Anda di halaman 1dari 8

Persatuan Islam (PERSIS): Pemikiran dan Peran PERSIS dalam Bidang

Sosial Keagamaan
Gina Luthfiatin
ginaluthfiatin16@gmail.com

Pendahuluan
Persatuan Islam didirikan oleh Haji Zamzam dan Haji Muhammad Yunus pada
tahun 1923, menjadi organisasi yang berangkat dari kelompok diskusi. Diawali
dengan konsep purifikasi Muhammad Abduh melalui buletin Al-Manar, kemudian
disusul lahirnya Muhammadiyah pada tahun 1912 di Yogyakarta, memantik naluri
intelektual Haji Zamzam dan Haji Yunus untuk turut andil dalam perjuangan
melawan wabah TBC (Takhayul, Bid’ah, dan Khurafat) yang menjangkiti
masyarakat Indonesia saat itu. Diskusi-diskusi tersebut lantas melahirkan konsep
organisasi yang bertujuan menangkal penyakit akut tersebut. Tak berselang lama,
lahirlah Persatuan Islam (PERSIS), yang berbasis di Bandung, Jawa Barat.1
Pada mulanya Persis terbentuk dan berdiri pada masa penjajahan kolonial
Belanda itu tidaklah didasarkan atas suatu kepentingan para pendirinya atau
kebutuhan masyarakat pada masa itu. Persatuan Islam (PERSIS) didirikan dengan
tujuan untuk memberikan pemahaman Islam yang sesuai dengan aslinya yang
dibawa oleh Rasulullah Saw dan memberikan pandangan berbeda dari pemahaman
Islam tradisional yang dianggap sudah tidak orisinil karena bercampur dengan
budaya lokal, sikap taklid buta, sikap tidak kritis, dan tidak mau menggali Islam
lebih dalam dengan membuka Kitab-kitab Hadits yang shahih. Oleh karena itu,
lewat para ulamanya seperti Ahmad Hassan yang juga dikenal dengan Hassan
Bandung atau Hassan Bangil, Persis mengenalkan Islam yang hanya bersumber dari
Al-Quran dan Hadits (sabda Nabi). Organisasi Persatuan Islam telah tersebar di
banyak provinsi antara lain Jawa Barat, Jawa Timur, DKI Jakarta, Banten,
Lampung, Bengkulu, Riau, Jambi, Gorontalo, dan masih banyak provinsi lain yang
sedang dalam proses perintisan. Persis bukan organisasi keagamaan yang
berorientasi politik namun lebih fokus terhadap Pendidikan Islam dan Dakwah dan
berusaha menegakkan ajaran Islam secara utuh tanpa dicampuri khurafat, syirik,
dan bid’ah yang telah banyak menyebar di kalangan awwam orang Islam.2
Di Indonesia, terdapat perbedaan paham keagamaan dalam
mengimplementasikan nilai-nilai Islam seperti, organisasi masyarakat (Ormas).
Organisasi Keagamaan merupakan salah satu bentuk kemasyarakatan yang dibentuk
atas dasar kesamaan baik kegiatan maupun profesi agama.3
Persatuan Islam (PERSIS) dalam sejarah Islam di Indonesia dikenal sebagai
salah satu gerakan sosial keagamaan, juga merupakan salah satu dari Gerakan
pembaharuan Islam di Indonesia, pembaharuan ini sebagai upaya-upaya pemurnian
dalam masalah akidah, ibadah, muamalat, dan sosial politik.

1
Aris Risdiana (2019). ‘Strategi Dakwah Persatuan Islam (PERSIS)’, Idrarotuna 1, 2: 16.
2
https://www.persis.or.id/page/sejarah diakses tanggal 13-03-2021.
3
Bambang Khoirudin (2019). Organisasi Keagamaan Dan Interaksi Sosial Masyarakat Islam Di Desa
Pancasila Kecamatan Natar Kabupaten Lampung Selatan. (Skripsi, Universitas Islam Negeri Raden
Intan, Lampung).
Metode Penelitian
Dalam artikel ini penulis menggunakan metode penelitian kepustakaan
(library research), yaitu serangkaian kegiatan yang berkenaan dengan metode
pengumpulan data pustaka.4 Teknik kepustakaan (library research) adalah
“penelitian kepustakaan yang dilaksanakan dengan cara membaca, menelaah dan
mencatat berbagai literatur atau bahan bacaan yang sesuai dengan pokok bahasan,
kemudian disaring dan dituangkan dalam kerangka pemikiran secara teoritis”. 5

