Anda di halaman 1dari 10

KEJAM’IYYAHAN

Disusun Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Kuliah Kejami’iyyahan

Dosen Pengampu: Drs. H. Anwaruddin, M.Ag.

Disusun oleh :

Nisa Maris Mardiah 20.03.2709

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM PERSATUAN ISLAM

BANDUNG – CIGANITRI
1443 H/2022 M

BAB Vl

RIWAYAT HIDUP DAN PEMIKIRAN PARA TOKOH PERSIS

A. AHMAD HASSAN: GURU UTAMA PERSIS

Ustadz Ahmad Hassan, untuk selanjutnya disebut dengan A. Hassan, lahir di Singapura
pada tahun 1887, berasal dari keluarga campuran Indonesia dan India. Ayahnya bernama
Ahmad. Ia seorang penulis yang ahli dalam agama Islam dan kesusastraan Tamil. Ibunya
bernama Muznah, ia lahir di Surabaya, tetapi keluarga nya berasal dari Palekat Madras. Ahmad
dan Muznah menikah di Surabaya dan kemudian mereka menetap di Singapura.

A.Hassan lebih banyak mempelajari ilmu nahwu dan ilmu Sharaf pada Muhammad
Thaib. Pada saat gurunya pergi menunaikan ibadah haji, ia beralih mempelajari bahasa Arab
pada Said Abdullah Al-Musawi selama tiga tahun. Di samping itu, ia pun belajar pada
pamannya, Abdul Lathif seorang ulama terkenal di Malaka dan Singapura, serta belajar pula
pada syekh Hassan ulama asal Malabar, dan syekh Ibrahim ulama asal India. Semua upaya untuk
mempelajari dan memperdalam agama Islam dari beberapa orang guru tersebut ditempuh sampai
kira-kira tahun 1910, menjelang ia berusia 23 tahun.

Pada tahun 1921, A.Hassan hijrah dari Singapura ke Surabaya dengan maksud untuk
mengambil alih pimpinan toko tekstil milik pamannya, Haji Abdul Lathif. Pada masa itu
Surabaya menjadi tempat pertikaian antara kaum muda dengan kaum tua. Kaum muda dipelopori
oleh Faqih Hasyim, seorang pendatang yang menaruh perhatian terhadap masalah-masalah
keagamaan. Ia memimpin kaum muda dalam upaya melakukan gerakan pembaharuan pemikiran
Islam di Surabaya dengan cara tukar pikiran, tabligh dan diskusi-diskusi keagamaan. Haji Abdul
Lathif, paman A.Hassan yang juga gurunya pada masa A.Hassan masih kecil, mengingatkan
A.Hassan agar tidak melakukan hubungan dengan Faqih Hasyim yang dikatakannya telah
membawa masalah-masalah pertikaian agama di Surabaya dan dianggap pula oleh pamannya
sebagai orang Wahabi.

2
Usaha dagangnya di Surabaya pada akhirnya mengalami kemunduran dan toko yang
diurusnya diserahkan kembali kepada pamannya. Ia memulai usaha lain dengan membuka
perusahaan tambal ban mobil, tetapi tidak lama kemudian tutup. Melihat usaha A.Hassan tidak
mengalami kemajuan yang berarti, dua orang sahabatnya, Bibi Wantee dan Muallimin, mengirim
A.Hassan untuk mempelajari pertenunan di Kediri kemudian melanjutkan belajarnya ke sekolah
pertenunan pemerintah yang ada di Bandung. Di Bandung inilah A.Hassan tinggal pada keluarga
Muhammad Yunus, salah seorang pendiri organisasi persatuan Islam (Persis). Dengan demikian
tanpa sengaja A.Hassan telah mendekatkan dirinya pada pusat kegiatan penelaahan dan
pengkajian Islam dalam Jam’iyyah Persis. Ia sangat tertarik terhadap masalah-masalah
keagamaan. Pada akhirnya ia pun tidak lagi berminat mendirikan perusahaan tenunnya di
Surabaya, tetapi di Bandung yang rupanya disetujui oleh kawan-kawannya. Akan tetapi
perusahaan tenun yang didirikannya gagal sehingga terpaksa ditutup. Sejak itulah minatnya
untuk berusaha tidak ada lagi, malahan kemudian ia mengabdikan dirinya dalam penelaahan dan
pengkajian Islam lalu berkiprah secara total dalam Jam’iyyah Persis.

