Anda di halaman 1dari 22

MAKALAH

FATWA DEWAN SYARIAH NASIONAL DALAM PERKEMBANGAN HUKUM


EKONOMI SYARIAH DI INDONESIA
Disusun Guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah Hukum Ekonomi Syariah
Dosen Pengampu : Muhamad Masrur, M.E.I

Disusun Oleh :
1. Kaila Zulfa Khoirurrizki (40122090)
2. Nauval Failasuf (40122069)
3. Putri Camelia Rosanty (40122091)

Kelas : D

PROGRAM STUDI EKONOMI SYARIAH


FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI K.H. ABDURRAHMAN WAHID PEKALONGAN
2024
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan
hidayah-Nya sehingga kami dapat dengan sukses menyelesaikan makalah tentang “Fatwa
Deewan Syariah Nasional Dalam Perkembangan Hukum Ekonomi Syariah Di Indonesia” dan
dapat memenuhi salah satu tugas mata kuliah Hukum Ekonomi Syariah ini dengan tepat
waktu.
Ucapan terima kasih juga kami sampaikan kepada Bapak Muhamad Masrur, M.E.I
sebagai dosen mata kuliah etika bisnis islam. Kami berharap dengan membaca makalah ini,
pembaca dapat memperoleh pemahaman dan pengetahuan lebih lanjut serta mengetahui lebih
banyak tentang etika dan periklanan.
Karena keterbatasan keahlian dan pengalaman, kami yakin makalah ini masih
mempunyai banyak kekurangan, baik dalam penulisan maupun isinya. Oleh karena itu, kami
menyambut baik segala saran dan kritik yang membangun.

Pekalongan, 7 Maret 2024

Penulis

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ....................................................................................................... ii


DAFTAR ISI...................................................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ........................................................................................................ 1
B. Rumusan Masalah ................................................................................................... 1
C. Tujuan Masalah....................................................................................................... 1
BAB II PEMBAHASAN
A. Pengertian Fatwa DSN ............................................................................................ 2
B. Kedudukan Fatwa dalam sistem hukum di Indonesia............................................. 4
C. Metodologi dalam penetapan fatwa DSN ............................................................... 6
D. Fungsi fatwa DSN ................................................................................................... 10
E. Fatwa DSN tentang berbagai transaksi dalam ekonomi syariah ............................. 11
F. Studi Kasus ............................................................................................................. 13
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan ............................................................................................................. 15
B. Saran ....................................................................................................................... 15
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................................ 16
LAMPIRAN 1.................................................................................................................... 17
LAMPIRAN II .................................................................................................................. 18
LAMPIRAN III ................................................................................................................. 19

iii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Dalam konteks ekonomi syariah, fatwa Dewan Syariah Nasional (DSN)
memegang peranan yang krusial dalam membentuk dan mengarahkan berbagai aspek
industri keuangan yang berlandaskan prinsip-prinsip syariah di Indonesia. Dengan
pertumbuhan pesat industri keuangan syariah dalam beberapa dekade terakhir,
pemahaman mendalam tentang peran dan dampak fatwa DSN dalam perkembangan
ekonomi syariah menjadi semakin penting.
Sejak awal abad ke-21, industri keuangan syariah di Indonesia telah
mengalami pertumbuhan yang signifikan. Mulai dari perbankan syariah, pasar modal
syariah, hingga asuransi syariah, berbagai sektor dalam ekonomi syariah telah
berkembang pesat dan menjadi bagian integral dari perekonomian nasional.
Fatwa DSN memiliki peran yang sangat penting dalam memfasilitasi dan
mengatur pertumbuhan industri keuangan syariah tersebut. Sebagai lembaga yang
mengeluarkan fatwa resmi tentang kesesuaian produk dan praktik keuangan dengan
prinsip-prinsip syariah, DSN membantu menciptakan kerangka kerja yang jelas dan
terpercaya bagi pelaku bisnis dan masyarakat umum.
Meskipun fatwa DSN telah memberikan kontribusi positif dalam
perkembangan ekonomi syariah, lembaga tersebut juga dihadapkan pada berbagai
tantangan. Tantangan tersebut termasuk perluasan cakupan regulasi, peningkatan
kualitas pengawasan, serta adaptasi terhadap perubahan lingkungan ekonomi dan
teknologi. Namun demikian, terdapat pula peluang untuk meningkatkan efektivitas
dan relevansi fatwa DSN dalam mendukung pertumbuhan ekonomi syariah yang
inklusif dan berkelanjutan.

