Anda di halaman 1dari 7

Studi kasus Preeklampsia

Seorang wanita primipara berusia 36 tahun dengan usia kehamilan 32 minggu mempunyai
riwayat medis obesitas morbid (BMI adalah 43 kg/m2) dan penggunaan tembakau, datang ke
poli kandungan dengan keluhan sakit kepala dan sakit perut. Pada saat kedatangan tekanan
darahnya 160/92 mmHg, denyut nadinya 110 denyut per menit (bpm), respirasi 20 kali per
menit dan saturasi oksigen 96% pada udara kamar. Pasien merasakan kontraksi sesekali,
tetapi tidak ditemukan adanya pendarahan vagina atau kebocoran cairan dan gerakan janin
tercatat baik.
Pasien mengeluh nyeri perut terletak di sisi kanan di bawah tulang rusuknya, dan
mengalami mual dan muntah. Pasien mengatakan bahwa sakit kepala menyebabkan dia
bangun dari tidur; pasien juga telah minum acetaminophen 1000 mg di rumah tanpa bantuan.
Pada pemeriksaan fisik, terdapat tenderness di abdomen kuadran kanan atas tetapi tidak
memantul. Edema tampak pada wajah, tangan, dan ekstremitas bawah. Refleks pasien 3/4
secara bilateral, dan terdapat clonus.
Pengukuran tekanan darah 15 menit kemudian adalah 155/90 mmHg. Pemeriksaan
jantung janin menunjukkan variabilitas minimal dan baseline 130 denyut per menit. Kontraksi
tidak teratur setiap 3-7 menit. Pasien melaporkan bahwa sakit kepalanya memburuk dan
penglihatannya berkungan-kunang. Tes laboratorium termasuk penghitungan darah lengkap
dan urinalisis dilakukan. Rasio protein / kreatininnya menghasilkan 0,63, trombosit 90 K / uL,
hemoglobin 10 mg / dL, kreatinin 1,2 mg / dL, aspartat aminotransferase (AST) adalah 295 U
/ L dan alanine aminotransferase (ALT) adalah 316 U / L. Glukosa bedside (acak) 82 mg / dL.

Pembahasan Kasus

Pasien di atas memenuhi kriteria preeklampsia dengan fitur yang parah, yang
ditunjukkan dengan adanya peningkatan tekanan darah dan edema pada wajah, tangan, dan
ekstremitas bawah. Preeklampsia ditandai dengan tanda-tanda di atas, ditambah dengan
pembuktian laboratorium adanya proteinuria (Wyatt, Illingworth, & Graham, 2012), diagnosa
preeklampsia dapat ditegakkan pada pasien hamil jika terdapat dua dari tiga tanda di atas
(hipertensi (BP> 140 / 90mmHg; proteinuria; edema) (Crouch, Charters, Dawood, & Bennet,
2017). Melihat adanya riwayat obesitas sebagai faktor resiko hipertensi, maka pasien di atas
mengalami pre-eklamsia sekunder. Pada pasien dengan hipertensi atau penyakit ginjal yang
sudah ada sebelumnya, hal ini dianggap sebagai preeklamsia sekunder, tetapi jika pasien
yang sebelumnya baik, maka dianggap sebagai pre-eklampsia 'primer' (Crouch et al., 2017).
Obesitas sendiri merupakan faktor resiko terjadinya preeklamsia, di samping primigravida,
kehamilan kembar, usia> 40 tahun, riwayat pre-eklamsia sebelumnya, riwayat keluarga pra-
eklamsia, interval kehamilan lebih dari 10 tahun, dan diabetes mellitus (Baid, Creed, &
Hargreaves, 2016).
Preeklampsia adalah gangguan hipertensi yang paling umum pada kehamilan.
Diperkirakan 50.000 wanita meninggal karena preeklampsia setiap tahun di seluruh dunia. Di
antara wanita dengan hipertensi kronis, 22% sampai 25% akan mengembangkan komplikasi
ini. Preeklampsia adalah sindrom yang mempengaruhi ibu dan janin. Secara klinis
preeklampsia didefinisikan sebagai peningkatan tekanan darah setelah kehamilan 20 minggu,
disertai dengan proteinuria pada wanita normotensif sebelumnya (Urden, Stacy, & Lough,
2014). Risiko pada ibu relatif kecil jika preeklamsia terjadi setelah usia kehamilan 36 minggu,
tetapi meningkat secara signifikan jika terjadi sebelum usia kehamilan 33 minggu, semacam
kasus di atas (Baid et al., 2016).
Keadaan preeklamsia pada pasien di atas diklasifikasikan sebagai preeklamsia berat,
dimana tekanan darah pasien adalah 160/92 mmHg, nyeri pada perut bagian kanan atas,
disertai sakit kepala, mual dan muntah. Menurut Manuaba (2010), preeklampsia dapat
digolongkan menjadi preeklampsia ringan dan berat, dan keduanya memiliki fitur yang
berbeda.

