Anda di halaman 1dari 4

ASWAJA DAN GERAKAN POLITIK ISLAM DI INDONESIA

Oleh :
M. Syarif, M.Pd.I

A. APA ITU ASWAJA ?


Yang pertama kali harus kita bongkar adalah pengertian apakah itu Aswaja ?. Sebagai
singkatan dari Ahlus Sunnah Wal Jama’ah, Aswaja adalah gugus pemahaman keagamaan yang
mengikuti ajaran tertentu dari para Sarjana Muslim (Ulama) abad pertengahan dan tetap
berpengaruh hingga kini.

Dalam konteks ini Aswaja memiliki definisi tersendiri yang lebih kompleks dibanding Ahlus
Sunnah Wal Jamaah sebagai sebuah sekte teologi. Pada yang terakhir ini orang biasa nenyebutnya
sebagai aliran Sunni dan bukannya Aswaja.

Aswaja tidak hanya gugus pemahaman di bidang teologi belaka yang mengikuti ajaran Imam
Abul Hasan Al Asyari. Aswaja meliputi pemahaman dalam disiplin Yurisprudensi (Fiqh), Aqidah
(Teologi), dan Asketisme (Tashawwuf). Dalam hal ini, banyak organisasui keagamaan Islam
mengafiliasikan dirinya sebagai bagian dari Ahlus Sunnah Wal Jamaah dan memiliki gugus
pemahaman tersendiri yang dibangun oleh tokohnya.

Wahabi misalnya, dalam Teologi mengikuti apa yang diajarkan oleh Ibnu Taimiyah dan
Muhammad Ibn Abdul Wahhab, dalam Fiqh mengikuti Imam Hanbali, sedangkan dimensi asketis
keagamaan mereka buang karema menurut mereka tak sejalan dengan Prinsip Ajaran Islam Murni.

Di Indonesia, Aswaja identik dengan Nahdlatul Ulama. Mungkin karena akronim itu memang
dibiasakan di lingkaran NU sejak awal. Dalam hal ini, NU identik dengan Ahlus Sunnah Wal Jamaah
tetapi Ahlus SUnnah Wal Jamaah tidak identik dengan NU. Karena di berbagai belahan dunia ini, ada
banyak organisasi keislaman yang juga mengidentifisir dirinya sebagai Ahlus Sunnah dan bukan hanya
NU. Bahkan Wahabi saja sebagai sebuah sekte radikal dalam Islam juga memprokalmirkan dirinya
sebagai kelompok Ahlus Sunnah Wal Jamaah meskipun dunia muslim memandang mereka sebagai
sekte tersendiri yang anti mainstream.

Para tokoh NU di Indonesia membangun gugus pemahaman Aswaja dengan klasifikasi sebagai
berikut. Dalam hal FIqh mengikuti Imam yang empat (Hanafi, Maliki, Syafii, Hanbali). Dalam hal Teologi
mengikuti gagasan Abul Hasan Al Asyari dan Abu Mansur AL Maturidi. Seangkan dalam hal Tashawwuf
mengikuti Imam Jnaid Al Baghdadi dan Imam Ghazali.

1
B. SEJAK KAPAN ADA ASWAJA ?

Jika diartikan sebatas sekte Teologis, maka Ahlus Sunnah Wal Jamaah hadir di dunia Islam
sejak abad 9 M pada saat Imam Abul Hasan Al Asyari naik ke mimbar masjid dan mendeklarasikan
gagasan teologisnya yang moderat. Yaitu bukan Qadariyah juga bukan Jabariyah.

Harus diakui bahwa dari gagasan teologis moderat inilah lahir gugus pemikiran moderat
dalam pemahaman keagamaan yang lain seperti di bidang FIqh dan Tashawwuf. Artinya, gagasan
Imam Abul Hasan Al Asyari menjadi Rahim bagi lahirnya gagasan moderat di dunia Islam yang tidak
miring ke kiri dan miring ke kanan.

