DisusunOleh :
1. Fahmi Idris Hibatullah 02.1345
2. Abid Hasbiya Rahman 02.1437
3. Ikhwan Rizki Fathur R 02.1424
4. Ilham Ismail 02.1425
A. Latar Belakang
Akhir abad ke 19 merupakan momentum bagi kebangkitan dunia Islam. Kesadaran ini
muncul setelah dunia Islam melihat perputaran roda sejarah berbalik: dunia Barat maju dan
dunia Islam terpuruk, bahkan Islam menjadi bulan-bulanan dunia Barat yang Kristen itu. Dari
realitas sejarah ini kemudian muncul gerakan yang mencoba untuk melakukan otokritik
secara kritis dengan cara melakukan evaluasi sebab-sebab terjadinya perputaran roda sejarah
yang berbalik itu.
Menurut Abdullah (1995:539) gerakan ini lebih mengemuka di hampir dunia Islam
pada abad ke 20 dengan nama gerakan pembaharuan pemikiran Islam. Tema sentral ide
pembaharuan pemikiran dalam Islam di atas terletak pada kata kunci I’adatu al-Islam, yakni
keinginan masyarakat Islam untuk mengembalikan peran dunia Islam dalam percaturan
global peradaban dunia, yang dulu pernah dilakukan Islam. Salah satuwujud dari I’adatu al-
lslam itu adalah lajdid al-fahm, yakni memperbaharui kembali cara pandang dalam menjawab
problematika yang berkembang dengan kembali kepada al-Quran dan al-Hadis. Tajdid al-
fahm ini dilakukan karena kemunduran dunia Islam diakibatkan penempatan qaul ulama abad
pertengahan dijadikan rujukan utama dalam menjawab persoalan kontemporer sehingga yang
terjadi kemudian adalah bias-bias dan kekakuan karena qaul itu sendiri muncul dan
dirumuskan berdasarkan setting sosial oleh ulama ketika masih hidup. Adapun tema sentral
gerakan untuk memulihkan dunia Islam adalah pemurnian akidah, ibadah dan semangat
ijtihad di tengah masyarakat singkretik dan masyarakat yang berorientasi taklid.
Menjamurnya gerakan pembaharuan pemikiran Islam seperti yang berkembang di
dunia Islam di atas juga berkembang di Indonesia yang muncul pada awal abad ke-20, yang
salah satunya adalah Persatuan Islam (PERSIS). Dalammakalah ini,
penulis akan mencoba memaparkan sejarah berdirinya Persis, arah dan pergerakannya, visi
dan misi Persis, serta peran Persis.
Dalam makalah ini, penulis memaparkan Persatuan Islam (PERSIS). Mudah-
mudahan makalah ini dapat memberikan pengetahuan dan pencerahan bagi kita semua.
Amin.
Menurut Ansori (1958:6) Persatuan Islam (PERSIS), adalah salah satu gerakan
pembaharuan yang berdiri di Bandung pada hari Rabu tanggal 12 September1923 M. / 1
Safar 1342 H., tepatnya di salah satu gang kecil yang bernama Pak gade. Di gang ini banyak
berkumpul para saudagar, yang saat itu disebut Urang Pasar. Menurut Wildan, awal
mula pembicaran pendirian PERSIS, didasarkan pembicaraan awal antara
Yusuf Zamzam, Qomaruddin, dan E. Abdurrahman. Berdirinya organisasi Persatuan Islam
bersemboyan kembali kepada al-Qur’an dan Sunnah, sebagaimana dijelaskan dalam QS. Ali
Imran:103;
c) KH. E. Abdurrahman:
Peran, kedudukan, dan aktivitas K.H. E. Abdurahman dalam konteks sejarah
pembaharuan Islam di Indonesia, baik dalam kedudukannya sebagai pemikir, pendakwah
maupun pelanjut gerakan tajdid dalam jam’iyyah persis, telah memberi warna tersendiri. Ia
tampil sebagai sosok ulama rendah hati, berwibawa, dan berwawasan luas. Dengan gaya
kepimimpinan yang luwes, ia telah membawa persis pada garis perjuangan yang berbeda:
tampil low profile, dengan pendekatan persuasif edukatif, tanpa keras namun tetap teguh
dalam prinsip berdasarkan Al-Quran dan Sunnah.