Arah pemikirannya mulai kentara dengan jelas setelah ia tinggal di Bandung dan
berkiprah di Jam’iyyah Persis pada tahun 1926, tiga tahun setelah Jam’iyyah itu berdiri.
A.Hassan sadar bahwa pemikirannya harus dituangkan dalam sebuah gerakan agar bisa
berkembang secara efektif. Dan pada gilirannya, tampak gabungan antara watak A.Hassan yang
tajam dalam cara berpikir dengan ciri Persis yang keras hingga menghasilkan sebuah gerakan
tajdid yang cepat meluas. A.Hassan telah membawa Persis menjadi organisasi pembaharu yang
terkenal tegas dalam masalah-masalah fiqhiyyah. Di tangan A.Hassan, Persis tampil dengan
membawa corak dan warna baru dalam gerakan pembaharuan pemikiran Islam di Indonesia.

A.Hassan adalah sosok ulama yang sangat menaruh perhatian terhadap para pemuda
Islam yang sedang bersekolah di sekolah-sekolah milik pemerintah kolonial Belanda yang sangat
kurang memberikan pelajaran agama Islam. A.Hassan menyadari bahwa anak-anak muda yang
tengah menuntut ilmu itu adalah calon pemimpin di masa datang yang perlu dibekali dengan
pengetahuan agama yang memadai. Tekad A.Hassan untuk menarik para pemuda pelajar itu
sangat kuat, bagaimanapun sibuknya, ia senantiasa menyempatkan diri untuk berbicara dengan
para pemuda pelajar itu. Ditundanya pekerjaan yang sedang dikerjakannya, baik sedang

3
mengoreksi buku atau sedang menyusun tafsir, bercakap-cakap dengan para pemuda calon
pemimpin ummat, itu dianggapnya lebih penting.

B. MOHAMMAD NATSHIR: ULAMA POLITIKUS

Mohammad Natsir dilahirkan di Kampung Jembatan Berukir, Alahan Panjang, Sumatra


Barat pada tanggal 17 Juli 1908. Ia adalah putra pasangan Sutan Saripado seorang pegawai
pemerintah dan Khodijah. Mohammad Natsir pergi ke Bandung pada tahun 1927 untuk
melanjutkan studinya pada AMS A-2 (Algemene Middlebare School Klasieke Afdeling),
(setingkat SMA sekarang) setelah ia menyelesaikan sekolah dasarnya di HIS (Hollandsch
Inlandesch School) dan Madrasah Diniyyah di Solok, Pandang (1916-1923) dan pendidikan
menengah pertamanya di MULO (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs) Pandang (1923-1927).
Selain menyelesaikan sekolah formalnya, Natsir juga pernah belajar di sekolah agama, di Solok
yang dipimpin oleh Tuanku Mudo Amin seorang pengikut dan kawan Haji Rasul. Ia juga
mengikuti pelajaran secara teratur yang diberikan oleh Haji Abdullah Ahmad, seorang tokoh
pembaharu di Padang. Dari kegiatannya berguru kepada beberapa ulama pembaharu itu, dapat
dikatakan bahwa Natsir telah mengenal ajaran pembaharu Islam ini sejak kecil.

Natsir adalah orang yang terlibat dalam proses kaderisasi di bawah pimpinan A.Hassan.
Natsir terlibat pula dalam organisasi Jong Islamieten Bond (JIB) Cabang Bandung (1928-1932)
di bawah bimbingan Agus Salim. Agus Salim berperan sebagai bapak intelektual yang membina
para pemuda muslim dalam pergerakan organisasi pemuda Islam, yang kelak banyak menduduki
jabatan elit politik mewakili umat Islam. Hasilnya adalah kelompok modernis dengan segala
kejujuran dan intelektualitasnya. Natsir menjadi orang yang beruntung mendapatkan warisan
kecendekiaan Agus Salim dan warisan pemahaman Islam dari A.Hassan (Rais, 1988:1972).

