Disusun Oleh :
Nataya Pramaditha
Nataya Pramaditha
11
ii
DAFTAR ISI
11
iii
BAB 1
PENDAHULUAN
1
tentang suatu masalah-masalah hukum yang muncul dalam kehidupan umat Islam.
Meskipun fatwa MUI bukan masuk dalam kategori hukum positif, dan tidak
mempunyai kekuatan hukum memaksa, penegakannya tidak boleh menggunakan
aparatur Negara seperti institusi kepolisian dan kejaksaan, serta tidak
diperkenankan dengan cara-cara yang memaksakan kehendak, kecuali apabila
materi fatwa MUI jika telah diadopsi ke dalam bentuk Peraturan beruapa Undang-
undang ataupun Peraturan Daerah. Pada dasarnya isi dan materi fatwa MUI hanya
sebatas atau merupakan pendapat semata, yang tidak ada sifat mengikat secara
hukum bahkan juga tidak mengikat bagi umat Islam itu sendiri, dan tidak dapat
diterapkan secara memaksa, apalagi menjadi satu-satunya dasar untuk menjatuhkan
sanksi dalam tindak pidana.
Dalam sistem hukum ketata negaraan di Indonesia, posisi atau kedudukan
fatwa MUI hanya merupakan sebagai hukum aspiratif yang mempunyai kekuatan
konstruktif secara moral bagi komunitas yang mempunyai aspirasi untuk
mengamalkannya, namunfatwa tersebut tidak dapat dijadikan alat paksa bagi
kelompok lain yang berbeda pendapatdengan fatwa MUI, sebab bukan termasuk
dalam hukum positif. Dengan ungkapan lain letak posisi fatwa MUI hanya dapat
disetarakan dengan dengan posisi pendapat ahli hukum, bahasa, dan agama. Karena,
untuk menilai materi dan isi fatwa itu, pahanya para ulama, zu’ama dan
cendekiawan muslim lebih punya kompetensi dan ilmu untuk berfatwa.
Sehingga kedudukan fatwa dalam kehidupan umat Islam, tidak mengikat
secara hukum, akan tetapi bersifat mengikat secara agama semata, dengan demikian
tidak ada peluang bagi seorang muslim untuk menentangnya bila fatwa itu
didasarkan kepada dalil atau nash yang shariah dan valid. Sementara hukum positif
merupakan hukum yang saat ini berlaku yang mencakup aturan perundang-
undangan yang berlaku umum (regelling), ataupun keputusan yang berlaku khusus
(beschikking), yang pelaksanaannya dikawal oleh aparatur negara dan sistem
peradilan.
2
1.2 Rumusan Masalah
1. Apa definisi fatwa dan syariat mufti?
2. Apa dasar persyariatan fatwa?
3. Bagaimana kedudukan MUI-DSN sebagai lembaga fatwa ekonomi syariah?
4. Bagaimana metode fatwa MUI-DSN, bahtsul masail dan majelis tarjih?
5. Apa saja produk fatwa ekonomi syariah nasional C37
3
BAB II
PEMBAHASAN MASALAH
4
Dasar Hukum Fatwa
Pada umumnya fatwa ditetapkan berdasarkan keterangan AlQuran, hadist,
ijma’, dan qiyas. Keempatnya merupakan sumber dalil hukum syariah yang telah
disepakati oleh jumhur ulama. Jumhur ulama menyepakati validitas keempat
sumber tersebut sebagai sumber-sumber hukum syariah, berdasarkan firman Allah
didalam Al-Quran Surat AnNisa’ ayat 59 sebagai berikut:
ُاألي ِباللَّ ُِو ذَُ ُر خَأي لِكَُ تَأأ ِويلُ َوأَحأ َسن ُِ ِ ِِف خِ ُِر اْأل
َُ وأم َو َُ َِل اللَّ ُِو ِإ
ُِ ُل َِ ردُّوهُ ف شَيأء ُِ الرسو
َّ ت كأنتمأ ِإنأ َو
َُل َوأَطِ يعوا اللَّ َُو أَطِ يعوا آ َمنوا الَّذِينَُ ِِهَا أَي َيا ِؤأمِ نون
َُ الرسو ُِ مأر اْأل
َّ ِ َوأ ِو ُل ُِ َِ نَازَ عأتمُأ تَُ فَإِنأ مِ أنكمأ
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul
(Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat
tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul
(sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian.
Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.”
Kebolehan untuk berijtihad juga diperkuat keterangan hadist yang
diriwayatkan oleh Mu’adz ibn Jabal ketika diutus Rasulullah SAW untuk menjadi
qadhi di Yaman. Rasulullah bertanya kepada Mu’adz apakah yang akan dilakukan
dalam berhukum jika ia tidak menemukan dalil naqli dari Al-Quran maupun
sunnah, maka Mu’adz menjawab bahwa ia akan berijtihad dengan akalnya, dan
Rasullah pun menyetujuinya.
Tata cara penetapan fatwa MUI yang telah dijadikan pedoman sebagai berikut:
Pasal 1
Dasar-dasar fatwa:
5
1. Al-Quran
2. Al-Sunnah
3. Al- Ijma
4. Al-Qiyas
Pasal 2
1. Pembahasan suatu masalah untuk difatwakan harus memerhatikan:
a. Dasar-dasar fatwa tersebut dalam pasal 1
b. Pendapat imam-imam mazhab dan fuqaha yang
terdahulu dengan mengadakan penelitian terhadap dalildalil dan wajah istidlalnya
2. Cara pembahasan seperti tersebut di atas adalah sebagai upaya menemukan
pendapat mana yang lebih kuat dalilnya dan lebih maslahat bagi umat untuk
difatwakan
3. Apabila masalah yang difatwakan tidak terdapat dalam ketetapan pasal 2 ayat 1
dan belum terpenuhi yang di maksud oleh pasal 2 ayat 2, maka dilakukan ijtihad
jama’i
Wewenang mengeluarkan fatwa ialah:
1. Majelis Ulama Indonesia mengenai:
a. Masalah-masalah keagamaan yang bersifat umum dan menyangkut Umat Islam
Indonesia secara keseluruhan
b. Masalah-masalah keagamaan di suatu daerah yang diduga dapat meluas ke
daerah lain
2. Majelis Ulama Daerah tingkat I mengenai masalahmasalah keagamaan yang
bersifat lokal atau kasus-kasus di daerah, dengan terlebih dahulu mengadakan
konsultasi dengan Majelis Ulama Indonesia atau Komisi Fatwa
Pasal 4
Rapat komisi Fatwa dihadiri oleh anggota-anggota Komisi Fatwa berdasarkan
ketetapan Dewan Pimpinan Majelis Ulama Indonesia tingkat I, dengan kemudian
mengundang tenaga ahli sebagai peserta rapat apabila dipandang perlu.
6
Tugas dan Fungsi Fatwa DSN
Pada tahun 2000, lampiran II dari SK MUI No. Kep- 754/MUI/II/99 tentang
pembentukan Dewan Syariah Nasional dijadikan sebagai Pedoman Dasar Dewan
Syariah Nasional melalui Keputusan DSN-MUI No. 01 Tahun 2000. Tugas dari
DSN adalah sebagai berikut:
a. Menumbuh-kembangkan penerapan nilai-nilai syariah dalam kegiatan
perekonomian pada umumnya dan keuangan pada khususnya.
b. Mengeluarkan fatwa atas jenis-jenis kegiatan keuangan.
c. Mengeluarkan fatwa atas produk dan jasa keuangan syariah.
d. Mengawasi penerapan fatwa yang telah dikeluarkan.
Fungsi fatwa adalah memberikan jawaban atas pertanyaan yang berkaitan dengan
hukum. Dalam ilmu Ushul al-Fiqh, berarti pendapat yang dikemukakan seorang
mujtahid atau Faqih sebagai jawaban yang diajukan peminta fatwa atas suatu kasus
yang sifatnya tidak mengikat.
Mufti
Istilah mufti merujuk kepada orang yang ditanyakan kepada masalah hukum-hukum
agama dan dia memberi jawaban. Jawaban itulah yang kemudian disebut dengan
fatwa.
a. Bahasa
Maka pengertian mufti secara bahasa adalah ism pelaku dari perbuatan memberi
fatwa. Maka orang yang memberi fatwa walau sekali, secara bahasa disebut mufti.