Tabel 1. Klasifikasi Preeklampsia

Tipe Pre-eklampsia Tanda dan Gejala

Preeklampsia Ringan 1. Tekanan darah sistolik 140 atau kenaikan 30 mmHg


dengan interval pemeriksaan 6 jam.

2. Tekanan darah diastolic 90 atau kenaikan 15 mmHg


dengan interval pemeriksaan 6 jam

3. Kenaikan berat badan 1 kg atau lebih dalam seminggu

4. Proteinuria 0,3 g atau lebih dengan tingkat kualitatif plus


1 sampai 2 pada urine kateter atau urine aliran pertengahan

Preeklampsia Berat Bila salah satu diantara gejala atau tanda ditemukan pada
ibu hamil, sudah dapat digolongkan preeklampsia berat.

1. Tekanan darah 160/110 mmHg

2. Oliguria, urine <400 cc/24 jam


3. Proteinuria lebih dari 3 g/liter

4. Keluhan subjektif: nyeri epigastrium, gangguan


penglihatan, nyeri kepala, edema paru dan sianosis

5. Gangguan kesadaran

6. Pemeriksaan kadar enzim hati meningkat disertai ikterus

7. Perdarahan pada retina

8. Trombosit <100.000/mm

Peningkatan gejala dan tanda preeklampsia berat


memberikan petunjuk akan terjadi eklampsia, yang
mempunyai prognosis buruk dengan angka kematian
maternal dan janin tinggi.