Dalam berbagai tulisannya, Natsir menempatkan Islam tidak semata-mata suatu agama,
tetapi juga suatu pandangan hidup yang meliputi soal-soal politik, ekonomi, sosial dan
kebudayaan. Baginya, Islam adalah sumber perjuangan penentangan terhadap segala bentuk
kejahatan, eksploitasi manusia atas manusia, sumber pemberantasan kebodohan dan kejahilan,
sumber pemberantasan kedewaan juga sumber pemberantasan kemelaratan dan kemiskinan.

4
Dalam pandangannya, Islam tidak memisahkan antara keagamaan dan kenegaraan Islam adalah
primer.

C. MOHAMMAD ISA ANSHARY : PENENTANG GIGIH KOMUNISME

KH. Mohammad Isa Anshary, lahir di Minanjau, Sumatra Tengah pada tanggal 1 Juli
1916. Pada usia 16 tahun, setelah menyelesaikan pendidikannya di Madrasah Islam di tempat
kelahirannya. Isa Anshary merantau ke Bandung untuk mengikuti berbagai kursus ilmu
pengetahuan umum. Di Bandung pula Isa Anshary memperluas cakrawala keislamannya dalam
Jam’iyyah Persis. Dengan nomor pokok anggota 004, berdasarkan her-registrasi pada tanggal 7
Desember 1949, ia kemudian tampil sebagai ketua umum pusat pimpinan Persis
(Wildan,1955:33).

Isa Anshary yang di kalangan partai Masyumi dikenal dengan julukan ”Singa Mimbar”
bukan saja seorang mubaligh yang fasih, melainkan juga penulis yang tajam. Ia termasuk salah
seorang perancang Qanun Asasi Persis yang telah diterima secara bulat oleh Muktamar V Persis
(1953) dan disempurnakan pada muktamar Vlll (1967). Dalam kesibukannya sebagai ulama
politikus, ia berhasil menyusun sekitar 23 judul buku karyanya serta berbagai tulisan dalam
majalah dan surat kabar. Hasil karya Isa Anshary yang berkenaan dengan arah perjuangan Persis
di antaranya Manifes perjuangan persatuan Islam ke depan dengan wajah baru (prasaran pada
muktamar Vl 1960), dan renungan 40 tahun persatuan Islam yang ditulis selama dalam tahanan
pemerintah Soekarno di Madiun tahun 1963 (Wildan, 1995:103-104).

Bersamaan dengan dibubarkannya partai Masyumi, Isa Anshary dijebloskan ke penjara.


Selama di penjara ia aktif menulis buku. Ada 23 judul buku yang ia tulis. Diantaranya yang
paling populer adalah buku yang berjudul “Mujahid Dakwah”. Buku ini membangkitkan dan
mengobarkan semangat juru dakwah. Di dalamnya berisi cuplikan kisah-kisahnya, bekal apa
yang harus dipersiapkan dan dimiliki oleh para da’i, dan tentunya para da’i harus siap
menghadapi risiko dalam perjuangannya. K. H. M. Isa Anshary wafat dalam usia yang relatif
muda 53 tahun. Tepatnya pada 2 Syawal 1389 H bertepatan dengan 11 Desember 1969.

D. K.H.E. ABDURRAHMAN : PENEGUH KHITTAH PERSIS

5
K.H.E. Abdurrahman dilahirkan di Kampung Pasarean, Desa Bojong Herang, Kabupaten
Cianjur pada hari Rabu tanggal 12 Juni 1912 (26 Jumadi Tsaniah 1330 H). Ia merupakan putra
tertua dari 11 bersaudara. Ayahnya bernama Ghazali seorang penjahit pakaian dan ibunya
bernama Hafsah seorang pengrajin batik (Wahid, 1988; Ghazali, 1997:1).

Ustadz Abdurrahman dikenal sebagai seorang ulama besar, ahli hukum yang tawadhu. Ia
tidak ingin disanjung sehingga kurang dikenal umum. Penghargaannya terhadap waktu yang
sangat luar biasa. Ia menghabiskan waktunya menelaah kitab-kitab, mengajar di pesantren dan
hampir setiap malam mengisi berbagai pengajian.

