Anda di halaman 1dari 16

Pemikiran Kalam Persis

BAB I

Pendahuluan

1.1 Latar Belakang

Persatuan Islam didirikan pada tahun 1923 oleh Haji Zamzam dan Haji Muhammad
Yunus sebagai organisasi yang dimulai dengan kelompok diskusi. Berawal dari konsep
purifikasi Muhammad Abduh melalui Buletin Al-manar, kemudian Muhammadiyah lahir
di Yogyakarta pada tahun 1912, membangkitkan naluri intelektual Haji Zamzam dan Haji
Yunus serta ikut serta dalam memerangi wabah TBC (Takhayul, Bid'ah, Khufarat) yang
menjangkiti masyarakat Indonesia pada saat waktu itu. Dari diskusi tersebut, muncul
konsep organisasi untuk mencegah penyakit akut tersebut. Tak lama kemudian,
Perhimpunan Islam (Persis) yang berbasis di Bandung, Jawa Barat, didirikan.

Konsep tajdid dan purifikasi yang dibawa oleh Persis tentu saja berbenturan dengan
idealisme keagamaan yang kemudian berkembang secara formal di masyarakat, ideologi
yang dikembangkan oleh ulama tradisionalis melalui organisasi Nahdhatul Ulama. Secara
kronologis, NU lahir tiga tahun di belakang Persatuan Islam. Namun, ideologi keagamaan
NU dan perlindungan budaya lokal bertentangan dengan ideologi keagamaan Persis yang
memiliki semangat purifikasi. Seiring waktu, Persis berkembang pesat. Kunci
keberhasilan menyebarkan pemahaman tentang ideologi, ide dan organisasi adalah
kemampuan untuk berhasil mengajar, mengatur, mengelola dan membimbing
masyarakat.

Perbedaan Persis dengan ormas lain tentu bukanlah hal aneh. Dakwah Islamiyah
Indonesia memang berkembang sangat pesat, berubah dan bersaing untuk saling
mempetahankan nasib umat Islam. Corak dakwah yang sangat berbeda yang digunakan
oleh kelompok agama yang berbeda akhirnya membentuk pola, metode, strategi, dan
tanggapan yang berbeda. Dakwah sendiri dalam istilah Islam berarti ajakan kepada
individu, kelompok, masyarakat, bangsa, mengikuti jalan Allah, berbuat baik dan
menghindari keburukan.

Sebagai organisasi Dakwah, Persis menggunakan metode dan strategi tajdid


(pembaruan) dan purifikasi. Strategi ini membangkitkan minat umat muslim Indonesia
dalam menghayati dan memahami Islam melalui Persis. Dalam makalah ini penyusun
akan menjabarkan perihal hal-hal apa saja yang dibutuhkan untuk bisa mengetahui
bagaimana perjalanan Persis di Indonesia dan siapa saja tokoh-tokoh Persis.
1.2 Rumusan Masalah

1. Apa latar belakang berdirinya Persis?


2. Siapa saja tokoh-tokoh Persis?
3. Bagaimana pemikiran Kalam Pesis?
4. Tantangan kebangsaan dan modernitas pada Persis?

1.3 Tujuan

1. Untuk mengetahui latar belakang berdirinya Persis


2. Untuk mengetahui tokoh-tokoh Persis
3. Untuk mengetahui pemikiran Kalam Persis
4. Untuk mengetahui tantangan yang dilalui Persis
BAB II

Pembahasan

2.1 Latar Belakang Berdirinya persis

Persatuan Islam didirikan di Bandung pada tanggal 12 September 1923. Persatuan


Islam ini terbentuk setelah pebaharuan agama di daerah daerah lain dan pebaharuan
agama di Bandung tampak sedikit lebih lambat daripada di daerah lain. Sarikat Islam
didirikan pada tahun 1913 dan berkembang pesat. Mengingat, beberapa tokoh
memiliki keinginan untuk membentuk organisasi Islam. Ide mendirikan organisasi ini
berawal dari sebuah konferensi bernama Kenduri di rumah seorang anggota dari
Sumatera yang sudah lama tinggal di Bandung. Mereka adalah keturunan dari tiga
keluarga yang pindah dari Palembang. Hubungan mereka sangat erat karena diikat
dengan perkawinan antara putra dan putri mereka. Hubungan yang erat ini
memungkinkan mereka untuk melakukan studi agama Islam secara bersama-sama.
Lama tinggal di Bandung, mereka merasa seperti orang Sunda, bukan lagi orang
Sumatera.