Sejauh berbicara tentang konteks Indonesia, maka Aswaja hadir bersamaan dengan dakwah
Walisongo di tanah Jawa pada abad 14 M. Gaya dakwah Walisongo yang moderat telah melahirkan
gugus pemahaman keislaman yang moderat di nusantara dan mampu beradaptasi dengan nilai-nilai
lokal. Gugus pemahaman ini yang kemudian menjadi basis epistemologis bagi perkembangan
pemikiran Aswaja di Indonesia. Walisongo memang luar biasa “kalem” terhadap perbedaan budaya
local dan sembari mendakwahkan Islam, mereka menginfiltrasi masyarakat dengan nilai-nilai Islam
sehingga lahir Islam yang khas gaya mereka dan yang hari ini sering kita istilahkan sebagai Islam
Nusantara. Pada titik itu, kita pantas bertanya, “Apakah Jawa yang telah di Islam-kan atau justru Islam-
lah yang telah di Jawa-kan”.

B. PERAN ASWAJA DALAM GERAKAN POLITIK ISLAM INDONESIA


Sejauh ditujukan terhadap NU, maka tema ini sangat mudah dituliskan. Tetapi masalahnya
adalah Aswaja itu sudah ada jauh sebelum NU itu sendiri ada. Dengan begitu, pertanyaanya menjadi
“apa peranan kelompok yang memiliki pemahaman Aswaja dalam gerakan politik umat Islam di
nusantara ?”, yang kedua, kelompok Aswaja yang mana yang paling berperan ?.
Jika lingkar waktunya mencakup era penjajahan Belanda, maka peran politik umat Islam
secara kesleuruhan, bukan hanya kalangan Aswaja, sudah banyak dibahas dalam berbagai literature
dan media. Tetapi jika lingkar waktunya kita pangkas hanya pada era Indonesia pasca kemerdekaan,
maka peran politik “Umat Islam Aswaja di Nusantara” bisa ditunjuk pada disetujuinya Pancasila
sebagai dasar Negara dan Negara Kesatuan Republik Indonesia disepakati bentuk final Negara kita.
Sementara garis Organisasi Islam yang lain di Indonesia menginginkan diberlakukannya
syariah secara formal, kelompok Aswaja ini menerima hukum positif diberlakukan di Indonesia
dengan berbagai argumentasi eklektik (sesuai dengan pilihan) berdasar prinsip moderat dalam

2
pemahaman keagamaan mereka. Mereka mampu bersatu dengan kalangan nasionalis yang tak
menghendaki campur tangan agama dalam hukum-hukum publik semacam hukum pidana dan
perdata, apalagi dalam politik.
Lebih jauh, ketika pemahaman Aswaja ini mengental dalam wajah Nahdlatul Ulama, kalangan
Aswaja menjadi garda depan untuk mempertahankan apa yang telah dibangun oleh para pendiri
bangsa ini sejak semula. Yaitu Pancasila, UUD 1945, Bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan
penolakan terhadap gagasan pendirian Khilafah yang dinilai terlaku utopis dan anakronik serta bisa
memecah belah persatuan dan kesatuan bangsa.
NU sendiri pernah menjadi Partai Politik pada era Orde Lama (1952) sebelum kemudian
memutuskan untuk kembali ke khittahnya (1984). Pada saat itu NU kembali menegaskan dirinya
sebagai sebuah organisasi keagamaan yang lebih peduli pada gerakan kultural (budaya) daripada
gerakan struktural (politik). Dengan mengkhususkan diri pada organisasi gerakan kultural ini lah NU
malah menjadi organisasi keagamaan yang terbesar di Indonesia. Pada era reformasi, kendatipun tak
terlibat secara langsung dalam politik praktis, NU juga membidani lahirnya beberapa partai politik
yang berwajah NU (dus dengan begitu berwajah Aswaja) semacam PKB dan PKNU.
Tetapi ikut aktif melahirkan partai politik berwajah NU bukanlah peran politik yang penting
bagi komunitas aswaja. Sebab yang lebih penting lagi adalah bagaimana pemahaman Aswaja itu ikut
serta memperngaruhi dinamika politik dan pemikiran politik ditengah masyarakat Indonesia. Peran
aktif kalangan Aswaja dalam menolak ideologi khilafah di Indonesia adalah salah satu yang terpenting
dan patut untuk dicatat.
Pemikiran-pemikiran para tokoh Aswaja di Indonesia juga layak digarisbawahi sebagai bagian
dari penting tersebut. Ide-ide pluralisme yang digemakan oleh Gus Dur, KH Said Aqil Siradj, KH
Musthofa Bisri dan ulama-ulama Aswaja yang lain menjadi benteng tangguh bagi tetap rekatnya
persatuan dan kesatuan bangsa Indnonesia yang luar biasa heterogen dalam agama. Budaya, dan
kepentingan politik ini. Slogan “NKRI harga mati tanpa diskon” menjadi gema senusantara yang
dipegangi untuk menjaga kesatuan dan persatuan tersebut.
Beberapa pemikiran kalangan Aswaja yang sangat berpengaruh di Indonesia dapat dicatat
dalam beberapa hal berikut :
1. Pluralisme atau sikap menerima perbedaan. Disini, sikap pluralisme kalangan Aswaja
bukan hanya tertuju pada kemauan untuk hidup berdampingan namun juga meliputi
sikap untuk saling mengerti dan saling membantu dalam wilayah perbedaan itu. Motor
utama gagasan pluralism ini adalah KH Abdurrahman Wahid.
2. Mempertahankan bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia. Slogan paling popular
kalangan Aswaja dalam konteks ini adalah “NKRI Harga Mati Tanpa Diskon sedikitpun”.

