Anda di halaman 1dari 14

FATWA-FATWA MAJELIS ULAMA INDONESIA (MUI)

DALAM PEMIKIRAN HUKUM ISLAM DI INDONESIA

Khozainul Ulum
Fakultas Agama Islam Universitas Islam Lamongan
E-mail : averroz@gmail.com

Abstract: The Indonesian Ulema Council (MUI) is a non governmental


organization facilitating clerics (ulema), zu'ama, and Islamic scholars in
Indonesia to guide, nurture and protect the Muslims throughout Indonesia. MUI
is an institution that is considered to have the right to issue verdicts (fatwa)
related to Islamic legal matters in Indonesia. However, the emergence of MUI as
such a fatwa institution during the New Order era is considered to have become a
religious justification related to various religion-related government policies. So
not surprisingly if on the beginning of its establishment, the MUI was not
considered the institution representing and serving Muslims. Moreover, there
have been some MUI verdicts (fatwa) often causing controversy in society. Even
the decision of MUI to issue fatwa is questioned for, some reasons, not being in
line with the government policies. At this point, the socio-political factor could
influence the content of the MUI fatwa instead of being based solely on religious
considerations.
Keyword: Indonesian Ulema Council, fatwa, methodology.

Pendahuluan
Fatwa adalah nasehat resmi dari suatu otoritas mengenai pendirian hukum atau dogma
Islam. Fatwa diberikan sebagai respons terhadap suatu masalah. Sebagian fatwa hanya
sekedar mengulang-ulang berbagai pendapat yang telah dikenal. Oleh karena itu, fungsinya
yang paling penting adalah penegasan kembali secara resmi. Namun demikian, terdapat
banyak fatwa sepanjang periode sejarah kaum muslim yang bersentuhan langsung dengan
tuntutan keadaan-keadaan baru, yaitu perubahan sosial dan hukum.1
Fatwa muncul karena adanya suatu masalah akibat perkembangan sosial yang
dihadapi oleh umat. Karena itu, fatwa mensyaratkan adanya orang yang meminta atau kondisi
yang memerlukan adanya pandangan atau keputusan hukum. Dengan demikian, fatwa tidak
persis sama dengan tanya-jawab keagamaan biasa. Bukan juga sekedar ceramah-ceramah
seputar suatu ajaran agama. Fatwa senantiasa sangat sosiologis. Ia mengandalkan adanya
perkembangan baru, persoalan baru, atau kebutuhan baru yang secara hukum belum ada
ketetapan hukumnya, atau belum jelas duduk masalahnya.
Hikmah dari hubungan fatwa dengan perkembangan masyarakat adalah kenyataan
bahwa sejak semula hukum Islam sebagaimana yang diilustrasikan oleh gradualisasi turunnya
al-Quran adalah al-taqlil fi al-taqnin. Bahwa, hukum tidak perlu dibuat sepanjang tidak ada
masalah yang mendesak untuk dipecahkan. Sebab jika segala sesuatu harus diatur secara
hukum, sementara ada aspek-aspek lain dari kehidupan yang juga mengandung pedoman
kehidupan, seperti akhlak, akidah, muamalah, dan sebagainya.

1
MB. Hooker, Islam Mazhab Indonesia; Fatwa-Fatwa dan Perubahan Sosial, alih bahasa Iding Rosyidin
Hasan, cet. II (Jakarta: TERAJU, 2003), 13.

AKADEMIKA, Volume 8, Nomor 2, Desember 2014


167

Karena itu, Majelis Ulama Indonesia (MUI) sebagai organisasi keagamaan yang
diasumsikan memiliki otoritas sebagai pemberi fatwa, keputusan-keputusan fatwanya tidak
bisa lepas dari latar belakang sosiologis yang telah menuntut keselarasan dengan keputusan
fatwa tersebut. Sehingga, MUI dituntut harus mampu menerjemahkan dalil-dalil otoritatif
yang menjadi pijakan penetapan fatwa agar produk hukumnya dapat diterima oleh masyarakat
muslim.

Latar Belakang MUI


Majelis Ulama Indonesia (MUI) berdiri pada 26 Juli tahun 1975 atas inisiatif
pemerintah dengan tujuan menegakkan dan mengontrol ekspresi publik tentang Islam di
bawah bantuan negara (dalam hal ini adalah Departemen Agama) 2 sekaligus sebagai saluran
alternatif pemerintah untuk berkomunikasi dengan komunitas muslim. 3 Berdirinya MUI
merupakan hasil pertemuan atau musyawarah para ulama, cendekiwan dan zu’ama. Sepuluh
ulama pelopor pendiri berasal dari unsur ormas-ormas Islam tingkat pusat, yaitu Nahdlatul
Ulama, Muhammadiyah, Syarikat Islam, Perti, al-Washliyah, Mathla’ul Anwar, GUPPI,
PTDI, DMI dan al-Ittihadiyyah, ditambah 4 ulama dari Dinas Rohani Islam TNI/POLRI serta
13 tokoh atau cendekiawan sebagai wakil perorangan. Dari musyawarah tersebut, lahir
piagam berdirinya MUI yang ditandatangani oleh seluruh peserta musyawarah yang kemudian
disebut dengan Musyawarah Nasional Ulama (Munas) I.4
Ulama Indonesia, yang tergabung dalam organisasi Majelis Ulama Indonesia,
mempunyai peranan yang sangat penting dalam soal keagamaan, sosial budaya dan sosial
politik sesuai dengan sifat dan tanggung jawab yang dipikulnya itu. Gambaran ini terlihat
bahwa MUI merupakan sebuah institusi yang menurut pedoman dasarnya, antara lain
berfungsi memberikan fatwa dan nasehat mengenai masalah keagamaan dan kemasyarakatan
kepada pemerintah dan umat Islam pada umumnya, sebagai amar ma’ruf nahi munkar dalam
usaha meningkatkan ketahanan nasional. Organisasi MUI merupakan produk dari tatanan
kehidupan rakyat Indonesia di zaman Orde Baru yang menjadi suatu wadah untuk
menjembatani aspirasi umat Islam dengan pihak pemerintah.5
Sebelumnya, di tahun 1970 pemerintah pernah menyatakan bahwa ulama merupakan
bagian dari sayap negara (nation-wide body) yang bisa mewakili umat Islam berkenaan
dengan kesepakatan-kesepakatan dengan pemerintah dan kelompok agama lainnya. Namun,
pernyataan pemerintah tersebut belum sepenuhnya diperhatikan karena pernyataan itu muncul
setahun sebelum pemilihan umum tahun 1971.6 Pernyataan pemerintah tersebut membuat
khawatir para ulama bahwa mereka akan dijadikan alat oleh pemerintah untuk menarik
simpati umat Islam dan memenangkan pemilihan umum.7

2
MB. Hooker, Islam Mazhab Indonesia....., 92. Lihat juga dalam MB. Hooker, Indonesian Syari’ah; Defining A
National School of Islamic Law (Singapore: Institute of Southeast Asian Studies, 2008), 30. Juga lihat
www.map-bms.wikipedia.org/wiki/Majelis_Ulama_Indonesia.
3
Martin van Bruinessen, “Indonesia’s Ulama and Politics: Caught Between Legitimising The Status Quo And
Searching for Alternatives” dalam Prisma – The Indonesian Indicator (Jakarta No. 49, 1990), 63.
4
www.map-bms.wikipedia.org/wiki/Majelis_Ulama_Indonesia.
5
M. Hasbi Umar, Nalar Fiqih Kontemporer (Jakarta: Gaung Persada Press, 2007), 250.
6
M. Atho’ Mudzhar, Islam and Islamic Law in Indonesia; A Socio-Historical Approach (Jakarta: Libang Depag
RI, 2003), 126.
7
Ibid.