Persis didirikan dengan tujuan untuk menyampaikan pemahaman Islam yang


sesuai dengan aslinya yang dibawa langsung oleh Nabi Muhammad SAW, dengan
pandangan yang berbeda dari Islam tradisional, dikarenakan Islam tradisional telah
berpadu dengan budaya lokal, sikap taklid buta, dan sikap tidak kritis dan tidak mau
membuka kitab hadits yang sebenarnya dan mendalami Islam. Oleh karena itu,
melalui ulama-ulamanya seperti Ahmad Hassan, yang juga dikenal sebagai Hassan
Bandung atau Hassan Bangil, Persis memperkenalkan Islam yang hanya bersumber
dari Al-Qur'an dan hadits (pernyataan Nabi). Organisasi Persatuan Islam telah
menyebar di banyak bagian daerah, termasuk Jawa Barat, Jawa Timur, DKI Jakarta,
Banten, Lampung, Bengkulu, Riau, Jambi, Gorontalo, dan banyak daerah lain. Persis
bukan kelompok agama yang berorientasi politik, tapi terkoordinasi menuju tegaknya
Islam dan Dakwah, tanpa terganggu oleh takhayul, syirik dan kebiasaan yang berlaku
di Muslim awam.

Pada awal kenduri diadakan banyak orang dari berbagai kalangan hadir. Secara
umum, tamu undangan datang karena sangat tertarik dengan masakan Palembang.
Dan dengan kesempatan itu H. Zamzam dan Muh. Yunus banyak memberikan ide-
idenya karena dia adalah orang yang berpengetahuan.

H. Zamzam dan Muh. Yunus adalah seorang saudagar, meskipun begitu mereka
masih memiliki kesempatan dan waktu untuk memperdalam ilmu agama Islam.
Zamzam (1894-1952) menghabiskan 3,5 tahun di Mekah sebagai seorang anak, di
mana ia belajar di Dar al-Ulum, Muh. Yunus yang menerima pendidikan agama
tradisional dan mahir berbicara Bahasa Arab, tidak pernah memberikan pengajaran
agama, namun tak kehilangan pula minat untuk belajar dan memperdalam ilmu
agama. Kekayaannya memungkinkan dia untuk membeli buku-buku yang dia
butuhkan dan untuk anggotanya segera setelah organisasi didirikan.

Gambar 1
(Para Tokoh Penting Persis)

H. Zamzam dan Moh. Yunus adalah orang yang berjasa besar dalam berdirinya
ormas Islam ini. Di setiap acara kenduri, mereka senantiasa menawarkan ide-ide baru
dan menyampaikan ajaran Islam kepada yang hadir. Ada berbeda yang dibahas di
kenduri, di antaranya yang dibahas adalah masalah agama yang ada di majalah seperti
Al-Munir di Padang dan juga al-Manar di Mesir. Dalam Kenduri itu juga membahas
kontroversi antara organisasi Islam sebelumnya, yaitu Al-Irsyad dan Jami’at Khoir.
Apa yang dibahas dalam Kenduri tersebut juga disampaikan oleh salah satu tokoh
Islam, Faqih Hashim dari Surabaya.

Persatuan Islam (Persis) tidak terlalu menekan aktivitas organisasi. Oleh karena
itu, mereka kurang berminat mendirikan cabang di daerah lain dibandingkan ormas
Islam lainnya. Juga, organisasi ini belum menambahkan anggota sebanyak mungkin.
Oleh karena itu, keberadaan cabang di berbagai daerah merupakan prakarsa
masyarakat yang menjadi kepentingan organisasi itu sendiri dan tidak didasari oleh
keinginan pimpinan pusat untuk mendirikan organisasi. Cabang-cabang tersebut
tersebar di Bogor, Jakarta, Leres, Banjaran, Surabaya, Malang, Bangil, Padang,
Sibolga, Kotaraja, Banjarmasin dan Gorontalo.

Namun, pengaruh organisasi Persis terhadap umat Islam sangat besar, melebihi
jumlah cabang di berbagai daerah. Hal ini tercermin dari bertambahnya jumlah
jamaah salat Jumat yang baru terbentuk pada tahun 1923. Sekitar 12 orang. Namun,
pada tahun 1942 jumlah pengikut mencapai 500, dimana menyebar ke enam masjid.

Ide-ide Persis disebarluaskan dalam berbagai cara, termasuk pertemuan, tabligh


akbar, khutbah, dan kelompok belajar, serta melalui berbagai jenis media yang dapat
dibaca oleh masyarakat umum secara besar-besaran. Media tersebut antara lain
majalah, buku dan pamflet. Dengan cara ini pemikiran-pemikiran bisa dapat
menyebar lebih cepat. Selain itu, penerbitan majalah, buku dan pamflet bisa dipakai
anggota organisasi lain seperti Muhammadiyah dan Al Ilsyad dijadikan referensi
propaganda. Hal ini menunjukkan bahwa ide dan gagasan organisasi ini mudah
diterima oleh masyarakat dan dapat dijadikan bahan perbandingan oleh
penyelenggara dan oleh organisasi lain. Memudahkan orang untuk tertarik pada ide-
ide mereka tanpa berfokus pada kegiatan organisasi ini.