B. Rumusan Masalah
1. Apa Pengertian Fatwa DSN?
2. Bagaimana Kedudukan Fatwa Dalam Sistem Hukum Di Indonesia?
3. Bagaimana Metodologi Dalam Penetapan Fatwa DSN?
4. Bagaimana Fungsi Fatwa DSN?
5. Bagaimana Fatwa DSN Tentang Berbagai Transaksi Dalam Ekonomi Syariah?
C. Tujuan Masalah
1. Mengetahui Pengertian Fatwa DSN
2. Mengetahui Kedudukan Fatwa Dalam Sistem Hukum Di Indonesia
3. Mengetahui Metodologi Dalam Penetapan Fatwa DSN
4. Mengetahui Fungsi Fatwa DSN
5. Mengetahui Fatwa DSN Tentang Berbagai Transaksi Dalam Ekonomi Syariah

1
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Fatwa DSN


Fatwa secara bahasa berarti petuah, nasihat, jawaban pertanyaan hukum.
Penjelasan tentang hukum Islam yang diberikan oleh seseorang faqih atau lembaga
fatwa kepada umat, yang muncul baik karena adanya pertanyaan maupun tidak.
Pendapat mengenai suatu hukum dalam Islam yang merupakan tanggapan atau
jawaban terhadap pertanyaan yang diajukan oleh peminta fatwa dan tidak mempunyai
daya ikat.1 Menurut Zamakhysari dalam bukunya al-Kasyaf pengertian fatwa adalah
suatu jalan yang lempeng atau lurus2
Sedangkan secara terminologi, sebagaimana dikemukakan oleh Zamakhysri
fatwa adalah penjelasan hukum syara' tentang suatu masalah atas pertanyaan
seseorang atau kelompok. Menurut al-Syāṭibi, fatwa dalam arti al-iftā’ berarti
keterangan-keterangan tentang hukum syara' yang tidak mengikat untuk diikuti.
Menurut kitab Maṭalib Ūly al-Nuhā fi Syarḥ Ghayah al-Munṭaha, pengertian fatwa
adalah menjelaskan hukum syar'i kepada penannya dan tidak mengikat untuk dipilih.
Menurut Yusuf Qarḍawi, fatwa adalah menerangkan hukum syara' dalam persoalan
sebagai jawaban atas pertanyaan yang diajukan oleh peminta fatwa (mustafti) baik
secara perorangan maupun kolektif. Menurut Joseph Scaht fatwa didefinisikan
sebagai “formal legal opini”3.
Fatwa adalah sebuah istilah mengenai pendapat atau tafsiran pada suatu
masalah yang berkaitan dengan hukum Islam. Fatwa dalam bahasa Arab berarti
nasihat, petuah, jawaban atau pendapat. Adapun yang dimaksud adalah sebuah
keputusan atau nasihat resmi yang diambil oleh sebuah lembaga atau perorangan yang
diakui otoritasnya, disampaikan oleh seorang mufti atau ulama, sebagai tanggapan
atau jawaban terhadap pertanyaan yang diajukan oleh peminta fatwa (mustaftî) yang
tidak mempunyai keterikatan. Penggunaannya dalam kehidupan beragama di

1
Muhammad Sholahuddin, Kamus Istilah Ekonomi, Keuangan, & Bisnis Syariah A-Z (Jakarta: PT Gramedia
Pustaka Utama, n.d.).
2
Rohadi Abdul Fatah, Analisis Fatwa Keagamaan Dalam Fiqih Islam (Jakarta: PT Bumi Aksara, 2006).
3
Soleh Hasan Wahid, “Dinamika Fatwa Dari Klasik Ke Kontemporer (Tinjauan Karakteristik Fatwa Ekonomi
Syariah Dewan Syariah Nasional Indonesia (DSN-MUI),” Jurnal Pemikiran Hukum dan Hukum Islam 10 10, no. 2
(n.d.): 193.

