Anda di halaman 1dari 11

BAB I

PENDAHULUAN

1.1  LATAR BELAKANG
Syariat Islam sebagai hukum mempunyai dua implikasi dalam kehidupan ummat
manusia. Pertama adalah sebagai hukum negara melalui praktek peradilan atau quasi
peradilan. Kedua adalah sebagai ketentuan halal-haram yang tercermin dalam lima kaedah
hukum Islam (wajib, sunnat, haram, makruh dan mubah) yang
berbentuk ifta’ atau fatwa untuk pedoman masyarakat umum. Segi pertama syariat Islam
sudah mendapat tempat secara terbatas dalam kewenangan Peradilan Agama/Mahkamah
Syariyah di Indonesia sampai ke tingkat banding di Pengadilan Tinggi Agama/Mahkamah
Syariyah Propinsi, dan tingkat kasasi di Mahkamah Agung. Sementara itu segi kedua
menyangkut kewenangan fatwa belum mendapat tempat yang semestinya dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara kita.

1.2  RUMUSAN MASALAH
A. Apa yang dimaksud dengan Fatwa?
B. Bagaimana kedudukan Fatwa dalam hukum Islam di Indonesia?
C. Lembaga Fatwa apa saja yang ada di Indonesia?

1. 3  TUJUAN PEMBAHASAN

A. Mengetahui dan memahami pengertian Fatwa.


B. Mengetahui dan memahami kedudukan Fatwa dalam hukum islam di Indonesia.
C. Mengetahui Lembaga-lembaga Fatwa yang ada di Indonesia.

[Type text] Page 1


BAB II
FATWA DI INDONESIA

2. 1  PENGERTIAN FATWA


Fatwa berasal dari bahasa Arab‫وى‬111111‫فت‬, Yang artinya nasihat, petuah,
jawaban atau pendapat. Adapun yang dimaksud adalah sebuah keputusan atau nasihat resmi
yang diambil oleh sebuah lembaga atau perorangan yang diakui otoritasnya, disampaikan
oleh seorang mufti atau ulama, sebagai tanggapan atau jawaban terhadap pertanyaan yang
diajukan oleh peminta fatwa (mustafti) yang tidak mempunyai keterikatan. Dengan demikian
peminta fatwa tidak harus mengikuti isi atau hukum fatwa yang diberikan kepadanya.1
Tindakan memberi fatwa disebut futya atau ifta, suatu istilah yang merujuk pada
profesi pemberi nasihat. Orang yang memberi fatwa disebut mufti atau ulama, sedangkan
yang meminta fatwa disebut mustafti. Peminta fatwa bisa perseorangan, lembaga ataupun
siapa saja yang membutuhkannya. 
Hukum berfatwa adalah fardu kifayah, kalau ada orang lain yang bisa memberi fatwa
selain dirinya. Adapun kalau tidak ada orang lain yang bisa memberi fatwa dan masalah yang
difatwakan itu cukup mendesak maka ia pun secara fardu ‘ain wajib memberi fatwa atas
pristiwa itu.2
Oleh karena fatwa itu menyangkut masalah agama maka tidak sembarang orang bisa
menduduki sebagai mufti syarat-syarat yang harus di miliki oleh seorang mufti antara lain
adalah:
a.    Fatwanya harus didasarkan kepada kitab-kitab induk yang mutabar agar fatwa yang
diberikan itu dapat diterima oleh penerima fatwa.
b.    Apabila ia berfatwa berdasrkan qoul seseorang alim, maka ia dapat menunjukan dasar
sumber pengambilan fatwanya itu, dengan demikian ia terhindar dari berbuat salah dan
bohong.
c.    Seorang mufti harus mengerti atau mengetahui berbagai macam pendapat ulama agar tidak
terjadi kesalah fahaman antara ia dan penerima fatwanya.
d.   Seorang mufti haruslah seorang alim yang memiliki kejujuran.3

2.2  KEDUDUKAN FATWA
Keperluan terhadap fatwa sudah terasa sejak awal perkembangan Islam. Dengan
meningkatnya jumlah pemeluk Islam, maka setiap persoalan yang muncul memerlukan