2.2 Figur Tokoh Persis

Seruan kembali pada Al-Qur’an dan Sunnah merupakan hal abadi yang ada pada
tubuh organisasi Persis. Ketika Persis berdiri dan berjalan, seruan tersebut
menjadi berbagai wujud, dan setiap figure dalam Persis pun memiliki dan memilih
jalan tersendiri. Aksentuasi tersebut bisa kita dapat dengan mengikuti kisah dari
beberapa figure yang ada dalam Persis.

1. Ahmad Hassan (1887-1958)

Hassan dilahirkan pada tahun 1887 di Singapura. Memiliki ayah bernama


Ahmad yang berasal dari India dan Ibu bernama Muznah yang berasal dari
Surabaya. Pendidikan A. Hassan sebagian besar diperoleh dari ayahnya. Pada
saat mudanya, A. Hassan pernah menekuni berbagai bidang pekerjaan. Ketika
itu A. Hassan sudah mulai banyak membaca tulisan-tulisan para pembaru
dalam majalah al-Manar , al-Imam , al-Munir , dan tulisan-tulisan Syekh
Ahmad Soorkati yang beliau temukan dalam sebuah buku berjudul Surat al-
Jawab tahun 1914.

Pada tahun 1921 A. Hassan pindah ke Surabaya dengan maksud


menggantikan pimpinan perusahaan tekstil kepunyaan pamannya, H. Abdul
Latif. A. Hassan ketika itu disarankan oleh pamannya agar tidak berhubungan
dengan Fakih Hasyim, seorang penggerak Muhammadiyah di
Surabaya. Suatu saat A. Hassan diajak pamannya untuk menemui K.H. Abdul
Wahab. Dalam percakapan K.H. Abdul Wahab mengajukan pertanyaan
kepada A. Hassan tentang bagaimana hukum ‘ushalli’. Ketika itu A. Hassan
menjawabnya sebagai perbuatan sunnat. Akan tetapi saat ditanya alasannya
mengapa hukumnya ‘sunnat’, maka A. Hassan meminta kesempatan untuk
mencarinya di dalam al-Qur`an dan as-Sunnah. Ternyata alasan sunnatnya
‘ushallî’ tidak ditemukan. Hal ini mendorong A.Hassan untuk membenarkan
pendapat kalangan Islam modernis, akhirnya kaum modernis-lah yang ia ikuti.
Selama berada di Surabaya A. Hassan banyak bergaul dengan Fakih Hasyim
dan kalangan Islam modernis lainnya seperti HOS Tjokroaminoto, H. Agus
Salim, dan Wondoamiseno.

Gambar 2
(Foto Ahmad Hassan)

Pada tahun 1924, A. Hassan pergi ke Bandung untuk belajar


pertenunan. Kemudian pada tahun 1926, A. Hassan memasuki Persatuan
Islam sebagai anggota resmi. A. Hassan merasa tertarik dengan kegiatan-
kegiatan organisasi ini, sehingga berani meninggalkan rencana semula untuk
memajukan tekstilnya di Surabaya. Selanjutnya A. Hassan tekun dan serius
memusatkan perhatiannya dalam penelitian agama, mengajar dan giat
memajukan organisasi. Kehadiran A. Hassan betul-betul merupakan tenaga
baru bagi Persatuan Islam. Dalam usaha pembaharuannya, A. Hassan
memiliki etos juang dan metode pendekatan yang heroik, meski ia pun tetap
memiliki kepribadian yang simpatik, sabar dan supel.

Dalam usaha penerbitannya, A. Hassan melancarkan polemik-polemik


yang dapat merangsang pemikiran dan daya kritis umat yang lebih
besar. Kegiatan A. Hassan ini cukup memberikan dampak positif, sekaligus
menjadi model bagi kepentingan gerakan pembaruan Islam di tanah
air. Bahkan Pengaruh pemikiran A. Hassan kini telah tersebar luas di
Indonesia, Malaysia, Singapura dan Thailand.

Menjelang pendudukan Jepang di Indonesia, yaitu pada tahun


1941, A. Hassan pindah ke Bangil atas permintaan familinya, Bibi
Wante, karena ia melihat kehidupan A. Hassan di Bandung yang kurang
menyenangkan bila dilihat dari sudut materi. A. Hassan tinggal di daerah ini
berlangsung sampai akhir hayatnya. Pada tanggal 10 Nopember 1958
A. Hassan berpulang ke rahmatullah dalam usia 71 tahun.