Ustad Abdurahman dikenal sebagai seorang ulama besar, ahli hukum yang tawadlu. Ia
tidak ingin disanjung sehingga tidak banyak dikenal umum. Penghargaannya terhadap waktu
sangat luar biasa. Ia menghabisakan waktunya menelaah kitab-kitab, mengajar di pesantren,
dan hampir setiap malam mengisi berbagai pengajian.
Dalam penilaian Mohammad Natsir, ustad Abdurahman mempunyai kelebihan dalam
hal kecermatannya ketika menetapkan hukum dari ijtihadnya, dengan landasan dalil yang
selalu kuat dan dapat dipertanggungjawabkan. Menurutnya ulama seperti ini termasuk
langka, bahkan jarang ditemui, bahkan di luar negri sekalipun.
Dalam aktivitas organisasi di jamiyyah persis, ustad Abdurahman menunjukan sikap
loyal. Ia aktif sebagai anggota persis sejak tahun 1934. Jabatan dalam jamiyyah yang pertama
kali dipegangnya adalah ketua bagian tabligh dan pendidikan pada tahun 1952. Pada tahun
7|Sejarah Pendidikan Islam Indonesia
1953 (pada muktamar persis di Bandung) ustad Abdurahman terpilih sebagai sekretaris
umum pusat pimpinan persis, mendampingi K.H. Mohammad Isa Anshary sebagai ketua
umum.
Pasca mukhtamar VII persis, pada tahun 1962, ustad Abdurrahman terpilih sebagai
ketua umum pusat pimpinan Persis melalui referendum. Periode kepemimpinan ustad
Abdurahman ini merupakan periode kepemimpinan persis ketiga setelah berakhirnya
kepemimipinan K.H. Mohammad Isa Anshary. Periode kepemimpinan Persis ketiga ini
merupakan regerenasi kepemimpinan dari generasi pertama Persis ke eksponen Pemuda
Persis yang merupakan organisasi otonom persis, tempat pembentukan kader-kader persis.
Tampilnya KH.E. Abdurrahman, Eman sar’an, rusyad nurdin, dan E. Bachrum yang
merupakan mantan pimpinan pemuda persis periode awal, membuktikan adanya pewarisan
tongkat estafet kepemimpinan kepada kelompok muda dari organisasi otonom persis.
Berbagai persoalan mulai muncul pada masa kepemimpinan ustad abdurahman.
Namun masalah yang paling mendasar adalah bagaimana mempertaruhkan eksistensi persis
ditengah gejolak sosial politik yang tidak menentu. Jihad perjuangan persis dihadapkan pada
masalah-masalah pada politik yang beragam. Pembubaran masyumi oleh soekarno karena
dianggap kontra revolusi, dan lepasnya persis sebagai anggota istimewa Masyumi, serta
ancaman akan dibubarkannya Persis oleh pemerintahan Orde Lama karena tidak memasukan
Nasakom dalam Qanun Asasi Persis, sampai pada meletusnya G.30 S/PKI merupakan
masalah politis yang dihadapi pada masa awal kepemimpinan ustad Abdurahman.
Pada masa kepemimpinan ustad Abdurahman, permaslahan interen organisasi pun
berkembang, terutama setelah terjadinya G.30 S/PKI, karena ada anggota anggota yang
diragukan ittikad baiknya dalam organisasi Persis. Pengawasan ketat dilakukan. Selain
menghendaki dan mengutamakan kualitas pelaksanaan, pengalaman ajaran agama yang
berdasarkan ajaran Al-Quran dan Sunnah, Persis juga mengutamakan kualitas pelaksanaan
disiplin organisasi yang berdasarkan qanun asasi dan qanun dakhili (anggaran dasar dan
anggaran rumah tangga), peraturan-peraturan, tausiyyah, dan seperangkat tata kerja yang
berlaku dalam organisasi. Meskipun kuantitas tidak diabaikan, ada suatu kekhawatiran jika
jumlah yang banyak hanya menambah beban, seperti buih, tidak memberi manfaat
sebagaimana yang diharapkan, bahkan sebaliknya malah mendatangkan madarat bagi
keutuhan dan tegaknya jamiyyah.
