Anda di halaman 1dari 5

MEMAHAMI HADITS DENGAN PENDEKATAN PSIKOLOGIS[1]

I.

PENDAHULUAN Psikologi didefinisikan sabagai kajian saintifik tentang tingkah laku dan proses mental organisme.[2] Dilingkungan umat Islam kadangkala muncul pendapat yang exklusif yang merasa bahwa pemahaman mereka terhadap sebuah hadits adalah paling benar. Munculnya realitas sosial yang melanda sebagian umat Islam bahwa mereka merasa paling benar, tersebut timbul akibat adanya perbedaan cara pandang atau pendekatan dalam memahami atau menjelaskan maksud kandungan hadis dengan pemahaman yang dijalani oleh kelompok lainnya. Fungsi nabi ketika mengucapkan hadis, kondisi psikologis, dan hal yang berhubungan dengan diri nabi sangat membantu dalam memahami keutuhan makna hadits,berikut akan kami uraikan sedikit tentang cara memahami hadits dengan pendekatan psikologi

II. PEMBAHASAN Secara bahasa psikologi berasal dari kata Yunani Psyche yang artinya jiwa. Logos berarti ilmu pengetahuan. Jadi secara etimologi psikologi berarti : ilmu yang mempelajari tentang jiwa, baik mengenai gejalanya, prosesnya maupun latar balakangnya.[3] Sedangkan yang dimaksud dengan pendekatan psikologis dalam memahami hadis adalah memahami hadis dengan memperhatikan hadis dengan kondisi psikologis Nabi dan Masyarakat yang dihadapi Nabi ketika hadis tersebut di sabdakan.[4] Hadits-hadits nabi adakalanya disabdakan sebagai respon terhadap pertanyaan dan prilaku sahabat. Oleh karenanya dalam keadaan tertentu Nabi memperhatikan factor psikologi sahabat ketika hendak mengucapkan sebuah Hadits dengan melihat kondisi psikologis ( Nabi dan Sahabat ) ini akan menentukan pemahaman yang utuh terhadap Hadits tersebut. Salah satu contoh adalah hadits tentang amalan yang utama. Ternyata hadis yang menyatakan amalan yang utama berjumlah banyak dan sangat vareatif. Diantaranya hadis-hadis tersebut adalah ;

, [5]) (

mereka ( para sahabat Nabi ) bertanya ; ya Rasulallah amalan islam yang manakah yang lebih utama ? beliau menjawab ( yaitu ) orang yang kaum muslimin selamat dari gangguan mulutnya dan tangannya

( [6])
bahwa Rasulullah SAW ditanya oleh seseorang : amal apakah yang paling utama ? beliau menjawab beriman kepada Allah dan Rasulnya ( Beliau ) ditanya lagi ; kemudian apalagi? beliau menjawab; Jihad dijalan Allah ( Beliau ) ditanya lagi ; kemudian apalagi ? beliau menjawab ; Haji mabrur

Hanya satu pertanyaan yang ditanyakan oleh sahabat yang berbeda - beda, ternyata jawaban Nabi berbeda - beda atau bermacam-macam ; pada suatu saat Nabi menyatakan Man salima Al-Muslimun min lisanihi wayadihi dan pada saat yang lain Nabi menjawab, As-sholatu ala waktiha dan pada saat yang lain menjawab ; Iman kepada Allah dan Rasul-Nya. [7] Perbedaan materi jawaban tersebut sesungguhnya bertolak dari kondisi psikologis orang yang bertanya kondisi psikologis Nabi. Jawaban yang diberikan Nabi sangat memperhatikan kondisi kejiwaan yang bertanya. Oleh karnanya, jawaban itu sebenarnya sesuai dengan kondisi keadaan psikologis sang penanya. Pada saat penanya adalah orang yang sering berbuat bohon dan lainnya, maka Nabi dalam kapasitas sebagai Rasul ingin membimbing dan menasehatinya agar ia menjada mulut dan tangannya. Pada waktu sang penanya adalah orang yang sibuk terus mengurus dunia, ketika waktu shalat telah tiba, ia tidak berhenti dari pekerjaan, maka amal yang paling utama bagi penanya ini menurut Nabi adalah shalat pada waktunya[8] Dengan demikian , dalam memahami hadis tersebut, jawaban tidaklah bersifat subtantif. Yang subtantif ada dua kemungkinan yakni (a) relevansinya antara keadaan yang bertanya dan materi jawaban yang diberikan. (b) kemungkinan yang kedua mempertimbangkan bahwa jawaban Nabi itu merupakan petunjuk umum bagi kelompok masyarakat yang dalam kesehariannya mereka menunjukkan gejala yang