2
Indonesia, fatwa dikeluarkan oleh MUI sebagai suatu keputusan tentang persoalan
ijtihâdiyah yang terjadi di Indonesia guna dijadikan pegangan.4
Sementara itu diketahui bahwa sumber hukum Islam terdiri dari al-Quran,
alSunnah, dan ra’yu (akal fikiran manusia) dengan berbagai metode diantaranya
adalah ijma, qiyas, istihsan, istishab, almasalih al-mursalah, dan `urf. Ijma’ adalah
persetujuan atau kesesuaian pendapat para ahli mengenai masalah pada suatu tempat
di suatu masa. Dengan demikian fatwa merupakan ketentuan hukum Islam yang
diterbitkan berdasarkan pemikiran dan ijtihad dengan cara ijma’. Namun, fatwa tidak
sama persis dengan ijma karena didalam ijma telah terjadi kesepakatan/tidak ada
perbedaan pendapat atas suatu masalah (yang diminta ataupun tidak diminta). 5
Pihak yang meminta fatwa bisa pribadi, lembaga maupun kelompok
masyarakat. Fatwa yang diberikan oleh pemberi fatwa (mufti) tidak mesti diikuti oleh
orang yang meminta fatwa (mustafti), dan karenanya fatwa tersebut tidak mempunyai
daya ikat. Berdasarkan penjelasan di atas, dapat dipahami bahwa fatwa secara teori
dalam ilmu fikih maupun usul fikih hanya bersifat optional (ikhtiyariah) yang tidak
mengikat bagi mustafti secara legal. Fatwa tersebut hanya mengikat secara moral bagi
mustafti dan bagi masyarakat luas. Dengan kata lain mustafti bisa mengikuti atau
tidak mengikuti fatwa yang berikan oleh mufti dan tidak ada konsekuensi hukum atas
tindakan tersebut. Berbeda dengan fatwa yang diberikan oleh mufti yang tidak
mengikat mustafti, putusan hakim bersifat mengikat dan harus dilaksanakan oleh
pihak yang dihukum.
Umat Islam pada umumnya menjadikan fatwa sebagai rujukan didalam
bersikap dan bertingkah laku. Sebab posisi fatwa dikalangan masyarakat umum
adalah laksana dalil dikalangan para mujtahid (Al-Fatwa fi Haqqi, Ami kal Adillah fi
Haqqil Mujtahid). Artinya, kedudukan fatwa bagi warga masyarakat yang awam
terhadap ajaran agama Islam, seperti dalil bagi mujtahid. Kehadiran fatwa-fatwa
dimaksud, menjadi aspek organik dari bangunan ekonomi syariah yang tengah
ditata/dikembangkan, sekaligus merupakan alat ukur bagi kemajuan ekonomi syariah
di Indonesia.6 Berikut ini pengertian fatwa menurut ulama-ulama7:

4
Sofyan Al-Hakim, “Perkembangan Regulasi Perbankan Syariah Di Indonesia,” Jurnal Wacana Hukum Islam dan
Kemanusiaan 13, no. 1 (2013): 15.
5
Ichwan Ahnaz Alamudi and Ahmadi Hasan, “KEDUDUKAN FATWA DSN DALAM TATA HUKUM NASIONAL,”
Hukum Keluarga dan Pemikiran Hukum Islam 3 (2023): 11–31.
6
Zainudin Ali, Hukum Perbankan Syariah (Jakarta: Sinar Grafika, 2010).
7
Ma’ruf Amin, Fatwa Dalam Sistem Hukum Islam (Jakarta: ELSAS, 2011).