Namun pengertian itu adalah pengertian fatwa secara bahasa.
b. Istilah
Ada pun yang berlaku adalah pengertian fatwa secara istilah. Ash-Shairafi
mendefinisikan fatwa sebagai: Mufti adalah orang yang mengurusi masalah agama
bagi orang-orang, di mana dia punya ilmu tentang Alquran, baik yang sifatnya
global atau yang khusus, baik yang nasikh (menghapus) atau yang mansukh (yang
dihapus), juga mengenal sunah dan tata cara beristimbath.
7
Sedangkan Az-Zarkasyi mendefinisikan mufti sebagai: Mufti adalah orang
yang memiliki ilmu atas semua hukum-hukum syar’iyah dengan kuat yang dekat
dari perbuatannya. Tentu yang disebut mufti adalah orang yang profesional dan
ekspert di bidang fatwa, bukan sekedar orang awam yang bodoh dan tidak punya
kemampuan, lantas berlagak sok pintar dan mengeluarkan banyak pernyataan aneh
yang justru bertentangan dengan hukum-hukum syariah.
Syarat-syarat yang harus di miliki oleh seorang mufti antara lain adalah:
1. Fatwanya harus didasarkan kepada kitab-kitab induk yang mutabar agar
fatwa yang diberikan itu dapat diterima oleh penerima fatwa.
2. Apabila ia berfatwa berdasrkan qoul seseorang alim, maka ia dapat
menunjukan dasar sumber pengambilan fatwanya itu, dengan demikian ia
terhindar dari berbuat salah dan bohong.
3. Seorang mufti harus mengerti atau mengetahui berbagai macam pendapat
ulama agar tidak terjadi kesalah fahaman antara ia dan penerima fatwanya.
4. Seorang mufti haruslah seorang alim yang memiliki kejujuran.
8
Karena kedudukannya yang dianggap dapat menetapkan hukum atas suatu kasus
atau masalah tertentu, maka para sarjana Barat ahli hukum Islam mengkategorikan
fatwa sebagai jurisprudensi Islam.
Sehubungan dengan hal di atas, maka fatwa bisa diartikan sebagai
penjelasan hukum syariat atas persoalan tertentu, sehingga kaedah pengambilan
fatwa tidak ubahnya dengan kaedah menggali hukum-hukum syariat dari dalil-dalil
syariat (ijtihâd). Pasalnya, satusatunya cara untuk mengetahui hukum syariat dari
dalil-dalil syariat adalah dengan ijtihâd, dan tidak ada cara lain. Oleh karena itu,
seorang mufti (pemberi fatwa) tidak ubahnya dengan seorang mujtahid yang
mencurahkan segala kemampuannya untuk menemukan hukum dari sumber hukum
Islam, yakni al-Qur’an dan Hadist.
9
Adapun alur penetapan fatwa yang berkaitan dengan ekonomi syariah (Amin,
2011: 274–275). antara lain:
1) Badan Pelaksana Harian DSN-MUI menerima usulan atau
pertanyaan hukum mengenai suatu produk lembaga keuangan syariah.
Usulan atau pertanyaan hukum ini bisa dilakukan oleh praktisi lembaga
keuangan melalui DPS atau langsung ditujukan pada sekretariat
Badan Pelaksana Hariah DSN-MUI.
2) Sekretariat yang dipimpin oleh sekretaris paling lambat satu hari
kerja setelah menerima usulan/pertanyaan harus menyampaikan
permasalahan kepada ketua.
3) Ketua Badan Pelaksana Harian DSN-MUI bersama anggota BPH
DSN-MUI dan staff ahli selambat-lambatnya 20 hari kerja harus
membuat memorandum khusus yang berisi telaah dan pembahasan
terhadap suatu pertanyaan atau usulan hukum tersebut.
4) Ketua Badan Pelaksana Harian DSN-MUI selanjutnya nembawa
hasil pembahasan ke dalam Rapat Pleno DSN-MUI untuk mendapat
pengesahan.
5) Memorandum yang sudah mendapat pengesahan dari rapat pleno
DSN-MUI ditetapkan menjadi fatwa DSN-MUI. Fatwa tersebut
ditandatangani oleh ketua DSN-MUI (ex officio Ketua Umum MUI)
dan Sekretaris DSN-MUI (ex officio Sekretaris Umum MUI).
DSN-MUI memiliki peranan yang besar dalam perkembangan
ekonomi syariah di Indonesia.