1
Fatwa menurut seorang mufti atau ulama
2
Hukum berfatwa
3
Syarat-syarat menjadi seoran Mufti

[Type text] Page 2


jawaban. Untuk menjawab persoalan tersebut diperlukan bantuan dari orang-orang yang
kompeten di bidang tersebut. Dalam masalah agama, yang berkompeten untuk itu adalah para
mufti atau para mujtahid.
Pada mulanya praktik fatwa yang diberikan secara lepas dan belum ada upaya untuk
membukukan isi fatwa ulama-ulama tersebut. Fatwa pertama kali dikumpulkan dan sebuh
kitab pada abad ke-12 M. Mazhab Hanafi memiliki sejumlah kitab fatwa sepertiaz-Zakhirat
al-Burhaniyah, kumpulan  fatwa Burhanuddin bin Maza (wafat 570 H/1174). Inilah kitab
kumpulan fatwa pertama.4
Mazhab Maliki memiliki kitab kumpulan fatwa  bertajuk al-Mi'yar al-Magrib yang
berisi fatwa-fatwa al-Wasyarisi (wafat 914 H/1508 M). Mazhab Hanbali juga memiliki
sejumlah kitab fatwa, yang paling terkenal adalah Majmu al-Fatawa.
Di Indonesia juga ada sejumlah  buku kumpulan fatwa, seperti Tanya Jawab Agama
dan Kata Berjawab yang diterbitkan Majelis Tarjih PP Muhammadiyah, selain itu ada
juga Himpunan Fatwa Majelis Ulama Indonesia, serta Solusi Problematika Aktual Hukum
Islam Keputusan Muktamar Munas dan Konbes Nahdlatul Ulama.  
Berkaitan dengan kedudukan fatwa dalam kehidupan umat Islam, fatwa ini juga
menegaskan bahwa fatwa memang tidak mengikat secara hukum, akan tetapi, ia bersifat
mengikat secara agama, sehingga tidak ada peluang bagi seorang muslim untuk
menentangnya bila fatwa itu didasarkan kepada dalil-dalil yang jelas dan benar.

2.3  LEMBAGA-LEMBAGA FATWA DI INDONESIA


A. MAJELIS ULAMA INDONESIA
1. Sejarah dan Latar Belakang Berdirinya MUI Pada tanggal 7 Rajab 1395 H, bertepatan
dengan tanggal 26 Juli 1975 M di Jakarta Majelis Ulama Indonesia (MUI) telah berdiri,
sebagai hasil dari pertemuan atau musyawarah para ulama dan cendekiawan yang datang dari
berbagai penjuru tanah air. Majelis Ulama Indonesia (MUI) merupakan tempat atau majelis
yang menghimpun para ulama dan cendekiawan muslim Indonesia untuk menyatukan gerak
dan langkah-langkah umat Islam Indonesia dalam mewujutkan cita-cita bersama.1 Dalam
kegiatan kenegaraan, khususnya sesudah kemerdekaan, pemerintah melihat bahwa umat
Islam sebagai kelompok mayoritas di negara ini, memiliki potensi yang tidak bisa diabaikan.
Pemerintah menilai bahwa suatu program, apalagi yang berkaitan dengan agama, hanya bisa
sukses apabila disokong oleh agama, atau sekurang-kurangnya ulama tidak menghalanginya.
Ini berarti bahwa kerja sama dengan ulama sangat perlu dijalin oleh pemerintah. Untuk
maksud tersebut, di zaman Sukarno telah didirikan Majelis Ulama yang kemudian disusul
dengan lahirnya berbagai Majelis Ulama Daerah. Namun, wujud dari Majelis Ulama yang
ada di berbagai daerah itu belum mempunyai pegangan dan cara kerja yang seragam, sampai
akhirnya atas prakarsa pemerintah Orde Baru diadakanlah suatu Musyawarah Nasional
Ulama yang terdiri atas utusan wakil-wakil ulama propinsi seIndonesia di Jakarta dari tanggal

4
Mazhab Hanafi memiliki sejumlah kitab fatwa sepertiaz-Zakhirat al-Burhaniyah, kumpulan  fatwa
Burhanuddin bin Maza (wafat 570 H/1174).