Hasil dan Pembahasan


Peran dan Pemikiran Persatuan Islam (PERSIS) dalam Bidang Sosial Keagamaan
Peran Persatuan Islam (PERSIS) dalam Bidang Sosial Keagamaan
Persatuan Islam (Persis) lebih dikenal sebagai organisasi pembaruan Islam,
dibanding ormas lainnya, yang sangat getol dengan seruan kembali kepada Alquran
dan hadis, terutama yang menyangkut masalah akidah dan ibadah. Tema utama
pembaruan Persis ini dikembangkan dalam perjuangannya kepada dua arah.
Pertama, kepada internal umat Islam, khususnya kalangan Persis untuk terus
berjuang membersihkan Islam dari faham-faham yang tidak berdasarkan Alquran
dan hadis. Kedua, kepada eksternal umat Islam, terutama para pihak yang
dianggap melakukan gerakan anti Islam, Persis mengembangkan perjuangannya
untuk menentang dan melawan setiap aliran serta gerakan tersebut di Indonesia.6
Pengembangan pemikian keagamaan Persis tersebut, untuk masa-masa awal
lebih bertumpu kepada pemikiran dan karya-karya Ahmad Hasan. Dia merupakan
guru utama Persis yang berhasil mencetak kader-kader yang melanjutkan
perjuangannya. Meskipun A. Hassan tidak pernah menjadi pengurus eksekutif
dalam organisasi ini, seperti halnya pada masa kemerdekaan Indonesia Persis
dipimpin oleh Isa Anshari (1916-1969) sebagai ketua umum, sejak tahun 1948
sampai tahun 1960. Selama kepemimpinannya itu, A. Hassan tetap menjadi tokoh
dan guru utama Persis. Bahkan semenjak awal gerakan ijtihad, Persis banyak
memecahkan berbagai macam persoalan hukum Islam di masyarakat, seperti
masalah ibadah dan mu’amalah, selalu dalam kendali A. Hassan melalui bukunya
berjudul Soal Jawab tentang Berbagai Masalah Agama, 3 jilid. Selama itu pula
Persis belum memiliki Lembaga pembahasan hukum yang otonom, sehingga
pemikiran dan fatwa-fatwa A. Hassan masih tetap sebagai rujukan dan pegangan
warga Persis.
Baru kemudian, berhubung A. Hassan sudah sepuh dan mulai sakit-sakitan,
pada Muktamar Persis Keenam, tanggal 15-18 Desember 1956, disepakati
pembentukan Majelis Ulama Persis. Tercatat sebagai anggota Majelis Ulama ini
adalah : Ahmad Hassan, K.H.E. Abdurrahman, Munawwir Cholil, dan Abdul Qodir
Hassan, putra sulung A. Hassan. Adapun status serta peranan Majlis Ulama ini,
sebagaimana dijelaskan dalam Qanun Asasi Persis tahun 1957, Bab IV Pasal 1,
antara lain sebagai berikut : 1) Majlis Ulama diangkat oleh Pusat Pimpinan Persis,
dengan cara bekerjanya yang diatur dalam kaidah Majlis Ulama 2) Bertugas
menyelidiki dan menetapkan hukum-hukum Islam berdasar Alquran dan Sunnah,
yang hasilnya kemudian disiarkan oleh Pusat Pimpinan Persis, 3) Sebagai waratsatul
anbiya’, Majlis Ulama mempunyai hak veto (menolak dan membatalkan) atas
segala keputusan dan langkah yang diambil oleh organisasi Persatuan Islam.