AKADEMIKA, Volume 8, Nomor 2, Desember 2014


168

Selanjutnya, pada tahun 1973 pemerintah berinisiatif untuk merestrukturisasi partai


politik dengan membatasi jumlah partai yang akan mengikuti pemilihan umum dan melarang
penggunaan semboyan-semboyan atau simbol-simbol keagamaan dalam partai politik.8 Selain
itu, pada tahun yang sama, berbagai kontroversi juga muncul berkenaan dengan persoalan-
persoalan yang menyentuh agama, seperti Rancangan Undang-Undang Perkawinan9 yang
memasukkan artikel-artikel yang bertentangan dengan hukum Islam. RUU Perkawinan ini
menuai protes dan demonstrasi dari banyak kalangan masyarakat. Meskipun demikian, RUU
Perkawinan tersebut akhirnya disetujui dengan adanya perubahan-perubahan penting.
Menanggapi hal ini, para ulama melihat bahwa draft asli dari RUU Perkawinan tersebut
merupakan bukti bahwa pemerintah, sebisa mungkin, akan selalu mencoba untuk melakukan
sekularisasi hukum Indonesia secara menyeluruh dengan mengabaikan hukum Islam. 10
Tanda-tanda kemunculan MUI sebenarnya bisa dirunut jauh ke belakang. Pada masa
penjajahan Belanda sudah ada sejumlah organisasi daerah dan nasional yang menggunakan
term ulama, seperti Persyarikatan Ulama Majalengka, Persatuan Ulama Seluruh Aceh, Majelis
Ulama Toli-Toli dan Nahdlatul Ulama. Dalam dasawarsa tiga puluhan, organisasi-organisasi
ulama tersebut telah meleburkan diri dalam satu badan yang disebut Majelis Islam A’la
Indonesia (MIAI). Pada masa pendudukan Jepang (1942-1945), MIAI dibubarkan dan diganti
dengan Masyumi yang kemudian menjadi partai politik Islam. 11
Pada tahun 1950-an, ketika tentara Indonesia mencoba merebut hati rakyat Jawa Barat
dalam perlawanan mereka melawan pejuang muslim yang ingin mendirikan negara Islam –
Darul Islam –, tentara Indonesia mengorganisasi beberapa pertemuan dengan ulama regional
dengan tujuan menuntut kerjasama politik mereka. Di tahun 1958 lahirlah Majelis Ulama
Provinsial dengan keanggotaan yang terdiri dari ulama dan personil militer, dengan tujuan
utama masalah keamanan.12 Organisasi yang sama juga pernah muncul di tingkat nasional
dengan maksud untuk memperbaiki dukungan muslim terhadap kebijakan Soekarno.13
Di era Orde Baru, mejelis ulama yang pertama kali juga lahir di Aceh pada tahun
1965-1966. bertepatan dengan operasi anti komunis menyusul kegagalan Untung, pemimpin
militer di Aceh meminta beberapa tokoh ulama untuk mengeluarkan fatwa diperbolehkannya
membunuh kelompok komunis. Karena tanggung jawab ini tidak bisa dibebankan secara
perorangan, maka 56 tokoh ulama dari seluruh provinsi diundang untuk menghadiri Konggres
Luar Biasa (17-18 Desember 1965). Hasil dari konggres tersebut disepakati untuk diabadikan
eksistensinya dalam bentuk Majelis Ulama Aceh.14
Kelahiran MUI tidak berkaitan dengan tujuan militer dan keamanan seperti yang
terjadi pada organisasi-organisasi majelis ulama lain sebelumnya, namun lebih cenderung
kepada tujuan politik. Hal ini diindikasikan dengan pembiayaan Musyawarah Nasional
(Munas) I MUI tahun 1975 dari pemerintah. Bahkan tema yang diangkat dalam Munas

8
Ibid.
9
MB. Hooker, Islam Mazhab Indonesia....., 92.
10
M. Atho’ Mudzhar, Islam and Islamic Law in Indonesia....., 126.
11
Zaenal Abidin EP, “Majelis Ulama Indonesia: Pelanggeng Pragmatisme Religius” dalam MaJEMUK, edisi 17,
ICRP.
12
Martin van Bruinessen, “Indonesia’s Ulama and Politics....., 64.
13
Lihat Deliar Noer, Administration of Islam in Indonesia (New York: Cornell Modern Indonesia Project, 1978),
65-66.
14
Martin van Bruinessen, “Indonesia’s Ulama and Politics....., 64.

AKADEMIKA, Volume 8, Nomor 2, Desember 2014


169

tersebut – “Ulama dan Pembangunan” – dimaksudkan untuk memobilisasi dukungan umat