Dalam perjuangannya di Persis menurut Muchtar (1997:12-13), Ustadz Abdurrahman


sering berkata “kita harus mampu menghilangkan diri”. Pernyataannya itu mengandung makna:
demi hidupnya, pemikiran dan perjuangan dalam mempertahankan dan menegakkan Jam’iyyah
diperlukan keikhlasan dan keberanian melepaskan kepentingan pribadi untuk kepentingan
Jam’iyyah.

Selain tidak membanggakan diri terhadap jasa dan kebaikan; semuanya harus dilakukan
hanyalah karena Allah. Dalam setiap tausiyahnya, beliau selalu berkata: “kita bukan pengikut
dari generasi terdahulu, melainkan sebagai pelanjut”; maksudnya, pemikiran dan perjuangan
Persis hendaknya tidak taklid, melainkan harus kreatif dan inovatif sesuai dengan perkembangan
zaman dalam batas-batas Al-Qur’an dan as-sunah. Ustadz Abdurrahman juga selalu
mengingatkan para da’i Persis untuk memegang prinsip “ kita perlu mencari jelas, dan bukan
mencari puas”. Dalam mengembangkan tugas dakwah.

E. K.H. ABDUL LATHIF MUCHTAR: TOKOH REVITALISASI PERSIS

Abdul Lathif, itulah nama kecilnya, dilahirkan di Garut pada tanggal 7 Januari 1931 dari
pasangan H. Muchtar dan Hj. Memeh. Anak bungsu dari empat bersaudara ini berasal dari
keluarga sederhana. Ayahnya seorang pedagang tembakau dan ibunya sehari-hari berjualan nasi
di sekitar Cihampelas. Memulai pendidikan dari ayahnya yang taat beribadah, sejak kecil Lathif
telah dididik menjadi seorang muslim yang taat. Pada usia 6 tahun, Lathif memasuki jenjang
pendidikan di lembaga pendidikan Islam (Pendis) yang didirikan oleh Jam’iyyah Persis di bawah
binaan Mohammad Natsir.

6
Bagi Persis, Ustadz Lathif memang bukanlah orang baru, sebab sejak kecil ia telah
mengenyam pendidikan di lembaga pendidikan yang dikelola Persis hingga selesai Muallimin.
Sebagai orang yang dididik dan dibesarkan di lingkungan Persis, Lathif terlibat aktif dalam
organisasi Persis ketika masih remaja melalui Pemuda Persis, organisasi otonom di bawah Persis.

Aktivitasnya dimulai sebagai anggota pemuda Persis ketika ia masih duduk di bangku
Muallimin. Pada Muktamar ke 2 Pemuda Persis 17-20 September 1953, bertepatan dengan
Muktamar ke 5 Persis, Lathif Muchtar terpilih sebagai ketua umum Pimpinan Pusat Pemuda
Persis masa Jihad 1953-1956. Namun tidak lama kemudian, karena kesibukannya
mempersiapkan diri untuk melanjutkan studi di Kairo, ia mengundurkan diri dari jabatannya
sebagai ketua umum, dan posisinya digantikan oleh Yahya Wardi yang menjabat ketua 1
Pimpinan Pusat Pemuda Persis. Sejak Oktober 1957, ia telah berada di Kairo dan tidak lagi aktif
dalam Jam’iyyah Persis.

Pada masa awal kepemimpinannya, dengan rendah hati ia mengatakan bahwa ia hanyalah
melanjutkan visi dan strategi Ustadz Abdurrahman. Secara jujur, ia mengatakan bahwa pada
dasarnya apa yang ia laksanakan hanyalah melanjutkan cita-cita dan idealisme Ustadz
Abdurrahman. Bahkan pada pidato pertanggungjawaban sebagai ketua umum Persis pada
muktamar ke 10 di Garut, ia berkata “yang saya pertanggungjawaban ini sebagian adalah
termasuk amal almarhum, Ustadz Abdurrahman”.