[Type text] Page 3


21 sampai 28 Juli 1975. Musyawarah inilah yang berhasil secara bulat menyepakati
berdirinya Majelis Ulama Indonesia (MUI). 5

Sejak MUI berdiri pada tahun 1975 sampai pada tahun 1990, lembaga ini telah
menghasilkan fatwa sebanyak 49 buah yang mencakup berbagai bidang, Seperti masalah
ibadah, ahwal al-syakhshiyah, keluarga berencana, masalah makanan dan minuman,
kebudayaan, hubungan antar agama, dan lainlain. Fatwa-fatwa yang dihasilkan MUI itu
adakalanya menimbulkan kontroversi di tengah-tengah masyarakat, ada pula yang
memandangnya sebagai corong penguasa, dan ada pula masyarakat yang menilainya sebagai
tidak konsisten. Munculnya respon seperti itu dari masyarakat sangat erat kaitannya dengan
kurangnya pengetahuan masyarakat terhadap konsep ijtihad MUI serta ciri-ciri hujkum Islam
yang dijadikan acuan oleh MUI dalam menghasilkan suatu fatwa. Oleh sebab itu, studi dalam
bidang ini dirasa amat perlu dilakukan.2 Sejak berdirinya MUI sampai akhir tahun 1990
lembaga ini telah banyak membahas soal-saoal keagamaan dan kemasyarakatan yang dalam
bentuk fatwa mencapai jumlah 49 buah. Kalau diadakan pengelompokan, fatwa yang
dihasilkannya itu dapat diklasifikasikan kepada bidang ibadat, seperti sholat, puasa, zakat dan
haji serta yang berkaitan dengan itu dan bidang non- ibadah, seperti masalah al-ahwal al-
syakhshiyah, keluarga berencana, makanan dan minuman, serta bidang-bidang lainnya. 3
Menurut ajaran Islam, ulama memegang posisi yang kuat, seperti ulama sebagai pewaris Nabi
Saw. Dalam perkembangan sejarah Islam, kaum ulama memegang peranan yang amat besar.
Sejak masa Nabi Muhammad Saw masih hidup, para ulama sudah mulai mengembangkan
daya nalarnya dalam berijtihad. Peranan ulama pada masyarakat Indonesia baik pada masa
penjajahan, masa perjuangan merebut kemerdekaan atau masa-masa sesudah kemerdekaan
sampai sekarang tidak kurang pentingnya bila dibandingkandengan peranan para pemimpin
lainnya bahkan kadang-kadang sangat menentukan.

2 Dalam sebuah lembaga pastilah memiliki kewenangan, dalam hal ini MUI memiliki
kewenangan dan wilayah, yaitu :
a. MUI berwenang menetapkan fatwa mengenai masalah-masalah keagamaan secara umum,
terutama masalah hukum (fiqh) dan masalah aqidah yang menyangkut kebenaran dan
kemurnian keimanan umat Islam Indonesia.
b. MUI berwenang menetapkan fatwa mengenai masalah-masalah keagamaan seperti tersebut
pada nomor 1 yang menyangkut umat Islam Indonesia secara nasional atau masalah-
masalah keagamaan di suatu daerah yang dapat meluas ke daerah lain.
c. Terdapat masalah yang telah ada Fatwa MUI, Majelis Ulama Indonesia Daerah hanya
berhak melaksanakannya.
d. Jika karena faktor-faktor tertentu fatwa MUI sebagaimana dimaksud nomor 3 tidak dapat
dilaksanakan, MUI Daerah boleh menetapkan fatwa yang berbeda setelah berkonsultasi
dengan MUI Pusat.
e. Hal belum ada Fatwa MUI, MUI Daerah berwenang menetapkan fatwa. 6

5
Latar Belakang Berdirinya MUI Pada tanggal 7 Rajab 1395 H, bertepatan dengan tanggal 26 Juli 1975 M di
Jakarta Majelis Ulama Indonesia (MUI)
6
. Kewenangan dan Wilayah Fatwa MUI

[Type text] Page 4


f. Khusus mengenai masalah-masalah yang sangat Musykil dan Sensitif sebelum menetapkan
fatwa, MUI Daerah diharapakan terlebih dahulu melakukan konsultasi dengan MUI Pusat.

3. Dasar Umum dan Sifat Fatwa Dasar umum dan sifat fatwa MUI (Majelis Ulama Indonesia)
adalah sebagai berikut :
a. Penetapan fatwa didasarkan pada al Qur’an, Sunnah (hadits), Ijma’ dan Qiyas serta dalil-
dalil yang mu’tabar.
b. Aktivitas penetapan fatwa dilakukan secara kolektif oleh komisi fatwa.
c. Penetapan fatwa bersifat responsif, proaktif, dan antisipatif.