2. Mohammad Natsir (1908-1993)

Tokoh kelahiran Alahan Panjang, Sumatera Barat pada tanggal 17 Juli


1908 ini adalah putera dari Idris gelar Sultan Saripado, seorang guru. Tahun
1923 M. Natsir masuk HIS (setingkat SD sekarang), kemudian AMS
(Algemene Middelbare School) sederajat dengan SLTA, di Bandung.
Kemudian tahun 1932 memasuki kursus guru. Selama tinggal di Bandung
inilah M. Natsir memulai hidupnya dalam masyarakat dan mempelajari Islam
kepada A. Hassan, dan mempunyai hubungan rapat dengan tokoh-tokoh
Persatuan Islam. Selain itu, ia mengikuti kelas khusus untuk anggota-anggota
muda Persis yang belajar di sekolah-sekolah menengah Belanda. Pada tahun
1932, M. Natsir memasuki Jong Islamieten Bond (JIB), suatu perkumpulan
pemuda Islam yang anggota-anggotanya terdiri dari umumnya pelajar Barat.

Gambar 3
(Foto M. Natsir Menyampaikan Pidato)
M. Natsir dalam Persatuan Islam berperan sebagai pembantu inti dalam
majalah Pembela Islam. Selain itu, ia sebagai juru bicara Persatuan Islam
dalam soal-soal kebudayaan, negara, dan masyarakat dalam kaitannya dengan
Islam.

Kemudian dalam posisinya sebagai tokoh Persatuan Islam, M. Natsir


mampu memberikan warna politik yang khas bagi organisasi Persatuan Islam,
meskipun secara organisatoris, pemikiran politiknya tidak diperankan secara
langsung. M. Natsir terus tampil dalam berbagai percaturan politik Islam.
Gagasan-gagasan politiknya banyak diwarnai oleh pemikiran-pemikiran
politik religiusnya A. Hassan.

Dalam Masyumi, M. Natsir telah berhasil memberi bentuk dan format


politik Islam yang berdasar al-Qur’an dan as-Sunnah, yang memperjelas
politik Islam itu, dan perbedaannya dengan politik kapitalis serta politik
komunis. Sementara obsesi M. Natsir yang ingin mewujudkan pemerintahan
Islam di Indonesia melalui jalur parlementer, meski mendapat banyak
dukungan khususnya dari kalangan politisi muslim, tampak tidak berhasil
dengan memuaskan. Namun sebagai negarawan sejati, M. Natsir tercatat
mampu menyelamatkan bangsa Indonesia dari perpecahan, dan Indonesia
kembali menjadi negara kesatuan. Perjuangan ini kemudian dikenal dengan
Mosi Integral M. Natsir yang disampaikan pada tanggal 3 April 1950, dan
berhasil menyatukan 17 Negara Bagian.

3. KHM. Isa Anshary (1916-1969)

Tokoh ini lahir pada 1 Juli 1916 di Sungai Batan Maninjau, Sumatera
Barat. Pada tahun 1932 ia pergi ke Bandung, ia resmi bergabung di Persatuan
Islam sejak 1935. Setelah bergaul dan mengikuti ide A. Hassan, M. Natsir dan
Fachruddin, mereka secara aktif mempromosikan pembentukan persatuan
Islam.

Sejak itu dia rajin menulis tentang agama dan politik. Antara 1938 dan
1941, dua bukunya diberi judul “Islam dan Demokrasi” dan “Islam dan
Kolektivisme”.

Ketika A. Hassan pindah ke Bangil, KHM. Isa Anshary tinggal di


Bandung, dan selama era Jepang ia dan teman-temannya mendirikan
organisasi Mubalig dan Ulama, yang disebut Majelis Islam. Saat itu beliau
juga menjabat sebagai sekretaris MIAI Priangan.
Pada masa kemerdekaan KHM. Isa Anshary berusaha untuk mengatur
kembali Persatuan Islam dan dirinya sendiri sebagai ketuanya (1948–1961).
Ia juga pernah menjadi ketua Masyumi cabang Bandung (1950-1954) dan
kemudian menjadi anggota DPP Masyumi (1954-1960). KHM. Isa Anshary
sempat menuangkan pemikirannya dalam buku-buku seperti: “Falsafah
Perjuangan Islam” (1949), “Islam dan Nasionalisme” (1955), “Manifes
Perjuangan Persatuan Islam” (1958), dan “PKI Pembela Negara Asing”
(1955)

Gambar 4
(Foto KHM. Isa Anshary Saat Memberi Pidato)

KHM. Isa Anshary disebut orang representatif karena dapat memainkan


peran ganda dalam dua kepentingan penting: agama dan politik. Kemampuan
ganda ini tentu saja terinspirasi dari pertarungan antara dua karakter
sebelumnya A. Hasan yang lebih religius dan Nasril yang berjiwa politikus.