perlu diberikan bimbingan dengan menekan perlunya dilaksanakan amalan-amalan tertentu. Orang yang bertanya sekedar berfungsi sebagai wakil dari keinginan untuk memberikan bimbingan kepada kelompok masyarakat tertentu. Oleh sebab itu hadis-hadis tersebut bersifat kondisional dalam pengertian sesuai dengan kondisi psikologis seseorang. Jika seseorang memiliki kebiasaan yang tidak baik dalam memelihara mulut, maka amal baginya adalah menjaga mulut dan tangannya. Namun, bila seseorang memiliki kebiasaan menunda-nunda shalat maka yang terbaik baginya adalah shalat pada waktunya atau bahkan mementingkan pekerjaan ketimbang shalat, maka yang terbaik baginya adalah shalat pada waktunya. Demikian seterusnya.[9]

Perlu disebutkan bahwa beberapa pendekatan dalam memahami hadis tersebut tidak bisa diterapkan dalam seluruh hadis Nabi, tetapi dalam melihat aspek-aspek diluar teks seperti As-bab Wurud. Kondisi social keagamaan yang berkembang pada saat hadis disabdakan tentu akan dapat diketahui pendekatan mana yang lebih tepat untuk dipakai dalam memahami hadis tersebut.[10]

III. PENUTUP Banyak sekali pendekatan atau cara dalam memahami hadits Nabi, salah satunya adalah dengan menggunakan pendekatan Psikologi, sehingga kita bisa menggunakan keseluruhan metode pendekatan tersebut dengan melihat konsep hadis tersebut sehingga kita bisa memaknai hadis tersebut sesuai porsi dan kandungan hadis yang akan kita maknai. Dan jika pendekatan dalam memahami hadis dapat disadari secara jernih, kemungkinan memandang pemahaman dirinya paling benar akan bisa terhindarkan, karena masing-masing menyadari perbedaan titik tolak menyebabkan hasil pemahamannya juga berbeda. Demikianlah sedikit pembahasan tentang memaknai hadis Nabi dengan pendekatan psikologi yang bisa kami sampaikan, semoga dapat memberikan manfaat yang sebesar-besarnya.[11]

IV. DAFTAR PESTAKA

Imam Abi Abdillah, Muhammad bin Ismail, bin Ibrahim, bin Mughirah bin barzabah Al-Bukhari AlJafi, Shohih Bukhori, Darul Kitab Ilmiyah Bairut Libanan, Juz I

Gerungan, Psikologi Sosial, Bandung ; Eresko, cetakan ke-tiga belas, th 1998

Nizar, Ali, Memahami Hadis Nabi ( Metode dan Pendekatan ) , Yogyakarta ; CESad YPI Al-Rahmah. Cetakan pertama, 2001

Sarwono, Wirawan, Teori-Teori Psikologi Sosial, Jakarta : Raja Grafindo Persada, cetakan ke-empat, 1998

http//www.eramuslim.com. diakses pada 16 desember 2010

Makalah Maani Hadits dipresentasikan oleh Achmad Afandi, Mahasiswa STAIN Surakarta, Jurusan USULUDDIN TH [2] Gerungan, Psikologi Sosial, Bandung ; Eresko, cetakan ke-tiga belas, th 1998 hal 1
[1] [3]

Wirawan Sarwono, Teori-Teori Psikologi Sosial, Jakarta : Raja Grafindo Persada,

cetakan ke-empat, 1998, hal, 27


[4] Ali Nizar, Memahami Hadis Nabi ( Metode dan Pendekatan ) , Yogyakarta ; CESad YPI Al-Rahmah. Cetakan pertama, 2001.h.109 [5] Imam Abi Abdillah Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin Mughirah bin barzabah

Al-Bukhari Al-Jafi, Shohih Bukhori, Darul Kitab Ilmiyah Bairut Libanan, Juz I, h,14
[6]

Ibid. h. 15

[8] [9]

[7] Opcit. H. 110 Ibid, h, 111

Ibid, h, 112 Ibid, h, 113

[10]

[11]

http//www.eramuslim.com. diakses pada 16 desember 2010

Anda mungkin juga menyukai