Islam terhadap kebijakan pembangunan pemerintah. Tiga program kerja yang menjadi
sasarannya adalah 1) penguatan agama dan pemahaman terhadap Pancasila sebagai asas
negara, 2) partisipasi ulama dalam usaha pembangunan, dan 3) pemeliharaan hubungan
harmonis dengan agama-agama lain.15
Indikasi lain adalah tentang kebijakan pemerintah tentang “porkas” yang telah dimulai
pada tahun 1986. Dalam prakteknya, “porkas” difungsikan sebagai lotere dan pemerintah
menyediakan legalitas bentuk perjudian ini. Masyarakat muslim langsung protes atas
kebijakan tersebut dan para ahli khotbah (preachers) di seluruh negeri menuntut pelarangan
“porkas”. NU dan Muhammadiyah telah memutuskan bahwa “porkas” merupakan salah satu
bentuk dari perjudian dan karena itu haram. Beberapa MUI Provinsi sepakat dengan
keputusan kedua organisasi tersebut dan meminta pemerintah untuk menghentikan kebijakan
tersebut. MUI Pusat lama sekali tidak memberikan tanggapan, padahal “porkas” merupakan
persoalan yang perlu mendapatkan keputusan hukum dari ulama. Namun, akhirnya MUI
secara hati-hati mengirimkan surat kepada Menko Kesra, Alamsyah Ratu Perwiranegara,
untuk tidak mengutuk “porkas” berdasarkan alasan-alasan agama, tetapi meminta pemerintah
untuk mereview kebijakan tersebut dengan pertimbangan dampak sosial yang negatif.
Kemudian, Ketua Komisi Fatwa MUI, Prof. Ibrahim Hosen, mengeluarkan pernyataan bahwa
perjudian (maysir) dilarang oleh Islam, berbeda dengan jenis lotere dan karena itu “porkas
diperbolehkan”. Penyataan ini mendapat protes dari kalangan muslim. Ulama independent
menolak argumen Hosen dan mengeluarkan fatwa mengutuk “porkas”. Persoalan ini pada
akhirnya membuat MUI kehilangan kepercayaan dari mayoritas masyarakat muslim.16
Sebagai sebuah organisasi, ketua dan anggota MUI dipilih oleh dan dari ulama. Ketua
MUI yang pertama adalah Hamka (1975-1981), seorang yang alim dari kelompok modernis.
Keilmuannya diakui secara internasional dan di tahun 1959, Universitas Al-Azhar Kairo
memberikan penghargaan Doktor Kehormatan. Ketua MUI yang kedua adalah Syukri Ghazali
(1981-1984) dari kelompok Nahdlatul Ulama. Ia merupakan mantan Dekan Syari’ah IAIN
Jakarta dan Rektor IIQ Jakarta. Ketua selanjutnya adalah Hasan Basri (1984-1995), penasehat
dan mantan aktivis politik Masyumi. Ia menjabat sebagai ketua MUI dua periode.
Selanjutnya, MUI dipimpin oleh Ali Yafie (1995-2000), kemudian diteruskan oleh Sahal
Mahfudz (2000-2005). Sedangkan periode sekarang (2005-2008) dipimpin oleh Ma’ruf Amin.
Dilihat dari keseluruhan eksistensi MUI, dapat diketahui dengan jelas bahwa ada
empat sikap dasar MUI yang perlu digarisbawahi dalam setiap aktivitasnya, yaitu pertama,
keinginan untuk mendapatkan penerimaan (pengakuan) dari masyarakat dan memiliki
hubungan yang baik dengan organisasi Islam. Kedua, keinginan untuk memelihara hubungan
yang baik dengan pemerintah. Ketiga, keinginan untuk mendorong partisipasi yang lebih
besar dari masyarakat muslim dalam pembangunan nasional. Keempat, keinginan untuk
memelihara hubungan yang harmonis dengan kelompok agama non-muslim.17
Untuk mendapatkan penerimaan (pengakuan) dari masyarakat dan memiliki hubungan
yang baik dengan organisasi Islam, fungsionaris MUI mengunjungi organisasi-organisasi
Islam atau mengundang mereka dalam sebuah pertemuan di kantor MUI. Untuk memelihara

15
Ibid.
16
Lihat Ibid., 65.
17
M. Atho’ Mudzhar, Islam and Islamic Law in Indonesia....., 127.

AKADEMIKA, Volume 8, Nomor 2, Desember 2014


170

hubungan baik dengan pemerintah, MUI membangun pola hubungan yang agak rumit. Satu
sisi, keinginan pemerintah untuk mendirikan MUI di tahun 1970 mendapatkan kecurigaan
dari para pemimpin Islam, karena itu MUI didirikan pada tahun 1975. Setelah MUI didirikan,
tekanan yang tetap dirasakan adalah keinginan pemerintah untuk meminta justifikasi
kebijakan-kebijakannya kepada MUI. Di sisi lain, pemerintah terus menerus menunjukkan
penghargaan tinggi kepada MUI dan memberikan dukungan finansial,18 sementara MUI tetap
mencoba memelihara hubungan baik dengan pemerintah; Presiden, para menteri, tokoh-tokoh
militer dan pegawai pemerintah lainnya. Beberapa fatwa memiliki kecenderungan dan
merupakan dukungan terhadap pemerintah.19
Untuk mendorong partisipasi muslim dalam pembangunan nasional, MUI
mengeluarkan fatwa agar masyarakat muslim memperbaiki kesejahteraan sosial mereka. 20
Untuk memelihara hubungan yang harmonis dengan kelompok agama non-muslim, MUI
membangun sebuah hubungan yang sangat rumit terutama dengan Kristen, karena adanya
perlakuan diskriminatif di era pemerintahan kolonial Belanda. Hal ini berlanjut dengan
adanya isu kristenisasi orang-orang Islam di awal tahun 1960-an, dan puncaknya adalah
gagalnya pertemuan antar kelompok agama pada 30 November 1967. Hamka, di saat ia
menjadi ketua MUI, masih mengkhawatirkan adanya isu kristenisasi. Namun, pada tahun
1980 ada sebuah kesepakatan antara muslim dan non-muslim untuk membuat badan
konsultatif antar agama yang merepresentasikan lima kelompok agama yang eksis di
Indonesia (Islam, Protestan, Katholik, Hindu dan Budha) untuk membahas isu-isu yang
mencemaskan dan untuk membangun hubungan harmonis antar agama.21
Di awal tahun 1990-an, sikap dasar MUI di atas masih tetap sama, tetapi dengan
perubahan pada intensitas dan manifestasinya. MUI mendapatkan penerimaan yang
menyenangkan dari masyarakat muslim, karena itu periode 1990-1995 MUI didesain untuk
merepresentasikan organisasi muslim besar, seperti NU dan Muhammadiyah. 22
Ketika pertama kali didirikan, MUI tidak bermaksud untuk menjadi sebuah organisasi
yang meluncurkan program dengan sendirinya, tetapi lebih cenderung memberikan saran dan
menjadi titik penghubung serta koordinasi. Namun, sejak tahun 1990 tujuan MUI telah
berubah tidak hanya sebagai pemberi saran, lebih dari itu, secara bertahap mengeluarkan
program sendiri, semisal program praktis yang meliputi pengiriman da’i ke daerah-daerah
transmigrasi, membuat Bank Mu’amalah Indonesia, pendirian Badan Arbitrasi Indonesia

18
Hooker mengatakan bahwa salah satu ciri MUI adalah bahwa ia ditunjuk dan dibiayai oleh negara.
Konsekuensinya adalah adanya beberapa fatwa MUI yang berpihak kepada pemerintah. Persoalan pembiayaan
negara terhadap MUI tampak sekali diwakili oleh Departemen Agama (Depag) dengan kucuran-kucuran dana
dari Dana Abadi Umat (DAU). Lihat MB. Hooker, Islam Mazhab Indonesia....., 92. Lihat juga Zaenal Abidin
EP, “Majelis Ulama Indonesia.....”.
19
Beberapa fatwa tersebut adalah semisal (1) fatwa tentang Jeddah dan King ‘Abd al-‘Aziz sebagai miqat haji;
(2) fatwa tentang talak tiga sekaligus; (3) fatwa tentang penyembelihan hewan secara mekanik; (4) fatwa tentang
keabsahan (halal) daging kelinci; (5) fatwa tentang konsumsi dan budidaya kodok; (6) fatwa tentang keluarga
berencana (KB); (7) fatwa tentang keabsahan menggunakan alat kontrasepsi dalam rahim (IUD); dan (8) fatwa
tentang gerakan Syi’ah di Indonesia. Selengkapanya lihat M. Atho’ Mudzhar, Islam and Islamic Law in
Indonesia....., 128 dan Himpunan Fatwa Majelis Ulama Indonesia (Jakarta: BMI&PH Depag RI, 2003).
20
Fatwa tentang perbaikan kesejahteraan sosial dikeluarkan oleh MUI pada 30 Oktober 1983 tentang
kependudukan, kesehatan dan pembangunan. Lihat Himpunan Fatwa Majelis Ulama Indonesia (Jakarta:
BMI&PH Depag RI, 2003), 182-194.
21
M. Atho’ Mudzhar, Islam and Islamic Law in Indonesia....., 128-129.
22
Ibid., 129.