Selain itu, ia juga menyatakan akan melawan arus komunis dengan


menciptakan gerakan "Front Anti-Komunis" yang dipimpinnya dalam situasi
politik demokrasi yang dipimpin oleh Sukarno, ia juga seorang pejuang
(politisi). Dan idenya tentang Nasakom pun lahir. Dengan kata lain, KHM. Isa
Anshary adalah seorang tokoh agama yang paham politik, maka corak Islam
di bawah kepemimpinannya cenderung progresif dan politik kontra-arus, dan
ia sendiri kemudian dipenjarakan oleh pemerintahan Sukarno. KHM. Isa
Anshary meninggal pada 11 Desember 1969 di Bandung

4. KHE. Abdurrahman

KHE. Abdurrahman adalah guru besar kedua setelah A. Hassan. Itulah


penilaian dari banyak tokoh di Persatuan Islam. Karena banyak pandangan
keagamaan dalam Persatuan Islam, yang banyak pula diwarnai oleh kedua
tokoh tersebut. Meskipun tidak bisa dikesampingkan begitu saja peran para
tokoh Persis lain. Namun, khususnya di bidang fiqh, kedua tokoh inilah yang
paling banyak berdampak dan memberikan pengaruh di antara para tokoh
Persatuan Islam lainnya.

Ketika KHE. Abdurrahman meninggal dunia, majalah Risalah yang


dipimpinnya, menurunkan tulisan yang berupa cuplikan tulisan yang telah
dimuat di berbagai Harian di Bandung, mengenai meninggalnya tokoh ini.
Majalah Risalah menurunkan tulisannya sebagai berikut:

Hari Kamis, 21 April 1983, jam 02.30 WIB, umat Islam telah kehilangan
seorang ulama besar, seperti dituturkan Bapak M. Natsir: “Sepanjang
pergaulan saya di Rabithah ‘Alam Islamy, saya belum menjumpai ulama yang
akurat dan cermat dalam Ilmu Hadits seperti Ustadz KHE. Abdurrahman”,
suatu pengakuan yang dinyatakan tokoh Islam kaliber internasional ini,
memang bukan sekadar basa-basi memuji almarhum, namun suatu pernyataan
lugas yang didukung pula oleh tokoh Islam yang lain, seperti dituturkan DR.
KH. EZ. Mutaqien: “Beliau adalah ulama yang paling dalam di bidang Hadits
dan Tafsir.”

Gambar 5
(Foto KHE. Abdurrahman)

Cikal bakal Ulama Besar dan Guru Besar, serta Pimpinan Persatuan Islam
ini, lahir di kota Cianjur, pada tanggal 12 Juni 1912, ayahnya bernama
Ghazali, sedang ibunya bernama Hafsah, dengan jumlah saudara 13 orang,
beliau merupakan putra yang paling cikal dari yang ada

2.3 Pemikiran dan Tujuan Persis

Pemikiran seta tujuan Persis tercantum dalam Bab I pasal 3 Qanun Asasi hasil
Muktamar XII tahun 2000 adalah: “Terlaksananya Syariat Islam berlandaskan Al-Qur’an
dan As’ Sunnah secara Kaffah dalam segala aspek kehidupan”. Moto Persis adalah surat
Ali Imran ayat 103: “Dan berpegang teguhlah kamu sekalian pada tali (undang-
undang/aturan) Alloh seluruhnya dan janganlah bercerai berai” dan hadist nabi yang
diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi: “Kekuatan Alloh itu beserta jamaah”.

Dan rencana jihadnya tercantum dalam Bab I Pasal 5, yaitu:

1. Mengembangkan dan memberdayakan potensi jamiyyah demi terwujudnya


jamiyah sebagai shuratun mushagharatun anil Islam wa hikmatu al-asma.
2. Meningkatkan pemahaman dan pengamalan keislaman bagi anggota khususnya
umat Islam pada umumnya sehingga terciptanya barisan ulama, zu’ama,
ashababun dan hawariyun Islam yang senantiasa iltizam terhadap risalah Alloh.
3. Meningkatkan kesadaran dan memberdayakan anggota khususnya dan umat
Islam pada umumnya dalam aspek bermuamalah secara jama’i dalam aspek
kehidupan.