Preeklampsia telah disebut “penyakit teori” karena mekanisme yang benar di balik
patogenesisnya masih belum jelas. Keadaan ini adalah gangguan multisistem yang unik bagi
manusia dan karena itu sulit untuk dipelajari pada hewan laboratorium, sehingga menciptakan
hambatan untuk menemukan etiologinya yang tepat. Salah satu fitur utama preeklampsia
adalah keterlibatan kegagalan arteri spiralis uterus untuk berubah dari pembuluh otot
berdinding tebal, menjadi pembuluh flaccid mirip kantung, dengan respon inflamasi
berlebihan, dan aktivasi sel endotel yang tidak sesuai (Urden et al., 2014).
Tekanan darah biasanya menurun selama trimester pertama, mencapai titik terendah
selama trimester kedua, dan secara bertahap meningkat selama trimester ketiga. Fakta
bahwa ada peningkatan curah jantung yang tinggi selama awal kehamilan menunjukkan
bahwa penurunan tekanan darah yang terjadi selama awal kehamilan terjadi akibat
penurunan resistensi pembuluh darah perifer. Karena output jantung tetap tinggi selama
kehamilan, peningkatan bertahap tekanan darah yang dimulai selama trimester kedua
mungkin menunjukkan kembalinya resistensi pembuluh darah perifer ke normal. Kehamilan
biasanya disertai dengan peningkatan kadar renin, angiotensin I dan II, estrogen, progesteron,
prolaktin, dan aldosteron, yang semuanya dapat mengubah reaktivitas pembuluh darah.
Wanita yang mengalami preeklampsia dianggap sangat sensitif terhadap aktivitas
vasokonstriktor dari sistem renin-angiotensin-aldosteron. Mereka juga sangat responsif
terhadap vasokonstriktor lain, termasuk katekolamin dan vasopresin. Peneliti mengusulkan
bahwa beberapa peningkatan sensitivitas mungkin disebabkan oleh ketidakseimbangan
prostasiklin-tromboksan. Tromboksan adalah prostaglandin dengan sifat vasokonstriktor, dan
prostasiklin adalah prostaglandin dengan sifat vasodilator. Bukti yang muncul menunjukkan
bahwa resistensi insulin, termasuk yang terjadi pada diabetes, obesitas, dan sindrom
metabolik, dapat menjadi predisposisi gangguan hipertensi pada kehamilan (Grossman &
Porth, 2014).
Penelitian menunjukkan patogenesis yang terkait dengan ketidakseimbangan antara
faktor-faktor yang berhubungan dengan antiangiogenesis. Faktor-faktor antiangiogenik ini
menghasilkan disfungsi endotel sistemik, yang mengakibatkan hipertensi, proteinuria, dan
gangguan sistemik lainnya dari preeklampsia. Dasar molekuler terhadap gangguan pada
plasenta dari faktor patogen ini masih belum diketahui, dan peran protein angiogenik dalam
perkembangan vaskular plasenta awal dan invasi trofoblas baru saja mulai diteliti. Disfungsi
vaskular sistemik yang luas dan mikroangiopati ditunjukkan pada ibu tetapi tidak pada janin.
Pada preeklamsia, penurunan produksi nitrit oksida, yang merupakan vasodilator poten dan
pengatur penting tekanan darah ibu, juga terjadi (Urden et al., 2014).
Pengobatan awal pada kasus di atas adalah pemberian magnesium sulfat intravena
sebagai profilaksis kejang. Magnesium sulfat 6 g diberikan secara bolus intravena selama 30
menit dan kemudian dosis pemeliharaan 2 g/jam. Betametason 12 mg IM diberikan untuk
perkembangan maturasi paru janin dan dosis kedua untuk 24 jam kemudian (Hyzy, 2017).
Tujuan pengobatan preeklamsia berat adalah mencegah kejang, mengurangi kejang
arteri, dan mempengaruhi persalinan segera. Magnesium sulfat (MgSO4) adalah pengobatan
standar untuk pencegahan dan pengendalian kejang pada wanita dengan preeklamsia atau
eklampsia. Kadar magnesium serum 4 hingga 7 miliekuivalen per liter (mEq/L) dianggap
sebagai terapi untuk pencegahan aktivitas kejang. Dosis pemuatan (loading dose) 4 hingga 6
gram (g) diberikan melalui pompa infus selama 15 hingga 20 menit, diikuti dengan infus
pemeliharaan 2 hingga 3 gram per jam (g/hr). Pengendalian kejang eklampsia dilakukan
melalui pemberian 4 sampai 6 g MgSO4 intravena selama 5 sampai 10 menit. Bolus ini diikuti
oleh infus kontinyu hingga 3 g/jam. Jika seorang pasien mengalami kejang berulang, bolus
lainnya, 2 hingga 4 g, dapat diberikan selama 3 hingga 5 menit. Sodium amobarbitol I,
benzodiazepin, atau fenitoin dapat digunakan untuk mengobati kejang yang tidak responsif
terhadap MgSO4. Penggunaan beberapa agen untuk mengurangi kejang eklampsia harus
dihindari, kecuali diperlukan (Urden et al., 2014).
Hipertensi berat harus ditangani setelah infus magnesium. Agen antihipertensi perlu
digunakan untuk menjaga tekanan darah diastolik antara 90 dan 100 mm Hg. Obat utama
yang digunakan untuk mencapai ini adalah hydralazine hydrochloride atau labetalol. Diuretik
hanya digunakan jika terjadi edema paru. Plasenta memainkan peran sentral dalam
perkembangan penyakit, di mana satu-satunya obat yang diketahui adalah persalinan dan
pengangkatan plasenta (Urden et al., 2014).
Pengkajian ibu harus meliputii pendekatan ABCDE yang sistematis. Dua tanda
kardinal harus ada untuk memastikan preeklamsia berat yang memerlukan perawatan ke
tingkat perawatan yang lebih tinggi, yaitu:

1. tekanan darah sistolik> sistolik 140 mmHg atau diastolik 90 mmHg


2. protein urea> 300 mg dalam 24 jam.

Temuan penilaian tambahan mungkin termasuk perubahan fungsi ginjal, neurologis,


perut, dan hematologis, dan dapat menyebabkan:

1. oliguria
2. peningkatan kadar kreatinin serum
3. peningkatan LFT
4. edema paru atau penurunan saturasi
5. sakit kepala parah
6. gangguan penglihatan
7. kejang
8. nyeri epigastrium atau kuadran kanan atas
9. trombositopenia.

Transfer ke pelayanan kesehatan yang lebih tinggi jika pasien membutuhkan:

1. stabilisasi tekanan darah


2. dukungan sistem yang gagal (hematologis, pernapasan, atau kardiovaskular)
3. penilaian setelah perubahan neurologis
4. ventilasi mekanis.