Walaupun kedudukan fatwa yang dikeluarkannya hanya bersifat sebagai
anjuran. Kepatuhan terhadapnya bisa ditaati atau tidak. Sehingga
ketidakpatuhanterhadap fatwa tidak akan mendapat sanksi hukum, hanya sebatas
mendapat sanksi sosial. Adapun kedudukan fatwa memaksa harus ditaati dan
bernilai sanksi hukum bagi yang tidak melaksanakannya adalah ketika
kedudukan fatwa tersebut diadopsi dan dilegitimasi oleh peraturan perundang-
undnagan yang berlaku di Indonesia. Ada beberapa peraturan yang melegitimasi
kedudukan fatwa, antara lain: Undang-undang perbankan syariah, wakaf, zakat,
10
peradilan agama, surat berharga syariah negara (SBSN), produk halal dan
peraturan perundang-undangan yang lainnya(Habibaty, 2018)
Fatwa yang dikeluarkan oleh DSN-MUI bukanlah hukum positif, sama seperti
fatwa-fatwa yang dikeluarkan MUI dalam bidang-bidang lainnya. Agar fatwa-
fatwa yang dikeluarkan oleh DSN-MUI dapat berlaku dan mengikat sebagai
mana hukum positif yang berlaku di Indonesia, maka pada Undang-undang
Nomor 21 tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah disebutkan bahwa fatwa-
fatwa yang dikeluarkan DSN-MUI dapat ditindak lanjuti sebagai Peraturan Bank
Indonesia.
Dari pasal 26 UU Nomor 21 tahun 2008 tersebut dapat disimpulkan bahwa ada
kekuatan hukum yang mengikat antara fatwa yang dikeluarkan oleh DSN -MUI
dengan hukum positif berupa PBI yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia.
Hubungan ini menunjukkan betapa peran dari lembaga fatwa di Indonesia sangat
signifikan dan strategis dalam membangun dan memajukan Lembaga Keuangan
11
Syariah dengan tetap memperhatikan hukum-hukum syariah yang harus dipatuhi
oleh LKS.
DSN-MUI memiliki peran penting dalam menjaga kepatuhan LKS terhadap
prinsipprinsip Syariah. UU Nomor 21 Tahun 2008 menegaskan bahwa setiap
kegiatan usaha tidak boleh bertentangan dengan syariah, yang dirujuk pada
fatwa yang telah dikeluarkan DSNMUI dan telah dikonfersi ke dalam PBI.
Dengan demikian Fatwa yang telah dirujuk dan dijadikan Peraturan Bank
Indonesia (PBI) yang mengikat setiap LKS atau mengikat publik, sedangkan
fatwa yang yang belum tertuang dalam PBI belum dapat dikatakan mengikat.
Namun jika merujuk pada Peraturan Bank Indonesia No.11/15/PBI/2009 yang
telah memberikan pengertian bahwa prinsip syariah adalah prinsip hukum Islam
dalam kegiatan perbankan berdasarkan fatwa yang dikeluarkan oleh Dewan
Syariah Nasional-Majelis Ulama Indonesia, maka prinsip syariah demi hukum
telah berlaku sebagai hukum positif sekalipun belum atau tidak dituangkan
dalam Perturan Bank Indonesia.
12
2.) Metode Bahtsul Masail
Ahmad Zahro mengutip Imam Yahya menjelaskan bahwa Bahtsul Masail dalam
ijtihadnya sering menggunakan metode istimbath hukum yang diterapkan secara
berjenjang, ialah:
Imam Ghazali Sa‟id dan A. Ma‟ruf Asrori menjelaskan prosedur penetapan hukum
metode di atas adalah didasarkan Keputusan Munas Alim Ulama di Lampung tahun
1992, bahwa prosedur untuk menjawab masalah disusun dengan urutan hirarki
yaitu:
a) Dalam kasus ketika jawaban bisa dicukupi oleh ibarah kitab dan di sana terdapat
hanya satu qaul atau wajh, maka dipakailah qaul atau wajh sebagaimana
diterangkan dalam ibarat tersebut (metode qouly).
b) Dalam kasus ketika jawaban bisa dicukupi oleh ibarat yang tertuang dalam kitab
di sana terdapat lebih dari satu qaul atau wajh, maka dilakukan taqrir jama’i untuk
memilih satu qaul atau wajh (metode taqriry),
c) Dalam kasus tidak ada satu qaul atau wajh sama sekali yang memberikan
13
penyelesaian, maka dilakukan prosedur ilhaqul masail bi nadzairiha secara jama’i
oleh ahlinya (metode ilhaqy);
Dalam kasus tidak ada qaul atau wajh sama sekali tidak memungkinkan diadakan
ilhaq, maka bisa dilakukan istinbat jama’i dengan prosedur istinbath bermadzhab,
secara manhaji, oleh para ahlinya (metode manhajy).