4
Mahmud (2011). Metode Penelitian Pendidikan. Bandung: Pustaka Setia.
5
Kartini Kartono (1998). Pengantar Metodologi Research. Bandung: Alumni.
6
Deliar Noer (1985). Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942. Jakarta: LP3ES.
Produk pemikiran Majlis Ulama Persis tidak banyak diketahui secara langsung,
kecuali hasil-hasil pembahasan atau pengembangan atas karya-karya A. Hassan.
Bahkan pengembangan demikian lebih banyak dilakukan oleh Abdul Qadir Hassan
(1914-1984), sehingga dinamika Majlis Ulama tersebut juga tidak terlepas dari
peranan putra sulung A. Hassan ini.
Dalam Muktamar Kedelapan Persis pada tahun 1983, Majlis Ulama diubah
namanya menjadi Dewan Hisbah. Sebagaimana disebutkan dalam Qanun Asasi
Persis, Bab II, Pasal 8, bahwa “Dewan Hisbah berkewajiban membantu Pusat
Pimpinan dalam meneliti hukum-hukum Islam dan mengawasi pelaksanaannya serta
memberikan teguran atas pelanggaran-pelanggaran hukum Islam yang dilakukan
oleh para pimpinan dan anggota Jam’iyyah”. Dengan demikian, tugas utama Dewan
Hisbah sebagai aparat Pimpinan Pusat Persis adalah mengemban amanat untuk
meneliti masalah-masalah yang membutuhkan keputusan hukum. Dewan Hisbah
juga berperanan sebagai pengawas pelaksanaan hukum di kalangan anggota Persis,
dan bertanggungjawab dalam setiap kinerja dan keputusan-keputusan hukum yang
difatwakan.
Dewan Hisbah secara struktural terdiri dari tiga komisi sebagai berikut: 1)
Komisi Ibadah, yang bertugas menyusun konsep-konsep serta petunjuk pelaksanaan
ibadah praktis, untuk dijadikan pegangan bagi anggota Persis; 2) Komisi
Mu’amalah, yang bertugas mengadakan pembahasan tentang masalah-masalah
sosial yang mucul dalam masyarakat, baik atas hasil pemantauan langsung komiisi
ini maupun atas masukan dari komisi lain dan masyarakat umum, dan 3) Komisi
Aliran Sesat, yang bertugas melakukan penelitian dan pembahasan tentang aliral-
aliran keagamaan yang dipandang sesat dan muncul di masyarakat.
Hasil kajian Dewan Hisbah Persis, antara lain dapat ditelaah dari tahun 1996-
2009. Sebagian produk hukum dewan ini merupakan hasil revisi terhadap hasil-hasil
pembahasan sebelumnya atau ketetapan-ketetapn lama, tetapi secara umum tetap
menunjukkan jawaban atau pemecahan atas persoalan-persoalan yang berkembang
di masyarakat, terutama berkaitan dengan aspek ibadah dan mu’amalah. Masalah-
masalah yang berkenaan dengan ibadah selalu dilakukan dengan pengkajian ulang
terhadap hasil ijtihad para tokoh Persis terdahulu, misalnya buku A.Hassan,
Pengajaran Shalat, Soal Jawab; dan buku Kata Berjawab karya ‘Abd. al-Qadir
Hassan. Produk hukum tentang ibadah, antara lain: hukum salat dengan dua
bahasa, hukum salat Jum’at bagi musafir, dan mengangkat tangan ketika berdoa.
Demikian halnya dengan mu’amalah, Dewan Hisbah melakukan kajian atas
berbagai permasalahan hukum sesuai perubahan dan perkembangan ilmu hukum.
Produk ijtihad dalam bidang ini, antara lain tentang posisi zakat dan pajak, wakaf
uang, dan waris non muslim.
Selain Dewan Hisbah, terdapat lembaga lain yang dikembangkan untuk
menopang peranan Persis dalam kajian-kajian keislaman dan sosial. Di antaranya
adalah Majlis Tafkir yang berfungsi sebagai forum pemikir untuk memberikan
masukan dan pertimbangan terhadap kebijakan-kebijakan organisasi; Majelis
Tarbiyah yang bertugas mengembangkan pengkajian dan memberikan
pertimbangan terhadap prinsipprinsip serta strategi pendidikan dan dakwah;
Dewan Hisab dan Rukyat, yang berperanan membahas penentuan kalender Islam;
dan Lajnah Bantuan Hukum Persis untuk memberikan pelayanan bantuan hukum
kepada masyarakat.7