4. Syarat Keputusan fatwa Dalam memutuskan suatu fatwa, MUI harus memenuhi beberapa
syarat, diantaranya
A. Setiap keputusan fatwa harus di tanfizkan setelah ditanda tangani oleh Dewan pimpinan
dalam bentuk Surat Keputusan Fatwa (SKF).
B. Surat keputusan fatwa harus dirumuskan dengan bahasa yang dapat dipahami dengan
mudah oleh masyarakat.
C. Dalam surat keputusan fatwa harus dicantumkan alasan-alasannya disertai uarian dan
analisis secara ringkas, serta sumber pengembilannya.
D. Setiap surat keputusan fatwa yang keluar harus sedapat mungkin disertai dengan rumusan
tindak lanjut dan rekomendasi atau jalan keluar yang diperlukann sebagai konsekuensi dari
surat keputusan fatwa tersebut.

B. BAHTSUL MASAIL NU

Bahtsul Masail di kalangan NU diyakini merupakan tradisi intelektual yang


berkembang sejak lama, bahkan ditengarahi forum ini lahir sebelum NU dibentuk. Martin van
Bruinessen 12 berpendapat bahwa tradisi bahtsul masail yang berkembang di kalangan NU
bukanlah murni dari gagasan para kyai-kyai NU. sebelum bahtsul masail berkembang di
kalangan NU, tradisi seperti itu telah ada di Tanah Suci yang disebut dengan tradisi halaqah.
Ide bahtsul masail menurutnya adalah tradisi yang diimport dari Tanah Suci Makkah. Para
santri Indonesia yang belajar di Tanah Suci, sepulang dari sana mereka mengembangkan
agama Islam melalui lembaga pendidikan yang mereka dirikan berupa pesantren sekaligus
mengadopsi sistem halaqah untuk mengkaji persoalan-persoalan yang terjadi di
masyarakat.13 Di lembaga pesantren forum Bahtsul Masa’il yang terinspirasi model halaqah
dari tanah suci terus dilaksanakan dan dikembangakan oleh kalangan pesantren. Sehingga
bisa dikatakan bahwa jauh sebelum NU berdiri, pesantrenpesantren beserta kyainya telah
mempraktekkan model halaqah untuk memperoleh hukum dari kitab-kitab kuning yang
sehari-hari dipelajarinya. Forum ini terus berkembang dan dilaksanakan di dalam organisasi
NU. Berkembangnya tradisi bahtsul masail di kalangan NU bukanlah sesuatu yang
mengherankan, sebab hampir seluruh perangkat metodologi dan referensi-referensi (maraji’),
serta model h}alaqah yang digunakan dalam pembahasan Bahtsul Masa’il di NU pararel
dengan yang ada di pondok pesantren. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa Bahtsul