Sedangkan rencana jihad Persis yang tercantum dalam Bab III Pasal I Qanun Asasi
(Anggran Dasar) tahun 1957, yang merupakan kerangka berfikir Persis pada tahap awal
adalah:

1. Mengembalikan kaum muslimin pada pimpinan Al-Qur’an dan Sunnah.


2. Menghidupkan ruhul jihad dalam kalangan umat Islam.
3. Membasmi bid’ah, khurafat, tahayul, taqlid, dan syirik dalam kalangan umat
Islam
4. Memperluas tersiarnya tablig dan dakwah Islamyah kepada segenap kalangan
umat Islam.
5. Mengadakan, memelihara, dan memakmurkan masjid, surau, dan langgar serta
tempat ibadah lainnya untuk memimpin peribadatan umat Islam menurut Sunnah
Nabi yang sebenarnya menuju kehidupan taqwa.
6. Mendirikan pesantren dan madrasah untuk mendidik putra outri Islam dengan
dasar Al Qura’an dan Sunnah.
7. menerbitkan kitab, buku, majalah, dan siaran-siaran lainnya guna mempertinggi
kecerdasan kaum muslimin dalam segala lapangan ilmu pengetahuan.
8. mengadakan dan memelihara hubungan yang baik dengan segenap organisasi
dan gerakan Islam di Indonesia dan seluruh umat Islam dunia, menuju
terwujudnya persatuan alam Islami.

Pemikiran dan rencana jihad Persis selalu dirumuskan kembali pada setiap
Mukhtamar 5 tahun satu kali. Persis pun memiliki beberapa terobosan atau kegiatan di
beberapa bidang, seperti:

a. Bidang Pendidikan muali dari tingkat TK hingga perguruan tinggi. Selain TK


(TPA) dan perguruan tinggi, lembaga pendidikan Persis berbentuk pesantren
dengan tingkatan Diniyah Ula, Diniyah Wustha, Ibtidaiyyah Tajhiziyyah,
Tsanawiyyah dan Muallimin.
b. Bidang Dakwah, meliputi dakwah bilisandan dakwah bilkitabah (tulisan), serta
dakwah nillisanhal (dakwah dengan amal perbuatan)
c. Bidang Sosial Kemasyarakatan, antara lain menyantuni anak yatim, menyantuni
dhuafa, memberikan beasiswa, khususnya bagi anak-anak anggota Persis.

2.4 Tantangan Persis Dalam Kebangsaan dan Modernitas

Salah satu dimensi sejarah pemikiran politik Islam yang menimbulkan


kontroversi dan polimik berkepanjangan adalah persoalan relasi (hubungan)
antara agama dan negara. Para pemikir Islam hampir se-abad lalu hingga sekarang
belum mencapai kesepakatan dan terpecahkan secara tuntas. Kontroversi ini
terutama berkembang seputar bagaimana sistem dan bentuk negara Islam yang
ideal. Perdebatan persoalan relasi agama dan negara selalu terjadi dalam suasana
stigmatis dan puncaknya ketika umat Islam dimana-mana mencapai kemerdekaan
baru mereka berbeda pandangan bagaimana sebenarnya negara Islam itu?

Menurut Nurcholish Madjid, kontroversi mengenai hubungan antara


agama dan negara sebenarnya bukan khas Islam, hal ini terjadi selalu dalam
suasana stigmatis dikarenakan oleh dua hal. Pertama, hubungan antara agama dan
negara dalam Islam adalah yang paling mengesankan sepanjang sejarah umat
manusia. Kedua, secara historis pula, hubungan antara kaum muslim dan dan non-
Muslim (Kristen-Barat) merupakan hubungan syarat ketegangan. Hal itu dimulai
dengan ekspansi politik Islam klasik ke beberapa kawasan Kristen-Barat dengan
titik kulminasinya berupa pembebasan Konstantinopel, ibu kota Kristen dan
Eropa saat itu hingga perang Salib dan kolonialisme Barat ke Dunia Islam pada
umumnya disebabkan hubungan antara dunia Islam dan Barat yang traumatik
seperti itu, terlebih pada fase terakhir negeri-negeri muslim mengalami kekalahan,
maka perbincangan tentang Islam berkenaan dengan pandangannya tentang
negara berlangsung dalam kepahitan dan perdebatan.

Lebih lanjut, menurut Din Syamsuddin dalam sejarah pemikiran politik


Islam, perdebatan dan pencaharian konsep kenegaraan yang dirumuskan oleh para
ulama Islam paling tidak ada dua maksud. Pertama, untuk menemukan idealitas
Islam mengenai negara (baik secara teoritis maupun secara formalis), pendekatan
ini bertolak dari asumsi bahwa Islam memiliki konsep tertentu tentang negara dan
untuk menjawab pertanyaan “bagaimana bentuk negara dalam Islam?”. Kedua,
untuk mengupayakan idealisasi dari Islam terhadap proses peneyelenggaraan
negara (baik pencarian subtansial kenegaraan atau sefi-praktis bernegara),
pendekatan ini bertolak dari asumsi bahwa Islam tidak membawa konsep tertentu
tentang negara dan untuk menjawab “bagaimana isi negara menurut Islam?”.
Walaupun kedua maksud tersebut berbeda dalam pendekatan, namum keduanya
mempunyai tujuan yang sama, yakni menemukan rekonsiliasi antara idealitas
agama dan realitas politik.