AKADEMIKA, Volume 8, Nomor 2, Desember 2014


171

untuk kasus-kasus mu’amalah, dan membentuk Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-Obatan


dan Kosmetik yang telah mengeluarkan lebih dari tiga ratus sertifikat halal untuk produk
makanan domestik maupun internasional.23
Organisasi MUI memiliki kepengurusan dari tingkat pusat sampai ke tingkat daerah.
MUI tingkat pusat mempunyai sepuluh komisi, salah satunya adalah komisi fatwa. Komisi ini
secara khusus melakukan kajian atas berbagai isu yang muncul di kalangan umat Islam
berkenaan dengan masalah keagamaan dan kemasyarakatan, baik yang bersifat nasional
maupun internasional. Hasil kajian tersebut selanjutnya dirumuskan dalam bentuk fatwa.24
MUI tingkat daerah merupakan subordinat dari kebijakan yang dibuat oleh MUI di
tingkat pusat. Tujuannya adalah untuk menciptakan keseragaman skala nasional dalam
ekspresi praktis ajaran Islam, meskipun kenyataannya sering MUI tingkat daerah bertindak
atas inisiatif mereka sendiri.25 MUI Sumatera Utara misalnya, menerbitkan buku Fatwa dan
Hukum, dan seri pembahasannya disebut Al-Muzakarah yang mencapai 95 masalah. Hal yang
sama juga dilakukan oleh MUI DKI Jakarta yang sangat aktif. Kumpulan fatwanya tercover
dalam Fiqih Indonesia; Himpunan Fatwa-Fatwa Aktual. MUI Propinsi Jawa Timur juga
mengeluarkan fatwa tentang Penggunaan Hewan Cicak, Tokek Dan Kadal Sebagai Bahan
Obat yang ditetapkan pada 22 Mei 2002, juga fatwa tentang Terjemah Mengiringi Pembacaan
Teks Ayat al-Quran dalam Shalat Berjama’ah yang tertuang dalam nomor : Kep-
13/SKF/MUI/JTM/II/2005, juga fatwa tentang Pencemaran Sungai Di Surabaya yang tertuang
dalam nomor : Kep-15/SKF/MUI/JTM/V/2008. Biasanya, fatwa-fatwa yang dikeluarkan oleh
MUI dalam bentuk Surat Keputusan (SK) merupakan respons atas pertanyaan-pertanyaan
yang dikirim oleh pemerintah, perorangan atau individu, atau institusi, atau respons atas
kecemasan-kecemasan yang berkembang di masyarakat.26

Fatwa-Fatwa MUI
Sejak tahun 1975 sampai 2003, jumlah fatwa yang telah dikeluarkan oleh MUI
sebanyak 84 fatwa dengan delapan kategori, yaitu fatwa tentang ibadah, perkawinan, budaya,
kedokteran, hubungan antar agama, fatwa tentang makanan, perencanaan keluarga, faham
keagamaan,27 dan fatwa tentang calon legislatif non-muslim. Sedangkan mulai tahun 2003
sampai 2005, MUI mengeluarkan sebelas fatwa, yaitu fatwa tentang (1) perlindungan Hak
Kekayaan Intelektual, (2) perdukunan (kahanah) dan peramalan (‘irafah), (3) do’a bersama,
(4) perkawinan beda agama, (5) kewarisan beda agama, (6) kriteria maslahat, (7) pluralisme,
liberalisme dan sekularisme agama, (8) pencabutan hak miliki pribadi untuk kepentingan
umum, (9) wanita menjadi imam shalat, (10) hukuman mati dalam tindak pidana tertentu, dan
(11) aliran Ahmadiyah.28 Berikut beberapa fatwa MUI yang dinilai sangat kontroversial
terkait dengan aspek sosio-politik.
1. Fatwa tentang Keluarga Berencana.
Pada tanggal 17-20 Oktober 1983 di Jakarta, MUI mengadakan Musyawarah
Nasional Ulama dengan tema Kependudukan, Kesehatan dan Pembangunan yang dihadiri
23
Ibid.
24
Zaenal Abidin EP, “Majelis Ulama Indonesia.....”.
25
MB. Hooker, Islam Mazhab Indonesia....., 93.
26
M. Atho’ Mudzhar, Islam and Islamic Law in Indonesia....., 131.
27
Selengkapanya lihat Himpunan Fatwa Majelis Ulama Indonesia (Jakarta: BMI&PH Depag RI, 2003).
28
Lihat Fatwa Munas VII Majelis Ulama Indonesia (Jakarta: MUI, 2005).