Penatalaksanaan pre-eklampsia didasarkan pada penilaian terus menerus terhadap


ibu dan janin dan terkait:

1. manajemen hipertensi
2. keseimbangan cairan yang akurat
3. manajemen komplikasi
4. kesiapan untuk persalinan dini

Untuk pengkajian tekanan darah berkelanjutan dan kontrol tekanan darah


menggunakan obat oral atau intravena, termasuk:

1. labetalol
2. nifedipin
3. hydralazine.
Respon terhadap pengobatan antihipertensi harus dipantau secara ketat, seperti komplikasi
yang merugikan dari pengobatan untuk ibu dan janin.
Pengaturan keseimbangan cairan yang ketat dilakukan dengan cara:

1. pemantauan asupan dan keluaran yang akurat merupakan hal yang sangat penting,
kateterisasi urin mungkin diperlukan.
2. Resusitasi cairan mungkin diperlukan jika tekanan darah ibu menurun karena respons
terhadap obat antihipertensi (terutama terjadi ketika pemberian hydralazine).
3. Batasi cairan IV hingga 80 mL / jam kecuali ada kehilangan cairan atau hipotensi

Manajemen komplikasi dilakukan dengan cara:

1. Kaji risiko dan manifestasi komplikasi yang sedang berlangsung.


2. Hipertensi berat (160/110 mmHg) mungkin memerlukan pemberian magnesium sulfat
IV, seperti halnya adanya kejang eklampsia.

Kesiapsiagaan untuk persalinan dini

1. Steroid harus diberikan jika persalinan dini kemungkinan terjadi pada usia kehamilan
24-35 minggu.
2. Persalinan normal dapat dipertimbangkan jika tekanan darah dapat dikontrol.
3. Ibu dengan tekanan darah yang tidak terkontrol meskipun dengan obat, mungkin
memerlukan persalinan operatif.

Pengkajian secara terus menerus terhadap sistem kardiovaskular, ginjal, saraf pusat,
dan paru memberikan indikasi awal kondisi ibu yang memburuk. Pengamatan janin dapat
meliputi pemantauan janin terus menerus, profil biofisik, dan pengujian kematangan paru
janin. Persalinan janin dapat diindikasikan sesuai kondisi ibu atau kompromi janin. Tujuan dari
tim perawatan kesehatan adalah pemantauan secara akurat terkait disfungsi sistem organ
yang sedang berlangsung dan mencegah kerusakan lebih lanjut yang menyebabkan
kegagalan organ akhir dan kematian ibu-janin (Urden et al., 2014).
Perdarahan intraserebral adalah komplikasi yang jarang terjadi, tetapi merupakan
penyebab kematian paling umum pada wanita dengan preeklamsia berat dan eklamsia, yang
fatal pada 50% hingga 60% kasus. Infan pada perempuan dengan preeklampsia cenderung
berukuran kecil terkait usia kehamilan, kemungkinan karena IUGR. Selain itu, kondisi ibu
dapat menjadi sebab terminasi dini kehamilan, apabila menyebabkan bayi prematur sangat
berat. Abrupsi plasenta sekunder akibat hipertensi dapat menyebabkan hipoksia janin atau
kematian (Urden et al., 2014).
Referensi

Baid, H., Creed, F., & Hargreaves, J. (2016). Oxford Handbook of Critical Care Nursing, 9.
Retrieved from https://global.oup.com/academic/product/oxford-handbook-of-critical-
care-nursing-9780198701071?cc=gb&lang=en&

Crouch, R., Charters, A., Dawood, M., & Bennet, P. (Eds.). (2017). Oxford Handbook of
Emergency Nursing (2nd ed.). Oxford University Press.

Grossman, S. C., & Porth, C. M. (2014). Porth’s Pathophysiology: Concepts of Altered


Health States (9th ed.). Wolters Kluwer Health | Lippincott Williams & Wilkins.

Hyzy, R. C. (Ed.). (2017). Evidence-Based Critical Care: A Case Study Approach. Springer
International Publishing Switzerland. https://doi.org/10.1007/978-3-319-43341-7

Manuaba, I. (2010). Ilmu Kebidanan dan Keluarga Berencana untuk Pendidikan Bidan.
Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.

Urden, L. D., Stacy, K. M., & Lough, M. E. (2014). Critical Care Nursing: Diagnosis adn
Mangement (7th ed.). Mosby, an imprint of Elsevier Inc.

Wyatt, J. P., Illingworth, R. N., & Graham, C. A. (2012). Oxford Handbook of Emergency
Medicine, 4th ed., 1398. https://doi.org/10.1093/med/9780199589562.001.0001

Anda mungkin juga menyukai