. Secara spesifik gagasan pemikiran Yusuf al-Qardhwi

bukan sesuatu yang sama sekali baru. Beberapa kriteria yang ditawarkan oleh Yusuf

al-Qardhawi merupakan refleksi hasil dialog dan pembacaan yang dilakukan oelh

yusuf al-Qardhawi dari realitas masyarakat dan berbagai konsep yang di tawarkan

para ulam jauh sebelumnya. Selain itu, pentingnya memberikancorak baru dalam

studi pemahaman hadis, mengingat jarak waktu yang memisahkan realitas sekarang
ini dengan sejarah bagaimana sebuah hadis muncul.jika dicermati beberapa prinsip

pemahaman hadis yang ditawarkan oleh Beliau sebenarnya sangat urgen untuk

menggali nilai-nilai hadis yang relevan denga kebutuhan historis sekarang ini. 16

15
Yusuf al-Qardhawi, as-Sunah Sebagai Sumber IPTEK dan Peradaban, ( Jakarta: al-Kautsar,
1999),h.117
16
Daniel W.Brown, Menyoal Relevansi Sunah Dalam Islam Modern, (Bandung: Mizan,
1996).h.18-19
Bagaimanapun juga berbagai macam temuan dan teknologi, interaksi antar

budaya yang berkembang mengharuskan perlu pengkajian terhadap kajian

hadis.Upaya pengembangan Beliau telah memberi mamfaat dalam menggali nilai-

nilai yang relevan konteks historis saat ini. Namun disisi lain harus disadari

maraknya berbagai pemahaman terhadap hadis membuka peluang semakin

melebarnya perpecahan dikalangan umat Islam. Oleh karena itu perlu kebijaksanaa

dalam menyikapi hal tersebut.17


C. Pemikiran Hadis M.Syuhudi Ismail

1. Biografi M.Syuhudi Ismail

Syuhudi Ismail lahir di Lumajang, Jawa Timur, pada tanggal 23 April 1943.

Syuhudi Ismail memulai sekolahnya Sekolah Rakyat di Sidoarjo, Lumajang, Jawa

Timur dan berhasil lulus pada tahun 1955. Kemudian Beliau melanjutkan

pendidikannya pada Pendidikan Guru Agama Negeri selama 4 tahun di malang dan

tamat pada tahun 1959. Setelah menyelesaikan studinya pada Pendidikan Hakim

Islam Negeri di yogyakarta pada tahun 1961, Beliau melanjutkan studinya ke

Makassar pada Fakultas Syariah di Institut Agama Islam Negeri Sunan Kalijaga dan

tamat sebagai sarjana pada tahun 1973. Setelah itu Beliau kembali ke Yogyakarta
dan belajar pada Studi Purna Sarjana untuk Tahun Akademi 1978/1979.

Kemudian melanjutkan studi pascasarjana IAIN Syarif Hidayatullah hingga

tamat di tahun1985. Dan mendapat gelar Doktor di Institut yang sama pada tahun

1987. Beliau wafat pada tahun 1995. Beliau pernah menjabat sebagai pegawai

pengadilan tinggi agama makassar, Kepala Bagian Kemahasiswaan Alumni IAIN

17
Daniel W.Brown, Menyoal Relevansi Sunah Dalam Islam Modern, h.35.
Makassar, sekretaris Koordinator Perguruan Tinggi Agama Islam Wilayah VIII

Sulawesi serta Dosen di beberapa Kampus, dan lain-lain.

Beliau juga memiliki karya-karya seperti Hadis Nabi Menurut Pembela

Pengingkar dan Pemalsunya,Metodologi Penelitian Hadis Nabi, Hadis Tekstual dan


Kontekstual( Telaah Ma’anil Hadis Tentang Ajaran Islam yang Universal, Temporal,
dan Lokal) dan lain-lain.18
2. Kaidah Kesahihan Sanad Hadis Menurut M.Syuhudi Ismail
Dalam pemikiran kesahihan hadis, Beliau memperkenalkan istilah ‚mayor‛

dan ‚minor‛ sebagai acuan sanad dan matan. Kaedah mayor adalah acuan semua

syarat, kriteria, acuan yang berstatus umum pada sanad dan matan sedangkan kaedah

minor berstatus khusus. Melihat dari keumuman pengertian hadis yang disepakati

ulama. Unsur-unsur sanad terdiri dari, sanad bersambung, rawi harus ‘adil, rawi

harus dhabit, sanad hadis harus terhindar dari syaz, dan sanad hadis harus terhindar

dari illah,.19

Akan tetapi pola hadis menurut Syuhudi Ismail menetapkan tiga unsur

kaidah mayor saja. Yaitu sanad bersambung, perawi ‘adil, dan perawi bersifat

dhabit. Sedangkan unsur-unsur kaidah minor untuk sanad bersambung yaitu


muttatsil, marfu’ dan mahfuz. Untuk perawi ‘adil yaitu mukallaf, menjalankan
ketentuan agama, dan memelihara muru‛ah. Dan untuk ketentuan perawi bersfat