7
Dudung Abdurrahman (2020). Persatuan Islam (PERSIS) Pada masa Kontemporer 1945-2015.
Yogyakarta: Prodi Sejarah dan Kebudayaan Islam (SKI) Fakultas Adab dan Ilmu Budaya UIN Sunan
Kalijaga. Hal. 2-4
Pemikiran Persatuan Islam (PERSIS) dalam Bidang Sosial Keagamaan
Pemikiran di Bidang Akidah dan Syari’ah
Konsepsi tentang Wali dalam Kaitannya dengan Tawasul
Secara kebahasaan, seperti yang disebutkan dalam al-Qur’an, Hadîts
pembicaraan orang Arab, tawassul artinya mendekat (taqarub) kepada yang dituju
dan mencapainya dengan keimanan yang kuat. Dalam praktiknya, tawassul itu
adalah berdoa dengan menggunakan perantara (wasilah), baik berupa orang
maupun benda. Yang dipersoalkan oleh Persatuan Islam dalam bertawassul ini
adalah penggunaan perantara misalnya Nabi, wali atau orang-orang ‘alim yang
telah meninggal dunia. Karena yang telah meninggal itu sama sekali tidak bisa
berbuat apa-apa bahkan telah hilang ditelan bumi. Apalagi bertawasul dengan
memakai benda, hal ini sama sekali tidak bisa dimengerti oleh akal sehat. Lain
persoalannya jika orang yang dijadikan perantara itu masih hidup. Itu sebabnya,
dengan menggunakan gaya bahasa fiqh, A. Hassan menyatakan bahwa pada zaman
shahabat memang pernah ada tawassul, tetapi dilakukan kepada orang yang masih
hidup supaya mendoakan atau ia diajak berdoa bersama-sama, seperti pernah
terjadi pada saat Umar Ibn Khaththab bertanya kepada Abbas paman Nabi, maka
Abbas pun berdoa kepada Allah agar diturunkan hujan. Jika seseorang boleh minta
kepada Allah dengan perantaraan orang lain karena berkahnya, maka berarti boleh
bertawassul kepada ka’bah atau barang lain karena ia mempunyai berkah. Dengan
demikian apa bedanya dengan cara berdoa orangorang Jahiliyah yang meyakini
keberkatan berhala-berhala.8

Konsepai tentang Qadha dan Qadar.


Masalah qadar ini, kata A. Hassan, tidak akan bisa dipecahkan oleh akal
pikiran dan hanya bisa selesai dengan dasar agama (keyakinan). Akal makhluk tidak
dapat mengambil keputusan tentang qadar Allah, tetapi karena agama
menyuruhnya untuk percaya kepada Allah, maka kita pun percaya. Sebagaimana
Allah menyuruh mengerjakan sesuatu kewajiban, maka kita mengerjakannya.
Halhal yang dirasa bertentangan dengan pikiran, kita serahkan kepada Allah,
karena kita mengakui bahwa akal manusia sangat terbatas dalam masalah ini. M.
Natsir mempunyai pandangan yang agak berbeda dengan A. Hassan. Menurutnya,
bahwa kekuasaan Allah itu amat luas dan tak terbatas, sehingga ada yang dapat
dijangkau oleh akal dan ada yang tidak terjangkau. Namun dalam praktiknya,
Tuhan selamanya akan memberikan kekuasaannya menurut kemampuan akal kita.
Dalam hal ini M. Natsir, mengutip sabda Nabi yang menyatakan:
“Berpikirlah kamu tentang makhluk Allah dan janganlah berpikir tentang zat-
Nya”.
Namun demikian, diyakini bahwa persoalan qadhâ dan qadar bagian dari
kemahaesaan Allah dalam arti yang sesungguhnya. Diyakini pula bahwa taqdir Allah
menjelma dalam hukum alam (sunatullâh) atau hukum sebab-akibat yang pasti
berlaku, termasuk di dalamnya kebebasan berkehendak dan berbuat bagi manusia
(free will and free act). Sejalan dengan pandangan di atas adalah pandangan yang
dikembangkan Muhammad ‘Abduh yang berkeyakinan bahwa manusia memiliki
ikhtiar dan kasab. Akan tetapi mereka juga tetap meyakini bahwa perbuatan

8
Dadan Wildan Anas, Badri Khaeruman, M Taufik Rahman dan Latif Awaludin (2015). Anatomi
Gerakan Dakwah Persatuan Islam. Tangerang: Amana Publishing. hal 264.
manusia itu adalah ciptaan Allah. Konsep ini pada gilirannya membebani manusia
untuk mempertanggungjawabkan amal perbuatannya di sisi Allah.9