AKADEMIKA, Volume 8, Nomor 2, Desember 2014


172

oleh lima puluh ulama dan empat dokter medis. Dalam Munas tersebut, diputuskan
beberapa fatwa berikut :29
a. Islam membenarkan praktek Keluarga Berencana (KB) yang bertujuan untuk
kepentingan kesehatan ibu dan anak, dan untuk perhatian pendidikan anak. Praktek
KB harus dijalankan menurut pilihan dan menggunakan alat kontrasepsi yang tidak
dilarang oleh Islam.
b. Praktek aborsi dalam bentuk dan tahap kehamilan apapun adalah haram dalam Islam
karena merupakan bentuk pembunuhan, kecuali jika praktek aborsi merupakan satu-
satunya cara untuk menyelamatkan hidup si ibu.
c. Vasectomi (pemotongan saluran mani pada laki-laki) dan tubectomi (pemotongan
saluran telur pada wanita) dilarang dalam Islam, kecuali dalam kasus-kasus emergensi,
semisal untuk mencegah penyebaran penyakit atau untuk menyelamatkan kehidupan
seseorang melalui jalur vasectomi atau tubectomi.
d. Penggunaan alat kontrasepsi dalam rahim (IUD) dalam pelaksanaan KB dapat
dibenarkan jika pemasangan dan pengontrolannya dilakukan oleh dokter medis wanita
atau dokter medis pria dengan didampingi oleh suami atau wanita lain.
Dalil yang dipakai dalam keputusan fatwa di atas hanya merujuk kepada al-Quran
dan hadits, tanpa merujuk kepada teks-teks fiqh. Jumlah ayat al-Quran yang dipakai dasar
dalam fatwa tersebut adalah 15 ayat, sedangkan hadits berjumlah enam. 30 Ayat-ayat al-
Quran yang dikutip pada dasarnya berkenaan dengan nilai-nilai anak dan kebahagiaan
mempunyai anak, bahaya anak dan kekayaan jika tidak diurus dan dipelihara dengan
baik, kenyataan bahwa Allah telah menciptakan umat manusia secara berpasangan dan
memunculkan benih-benih kasih sayang pada mereka, dan bahwa para ibu dapat
menyusui bayi-bayinya selama dua tahun penuh atau hingga 30 bulan yang merupakan
jarak waktu antara dua kali kelahiran yang dikehendaki. 31 Adapun hadits yang dipakai
adalah berkenaan dengan anjuran bagi laki-laki untuk segera menikah jika dia sudah
mapan secara ekonomi, pentingnya kekuatan fisik bagi umat Islam, pentingnya
memberikan kekayaan yang cukup bagi anak, praktek coitus interrupt’s (‘azl) pada masa
Nabi, dan kewajiban orang tua untuk memberikan pendidikan yang layak untuk anak. 32
Sebelumnya, di tahun 1971 para ulama melarang penggunaan alat kontrasepsi
dalam rahim (IUD). Namun, dalam Munas tahun 1983, MUI mengeluarkan fatwa
diperbolehkannya penggunaan IUD dalam praktek KB. Diperbolehkannya pengguanaan
alat kontrasepsi dalam rahim (IUD) dalam praktek KB, menurut Ibrahim Hosen
merupakan kebutuhan yang telah nyata. Tekanan pertumbuhan populasi di Indonesia
sudah sangat tinggi, sehingga praktek KB merupakan satu-satunya cara praksis untuk
mengurangi tekanan tersebut, dan penggunaan IUD merupakan saran dari para ahli
sebagai salah satu alat kontrasepsi yang paling efektif dan tidak mahal.33 Oleh karena itu,

29
M. Atho’ Mudzhar, Islam and Islamic Law in Indonesia....., 134.
30
Ibid., 135.
31
M. Hasbi Umar, Nalar Fiqih Kontemporer....., 197.
32
M. Atho’ Mudzhar, Islam and Islamic Law in Indonesia....., 135.
33
Ibid., 137.

AKADEMIKA, Volume 8, Nomor 2, Desember 2014


173

fatwa MUI tahun 1983 bukan untuk membatalkan fatwa ulama tahun 1971, tetapi sebagai
sebuah koreksi atas dasar argumentasi yang disampaikan dalam fatwa ulama.34
Masih menurut Ibrahim, fatwa tahun 1971 melarang penggunaan IUD berdasarkan
bahwa memasukkan alat kontrasepsi ke dalam rahim melibatkan kegiatan melihat
terhadap ‘aurah wanita, sehingga larangan penggunaan IUD secara metodologis
diklasifikasikan sebagai hurrima li dhatih. Karena itu, argumentasi tersebut harus
dikoreksi, sebab melihat ‘aurah wanita pada dasarnya tidak dilarang jika yang
melakukannya adalah suami. Dus, melihat ‘aurah adalah dilarang bukan karena
melihatnya (li dhatih), tetapi sebagai ukuran tindakan pencegahan atas pelanggaran-
pelanggaran yang lebih jauh yang disebut perzinahan. Dengan kata lain, melihat ‘aurah
secara metodologis diklasifikasikan sebagai hurrima li sadd al-dharai’.35
Pada dasarnya, MUI sangat teliti dalam merumuskan fatwa-fatwa di atas dan tahu
betul akan tingginya tekanan populasi pada saat itu. Namun, tekanan utama adalah datang
dari pemerintah. Ketika para ulama pada tahun 1971 mengeluarkan fatwa larangan
penggunaan IUD, fatwa tersebut menjadi pukulan telak bagi program pemerintah.
Pada tahun 1967, Soeharto bergabung dengan pemimpin-pemimpin negara lainnya
dalam penandatanganan Deklarasi Populasi Dunia (Declaration of World Population). Di
tahun 1968, ia mendirikan badan semi pemerintah untuk program KB. Selanjutnya, pada
tahun 1970, ia mendirikan badan pemerintah BKKBN (Badan Koordinasi Keluarga
Berencana Nasional), dan di tahun 1972, ketua BKKBN bertanggung jawab langsung
kepada presiden. Empat jenis alat kontrasepsi (pil, IUD, kondom dan suntik) diberikan
secara gratis oleh pemerintah. Tahun 1971, kurang lebih dari 366.669 orang mengikuti
program pemerintah ini. Dari jumlah tersebut, 55,3 persen memilih IUD sebagai alat
kontrasepsi. Tahun 1972, jumlah masyarakat yang mengikuti program KB meningkat
sampai 1.025.472, dan 53,5 persen memilih IUD. Ketika sebelas tokoh ulama melarang
penggunaan IUD pada tahun 1971, hal itu berdampak pada berkuranganya partisipan KB
sampai setengah juta lebih. Karena itu, pemerintah berusaha membujuk para ulama untuk
melegalkan secara agama penggunaan IUD. Ketika tahun 1983, MUI mengeluarkan
fatwa diperbolehkannya penggunaan IUD dalam KB dan disambut baik oleh pemerintah.
Pada saat itu, jumlah pemakai IUD berkisar pada 2,9 juta dan meningkat sampai 3,9 pada
tahun 1984.36
2. Fatwa tentang Faham Shi’ah
Dalam fatwa tentang faham Shi’ah, MUI mendasarkan pada lima argumentasi yang
berkaitan dengan perbedaan prinsip antara Shi’ah dengan kelompok ahl al-sunnah wa al-
jama’ah yang sebenarnya sudah menjadi bahasan lama dalam sejarah aliran-aliran Islam.
Argumentasi-argumentasi tersebut adalah :37
a. Shi’ah menolak hadits yang tidak diriwayatkan oleh ahl al-bait, sedangkan ahl al-
sunnah wa al-jama’ah tidak membeda-bedakan asalkan hadits tersebut memenuhi
syarat ilmu mushthalah al-hadits.