Selain berbeda dalam pendekatan dalam merumuskan konsep negara,


dalam pemikiran politik Islam, paling tidak ada tiga aliran atau corak pemikiran
tentang hubungan antara agama dan negara. Pertama, Aliran yang berpendirian
antara agama dan negara tidak bisa dipisahkan (integreted), bahwa Islam adalah
agama yang sempurna dan lengkap yang mengatur segala aspek kehidupan
termasuk kehidupan bernegara. Karenanya, menurut aliran ini negara merupakan
lembaga politik dan keagamaan sekaligus. Pemerintahan negara diselenggarakan
atas dasar kedaulatan ilahi, karena memang kedaulatan itu berasal dan berada di
“Tangan Tuhan”, yang meliputi seluruh kawasan dunia Islam, tanpa dibatasi oleh
letak geografis, ras dan bahasa. Aliran ini tercermin di kalangan Sunni dalam
pemikiran Mohammad Rasyid Ridha, Ikhwanul Muslimin, dan Maududi dan juga
dianut oleh kelompok Syi’ah. Sedangkan perbedaan di antara kelompok Sunni
dan Kelompok Syiah yang berpendirian bersatunya agama dan negara ini dalam
penekanan proses penyelenggaraan pemerintahan. Pemikiran politik Sunni
menekankan ijma (pemufakatan) dan bai’ah (pembaiatan) kepada kepala negara
(khalifah), paradigma Syi’ah menekankan walayah (kecintaan dan pengabdian
kepada Tuhan) dan ‘ismah (kesucian dari dosa) yang dimilki oleh para keturunan
Nabi, sebagai yang berhak dan absah menjadi kepala negara (imam). Para
penganut aliran ini sering dilabelkan dengan kelompok “fundamentalisme Islam”
yang cenderung berorintasi pada nilai-nilai Islam yang dianggapnya mendasar dan
prinsipil dan menekankan totalitas Islam, yakni bahwa Islam meliputi seluruh
aspek kehidupan.
Kedua, Aliran yang berpendirian sebaliknya sebagai antitesis dari
kelompok pertama, bersipat sekuleristik. Aliran ini berpendapat bahwa negara
bukan merupakan suatu kewajiban agama. Dalam pengertian, bahwa agama sama
sekali tidak menyebut kewajiban mendirikan negara, namun tidak pula
mewajibkan untuk mengabaikannya, melainkan menyerahkan persoalan ini
kepada kehendak kaum muslimin. Maka aliran ini menolak baik hubungan
integralistik maupun hubungan simbiotik antara agama dan negara. Dalam
konteks Islam, paradigma sekuleristik menolak pendasaran negara pada Islam,
atau paling tidak, menolak determinasi Islam akan bentuk tertentu dari negara.
Salah satu prakarsa aliran atau paradigma ini adalah ‘Ali Abdur Raziq, seorang
cendikiawan muslim Mesir yang menulis sebuah risalah (buku) yang
kontroversial dengan isu sentral bahwa Islam tidak ada kaitan apapun dengan
sistem pemerintahan kekhilafahan; termasuk kekhalifahan al-khulafa al-Rasyidin,
bukanlah sistem politik keagamaan atau keislaman, tetapi sebuah sistem duniawi.
Hal tersebut bermaksud membedakan antara agama dan politik, tepatnya antara
misi kenabian dan aktivitas politik. Maka pendapatnya jelas kontradiktif dengan
pendirian aliran pertama yang meyakini bahwa pemerintahan kekhalifahan adalah
pemerintahan Islam yang bersumber dari nabi Muhammad SAW di mana di
Madinah posisi Muhammad sebagai seorang nabi (pembawa risalah keagamaan)
sekaligus seorang kepala negara.