Konsepsi tentang Khufarat dan Tahayul


Khurafat ialah, “Satu ketentuan, caranya seperti cara upacara agama, ada
ketentuan waktu dan tempatnya yang tidak diatur oleh akal, seperti membuat
sesajen setiap malam Selasa atau Jum’at, tidak ada yang mengatakan hukumnya
itu sunnat atau wajib, pelakunya tidak mengharapkan ganjaran atau
menghindarkan adzab Tuhan, tetapi takut dari sesuatu yang ghaib, tidak
berdasarkan akal atau dalil dari al-Qur’an dan Hadîts”. Sedangkan yang dimaksud
dengan tahayyul atau hayyal ialah, “Gambaran dalam pikiran yang dasarnya kira-
kira atau sudah menjadi kebiasaan nenek moyang. Khurafat, nama satu orang yang
mahir mendongengkan yang bukan-bukan terutama lelakon Jin. Dan di kalangan
orang Islam, di negeri kita, dimaksudkan sesuatu yang menyangkut yang ghaib,
dasarnya kira-kira atau kebiasaan nenek moyang”.
Kritik terhadap prilaku khurafat dan takhayul yang berdimensi syirk itu,
Persatuan Islam menyatakan bahwa perbuatan atau keyakinan yang demikian
bertentangan dengan tauhid, yang seharusnya hanya tertuju kepada Allah semata-
mata. Dan dalam soal tauhid, Islam tidak mengenal kompromi dengan kepercayaan
lain. Misalnya kepercayaan terhadap benda-benda keramat (jimat) yang konon
dihuni oleh roh dan makhluk halus, jika tidak dipuja melalui sesajen, akan
mendatangkan bahaya. Atau kepercayaan lainnya yang sejenis dan masih banyak
diyakini oleh umat Islam di Indonesia. Karena kepercayaan-kepercayaan demikian,
sesungguhnya merupakan kepercayaan Animis, yakni kepercayaan kuno bangsa
Indonesia.10

Pemikiran dalam Paham Keagamaan


Ahl al-Sunnah Wa Jama’ah
Ahl al-Sunnah, ialah umat Islam yang iman dan aqidahnya berdasarkan Sunnah
Nabi, berdasarkan al-Qur’an dan Hadits Nabi SAW. Mereka yang menganut aliran
teologi ini tidak menjadikan akal sebagai hakim, yang menetapkan hukum halal
dan haram, wajib atau sunnat, akan tetapi akal dijadikan penafsir dan penguat
bagi apa yang telah ditetapkan hukumnya oleh al-Qur’an dan Hadîts.
Ahl al-Sunnah adalah Ahli Sunnah Rasul, yang dalam amal ibadahnya, iman-
i’tikadnya, cocok dengan Sunnah Nabi, cocok dengan perjalanan Rasulullah SAW.
Ahl al-Sunnah tentu dan pasti bukan Ahli Bid’ah. Ahli Bid’ah yang bebas dan
merdeka menetapkan hukum halal dan haram, hanya berpedoman kepada yang
sudah umum, ghalib dan biasa. Merasa besar hati dan lega perasaan, merasa benar
dan hak karena banyak kawan dan pengikut, walaupun bertentangan dengan al-
Qur’an dan Hadits, atau sama sekali tidak beralasan dengan dalil yang shahih,
tetapi hanya ketetapan pikiran, perkiraan dan sangkaan belaka.
Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah itu bukan golongan yang bermadzhab. Tuduhan
kepada orang yang tidak bermadzhab itu keluar dari Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah
itu terang tidak beralasan sama sekali. Tuduhan itu hanyalah semata-mata untuk
kepentingan siasat dan politik, politik sesat dan menyesatkan, sesat pendirian,
menyesatkan diri sendiri dan orang banyak. Jika hanya bermadzhab Ahl al-Sunnah
wa al-Jama’ah, dan selain dari madzhab ini dianggap salah dan sesat, sebagaimana
9
Ibid, hal.269
10
Ibid, hal 270.
umumnya dituduhkan beberapa kyai tradisional, bagaimana nasib umat Islam yang
hidup sebelum munculnya para imam madzhab yang empat itu, apakah mereka
termasuk umat yang sesat? Jika setelah kemunculan imam yang empat baru wajib
bermadzhab, maka hendaklah yang mewajibkan itu memberi dalil dan keterangan,
menyusun hujjah dan alasan dengan nash yang nyata, kalau betul mengaku Ahl al-
Sunnah, pengikut Sunnah Rasul dan jama’ah shahabat.
Tuduhan para tokoh ulama tradisional yang mereka lemparkan kepada
Persatuan Islam, Muhammadiyyah dan al-Irsyad keluar madzhab, yakni keluar dari
Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah, tidak lebih dan tidak kurang hanyalah berdasarkan
kepada pendapat pikiran, kira-kira dan sangka semata-mata, timbul dari sentimen
perasaan dengki dan hasud, memecah kesatuan dan kesaudaraan umat Islam,
melemahkan perjuangan kaum muslimin. Umat Islam perlu bertanya kepada
golongan yang mengaku bermadzhab, mengaku pengikut dan pembela para imam
yang empat; apakah paham, pengertian dan pendirian mereka sekarang itu sesuai
dan bersamaan dengan paham dan ajaran imam yang empat? Persoalannya, karena
ke empat imam itu terang-terangan mengatakan bahwa kalau ada pendapatnya
yang bertentangan dengan Hadîts Nabi, maka Hadîts Nabi yang wajib dipakai dan
pendapatnya wajib dibuang. Dengan demikian, Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah yang
tulen dan asli itu ialah bukan ahli bid’ah tetapi anti bid’ah.