dhabit, yaitu hafal dengan baika hadis yang diriwayatkannya, mampu dengan baik

18
Baidatul razikin, dkk, 101 Jejak Tokoh Islam Indonesia ( Jakarta: E-Nusantara, 2009). h.47.
19
Arifudin Ahmad, Paradigma Baru Memahami Hadis Nabi,( Jakarta: Renaisans, 2005),h.5
menyampaikan hadis yang dihafalnya kepada orang lain, terhindar dari syaz

terhindar dari illah. 20

Perbedaan mayor dan minor terletak pada perorganisasian saja. Menurutnya

mayoritas ulama memasukan kedua unsur syaz dan illah sebagai unsur-unsur kaedah

kesahihan sanad hadis dimaksudkan sebagai penekanan dan sikap kehati-hatian

semata. Sekiranya, benar dugaan bahwa kedua unsur tersebut merupak unsur yang

mandiri, terlepas dari ketiga unsur kaidh mayor yang lain, maka berarti sanad benar-
benar bersambung dan diriwayatkan oleh perawi yang benar-benar ‘adil dan dhabit

ternyata masih mengandung syaz ataupu illah. Hal ini menurut syuhudi ismail tidak

mungkin terjadi. Sebab, sanad yang mengandung syaz ataupun illah, penyebab

utamanya karena tidak bersambung sanadnya atu tidak sempurna ke-dhabit-an

perawinya.21

3. Kritik Matan (Tekstual dan Kontekstual) Syuhudi Ismail

Dalam penelitian kritik matan hadis tentulah tidak mudah. Menurut beliau

ada beberapa faktor yang menyebabkan krik matan itu tidak mudah diantanya:

adanya periwayatan hadis secara makna, acuan yang digunakan sebagai pendekatan

dalam peneliatian matan tidaklah satu macam, latar belakang timbulnya petunjuk
hadis tidak selamanya diketahui, adanya kandungan petunjuk hadis yg

kandungannya supra rasional, dan masih kurangnya kitab-kitab penelitain matan

hadis.22

20
M.Syuhudi Ismail, Kaedah Kesahihan Hadis, Telaah Kritis dengan Tinjauan Ilmu Sejarah
(Bulan Bintang: Jakarta 1988). h.9.
21
M.Syuhudi Ismail, Kaedah Kesahihan Hadis, Telaah Kritis dengan Tinjauan Ilmu Sejarah
h.13
22
M.Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadis Nabi, (Jakarta: Bulan Bintang, 1991)
h.121.
Dalam meneliti susunan lafaz berbagai matan yang semakna Beliau

menngunakan metode perbandingan, yaitu upaya konfirmasi atas hasil penelitian

yang telah ada, tetapi juga sebagai upaya lebih mencermati susunan matan yang

lebih dapat dipertanggunjawabkan keabsahannya dari Nabi saw. Dan metode ini

dapat membantu peneliti untuk mengidentifikasi adanya tambahan dan pengurangan

yang dapat berpengaruh pada kehujaan hadis tersebut.23

Syuhudi ismail ingin memahamkan kembali sifat dasar ajaran Islam yang
sesuai dengan segala tempat dan zaman . menurutnya jiaka ajaran Islam yang relevan

dengan segala tempat dan zaman yang memiliki perbedaan, persamaan dan

kekhususan dihubungkan maka dalam Islam ada ajaran berlaku tidak terikat pada

waktu dan tempat. Disinilah Beliau menetapkan ajaran islam itu universal, temporal

dan lokal.24

Menurutnya keberadaan hadis yang tekstual dan kontekstual, tidak terlepas

dari kebijaksanaan Nabi di bidang dakwah dan dalam ranka penerapan tahapan-

tahapan ajaran Islam.

Lanjut Beliau menjelaskan bahwa sebuah disiplin ilmu (termaksud ilmu

hadis) harus sejalan dengan disiplin ilmu lainnya. Hal ini sebagai pola sebuah
metode pendekatan memahami ajaran Islam dalam nuansa teks dan konteksnya.

Karena pada dasarnya ilmu selalu berkembang dalam setiap sudut problematika

masyarakat.25

23
M.Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadis Nabi, h.134-135.
24
M.Syuhudi Ismail, Kaedah Kesahihan Hadis, Telaah Kritis dengan Tinjauan Ilmu Sejarah (
Jakarta: Bulan Bintang, 1988). h.6
25
M.Syuhudi Ismail, Kaedah Kesahihan Hadis, Telaah Kritis dengan Tinjauan Ilmu Sejarah
(Jakarta: Bulan Bintang, 1988). h.90
Pada dasarnya Syudi Ismail membawa warna baru pada pengembangan studi

hadis,yang mana Beliau menjadikan kritik matan sebagai sanggahan utama. Hal ini

berarti walaupun sanadnya sahih akan tetapi perlu ada kajian mendalam pada nuansa

pembacaan tekstual dan kontekstual sesuai dengan zaman sekarang.


BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

1. Para orientalis yang berpengaruah pada kajian hadis diantaranya: Ignaz

Goldziher, Joseph Schach, dan G.H.A Juinboll dan corak dan corak hadis

kontemporer yaitu kritik hadis sanad dan matan( lebih banyak ke matan), takhrij

hadis, metodologi tahammul hadis.


2. Yusuf al-Qardhawi memeberikan prinsip-prinsip berinteraksi dengan hadis

yaitu:

a. Meneliti dengan seksama kesahihan hadis yang dimaksud.sesuai dengan acuan

ilmiah yang telah ditetapkan oleh para pakar.

b. Dapat memahami dengan benar nash-nash yang berasal dari Nabi saw., sesuai

dengan pengertian bahasa arab, kerangka prinsip-prinsip umum serta tujuan-

tujuan universal Islam dan dalam rangka konteks hadis tersebut serta sebab

wurud (diucapkannya) oleh Beliau.

c. Memastikan bahwa nash tersebut tidak bertentangan dengan nash lainnya yang

lebih kuat kedudukannya, baik yang berasal dari al-Quran, atau hadis-hadis lain
yang lebih banyak jumlahnya, atau lebih sahih darinya, atau lebih sejalan dengan

ushul.

Yusuf al-Qardhawi membrikan beberapa metode untuk memahami hadis

yaitu :

a. Memahami hadis sesuai dengan petunjuk al-Quran

b. Menghimpun hadis-hadis yang terjalin denga tema yang sama untuk memahami.

Hadis-hadis yang mutasyabih dikembalikan kepada yang muhkam, yang mutlaq


dihubungkan dengan yang muqhayyat dan yang ‘am ditafsirkan dengan yang

khas.

c. Penggabungang atau pentarjihan antara hadis-hadis yang (tampaknya)

bertentangan (kompromi atau tarjih tarjih antara hadis-hadis yang kontadiktif).

d. Memahami hadis dengan mempertimbangkan latar belakangnya situasi, dan

kondisinya ketika diucapkan serta tujuannya.

e. Membedakan antara sarana yang berubah-ubah dan tujuan yang tetap.


f. Membedakan antara hakikat dan ungkapan.

g. Membedakan antara alam gaib dan alam kasat mata (Nyata).

h. Memastikan makna dan konotasi dalam hadis.

3. Pemikiran Hadis M.Syuhudi Ismail

Dalam pemikiran kesahihan hadis, Syuhudi ismail memperkenalkan istilah

‚mayor‛ dan ‚minor‛ sebagai acuan sanad dan matan. Kaedah mayor adalah acuan

semua syarat, kriteria, acuan yang berstatus umum pada sanad dan matan sedangkan

kaedah minor berstatus khusus.


DAFTAR PUSTAKA

Ali Mustafa Ya’qud, M.A., Kritik Hadis, Jakarta: Pustaka Firdaus: , 2008
Manna al-Qatthan, Mabahits Fi Ulum al-Hadist.terj.Pengantar Studi Ilmu
Hadis.Alih Bahasa Mifdhol Abdurrahman, Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2008
Ali Masrur, Teori Common Link G.H.A. Juynboll: Melacak akar Kesejarahan Hadis
Nabi , Yogyakarta: LKIS, 2017
Azami, Muhammad Mustafa, Hadis Nabawi dan Sejarah Kodifikasi, Jakarta:
Pustaka Firdaus, 1994
Isam Talimah, Manhaj Fikih Yusuf al-Qardhawi(terj)Samson Rahman, Jakarta:
Pustaka al-Kautsar, 2001
Yusuf Qardhawi, Bagaimana Memahami Hadis Nabi saw, Bandung:Karisma, 1999
Kementrian Agama, al-Quranulkarim & terjemahan Hadiah Terindah, Depok:
Quranab, 2015
Yusuf al-Qardhawi, as-Sunah Sebagai Sumber IPTEK dan Peradaban, Jakarta :al-
Kautsar: 1999
Daniel W.Brown, Menyoal Relevansi Sunah Dalam Islam Modern, Bandung: Mizan,
1996
Baidatul razikin, Muchlisin Asti, Juanaidi Abdul Munif, 101 Jejak Tokoh Islam
Indonesia, Jakarta: E-Nusantara, 2009
M.Syuhudi Ismail, Kaedah Kesahihan Hadis, Telaah Kritis dengan Tinjauan Ilmu
Sejarah, Jakarta: Bulan Bintang 1988
Arifudin Ahmad, Paradigma Baru Memahami Hadis Nabi, jakarta: Renaisan, 2005

Anda mungkin juga menyukai