Ketiga, aliran yang berpendapat moderat (pertengahan) berpendirian


agama dan negara berhubungan secara simbiotik, yaitu berhubungan secara timbal
balik dan saling memerlukan. Dalam hal ini, agama memerluklan negara karena
dengan peranan negara, agama berkembang. Sebaliknya, negara memerlukan
agama, karena dengan agama, negara dapat berkembang dalam bimbingan etika
dan moral. Pemikiran aliran ini dapat ditemukan dalam pemikiran ulama abad
pertengahan seperti al-Mawardi (w.1058) dalam karya monumentalnya, al-
Ahkam al-Shulthaniyyah wa al-Walayaat al-Diniyah, Al-Mawardi menegaskan
bahwa imamah (kepemimpinan negara) ditujukan untuk meneruskan khilafah
Nabi Saw. Suna memelihara eksistensi agama dan mengatur urusan dunia.
Pemeliharaan agama dan pengaturan dunia adalah aktivitas yang berbeda, namun
berhubungan secara simbiotik. Keduanya adalah dua dimensi dari misi kenabian.
Selain al-Mawardi pandangan ini terlihat dalam pemikiran al-Ghazali (w. 1111)
dan Ibnu Taimiyah (w. 1167). Dimana keduanya menekankan bahwa negara
sebagai alat untuk menegakkan agama dan mengurus dunia. Dan pada masa
modern pemikiran ini dikembangan oleh Muhammad Abduh dan Muhammad
Husain Haikal.
BAB III

Penutup

3.1 Kesimpulan

Persis adalah salah satu gerakan pembaharuan yang didirikan oleh


Yusuf Zamzam, Qomaruddin, dan E. Abdurrahman. Organisasi Persatuan Islam ini,
bersemboyan “kembali kepada al-Qur’an dan Sunnah dengan maksud membersihkan
Islam dari segala bid’ah, khurafat, shirik. Berdirinya organisasi PERSIS bertujuan untuk
mengangkat ummat Islam dari kejumudan berfikir dan ketertutupan pintu ijtihad.
Pada dasarnya, perhatian Persis ditujukan terutama pada penyebaran faham Alquran
dan sunah. Hal ini dilakukan melalui berbagai aktivitas, di antaranya dengan
mengadakan pertemuan-pertemuan umum, tabligh, khutbah, kelompok studi, tadarus,
pendirian sekolah-sekolah (pesantren), penerbitan majalah-majalah dan kitab-kitab,
serta berbagai aktivitas keagamaan lainnya.
Peran persis sebagai salah satu organisasi Islam sangatlah besar, misalnya dalam
bidang pendidikan, ialah dengan menyelenggarakan kelas pendidikan akidah dan ibadah
bagi orang dewasa. Persis juga mendirikan lembaga pendidikan kanak-kanak dan
Holland Inlandesch School (HIS) yang merupakan proyek lembaga Pendidikan Islam
(Pendis). Kemudian, pada 4 Maret 1936, secara resmi Persis mendirikan Pesantren
Persis yang pertama dan diberi nomor satu di Bandung. Dalam perkembangannya,
Persis mengoordinasi pesantren-pesantren dan lembaga-lembaga pendidikan yang
tersebar di cabang-cabang Persis. Dalam bidang penerbitan, Persis banyak menerbitkan
buku-buku dan majalah-majalah. Melalui penerbitan ini, Persis menyebarluaskan
pemikiran dan ide-ide mengenai dakwah dan tajdid.

Perkembangan selanjutnya, aktivitas Persis meluas ke aspek-aspek lain. Orientasi


Persis dikembangkan dalam berbagai bidang yang menjadi kebutuhan umat. Mulai dari
bidang pendidikan (tingkat dasar hingga pendidikan tinggi), dakwah, bimbingan haji,
zakat, sosial, ekonomi, perwakafan, dan lainnya. Demikian makalah yang dapat penulis
paparkan, semoga bermanfaat. Kritik dan saran penulis harapkan, guna untuk perbaikan
dan penyempurnaan.
3.2 Daftar Pustaka

Risdiana, Aris. "Strategi Dakwah Persatuan Islam (Persis) Riau." Idarotuna 1.2 (2019):
94-111.

Wildan, Dadan, et al. "Anatomi Gerakan Dakwah Persatuan Islam." (2015).

Fauzan, Pepen Irpan. "Perumus Manifest Perjuangan Persatuan Islam." Jurnal Studi
Islam STAI Persis Garut 1.2 (2016): 149-171.

Deliar Noer, Gerakan Moderen Islam di Indonesia (1900-1942), (Jakarta: LP3ES, 1982)

PP Persis “Mengenal Persis Lebih Dekat, (Bandung: Pimpinan Persis Pusat.2015)

Saadah, Halimah. Perkembangan Persatuan Islam (Persis) di Kabupaten Bandung


Tahun 1983-2009. Diss. UIN Sunan Gunung Djati Bandung, 2010.

Muhtadi, Asep dkk (2014) “Meretas Jalan Dakwah Ormas Islam Indonesia”, Bandung:
Pengurus MUI Bandung

Suryanegara, Ahmad Mansur, (2012) “Api Sejarah II”, Bandung: Penerbit Salamand

Anda mungkin juga menyukai