Persoalan ideologis telah berhasil diatasi pada masa awal kepemimpinannya. Setelah itu,
ia memunculkan visi pembahasannya dalam berbagai bidang, antara lain bidang Jam’iyyah,
dakwah, pendidikan, ekonomi, pembangunan fisik dan tentu saja responya terhadap berbagai
persoalan umat melalui berbagai pernyataan yang dikeluarkannya. Ia juga berusaha
meningkatkan peran dan kinerja Dewan Hisbah sebagai lembaga pengkajian hukum Islam di
lingkungan Persis untuk memperbanyak kajian hukum Islam terhadap berbagai persoalan
kontemporer yang perlu dicarikan landasan hukum dan pemecahannya.

Sebagai ulama intelektual, Ustadz Lathif telah berhasil membawa Persis ke arah
pembaharuan pemikiran Islam seirama dengan kondisi sosial politik yang terus berubah.
Bagaimanapun Ustadz Lathif telah menorehkan catatan sejarah tersendiri bagi Persis khususnya
dan umat Islam pada umumnya. Ustadz Lathif meninggal dunia sehari sebelum beliau di lantik
sebagai anggota DPR RI dari PPP pada tahun 1997.

7
F. SHIDDIQ AMIEN: MUBALIGH MUDA YANG DIGEMARI

Kepemimpinan Ustadz Latief, dilanjutkan oleh Drs. KH. Shiddiq Amirullah, MBA yang
lebih dikenal dengan panggilan Ustadz Shiddiq Amien. Ustadz Shiddiq lahir di Tasikmalaya
tanggal 13 Juni 1955. Ia adalah putra Ustadz Amirullah, seorang ulama pembaharu kharismatik
di Tasikmalaya. Ustadz Shiddiq, yang sudah sejak Muktamar X Persis di Garut dalam posisinya
sebagai ketua Bidang Jam’iyyah dan sekertaris Dewan Hisbah, bisa disebutkan menjadi tangan
kanan dan kepercayaan Ustadz Latief dalam mengembangkan Persis. Ia telah banyak membantu
dan belajar dari seniornya itu. Aktivitas dan komitmennya terhadap Jam’iyyah telah
membawanya ke pucuk Pimpinan Pusat Persatuan Islam sebagai pengganti Ustadz Latief.

Selain aktif di Jam’iyyah Persis, ia juga aktif sebagai anggota Dewan Penasihat Majelis
Ulama Indonesia Pusat sejak 1998, dan anggota Forum Ukhuwah Islam Indonesia sejak 1997.
Pekerjaan yang digelutinya diawali sebagai guru di Pesantren Persis di jalan Pejagalan Bandung
(1976-1977), kemudian sebagai guru dan Pimpinan Pesantren Persis Benda sejak 1979 dan
menjadi dosen di beberapa perguruan tinggi antara lain Akademik Perawatan Tasikmalaya
(1995-1997) dan sekolah Tinggi Agama Islam Persatuan Islam: STAIPI (1995-1999).

Sebagai mubaligh, ia amat dicintai dan ceramah-ceramahnya sangat memikat.


Kehadirannya amat ditunggu-tunggu oleh jama’ah nya di manapun. Kalau sudah naik mimbar, ia
akan lupa akan rasa lelah atau sedang sakit. Selain ceramah, ia juga rajin menulis. Beberapa buku
sempat diterbitkannya. Ia secara rutin mengisi rubrik Fikrah di majalah Risalah. Buah-buah
pikirannya kemudian dituliskan dalam salah satu bukunya yang berjudul Islam: dari Akidah
hingga Peradaban. Tampaknya ini adalah buku terakhir dari beberapa tulisan yang sangat sempat
ia selesaikan sebelum menghembuskan nafas terakhirnya.