Ahmadiyah Qadian Bukan Bagian dari Umat Islam


Kalangan Persatuan Islam sangat gigih mempertahankan bahwa Nabi
Muhammad adalah Nabi terakhir, sehubungan dengan keyakinan Ahmadiyah bahwa
sesudah Muhammad ada lagi seorang nabi bernama Mirza Ghulam Ahmad. Alasan
yang sangat mendasar bagi kalangan Persatuan Islam ialah sebuah ayat yang
menyatakan:
“Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari seseorang laki-laki di antara
kamu, tetapi ia adalah Rasulullah dan penutup para nabi-nabi” (QS. al-
Ahzab: 40)

Kritik Terhadap Paham Keagamaan Syiah


Meskipun paham keagamaan Persatuan Islam menyatakan tidak menganut
salah satu madzhab, karena hal itu merupakan sikap taqlid yang dilarang oleh
ajaran Islam. Namun keberadaan madzhab tersebut diakui adanya, dan Persatuan
Islam memandang bahwa madzhab itu bukan empat melainkan lima. Satu di
antaranya adalah madzhab Syî’ah.
Tulisan tentang madzhab Syî’ah yang beredar di Persatuan Islam sangat
terbatas. Itu pun muncul atas pertanyaan yang diajukan ke redaksi majalah Risalah
terbitan P.P. Persatuan Islam, sehingga penjelasan tentang madzhab ini merupakan
jawaban atas pertanyaan yang diajukan salah seorang pembaca majalah tersebut,
dan kemudian dijawab oleh EAN, yakni inisial KHE. Abdurrahman, pengasuh
majalah Risalah dan sekaligus Ketua Umum Persatuan Islam ketika itu.
Namun demikian, jawaban itu secara tidak langsung mencerminkan sikap
Persatuan Islam dalam memandang madzhab ini, yang ternyata ada yang disikapi
secara positif, misalnya terhadap sekte Zaidiyah. Sebagai bukti, misalnya kitab
tafsir Fath al-Qadir yang ditulis oleh al-Syawkani, seorang Syî’ah Zaidiyah, banyak
dibaca dan bahkan dimiliki oleh umumnya ustadz di kalangan Persatuan Islam.
Namun terhadap sekte Syî’ah yang lainnya, seperti Imâmiyah atau Itsnâ‘Asyariyah,
disikapi
secara berbeda. Sikap tersebut misalnya, tercermin ketika pada awal 1980-an saat
Iran memproklamirkan sebagai negara Republik Islam, sempat terjadi polemik,
antara Kang Jalal (Jalaluddin Rakhmat), dengan Kang Deddy Rahman (Deddy
Rahman) dari Pesantren Persatuan Islam, Pajagalan. Polemik itu dimuat pada
Harian Pikiran Rakyat, namun dihentikan oleh redaksi Harian tersebut padahal
belum menyentuh persoalan yang sebenarnya. Karena dibalik polemik itu
sesungguhnya terlihat inti persoalan yang sebenarnya yakni antara yang membela
Syî’ah di satu pihak dan yang menolaknya di lain pihak.