Pengawasan yang ketat inilah yang menjadi ciri khas kepemimpinan ustad
Abdurrahman. Hal itu dilatarbelakangi oleh adanya pemalsuan nama organisasi Persis untuk
keuntungan pribadi, selain karena terputusnya hubungan antara pusat pimpinan persis dengan
8|Sejarah Pendidikan Islam Indonesia
cabang-cabang yang ada di sumatera, kalimantan, dan sulawesi akibat peristiwa G.30S/PKI.
Sebagai perbandingan, tahun 1964 terdapat 63 cabang dengan jumlah anggota 7.173 pada
tahun 1967 turun menjadi 56 cabang dengan jumlah 4.455 anggota, dan pada tahun 1980
terdapat 81 cabang dengan jumlah angota hanya 3.717 orang. Ini menunjukan adanya
perbedaan yang mencolok antara jumlah cabang dan banyaknya anggota.
Dalam hal Ini dapat difahami, karena yang menjadi dasar dari ustad abdurahman
sebagai ketua umum pusat pimpinan persis tentang keangotaan persis berorientasi pada
penekanan kualitas bukan kuantitas. Jika dilihat dari aktifitas organisasinya, pada masa
kepemimpin ustad abdurrahaman, sejak tahun 1962 hingga 1983, menunjukan kecenderungan
pada kegiatan-kegiatan sekitar tabligh dan pendidikan, dari tingkat pusat hingga ke tingkat
cabang. Hal ini tidak lepas dari langkah dan kebijakan ustad abdurahman. Menurut
Mohammad Natsir, ustad Abdurrahaman lebih banyak mewarnai arah dan perjuangan Persis
dan tablig-tablig dan pengembangan lembaga-lembaga pendidiakan (pesantren), sehingga
Persis sebagai organisasi masa tidak memperlihatkan langkah perjuangannya ke arah politik.
Ustad Abdurahman dalam memimpin organisasi Persis lebih mengorientasikan pada
“organisasi agama”, sebab ia mengambil pola kepemimpinan ulama, bukanpolitical leaders.
Pembaharuan Persis sejak awal hingga kepemimpinan ustad Abdurahman yang
menyangkut praktik-praktik peribadatan tertentu, menerut Federspiel memberikan
sumbangan bagi penguatan pemikiran perilaku kaum muslimin Suni di Indonesia.
Penyampaian khotbah dalam bahasa lokal yang dimaksudkan untuk memperdalam
pengetahuan Islam mengenai agama, yang menjadi target para ulama. Pembaharuan dalam
praktik penguburan bertujuan untuk memisahkan kepercayaan dan praktik Islam yang
mendasar dari adat kebiasaan dan ajaran kuno yang telah menjadi bahan pertentangan
dikalangan ulama selama berabad-abad. Tuntutan untuk membersihkan upacara keagamaan
dari praktik yang sebetulnya tidak diperintahkan dalam Al-Quran dan Sunnah.
Pesis menyatakan bahwa segala suatu diluar masalah ibadat diizinkan oleh Islam
apabila tidak ada larangan secara khusus. Prinsip seperti ini ditafsirkan secara luas dalam
berbagai bidang, misalnya ekonomi, kedokteran, dan ilmu pengetahuan modern. Bagi Persis,
kitab suci merupakan otoritas final menyangkut apa yang boleh dan tidak boleh diterima.