34
Ibid., 136.
35
Ibid.
36
Ibid., 137-138.
37
Himpunan Fatwa Majelis Ulama Indonesia....., 95.

AKADEMIKA, Volume 8, Nomor 2, Desember 2014


174

b. Shi’ah memandang “Imam” itu ma’shum, sedangkan ahl al-sunnah wa al-jama’ah


memandangnya sebagai manusia biasa yang tidak luput dari khilaf.
c. Shi’ah tidak mengakui ijma’ tanpa adanya “Imam”, sedangkan ahl al-sunnah wa al-
jama’ah mengakui ijma’ tanpa mensyaratkan ikut sertanya “Imam”.
d. Shi’ah memandang bahwa menegakkan kepemimpinan/pemerintahan (imamah) adalah
termasuk rukun agama, sedangkan ahl al-sunnah wa al-jama’ah memandang dari segi
kemaslahatan umum dengan tujuan untuk menjamin dan melindungi dakwah dan
kepentingan umat.
e. Shi’ah pada umumnya tidak mengakui kekhalifahan Abu Bakar al-shiddiq, ‘Umar ibn
al-Khaththab, dan ‘Usman ibn ‘Affan, sedangkan ahl al-sunnah wa al-jama’ah
mengakui keempat al-khulafa al-rashidun.
Pertanyaan yang timbul adalah mengapa MUI pada tahun 1984 begitu perlu
mengeluarkan fatwa ini dan mendasarkan pada argumentasi klasik yang menjadi titik
perbedaan antara doktrin Shi’ah dan Sunni ?. Menurut Atho’ Mudzhar, fatwa yang
dikeluarkan oleh MUI di atas tidak terlepas dari konteks sosio-politik saat itu.38
Tahun 1979 merupakan tahun revolusi Iran yang menjatuhkan pemerintahan sekuler
dan menggantinya dengan pemerintahan Islam. Gaung revolusi Iran ini ternyata
menjangkau sampai di Indonesia. Bahkan, diisukan di Jakarta bahwa beberapa pemuda
muslim akan menjadi target dari eksportasi ide revolusi Iran tersebut. Dalam kondisi
seperti itu, pemerintah Indonesia perlu mengambil langkah pencegahan agar ide revolusi
Iran tersebut tidak mengganggu pembangunan di Indonesia. Kondisi yang sama juga
menuntut MUI untuk memberikan kontribusi dalam usaha pencegahan tersebut dengan
mengeluarkan fatwa tentang faham Shi’ah. Secara internal, fatwa tersebut berfungsi
untuk menjaga kesatuan dan homogenitas masyarakat muslim Indonesia dan menegaskan
kembali status MUI sebagai penjaga umat Islam Indonesia. Secara eksternal, fatwa
tersebut ditujukan untuk mendapatkan kredit dari pemerintah karena telah ikut serta
memelihara eksistensi sistem politik pada saat itu. Dus, sementara argumentasi fatwa
tersebut adalah cenderung teologis dan klasik, perhatian utama adalah politik.
3. Fatwa tentang Calon Anggota Legislatif Non-Muslim
Setelah tahun 1995, ada beberapa moment dimana fatwa-fatwa MUI menyentuh
isu-isu politik yang sangat sensitif, salah satunya adalah fatwa tentang calon anggota
legislatif non-muslim yang dikeluarkan pada 1 Juni 1999, enam hari menjelang pemilu 7
Juni 1999. dalam fatwa tersebut terdapat empat poin, yaitu :39
a. Umat Islam disarankan untuk menggunakan hak pilihnya pada pemilu 7 Juni 1999
secara bebas dan bertanggung jawab terhadap partai politik yang berjanji untuk
mengartikulasi interes umat Islam.
b. Umat Islam disarankan untuk memilih partai politik yang banyak mengajukan calon
muslim.
c. Umat Islam disarankan selalu berhati-hati terhadap bahaya laten komunis, otoritarian
dan sekularisme yang menyamar di dalam partai-partai politik.

38
M. Atho’ Mudzhar, Islam and Islamic Law in Indonesia....., 140.
39
Ibid., 140-141.

AKADEMIKA, Volume 8, Nomor 2, Desember 2014


175

d. Umat Islam disarankan untuk berdo’a kepada Tuhan dalam menghadapi pemilu 7 Juni
1999.
Fatwa tersebut menuai banyak kritik dari masyarakat, semisal Abdurrahman Wahid
yang menuduh MUI telah melakukan intervensi dalam persoalan politik praktis. Juru
Bicara PDIP, Didi Supriyanto menuduh MUI telah menciptakan disharmoni masyarakat
dan dapat dikenakan sanksi pasal 151 KUHP.
4. Fatwa tentang Presiden Wanita
Pada tahun 1998, Konggres Umat Islam Indonesia (KUII) meminta fatwa kepada
MUI tentang boleh tidaknya wanita menjadi presiden Indonesia. Secara mengejutkan,
sampai Munas MUI pada Juli 1998 (satu tahun sebelum pemilu 1999), MUI tidak
mengeluarkan fatwa apapun tentang presiden wanita. Kondisi ini mirip ketika MUI
dimintai jawaban tentang “porkas” dimana saat itu MUI – dalam waktu yang lama sejak
1986 sampai 1991 – tidak mengeluarkan fatwanya. Diamnya MUI saat itu bukan karena
mereka tidak tahu tentang isu tersebut, melainkan karena keengganannya untuk
menentang kebijakan pemerintah.
Berkenaan dengan isu tentang presiden wanita, ada pernyataan menarik dari
Ibrahim Hosen, ketua Komisi Fatwa MUI saat itu. Ia menyatakan bahwa Islam melarang
wanita menjadi presiden jika konstitusi negaranya adalah Islam. Sikap agak keengganan
ini, kemudian dinyatakan secara jelas oleh Ali Yafie, Ketua Umum MUI, bahwa tidak
ada kesepakatan di antara pemimpin-pemimpin MUI tentang boleh tidaknya wanita
menjadi presiden atau wakil presiden.40
Boleh tidaknya wanita menjadi pemimpin merupakan perdebatan klasik dalam
hukum Islam. Sebagian ulama melarang wanita menjadi pemimpin, sementara sebagian
yang lain, seperti Abu Hanifah dan Ibn Jarir al-Thabari membolehkan wanita menjadi
pemimpin. MUI sendiri sadar bahwa komunitas muslim Indonesia juga terpecah atas isu
ini. Konferensi NU di Baturaden Jawa Tengah pada Juli 1999 yang dihadiri sekitar 200
ulama sepakat bahwa wanita boleh menjadi pemimpin (presiden).41 KUII memutuskan
tetap menolak wanita menjadi presiden sebelum MUI memberikan jawaban. Dan lagi-
lagi, MUI tidak memberikan fatwa apapun berkenaan dengan isu ini. Menurut Atho’
Mudzhar, keengganan tersebut mungkin disebabkan oleh kekhawatiran MUI untuk
dituduh melakukan intervensi terkait isu-isu politik.42 Ketika Megawati menjadi presiden
menggantikan Abdurrahman Wahid yang diturunkan, tidak ada kata-kata keberatan dari
MUI.