[Type text] Page 5


Masa’il yang ada di dalam NU sesungguhnya merupakan kepanjangan dari Bahtsul Masa’il
yang ada di dalam pesantren. Atau dengan kata lain bahwa Bahtsul Masa’il yang ada di NU
merupakan adopsi dari tradisi Bahtsul Masa’il yang ada di pesantren yang biasa disebut
dengan mushawarah atau takrar. 14 Dalam pelaksanaannya antara Bahtsul Masa’il yang ada
di pesantren dan NU secara umum tidak ada perbedaan yang mendasar. Sebab tidak dapat
dipungkiri bahwa para peserta Bahtsul Masa’il yang ada di NU bisa dipastikan mereka adalah
alumni pesantren, atau minimal pernah merasakan pendidikan pesantren. Hanya saja karena
peserta Bahtsul Masa’il di NU adalah personal-personal yang telah memiliki jam terbang,
pengalaman dan interaksi dengan masyarakat lebih banyak, maka Bahtsul Masa’il di NU
relatif lebih hidup bila dibanding bahtsul masail di pesantren. Oleh karena itu tidak
mengherankan apabila pisau analisa yang ada di NU kerap kali lebih tajam dan jumlah
referensi yang dipakai lebih banyak. Namun demikian buku-buku yang dipakai rujukan di
pesanten dan NU secara umum tidak berbeda jauh. Pada awalnya Bahtsul Masa’il yang ada di
NU tidak dilembagakan layaknya sebuah organisasi yang mempunyai struktur organisaai dan
agenda resmi. Namun untuk menjadikan Bahtsul Masa’il menjadi wadah yang lebih dinamis,
maka pada muktamar ke 18 di Yogyakarta tahun 1989, komisi I yang membidangi Bahtsul
Masa’il merekomendasikan kepada PBNU untuk mendirikan “Lajnah Bahtsul Masail
Diniyah” (lembaga pengkajian masalah-masalah agama) sebagai lembaga permanen yang
khusus menangani persoalan keagamaan. Hal ini didukung oleh halaqah yang diadakan di
Pesantren Mamba’ul Ma’arif Denanyar Jombang pada tanggal 26-28 Januari 1990 yang
merekomendasikan dibentuknya “Lajnah Bahtsul Masail Diniyyah” sebagai wadah
berkumpulnya ulama dan intelekual NU untuk melakukan ijtihad jama’iy (ijihad kolektif).15
Setelah terbentuk sebagai organisasi Lajnah Bahtsul Masail (LBM) mempunyai tugas yang
dirmuskan dalam ART NU. Dinamika dalam LBM terus bergulir yang ditandai adanya
perubahan dan peningkatan tugastugas sebagaimana tertuang dalam ART NU dari satu
periode kepengurusan ke periode berikutnya. 7
Sebagai contoh dalam ART NU tahun 1999 pasal 16dinyatakan “Lajnah Bahtsul
Masail bertugas menghimpun, membahas, dan memecahkan masalah-masalah yang mawquf
dan waqi’iyyah yang harus segera mendapat kepastian hukum”. Sementara itu dalam ART
NU tahun 2004 pasal 16 dinyatakan “Lembaga Bahtsul masail disingkat LBM, bertugas
membahas dan memecahkan masalah-masalah yang mawdu’iyyah (tematik) dan waqi’iyyah
(aktual) yang memerlukan kepastian hukum”. Dilihat dari redaksi ART NU, terlihat bahwa
tugas LBM pada tahun 2004 mengalami perluasan mandat dan pergeseran orientasi bila
dibanding LBM pada tahun 1999, yakni dari mengurusi persoalan-persoalan yang mawquf
kepada persoalan mawdu’iyyah. Pola kajian berpindah dari sekedar menuntaskan tanggungan
penyelesaian masalah-masalah yang belum disepakati hukumnya kepada mengkaji persoalan-
persoalan yang memang riil terjadi di masyarakat. Secara filosofis dapat dijelaskan bahwa
membahas persoalanpersoalan mawdu’iyyah itu lebih memberikan manfaat lebih besar
ketimbang membahas persoalan-persoalan mawquf. Sebab persoalan yang mawquf bisa jadi
bukanlah persoalan yang mempunyai signifikansi untuk kemaslahatan umat. 8 Namun

7
Bahtsul Masa’il menjadi wadah yang lebih dinamis, maka pada muktamar ke 18 di Yogyakarta tahun 1989,
komisi I yang membidangi Bahtsul Masa’il merekomendasikan kepada PBNU
8
Dalam ART NU tahun 1999 pasal 16

[Type text] Page 6


demikian bukan berarti semua persoalan yang mawquf tidak perlu dibahas, kalau saja ada di
antara sekian persoalan itu memang mempunyai signifikansi bagi kemaslahatan umat,
maka tidak ada salahnya untuk dibahas. Dari segi historis maupun operasionalitas,
Bahtsul Masa’il NU merupakan forum yang sangat dinamis, demokratis dan “berwawasan
luas”. Dikatakan dinamis sebab persoalan (masa’il) yang dibahas selalu mengikuti
perkembangan (trend) hukum di masyarakat. Demokratis karena dalam forum tersebut tidak
ada perbedaan antara kiai, santri baik yang tua maupun muda. Pendapat siapapun yang paling
kuat itulah yang diambil. Dikatakan “berwawasan luas” sebab dalam forum Bahtsul Masa’il
tidak ada dominasi mazhab dan selalu sepakat dalam khilaf. Salah satu contoh untuk
menunjukkan fenomena “sepakat dalam khilaf” ini adalah mengenai status hukum bunga
bank. Dalam 72 | de Jure, Jurnal Syariah dan Hukum, Volume 5 Nomor 1, Juni 2013, hlm.
67-78 memutuskan masalah krusial ini tidak pernah ada kesepakatan. Ada yang mengatakan
halal, haram atau subhat. Itu terjadi sampai Muktamar NU tahun 1971 di Surabaya.
Muktamar tersebut tidak mengambil sikap. Keputusannya masih tiga pendapat: halal, haram
atau subhat. Ini sebetulnya merupakan langkah antisipatif NU. Sebab ternyata setelah itu
berkembang berbagai bank dan lembaga keuangan modern yang dikelola secara profesional.
Orang pada akhirnya tidak bisa menghindar dari persoalan bank.