Bagaimanapun, persis sejak awal berdirinya hingga berada dibawah kepemimpinan
ustad Abdurahman telah memberikan konstribusi yang cukup besar dalam gerakan
pembaharuan Islam di indonesia. Menurut Federspiel, nilai Persis, sebagai suatu topik bagi
penelitian ilmiah, tidak terletak pada organisasinya, karena ia kecil dan tidak kukuh juga
tidak terletak pada partisipasinya dalam kehidupan politik Indonesia, karena aktifitasnya
9|Sejarah Pendidikan Islam Indonesia
bersifat insidental dan pinggiran bagi arus utama perkembangan politik. Walaupun peran
persis dalam pendidikan agama cukup besar terhadap perkembangan umat Islam Indonesia,
tetapi dalam hal pengaruhnya tidak seberapa jika dibandingkan dengan organisasi-organisasi
lain. Begitu pula, usaha-usaha dalam melalui penerbitan yang dilakukannya, meskipun cukup
berpengaruh pada waktu itu, sambutan dari pembaca dikalangan masyarakat indonesia secara
umum masih sedikit.
Meskipun demikian, peran Persis penting dikaji karena ia telah berusaha
mendefinisikan Islam yang sebenarnya, baik dalam segi prinsip dasarnya maupun dalam hal
tuntutan perilaku religius yang tepat bagi umat Islam. Dalam hal ini, karena usahnaya
senantiasa menghadiri berbagai konsep dan generalisasi yang kabur, ia mirip dengan berbagai
konsep gerakan Islam Indonesia lainnya, yakni dalam hal kesamaan perhatian. Selain itu,
peran Persis terasa penting karena telah memberikan solusi tersendiri bagi persolan besar
yang menghadang umat Islam Indonesia abad 20. Semua usaha Persis itu tentu saja tidak
terlepas dari peran ulamanya, sejak didirikannya oleh H.Zamzam dan H. Muhamad Yunus,
kemudian dikembangkan dengan dasar-dasar doktrinal pada masa kepemimpinan Isa
Anshary, walaupun akhirnya melamah pada masa kepemimpinan ustad Abdurahman. Dan
nampaknya, pada masa kepemimpin ustad Abdurahman inilah persis kembali pada garis
perjuangannya: tablig dan pendidikan berdasarkan Al-Quran Dan Sunnah.
Terhadap kepemimpinan ustad Abdurahman ini, Surya Negara pernah memberikan
penilaian: Pertama, ustad Abdurahman sebagai pemegang amanah, ia telah berusaha
menyebrangkan persis di tengah badai Nasakom dengan gaya dan cara mempertahankan
eksistensi dengan mewujudkan dan melesterikan amanah para pendiri dan pendahulu persis
sebagai organisasi dakwah. Kedua, ustad Abdurahman sebagai “penyelamat” Persis ia tidak
berpartisispasi menerima Nasakom pada masa Orde Lama, padahal organisasi lain membuka
diri tanpa reserve sebagai pendukung Nasakom. Ketiga, ustad Abdurahman lebih memilih
intensifikasi dan konsolidasi ke dalam organisasi Persis daripada ekstensifikasi yang
melemahkan kontrol organisasi. Keempat,ustad Abdurahman menampilkan sikap
kepemimpinan yang istiqamah, mempertahankan Persis sebagai organisasi dakwah, dan tidak
membenarkannya berganti nama atau busana, ia lebih mengutamakan Persis sebagai
organisasi kualitas yang berpengaruh besar.
Dalam konteks sejarah pembaharuan Islam di Indonesia kepemimpinan ustad
Abdurahman dalam jam’iyyah Persis lebih cenderung memperkuat peran, fungsi, dan
kedudukan Persis sebagai organisasi yang berjaung mengembalikan umat kepada Al-Quran
Dan Sunnah sejak generasi awal melalui pendidikan, dakwah tablig, dan publikasi atau
10 | S e j a r a h P e n d i d i k a n I s l a m I n d o n e s i a
penerbitan yang terbatas. Nilai Persis memang bukan terletak pada organisasinya, tetapi pada
upaya penyebaran pahamnya; yang diakui atau tidak telah menembus batas-batas
organisasinya sendiri_organisasinya tidak dikenal luas tetapi pahamnya telah menembus
batas-batas kekakuan dan kekaburan pemahaman keislaman di Indonesia.