G. K.H. EMAN SAR’AN : PEJUANG PERSIS SEPANJANG HAYAT

K.H. Eman Sar’an lahir di Bandung pada tanggal 23 Juli 1916. Ayahnya bernama Mas’an
dan ibunya Ratu Astaniyah. Ia menikah pertama kali dengan Siti Hasanah. Istri pertamanya ini
kemudian wafat pada tahun 1945. Kemudian ia menikah lagi dengan Hj. Siti Julaeha, perempuan
kelahiran Garut, yang dinikahinya di Garut pada bulan Februari 1946. Dari perkawinannya,

8
beliau dikaruniai 13 orang putra-putri. Dari putra-putrinya itu Ustadz Eman Sar’an sampai saat
wafatnya dikaruniai 52 orang cucu dan 15 cicit.

Ustadz Eman Sar’an seringkali menyaksikan dan mengikuti berbagai aktivitas Persis.
Sebagai tokoh muda ia seringkali hadir dalam berbagai perdebatan terbuka antara Persis dengan
para ulama tradisional mengenai masalah-masalah ushalli ( talafudz binniyah), talqin, transfer
pahala kepada orang yang telah meninggal dunia, tahlilan setelah kematian dan berbagai materi
perdebatan lainnya. Menurut Ustadz Eman Sar’an, tradisi berdebat inilah yang mengasah
ketajaman berpikirnya dalam menganalisis ilmu agama yang diperolehnya.

Ustadz Eman Sar’an memulai aktivitas Jam’iyyah nya dari Pemuda Persis generasi awal.
Ketika Pemuda Persis didirikan di Bandung tanggal 22 Maret 1936, berdasarkan musyawarah di
antara kaum muda Persis itu, diangkatlah Djoedjoe Danuwikarta sebagai ketuanya dan dibantu
oleh Eman Sar’an, Rusyad Nurdin, E. Bahrum dan lain-lain.

Sebagai aktivis Persis, Ustadz Eman Sar’an aktif di tingkat pimpinan Pusat Persis. Pada
muktamar yang kedelapan yang diselenggarakan di Bandung tanggal 25-27 November 1967,
Ustadz Eman Sar’an diminta oleh Ustadz Abdurrahman yang terpilih sebagai ketua umum Pusat
Pimpinan Persis untuk menduduki jabatan ketua ll (19767-1981). Jabatan ini tetap dipercayakan
kepadanya pada Muakhat Persis tanggal 16-18 Januari 1981 (1981-1987).

Pada masa kepemimpinan Ustadz Latief Mukhtar, memulai muktamar X di Garut tanggal
6-8 Mei 1990 Ustadz Eman Sar’an dipercaya menduduki jabatan yang sangat strategis untuk
fatwa dan hukum Islam yakni sebagai Ketua Dewan Hisbah (1990-1995). Hingga muktamar Xl
di Jakarta tanggal 2-4 September 1995 ia pun masih dipercaya sebagai ketua Dewan Hisbah
(1995-2000).

Pada masa Ustadz Eman Sar’an sebagai ketua Dewan Hisbah inilah dimunculkan
masalah-masalah fiqih kontemporer. Jabatan terakhir di Persis hingga akhir hayatnya adalah
sebagai ketua Majelis Penasihat PP Persis yang dipilih langsung oleh muktamar pada muktamar
Persis ke Xll di Jakarta tanggal 9-11 September 2000.

Meskipun demikian, ketegasannya dalam bersikap untuk kepentingan Jam’iyyah telah


memaksa orang-orang yang tidak sependapat dengannya untuk memisahkan diri dari Persis.
Prinsip Ustadz Eman Sar’an begitu tegas, tidak ada kesempatan bagi orang-orang yang berniat

9
untuk memanfaatkan Persis untuk kepentingan pribadi. Ia dengan tegas selalu mengingatnya,
bila perlu memecatnya.

Siapa pun yang mengenal Ustadz Eman Sar’an, akan tertarik oleh perjuangannya di
Jam’iyyah Persis, tanpa kenal lelah, tanpa mengenal usia, perhatian dan pemikirannya
dicurahkan untuk kemajuan Jam’iyyah. Ustadz Eman Sar’an wafat di Jakarta pada tanggal 23
Juni 2002 dalam usia 86 tahun dan dimakamkan di Garut. Seluruh kehidupannya dicurahkan
untuk memperjuangkan Al-Qur’an dan as-sunah melalui Jam’iyyah Persis.

10

Anda mungkin juga menyukai