Prosedur Penetapan Fatwa dan Metodologi


Dalam merumuskan fatwa, MUI berpedoman pada tata cara penetapan fatwa yang
dibuat pertama kali pada tahun 1975. Pada periode 1975-1980 dan 1980-1985, fatwa-fatwa
MUI ditetapkan oleh Komisi Fatwa dan dipimpin oleh Ketua dan Sekretaris Komisi Fatwa.
Namun, atas dasar Sidang Pleno MUI pada 18 Januari 1986, prosedur penetapan fatwa
dirubah; keputusan yang berkaitan dengan fatwa dari Komisi Fatwa selanjutnya diambil alih
oleh pimpinan pusat MUI dalam bentuk “Sertifikat Keputusan Penetapan Fatwa” yang

40
Ibid., 143.
41
Ibid.
42
Ibid.

AKADEMIKA, Volume 8, Nomor 2, Desember 2014


176

dipimpin oleh Ketua Umum dan Sekretaris Umum bersama-sama dengan Ketua Komisi
Fatwa MUI.43
Adapun dasar-dasar penetapan fatwa dapat dilihat dalam Pedoman Penetapan Fatwa
MUI yang ditetapkan pada 2 Oktober 1997, yaitu keputusan fatwa harus didasarkan pada al-
Quran, Sunnah mu’tabarah dan tidak bertentangan dengan kemaslahatan umat. Jika dasar
keputusan fatwa tidak ditemukan di dalam al-Quran dan Sunnah mu’tabarah, maka keputusan
fatwa harus tidak bertentangan dengan ijma’, qiyas yang mu’tabar, dan dalil-dalil hukum
yang lain, semisal istihsan, maslahah mursalah, dan sadd al-dhari’ah.44
Menurut Hasbi Umar, di lingkungan MUI terdapat dua model ijtihad yang diterapkan
dalam fatwa-fatwanya, yaitu ijtihad tarjihi dan ijtihad insha’i. Ijtihad tarjihi adalah suatu
ijtihad yang dilakukan untuk memilih pendapat para ahli fiqh terdahulu mengenai masalah-
masalah tertentu, kemudian memeriksa mana-mana pendapat yang lebih kuat dalilnya dan
lebih relevan dengan situasi dan keadaan sekarang.45
Dengan ijtihad tarjihi ini, MUI mempertimbangkan dan memeriksa dalil-dalil dan
hujjah-hujjah dari setiap pendapat ahli fiqh, kemudian memberikan keutamaan terhadap suatu
pendapat yang dianggap lebih kuat dan dapat diterima. Dengan kata lain, melalui pendekatan
ini, MUI menitikberatkan kajian pada pertimbangan terhadap kekuatan suatu dalil yang
dipakai sebagai landasan hukum. Hal ini juga diisyaratkan dalam Pedoman Penetapan Fatwa
MUI, bahwa sebelum pengambilan keputusan fatwa, MUI terlebih dahulu meninjau pendapat-
pendapat para ulama fiqh terdahulu46 untuk menentukan penafsiran mana yang lebih kuat dan
bermanfaat sebagai fatwa bagi masyarakat Islam (fiqh al-muqaran). Contoh fatwa dengan
menggunakan pendekatan ini tampak terlihat dalam beberapa keputusan fatwa MUI, semisal
fatwa tentang pelaksanaan shalat Jum’ah dua gelombang, fatwa mengenai pemanfaatan dana
zakat, fatwa tentang perkawinan antar agama.47
Sedangkan ijtihad insha’i adalah usaha untuk mengambil kesimpulan hukum mengenai
kejadian-kejadian baru yang belum diselesaikan oleh para ulama terdahulu. 48 Pendekatan ini
dilakukan oleh MUI terkait dengan masalah-masalah yang baru muncul. Dalam ijtihad ini,
diperlukan pemahaman komprehensif terhadap kasus-kasus baru yang akan ditetapkan
hukumnya, sehingga pengetahuan dalam pelbagai disiplin ilmu menjadi keharusan (syarat)
dalam ijtihad ini. Karena itu, MUI melibatkan beberapa orang yang mempunyai kepakaran
(tenaga ahli) terkait dengan kasus baru yang dihadapi.49 Sebagai contoh, dapat dilihat dalam
keputusan fatwa tentang transpalantasi organ tubuh manusia.

43
MB. Hooker, Islam Mazhab Indonesia....., 93.
44
Lihat “Pedoman Penetapan Fatwa Majelis Ulama Indonesia” dalam Himpunan Fatwa Majelis Ulama
Indonesia (Jakarta: BMI&PH Depag RI, 2003), 4. Menurut Hasbi Umar, dengan penggunaan metode-metode di
atas, MUI dapat dikategorikan sebagai penganut aliran t}arīqah al-jam’an, yakni aliran konvergensi, dengan
mengkombinasikan metode-metode Hanafiyah, Malikiyah dan Syafi’iyah. Bahkan dalam aspek-aspek tertentu,
mereka menggunakan metode Ibn Hazm al-Andalusi dari aliran literalisme. Lihat M. Hasbi Umar, Nalar Fiqih
Kontemporer....., 265.
45
M. Hasbi Umar, Nalar Fiqih Kontemporer....., 262.
46
Lihat “Pedoman Penetapan Fatwa Majelis Ulama Indonesia” dalam Himpunan Fatwa Majelis Ulama
Indonesia (Jakarta: BMI&PH Depag RI, 2003), 5.
47
Ibid., 69, 29-40 dan 167.
48
M. Hasbi Umar, Nalar Fiqih Kontemporer....., 263.
49
Ibid., 264.

AKADEMIKA, Volume 8, Nomor 2, Desember 2014


177

Menurut Hooker,50 meskipun fatwa-fatwa MUI harus selalu bergantung pada al-Quran
dan Sunnah, tetapi dalam banyak hal, penjelasannya selalu merujuk kepada kitab-kitab
syafi’iyah. Bahkan, terkadang MUI dalam mencari rujukan fatwa langsung merujuk kepada
Sunnah tanpa memperhatikan al-Quran. Fatwa tentang keabsahan (halal) memakan daging
kelinci misalnya, tidak merujuk kepada satu ayat al-Quran pun tetapi langsung merujuk
kepada Sunnah.51
Atho’ Mudzhar juga mengatakan hal yang sama. Meskipun secara teori MUI
mempunyai garis pedoman dalam menetapkan fatwa, namun dalam prakteknya, pedoman
penetapan fatwa tidak diikuti secara konsisten oleh MUI. Kasus memakan daging kelinci
merupakan salah satu contoh dimana dasar penetapan fatwanya harus berpijak pada al-Quran.
Namun, kenyataannya MUI tidak merujuk kepada satu ayat al-Quran pun, tetapi langsung
merujuk kepada hadits. Terkadang, MUI dalam menetapkan fatwa tidak berpedoman kepada
al-Quran dan hadits, tetapi langsung merujuk kepada kitab-kitab fiqh.52 Seperti fatwa MUI
tentang Shalat dalam Satu Masjid Bertingkat, 53 fatwa tentang Prosedur Pernikahan,54 fatwa
tentang Talak Tiga Sekaligus. 55 Bahkan, terkadang MUI tidak merujuk satu pun kepada al-
Quran, hadits maupun kitab-kitab fiqh, melainkan kepada rujukan lain, seperti fatwa tentang
Pengucapan sighat ta’liq talak Pada Waktu Upacara Akad Nikah. Dalam kasus ini, MUI
hanya merujuk kepada Undang-Undang No. 1/1974 tentang Perkawinan, Undang-Undang No.
7/1989 tentang Pengadilan Agama dan Kompilasi Hukum Islam (KHI) Pasal 46 ayat 3
tentang perjanjian ta’liq talak.56
Fatwa-fatwa MUI banyak juga yang argumentasinya didasarkan pada qiyas dan
maslahah. Sebagai contoh adalah fatwa diperbolehkannya menggunakan alat kontrasepsi
dalam Keluarga Berencana yang diqiyaskan dengan diperbolehkannya coitus interrupts (‘azl)
yang telah dipraktekkan oleh orang Islam pada masa Nabi. Namun, ada juga beberapa fatwa
yang dikeluarkan oleh MUI yang kurang tepat menggunakan metode qiyas karena maqis fih
dan maqis ‘alaih tidak sesuai. Contohnya adalah fatwa tentang Berternak dan Mengkonsumsi
Daging Katak. Dalam kasus ini, MUI mengqiyaskan katak dengan penyamakan kulit hewan,
sementara tujuan dari kedua kasus tersebut berbeda, yaitu tujuan akhir dari peternakan katak
adalah untuk dikonsumsi, sedangkan tujuan akhir dari penyamakan kulit hewan adalah untuk
menjadi alat yang dipakai, seperti pakian, sepatu dan lain sebagainya. 57
Aplikasi prinsip maslahah juga menjadi kontribusi yang baik bagi MUI dalam
menetapkan fatwa. Jika dalam kasus yang dipertanyakan memiliki sisi kemaslahatan yang
lebih dari pada mafsadahnya, MUI secara hukum akan menerima bahkan mendorong
pelaksanaan fatwa tersebut. Jika kasus tersebut memiliki sisi mafsadah yang lebih dari pada
maslahahnya, MUI tidak akan mendukung, menerima bahkan melarangnya. Sebagai contoh
adalah fatwa MUI yang melarang pernikahan beda agama dan pelarangan bagi kaum muslim
untuk menghadiri perayaan natal. Dalam contoh tersebut, konsep maslahah dan mafsadah