C. MAJLIS TARJIH MUHAMMADIYAH


Secara kelembagaan Majlis Tarjih berdiri pada tahun 1927 M. Pendirian lembaga ini
didasari atas semakin berkembangnya Muhammadiyah secara organisasi yang berimplikasi
kepada banyaknya anggota. Peningkatan jumlah anggota ini sekaligus memicu timbulnya
perselisihan paham mengenai masalah-masalah keagamaan, terutama yang berhubungan
dengan fiqh. Untuk mengantisipasi meluasnya perselisihan tersebut, serta menghindari
adanya peperpecahan antar warga Muhammadiyah, maka para pengurus persyarikatan ini
melihat perlu adanya lembaga yang memiliki otoritas dalam bidang hukum. Melalui
keputusan konggres ke 16 di Pekalongan, berdirilah lembaga tersebut yang di sebut Majlis
Tarjih Muhammadiyah. 9
Pada tahap-tahap awal, tugas Majlis Tarjih, sesuai dengan namanya, hanyalah sekedar
memilih-milih antar beberapa pendapat yang ada dalam khazanah pemikiran Islam, yang
dipandang lebih kuat. Penamaan tarjih sesungguhnya memuat makna bahwa lembaga ini
tidak bisa dilepaskan dari keterikatan dengan pendapat ulama-ulama klasik. Sebab arti dari
tarjih adalah memilih, dan bukan menemukan sendiri, karena memilih sudah barang tentu
harus ada yang dipilih. Tetapi, di kemudian hari, karena perkembangan masyarakat dan
jumlah persoalan yang dihadapinya semakin banyak dan kompleks, dan tentunya jawabannya
tidak selalu ditemukan dalam khazanah pemikiran Islam klasik, maka konsep tarjih
Muhammadiyah mengalami pergeseran yang cukup signifikan. Kemudian mengalami
perluasan menjadi ”usaha-usaha mencari ketentuan hukum bagi masalah-maasalah baru yang
sebelumnya tidak atau belum pernah ada diriwayatkan qaul ulama mengenainya”. Usaha-
usaha tersebut dalam kalangan ulama ushul fiqh lebih dikenal dengan nama “ijtihad“. Namun

9
keputusan konggres ke 16 di Pekalongan berdirilah lembaga tersebut yang di sebut Majlis Tarjih
Muhammadiyah