Simpulan
Persis didirikan dengan tujuan untuk memberikan pemahaman Islam yang
sesuai dengan aslinya yang dibawa oleh Rasulullah Saw dan memberikan pandangan
berbeda dari pemahaman Islam tradisional yang dianggap sudah tidak orisinil
karena bercampur dengan budaya lokal, sikap taklid buta, sikap tidak kritis, dan
tidak mau menggali Islam lebih dalam dengan membuka Kitab-kitab Hadits yang
shahih.
Persatuan Islam (PERSIS) dalam sejarah Islam di Indonesia dikenal sebagai
salah satu gerakan sosial keagamaan, juga merupakan salah satu dari Gerakan
pembaharuan Islam di Indonesia, pembaharuan ini sebagai upaya-upaya pemurnian
dalam masalah akidah, ibadah, muamalat, dan sosial politik. Peran dan pemikiran
persatuan Islam (PERSIS) dalam bidang sosial agama ditandai dengan adanya Dewan
Hisbah yang berkewajiban membantu Pusat Pimpinan dalam meneliti hukum-
hukum Islam dan mengawasi pelaksanaannya serta memberikan teguran atas
pelanggaran- pelanggaran hukum Islam yang dilakukan oleh para pimpinan dan
anggota Jam’iyyah. secara umum Dewan Hisbah bertujuan untuk menunjukkan
jawaban atau pemecahan atas persoalan-persoalan yang berkembang di
masyarakat, terutama berkaitan dengan aspek ibadah dan mu’amalah. Produk
hukum tentang ibadah, antara lain: hukum salat dengan dua bahasa, hukum salat
Jum’at bagi musafir, dan mengangkat tangan ketika berdoa. Demikian halnya
dengan mu’amalah, Dewan Hisbah melakukan kajian atas berbagai permasalahan
hukum sesuai perubahan dan perkembangan ilmu hukum. Produk ijtihad dalam
bidang ini, antara lain tentang posisi zakat dan pajak, wakaf uang, dan waris non
muslim.
Selain Dewan Hisbah, terdapat lembaga lain yang dikembangkan untuk
menopang peranan Persis dalam kajian-kajian keislaman dan sosial. Di antaranya
adalah Majlis Tafkir yang berfungsi sebagai forum pemikir untuk memberikan
masukan dan pertimbangan terhadap kebijakan-kebijakan organisasi; Majelis
Tarbiyah yang bertugas mengembangkan pengkajian dan memberikan
pertimbangan terhadap prinsip-prinsip serta strategi pendidikan dan dakwah;
Dewan Hisab dan Rukyat, yang berperanan membahas penentuan kalender Islam;
dan Lajnah Bantuan Hukum Persis untuk memberikan pelayanan bantuan hukum
kepada masyarakat
Kemudian pemikiran-pemikiran persatuan Islam (PERSIS) terhadap akidah,
akhlak serta pemikiran mengenai pemahaman agama, yang didalamnya mencakup
kritik Persatuan Islam terhadap beberapa pemahaman yang tidak sesuai dengan
Syariat Islam, sebagai Gerakan pembahuran Islam dalam upaya membasmi taqlid,
jumud, khurafat, bid’ah, takhayul dan syirik di kalangan masyarakat Islam
Indonesia.
Daftar Sumber:
Aris Risdiana (2019). ‘Strategi Dakwah Persatuan Islam (PERSIS)’, Idrarotuna 1, 2:
16.
Bambang Khoirudin (2019). Organisasi Keagamaan Dan Interaksi Sosial Masyarakat
Islam Di Desa Pancasila Kecamatan Natar Kabupaten Lampung Selatan.
(Skripsi, Universitas Islam Negeri Raden Intan, Lampung).
Dadan Wildan Anas, Badri Khaeruman, M Taufik Rahman dan Latif Awaludin (2015).
Anatomi Gerakan Dakwah Persatuan Islam. Tangerang: Amana Publishing. hal
42-44.
Deliar Noer (1985). Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942. Jakarta: LP3ES.
Dudung Abdurrahman (2020). Persatuan Islam (PERSIS) Pada masa Kontemporer
1945-2015. Yogyakarta: Prodi Sejarah dan Kebudayaan Islam (SKI) Fakultas
Adab dan Ilmu Budaya UIN Sunan Kalijaga. Hal. 2-4
https://www.persis.or.id/page/sejarah diakses tanggal 13-03-2021.
Kartini Kartono (1998). Pengantar Metodologi Research. Bandung: Alumni.
Mahmud (2011). Metode Penelitian Pendidikan. Bandung: Pustaka Setia.

Anda mungkin juga menyukai