50
MB. Hooker, Islam Mazhab Indonesia....., 92. Lihat juga MB. Hooker, Indonesian Syari’ah....., 30.
51
Himpunan Fatwa Majelis Ulama Indonesia....., 203.
52
M. Atho’ Mudzhar, Islam and Islamic Law in Indonesia....., 144.
53
Himpunan Fatwa Majelis Ulama Indonesia....., 26.
54
Ibid., 163.
55
Ibid., 174.
56
Lihat Ibid., 165.
57
M. Atho’ Mudzhar, Islam and Islamic Law in Indonesia....., 145.

AKADEMIKA, Volume 8, Nomor 2, Desember 2014


178

diterapkan.58 Yang cukup menarik adalah fatwa larangan menikah beda agama telah
melampaui pernyataan al-Quran yang hanya melarang pernikahan antara wanita muslim dan
laki-laki non-muslim. Tidak jarang juga MUI dalam penetapan fatwanya menggunakan
metode talfiq.59 Hal ini dapat dilihat pada kasus fatwa Memakan dan Membudidayakan Katak
dimana MUI mengacu pada (membenarkan) dua pendapat yang saling bertentangan, yaitu
pendapat Syafi’i yang mengharamkan daging katak dan pendapat Malik yang
menghalalkannya.60
Adakalanya, MUI juga merujuk kepada fatwa-fatwa dan pendapat-pendapat ulama
mutaakhkhirin dari Timur Tengah,61 seperti pendapat Yusuf al-Qardawi dalam keputusan
fatwa tentang zakat penghasilan,62 pendapat Mahmud Syaltut dalam keputusan fatwa tentang
adopsi, dan pendapat Wahbah al-Zuhaily dalam keputusan fatwa tentang Reksadana
Syari’ah.63 Karena itu, secara keseluruhan, menurut Hooker, metode dan sumber otoritas MUI
cenderung lebih merupakan eklektis.64 Senada dengan Hooker, Hasbi Umar juga
menyimpulkan bahwa metode fatwa MUI tidak lebih dari takhayyur atau eklektis.65

Penutup
Dari pembahasan di atas, dapat disimpulkan bahwa pertama, MUI lahir atas prakarsa
dari pemerintah yang diwakili oleh Departemen Agama (Depag), bahkan untuk pembiayaan
operasionalnya, MUI mendapat bantuan dari Dana Abadi Umat yang dikelola oleh Depag.
Kedua, fatwa MUI tidak lepas dari kondisi sosio-politik, bahkan beberapa fatwanya terlihat
cenderung diintervensi oleh dan mendukung kebijakan pemerintah. Ketiga, mengutip
pendapat Hooker dan Hasbi Umar, metodologi yang dipakai MUI dalam merumuskan fatwa
adalah eklektik.

Daftar Rujukan
Abidin, Zaenal EP, “Majelis Ulama Indonesia: Pelanggeng Pragmatisme Religius”, dalam
MaJEMUK, edisi 17, ICRP.
Fatwa Munas VII Majelis Ulama Indonesia, Jakarta: MUI, 2005.
Himpunan Fatwa Majelis Ulama Indonesia, Jakarta: BMI&PH Depag RI, 2003.
Hooker, MB., Indonesian Syari’ah; Defining A National School of Islamic Law, Singapore:
Institute of Southeast Asian Studies, 2008.
Hooker, MB., Islam Mazhab Indonesia; Fatwa-Fatwa dan Perubahan Sosial, alih bahasa
Iding Rosyidin Hasan, cet. II, Jakarta: TERAJU, 2003.
Mudzhar, M. Atho’, Islam and Islamic Law in Indonesia; A Socio-Historical Approach,
Jakarta: Libang Depag RI, 2003.
Noer, Deliar, Administration of Islam in Indonesia, New York: Cornell Modern Indonesia
Project, 1978.

58
Ibid. Lihat juga MB. Hooker, Indonesian Syari’ah....., 22.
59
M. Atho’ Mudzhar, Islam and Islamic Law in Indonesia....., 146.
60
Himpunan Fatwa Majelis Ulama Indonesia....., 205-208.
61
MB. Hooker, Indonesian Syari’ah....., 30.
62
Himpunan Fatwa Majelis Ulama Indonesia....., 87.
63
Ibid., 243.
64
MB. Hooker, Islam Mazhab Indonesia....., 92. Lihat juga MB. Hooker, Indonesian Syari’ah....., 30.
65
M. Hasbi Umar, Nalar Fiqih Kontemporer....., 263.

AKADEMIKA, Volume 8, Nomor 2, Desember 2014


179

Rasyid, M. Hamdan [ed], Fiqih Indonesia; Himpunan Fatwa-Fatwa Aktual, Jakarta: Al-
Mawardi Prima, 2003.
Umar, M. Hasbi, Nalar Fiqih Kontemporer, Jakarta: Gaung Persada Press, 2007.
van Bruinessen, Martin, “Indonesia’s Ulama and Politics: Caught Between Legitimising The
Status Quo And Searching for Alternatives”, dalam Prisma – The Indonesian Indicator,
Jakarta No. 49, 1990.
www.map-bms.wikipedia.org/wiki/Majelis_Ulama_Indonesia.

AKADEMIKA, Volume 8, Nomor 2, Desember 2014

Anda mungkin juga menyukai