[Type text] Page 7


karena beberapa pertimbangan, dan ada keinginan tetap menjaga nama asli, ketika Majlis ini
pertama kali dibentuk, maka nama itu tetap dipakai, walau terlalu sempit jika di bandingkan
dengan tugas yang ada Merujuk kepada fakta diatas, dapat dikatakan bahwa pola berfiqih
Majlis Tarjih mengalami pergeseran dari keterikatan dengan pendapat ulama klasik,
meskipun dalam bentuk pemilihan pendapat yang kuat, kepada penggalian langsung kepada
sumber utama Islam alQur’an dan hadits. Dalam perjalanannya Majlis Tarjih pada tahun 1995
berubah namanya menjadi Majlis Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam (tadjid).
Penambahan nama secara tidak langsung memberikan ruang yang lebih besar kepada
lembaga ini untuk melakukan kajian tentang Islam, tidak hanya berkutat kepada persoalan
fiqhiyyah akan tetapi pada persoalan di luar fiqih.
Namun demikian Rifyal Ka’bah justru menilai sebaliknya, penambahan ini
menunjukkan penyempitan bidang tarjih yang tadinya menghususkan diri dalam bidang
hukum Islam. Kondisi ini menurutnya sangat mungkin disebabkan oleh semakin langkanya
ulama’ulama di kalangan Muhammadiyah yang mampu melakukan “tarjih” sebagaimana
generasi-generasi awal. Pada generasi awal, ulama Muhammadiyah memiliki keunggulan
dalam penguasaan bahasa Arab dan melakukan ijtihad. Penguasaan bahasa Arab misalnya,
dapat dilihat dari redaksi keputusan Lajnah Tarjih yang ditulis dalam bahasa Arab dan bahasa
Indonesia, sementara pada keputusan Lajnah Tarjih belakangan hanya ditulis dalam bahasa
Indonesia.9 Penggunaan istilah “Majelis” dalam Majelis Tarjih dimaksudkan untuk
menunjukkan perbedaannya dengan lajnah dan badan. Majlis dalam struktur Muhammadiyah
berarti sebuah lembaga yang berada di bawah Pimpinan Pusat Muhammadiyah. Sementara
lembaga dan badan adalah lembaga yang berada di bawah koordinasi Majlis.10
Majlis Tarjih ini mempunyai kedudukan yang istimewa di dalam Muhammadiyah,
karena selain berfungsi sebagai pembantu Pimpinan Muhammadiyah, mereka memiliki tugas
untuk memberikan bimbingan keagamaan dan pemikiran di kalangan umat Islam Indonesia
pada umumnya dan warga Muhammadiyah khususnya. Sehingga, tidak berlebihan kalau
dikatakan bahwa Majlis Tarjih ini merupakan ‘ Think Thank “ –nya Muhammadiyah. Ia
bagaikan sebuah “ processor “ pada sebuah komputer, yang bertugas mengolah data yang
masuk sebelum dikeluarkan lagi pada monitor Adapun tugas-tugas Majlis Tarjih,
sebagaimana yang tertulis dalam Qa’idah Majlis Tarjih 1961 dan diperbaharuhi lewat
keputusan Pimpinan Pusat Muhammdiyah No. 08/SKPP/I.A/8.c/2000, Bab II pasal 4, adalah:
(1) Mempergiat pengkajian dan penelitian ajaran Islam dalam rangka pelaksanaan tajdid dan
antisipasi perkembangan masyarakat; (2) Menyampaikan fatwa dan pertimbangan kepada
Pimpinan Persyarikatan guna menentukan kebijaksanaan dalam menjalankan kepemimpinan
serta membimbing umat, khususnya anggota dan keluarga Muhammadiyah; (3) Mendampingi
dan membantu Pimpinan Persyarikatan dalam membimbing anggota melaksanakan ajaran
Islam; (4) Membantu Pimpinan Persyarikatan dalam mempersiapkan dan meningkatkan
kualitas ulama; (5) Mengarahkan perbedaan pendapat/faham dalam bidang keagamaan ke
arah yang lebih maslahat. sebelum bahtsul masail berkembang di kalangan NU, tradisi seperti
itu telah ada di Tanah Suci yang disebut dengan tradisi halaqah. Ide bahtsul masail
menurutnya adalah tradisi yang diimport dari Tanah Suci Makkah. 10

10
dalam Qa’idah Majlis Tarjih 1961 dan diperbaharuhi lewat keputusan Pimpinan Pusat Muhammdiyah No.
08/SKPP/I.A/8.c/2000, Bab II pasal 4,

[Type text] Page 8


Para santri Indonesia yang belajar di Tanah Suci, sepulang dari sana mereka
mengembangkan agama Islam melalui lembaga pendidikan yang mereka dirikan berupa
pesantren sekaligus mengadopsi sistem h}alaqah untuk mengkaji persoalan-persoalan yang
terjadi di masyarakat.13 Di lembaga pesantren forum Bahtsul Masa’il yang terinspirasi model
halaqah dari tanah suci terus dilaksanakan dan dikembangakan oleh kalangan pesantren.
Sehingga bisa dikatakan bahwa jauh sebelum NU berdiri, pesantrenpesantren beserta kyainya
telah mempraktekkan model halaqah untuk memperoleh hukum dari kitab-kitab kuning yang
sehari-hari dipelajarinya. Forum ini terus berkembang dan dilaksanakan di dalam organisasi
NU.
Berkembangnya tradisi bahtsul masail di kalangan NU bukanlah sesuatu yang
mengherankan, sebab hampir seluruh perangkat metodologi dan referensi-referensi (maraji’),
serta model h}alaqah yang digunakan dalam pembahasan Bahtsul Masa’il di NU pararel
dengan yang ada di pondok pesantren. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa Bahtsul
Masa’il yang ada di dalam NU sesungguhnya merupakan kepanjangan dari Bahtsul Masa’il
yang ada di dalam pesantren. Atau dengan kata lain bahwa Bahtsul Masa’il yang ada di NU
merupakan adopsi dari tradisi Bahtsul Masa’il yang ada di pesantren yang biasa disebut
dengan mushawarah atau takrar. 14 Dalam pelaksanaannya antara Bahtsul Masa’il yang ada
di pesantren dan NU