5. Peran PERSIS
Pada dasarnya, perhatian Persis ditujukan terutama pada penyebaran faham Al-Qur’an
dan sunah. Hal ini dilakukan melalui berbagai aktivitas, diantaranya dengan mengadakan
pertemuan-pertemuan umum, tabligh, khutbah, kelompok studi, tadarus, pendirian sekolah-
sekolah ( pesantren ), penerbitan majalah-majalah dan kitab-kitab, serta berbagai aktivitas
keagamaan lainnya (Hanun, 1992:167).
Dalam bidang pendidikan, pada 1924 diselenggarakan kelas pendidikan akidah dan
ibadah bagi orang dewasa. Pada 1927, didirikan lembaga pendidikan kanak-kanak dan
Holland Inlandesch School ( HIS ) yang merupakan proyek lembaga Pendidikan Islam
(Pendis) di bawah pimpinan Mohammad Natsir. Kemudian, pada 4 Maret 1936, secara resmi
didirikan Pesantren Persis yang pertama dan diberi nomor satu di Bandung.
Menurut Noer (1998:38-69) dalam bidang penerbitan (publikasi), Persis banyak
menerbitkan buku-buku dan majalah-majalah, diantaranya majalah Pembela
Islam (1929), Al-Fatwa (1931), Al-Lissan (1935), At-Taqwa (1937), majalah berkala Al-
Hikam (1939), Aliran Islam (1948), Risalah (1962), Pemuda Persis Tamaddun (1970),
majalah berbahasa Sunda Iber (1967), dan berbagai majalah ataupun siaran publikasi yang
diterbitkan oleh cabang-cabang Persis di berbagai tempat. Beberapa di antara majalah
tersebut saat ini sudah tidak diterbitkan lagi.
Melalui penerbitan inilah, Persis menyebarluaskan pemikiran dan ide-ide mengenai
dakwah dan tajdid. Bahkan, tak jarang di antara para dai ataupun organisasi-organisasi
keislaman lainnya menjadikan buku-buku dan majalah-majalah terbitan Persis ini sebagai
bahan referensi mereka.
12 | S e j a r a h P e n d i d i k a n I s l a m I n d o n e s i a
Gerakan dakwah dan tajdid Persis juga dilakukan melalui serangkaian kegiatan
khutbah dan tabligh yang kerap digelar di daerah-daerah, baik atas inisiatif Pimpinan Pusat
Persis, permintaan dari cabang-cabang, undangan dari organisasi Islam lainnya, maupun atas
permintaan masyarakat luas.
Pada masa Ahmad Hassan, guru utama Persis, kegiatan tabligh yang digelar Persis
tidak hanya bersifat ceramah, tetapi juga diisi dengan menggelar perdebatan tentang berbagai
masalah keagamaan. Misalnya, perdebatan Persis dengan Al-Ittihadul Islam di Sukabumi
pada 1932, kelompok Ahmadiyah (1933), Nahdlatul Ulama (1936), kelompok Kristen,
kalangan nasionalis, bahkan polemik yang berkepanjangan antara Ahmad Hassan dan Ir
Soekarno tentang paham kebangsaan.
Sepeninggal Ahmad Hassan, aktivitas dakwah dengan perdebatan ini mulai jarang
dilakukan. Persis tampaknya lebih menonjolkan sikap low profile sambil tetap melakukan
edukasi untuk menanamkan semangat keislaman yang benar. Namun, bukan berarti tidak siap
untuk berdiskusi dengan kelompok yang memiliki pandangan berbeda dalam satu bidang
tertentu. Jika dibutuhkan, Persis siap melakukan gebrakan yang bersifat shock therapy.
Di pengujung abad ke-20, aktivitas Persis meluas ke aspek-aspek lain. Orientasi
Persis dikembangkan dalam berbagai bidang yang menjadi kebutuhan umat. Mulai dari
bidang pendidikan (tingkat dasar hingga pendidikan tinggi), dakwah, bimbingan haji, zakat,
sosial, ekonomi, perwakafan, dan lainnya.