Lebih lanjut, Munas Lampung juga memberi petunjuk cara memilih satu qaul atau
wajh dari dua atau beberapa qaul atau wajh didasarkan atas salah satu dari beberapa
hal, yaitu dengan mengambil pendapat yang lebih maslahat atau dalil masingmasing
yang lebih kuat. Sedapat mungkin dengan melaksanakan ketentuan muktamar NU
ke I, bahwa perbedaan pendapat diselesaikan dengan memilih:
1) pendapat yang disepakati oleh asy-Syaikhon (an-Nawawi dan Rafi‟i),
2) pendapat yang dipegangi oleh an-Nawawi saja,
3) pendapat yang dipegangi oleh ar-Rafi‟i saja,
4) pendapat yang didukung oleh mayoritas ulama,
5) pendapat ulama yang terpandai, dan
6) pendapat ulama yang paling waras.
14
Variasi dan ivonasi dalam produk bank syariah sudah menjadi keniscayaan
karena sektor perbankan memiliki peran penting dalam perekonomian. Sedangkan
pendanaan adalah akad kontrak yang dilakukan nasabah yang kekurangan dana
dengan perbankan syariah dengan variasi produk yang disediakan. Pada kedua
model produk tersebut, perbankan syariah dalam hal ini mengambil fee atas jasa
yang mereka berikan.
Berikut adalah produk serta jasa perbankan syariah yang dapat dinikmati
dan dimanfaatkan oleh masyarakat umum diantaranya adalah :
1. Tabungan Syariah
Tabungan adalah simpanan yang penarikannya melalui beberapa ketentuan
yang sudah dijelaskan oleh pihak bank pada nasabah. Sarana penarikannya
bisa menggunakan buku tabungan, ATM, slip penarikan dan juga melalui
metode canggih lain misalnya internet banking. Ciri khas tabungan syariah
adalah menerapkan akad wadi’ah, yang artinya tabungan yang kita simpan
tidak mendapatkan keuntungan karena cuma dititip, tidak ada bunga yang
diterima oleh nasabah akan tetapi bank memberikan hadiah atau bonus
kepada nasabah.
2. Deposito Syariah
Deposito banyak dipilih oleh masyarakat untuk berinvestasi, selain mudah,
keuntungan yang didapatkan juga lebih tinggi dari tabungan biasa.
Depositoadalahproduk simpanan di bank yang penyetorannya maupun
penarikannya hanya bisa dilakukan pada waktu tertentu saja karena bank
membutuhkan waktu untuk melakukan investasi. Bisnis atau investasi yang
dijalankan oleh bank tersebut harus masuk kategori halal menurut hukum
islam. Tenor atau jangka waktu yang ditawarkan sama dengan deposito
konvensional, antara 1 hingga 24 bulan.
15
nasabah dan bank. Makin besar untung yang bank dapat, makin besar untung
yang diperoleh oleh nasabah, demikian pula jika keuntungan yang diperoleh
bank sedikit maka nasabah akan mendapat keuntungan yang sedikit pula
dengan kata lain, keuntungan muncul bersama risiko.
3. Gadai Syariah (Rahn)
Akad gadai syariah yang dipraktikkan pada PT. Pegadaian adalah
meminjamkan uang kepada nasabah dengan jaminan harta yang bernilai dan
dapat dijual. Uang yang dipinjamkan adalah murni tanpa bunga. Namun
nasabah (rahin) wajib menyerahkan barang jaminan (marhum) untuk
kepentingan sebagai alat pembayaran utang manakala pemberi gadai tidak
dapat membayar utang saat jatuh tempo yang telah disepakati.