D. DEWAN HISBAH PERSIS

a. Dewan Hisbah
Dewan Hisbah adalah lembaga khusus PERSIS yang bertugas sebagai pengamat
perkembangan hukum Islam dari berbagai peristiwa yang terjadi di masarakat,
semua itu dikembalikan kepada al-Qur'an dan hadis, kemudian memberi fatwa dari segala
peristiwa yang didapat dalam masyarakatatau dari hasil pertanyaan jama'ah PERSIS
b. Apa yang Anda Ketahui Tentang persis?
Persatuan Islam (disingkat Persis atau PERSIS) adalah sebuah organisasi Islam di
Indonesia. Persis didirikan pada 12 September 1923 di Bandung oleh sekelompok Islam yang
berminat dalam pendidikan dan aktivitas keagamaan yang dipimpin oleh Haji Zamzam dan
Haji Muhammad Yunus.11

c. Persis mengikuti mazhab apa?


Persatuan Islam (PERSIS) tidak bermazhab dalam arti tidak mengikatkan diri dalam
satu mazhab dan mengambil pendapat Imam-Imam mazhab yang mana saja asal sesuai
dengan Al-Qur'an dan Al-Hadits menurut pemahaman ulama Persatuan islam.

11
Persis didirikan pada 12 September 1923 di Bandung

[Type text] Page 9


BAB III
SIMPULAN DAN SARAN
A. SIMPULAN
Titik tolak dari pemikiran tentang fatwa keagamaan pada dasarnya untuk memberikan
arah yang konkret tentang prinsip-prinsip hukum syariat yang dapat dipertanggungjawabkan
kebenarannya.

Namun inti dan sasarannya adalah agar umat islam mampu menciptakan pola pikir
yang sistematis dalam mengkaji ajaran islam secara utuh dan murni. Sehingga tercipta suatu
pola pikir dan hasil ijtihad para ahli/ulama untuk menemukan dalil-dalilyang konkret dalam
mengambil keputusan hukum-hukum syariat islam.

Di sisi lain umat Islam Indonesia menghadapi tantangan global yang sangat berat.
Kemajuan sains dan teknologi yang dapat menggoyahkan batas etika dan moral, serta budaya
global yang didominasi Barat, serta pendewaan kebendaan dan pendewaan hawa nafsu yang
dapat melunturkan aspek religiusitas masyarakat serta meremehkan peran agama dalam
kehidupan umat manusia. Selain itu kemajuan dan keragaman umat Islam Indonesia dalam
alam pikiran keagamaan, organisasi sosial dan kecenderungan aliran dan aspirasi politik,
sering mendatangkan kelemahan dan bahkan dapat menjadi sumber pertentangan di kalangan
umat Islam sendiri.Akibatnya umat Islam dapat terjebak dalam egoisme kelompok (ananiyah
hizbiyah) yang berlebihan.

Sehingga fatwa menjadi sangat urgen dalam menghadapi permasalahan tersebut


diatas. Dengan adanya lembaga fatwa resmi tentunya penjelasan hukum yang masih gelobal
menjadi mudah difahami dan juga menjawab permasalahan-permasalahan baru yang kian hari
kian kompleks.

B. SARAN

Penulis sangat terbatas dalam mencari informasi terhadap LEMBAGA FATWA YANG
ADA DI INDONESIA,karenanya diharapkan mahasiswa pada khususnya dan umat Islam pada
umumnya dapat mencari kembali lebih lanjut terhadap LEMBAGA FATWA YANG ADA DI
INDONESIA dan memahaminya apa maksud dari diadakannya lemba fatwa ini, sehingga
umat islam dapat lebih beriman dan meyakini betapa islam dijaga di Indonesia ini Mudah-

[Type text] Page 10


mudahan kita termasuk orang-orang yang dilindungi Allah SWT dari perbuatan syirik yang
mengantar kita ke neraka jahanam. Amin.

Diperlukan penelitian lebih lanjut tentang LEMBAGA FATWA YANG ADA DI


INDONESIA, sebab islam bukan agama ardi,atau buatan manusia ,islam adalah agama
samawi’ yang dibuat oleh Tuhan yakni ALLAH SWT. Sehingga kita sebagai Muslim tidak
boleh semena-mena dalam menggali informasi harus fakta dan akurat sesuai kitab suci-Nya
yakni Al-Quran.

[Type text] Page 11

Anda mungkin juga menyukai