Dalam perkembangannya, sejak tahun 1963, Persis mengoordinasi pesantren-
pesantren dan lembaga-lembaga pendidikan yang tersebar di cabang-cabang Persis. Hingga
Muktamar II di Jakarta tahun 1995, Persis tercatat telah memiliki 436 unit pesantren dari
berbagai tingkatan. Selain itu, Persis pun menyelenggarakan bimbingan jamaah haji dan
umrah dalam kelompok Qornul Manazil, mendirikan beberapa bank Islam skala kecil ( Bank
Perkreditan Rakyat / BPR ), mengembangkan perguruan tinggi, mendirikan rumah yatim dan
rumah sakit Islam, membangun masjid, seminar, serta lainnya.[14]
Dalam bidang organisasi, Persis membentuk Dewan Hisbah sebagai lembaga tertinggi
dalam struktur organisasi. Dewan Hisbah ini difungsikan untuk meneliti masalah-masalah
yang membutuhkan keputusan hukum,[15] dan sebagai Dewan Peneliti Hukum Islam
sekaligus sebagai pengawas pelaksanaannya di kalangan anggota Persatuan Islam,[16] dan
bertanggungjawab kepada Allah SWT dalam setiap kinerja dan keputusan-keputusan hukum
yang difatwakannya.
13 | S e j a r a h P e n d i d i k a n I s l a m I n d o n e s i a
6. Persis Masa Kini
Pada masa kini Persis berjuang menyesuaikan diri dengan kebutuhan umat pada
masanya yang lebih realistis dan kritis. Gerak perjuangan Persis tidak terbatas pada persoalan
persoalan ibadah dalam arti sempit, tetapi meluas kepada persoalanpersoalan strategis yang
dibutuhkan oleh umat Islam terutama pada urusan muamalah dan peningkatan pengkajian
pemikiran keislaman.
Dibawah kepemimpinan KH. Shiddiq Amien, anggota dan simpatan Persis beserta
otonomnya tercatat kurang lebih dari 3 juta orang yang tersebar di 14 propinsi dengan 7
Pimpinan Wilayah, 33 Pimpinan Daerah, dan 258 Pimpinan Cabang. Bersama lima organisasi
otonom Persis, yakni Persatuan Islam Istri, (Persistri) Pemuda Persis, Pemudi Persis,
Himpunan Mahasiswa (HIMA) Persis, dan Himpunan Mahasiswi (Himi) Persis, aktifitas
Persis telah meluas ke dalam aspekaspek lain tidak hanya serangkaian pendidikan, penerbitan
dan tabligh, akan tetapi telah meluas ke berbagai bidang garapan yang dibutuhkan oleh umat
Islam melalui bidang pendidikan (pendidikan dasar/menengah hingga pendidikan tinggi),
da'wah, bimbingan haji, perzakatan, sosial ekonomi, perwakafan, dan perkembangan fisik
yakni pembangunanpembangunan masjid dengan dana bantuan kaum muslimin dari dalam
dan luar negri, menyelenggarakan seminarseminar, pelatihanpelatihan, dan diskusi (halakoh)
pengkajian Islam. Demikian pula fungsi Dewan Hisbah sebagai lembaga tertinggi dalam
pengambilan keputusan hukum Islam di kalangan Persis serta Dewan Hisab dan Dewan
Tafkir semakin ditingkatkan aktifitasnya dan semakin intensif dalam penelaahan berbagai
masalah hukum keagamaan, perhitungan hisab, dan kajian sosial semakin banyak dan
beragam.
15 | S e j a r a h P e n d i d i k a n I s l a m I n d o n e s i a
BAB III
KESIMPULAN
16 | S e j a r a h P e n d i d i k a n I s l a m I n d o n e s i a
DAFTAR PUSTAKA
17 | S e j a r a h P e n d i d i k a n I s l a m I n d o n e s i a