4. Giro Syariah
Salah satu produk perbankan syariah yang termasuk ke dalam konsep
wadiah (titipan) adalah giro. Secara umum yang dimaksud dengan giro
adalah simpanan yang penarikannya dapat dilakukan setiap saat dengan
menggunakan cek, bilyet giro, sarana perintah bayar lainnya atau dengan
pemindahbukuan. Adapun yang dimaksud dengan giro syariah adalah giro
yang dijalankan berdasarkan prinsip-prinsip syariah. Dalam hal ini, Dewan
Syariah Nasional telah mengeluarkan fatwa yang menyatakan bahwa giro
yang dibenarkan syariah adalah giro berdasarkan prinsip wadiah dan
mudharabah.
Akad mudharabah pada giro syariah adalah akad kerjasama antara nasabah
sebagai penyimpan dana (shahibul maal) sedang bank syariah sebagai pihak
16
yang mengelola dana (mudharib). Ketentuan Giro Syariah menggunakan
akad mudharabah adalah sebagai berikut:
• Bersifat titipan.
• Titipan bisa diambil kapan saja (on call).
• Tidak ada imbalan yang disyaratkan, kecuali dalam bentuk
pemberian (athaya) yang bersifat sukarela dari pihak bank.
Dalam prakteknya sebagian besar bank syariah menggunakan akad wadiah
pada produk giro. Sebab kebutuhan nasabah membuka giro adalah untuk
kelancaran dan kemudahan dalam bertransaksi, bukan untuk mencari
keuntungan. Sedang akad mudharabah bisanya digunakan untuk akad
investasi untuk mencari keuntungan.
17
5. Pembiayaan Syariah (Ijarah)
Leasing sudah sangat familiar dalam kehidupan kita sehari-hari karena
sudah banyak masyarakat yang menggunakan jasa layanan tersebut,
contohnya dalam pembelian mobil, motor atau benda berharga lainnya.
Sewa guna usaha (leasing) pada awalnya di kenal di Amerika Serikat, yaitu
berasal dari kata lease yang berarti menyewa. Sedangkan dalam ekonomi
Islam istilah yang berkaitan dengan leasing adalah Ijarah (al ijarah) yang
berasal dari kata al ajru yang berarti al iwadhu (ganti). Berdasar SK Menteri
Keuangan No.1169/KMK.01/1991 tanggal 21 November 1991, sewa guna
usaha adalah kegiatan pembiayaan dalam bentuk penyediaan barang modal
baik secara sewa guna usaha dengan menggunakan hak opsi (finance lease)
maupun sewa guna usaha tanpa hak opsi (operating lease) untuk digunakan
oleh lessee selama jangka waktu tertentu berdasarkan pembayaran secara
berkala.
BAB III
PENUTUP
18
3.1 KESIMPULAN
Fatwa adalah sebuah istilah mengenai pendapat atau tafsiran pada suatu
masalah yang berkaitan dengan hukum Islam. Fatwa sendiri dalam bahasa Arab
artinya adalah "nasihat", "petuah", "jawaban" atau "pendapat". Kedudukan Fatwa
MUI Sebagai Peraturan Perundang-Undangan Pasal 1 angka 2 Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (“UU
12/2011”) menjelaskan bahwa Peraturan Perundang-undangan adalah peraturan
tertulis yang memuat norma hukum yang mengikat secara umum dan dibentuk atau
ditetapkan oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang melalui prosedur
yang ditetapkan dalam Peraturan Perundang-undangan.
Istilah mufti merujuk kepada orang yang ditanyakan kepada masalah
hukum-hukum agama dan dia memberi jawaban. Jawaban itulah yang kemudian
disebut dengan fatwaFatwa seringkali menjadi medan wacana para ulama ushul fiqh
dalam karya-karya monumental. Dalam perspektif para ulama ushul fiqh, fatwa
dimaknai sebagai pendapat yang dikemukakan mujtahid sebagai jawaban atas
pertanyaan yang diajukan mustafti pada suatu kasus yang sifatnya tidak mengikat.
Mustafti bisa bersifat individual, institusi atau kelompok masyarakat. Produk fatwa
tidak mesti diikuti oleh mustafti, karenanya fatwa tidak memiliki daya ikat.
DAFTAR PUSTAKA
https://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/4884/
19
https://media.neliti.com/media/publications/154605-ID-none.pdf
https://moraref.kemenag.go.id/documents/article/97406410605886193
https://media.neliti.com/media/publications/347059-eksistensi-kedudukan-fatwa-
dsn-mui-terha-5612a5cf.pdf
https://mui.or.id/sejarah-mui/
20