3
Prinsip ini dipegangi oleh kalangan Aswaja sebagai bentuk sikap ta’dzim mereka kepada
para pendiri bangsa yang dianggap telah menemukan bentuk final dari Negara kita.
3. Islam Indonesia yang lebih dikenal sebagai Islam Nusantara. Yaitu sebuah konsep berislam
yang dikembangkan dengan merujuk kepada nilai-nilai khas Indonesia dalam
mengamalkan ajaran agama. Pada sisi ini, jika sebuah warisan nilai keagamaan
dipandang kurang sesuai dengan kondisi adat dan budaya Indonesia, maka kalangan
Aswaja akan melakukan penyesuaian yang dianggap perlu justru demi lestarinya nilai
keagamaan itu sendiri.
4. Penolakan terhadap Gerakan Formalisasi Islam baik dalam bentuk politik maupun hukum.
Sejak semula ketika Indonesia baru saja merdeka, kalangan Aswaja ini yang berdiri
berdampingan dengan kalangan nasionalis untuk menolak pemberl akuan syariat Islam
formal di Negara kita. Aswaja menyadari bahwa pemberlakuan hukum potong tangan
bagi pencuri, hukum rajam bagi pezina, adalah hukum purba yang harus ditafsirkan
ulang dalam hal pelaksanaannya untuk konteks zaman ini.
5. Aswaja juga menolak gagasan untuk menjadikan Indonesia sebagai Negara Teokrasi
(Negara Agama sebagaimana di Iran) mengingat Indonesia adalah negarayang agama
masyarakatnya sangat heterogen. Menjadikan Islam sebagai dasar Negara juga bukan hal
yang positif dalam konteks Indonesia bagi kalangan Aswaja karena di negara ini, Islam
bukan satu-satunya agama. Memilih bentuk Negara agama akan menjadikan Indonesia
hancur lebur dalm perpecahan. Itu sudah pasti.
Jika orang mau membandingkan gaya berislam yang mana yang saat ini paling berpengaruh
di Indonesia, maka orang harus menunjuk NU, sebagai wajah terdepan paham Aswaja di Indonesia.
Pengaruhnya bukan hanya pada dinamika kehidupan sosial budaya masyarakat Indonesia semata,
namun juga sampai pada dinamika politik tanah air dimana kalangan Aswaja ini memiliki kekuatan
sebagai magnet politik yang sangat diperhitungkan. Lihatlah pada momen-momen pemilihan umum
saat para petinggi politik merangkak-rangkak didepan para Kyai demi mendapatkan simpati dari
mereka yang nantinya diharapkan akan menarik dukungan para pengikut mereka..
Tetapi apakah ideologi Aswaja tidak memiliki kekurangan. Tentu saja banyak. Ditengah arus
budaya modern yang semakin cepat ini, gaya kalem Aswaja kerap dini;ai sebagai gaya oportunis yang
hanya menmafaatkan kesempatan untuk meraih keuntungan. Lebih-lebih ketika disadari bahwa
Aswaja disukai banyak disukai oleh berbagai kalangan diluar Islam. Ini membuat kalangan Aswaja
diperebutkan bukan oleh kalangan Islam saja namun juga Non Islam untuk meraih dukungan politik.

* **

Anda mungkin juga menyukai