3
1. Fatwa menurut Quraish Shihab sebagaimana dikutip MB. Hooker, berasal dari
bahasa Arab al-Ifta yang secara sederhana dapat dimengerti sebagai pemberian
keputusan. Fatwa adalah sebuah nasihat keagamaan yang diberikan oleh mufti
(orang yang memberikan fatwa) atas dasar permintaan dari seorang atau
sekelompok orang Islam. Oleh karena itu, maka sebuah fatwa pada umumnya
merupakan gambaran dari berbagai isu dan topik yang banyak menyita perhatian
kaum muslim. Fatwa dalam bentuk yang demikian seringkali dikeluarkan dalam
rangka menjawab persoalan-persoalan modern (al-hawadits al-mu’ashiroh) yang
jawabannya seringkali tidak dapat ditemukan secara eksplisit dalam nash.
2. Ibnu Manzhur menjelaskan, bahwa fatwa adalah pandangan yang disampaikan
oleh orang yang faqih. Dengan demikian, pengertian fatwa sebenarnya tidak
terbatas pada persoalan hukum syariah, yang didefinisikan sebagai khithab asy-
syari’ al-muta’alliq bi af’al al-‘ibad (seruan pembuat syariat yang berkaitan
dengan aktivitas manusia). Namun, karena kuantitas persoalan yang difatwakan
tersebut lebih banyak muatan hukum syariatnya ketimbang yang lain, misalnya
akidah, ide atau gagasan, maka fatwa kemudian diidentikkan dengan produk
hukum.
3. Menurut Al-Jurjani Fatwa berasal dari al-fatwa atau al-futya, artinya jawaban
terhadap suatu permasalahan dalam bidang hukum. Sehingga fatwa dalam
pengertian ini juga diartikan sebagai memberikan penjelasan. Dikatakan aftahu fi
al-amr mempunyai arti memberikan penjelasan kepadanya atau memberikan
jawaban atas persoalan yang diajukannya

B. Kedudukan Fatwa Dalam Sistem Hukum di Indonesia


Dalam sistem hukum ketatanegaraan di Indonesia, posisi atau kedudukan
fatwa MUI hanya merupakan sebagai hukum aspiratif yang mempunyai kekuatan
konstruktif secara moral bagi komunitas yang mempunyai aspirasi untuk
mengamalkannya, namun fatwa tersebut tidak dapat dijadikan alat paksa bagi
kelompok lain yang berbeda pendapat dengan fatwa MUI, sebab bukan termasuk
dalam hukum positif. Dengan ungkapan lain letak posisi fatwa MUI hanya dapat
disetarakan dengan dengan posisi pendapat ahli hukum, bahasa, dan agama. Karena
untuk menilai materi dan isi fatwa itu, para ulama zu’ama dan cendekiawan muslim
lebih punya kompetensi dan ilmu untuk berfatwa. Sehingga kedudukan fatwa dalam
kehidupan umat Islam tidak mengikat secara hukum, akan tetapi bersifat mengikat
4
secara agama semata, dengan demikian tidak ada peluang bagi seorang muslim untuk
menentangnya bila fatwa itu didasarkan kepada dalil atau nash yang shariah dan valid.
Fatwa yang dikeluarkan oleh DSN-MUI bukanlah hukum positif sama seperti
fatwa-fatwa yang dikeluarkan MUI dalam bidang-bidang lainnya. Agar fatwa-fatwa
yang dikeluarkan oleh DSN-MUI dapat berlaku dan mengikat sebagai mana hukum
positif yang berlaku di Indonesia, maka pada Undang-undang Nomor 21 tahun 2008
Tentang Perbankan Syariah disebutkan bahwa fatwa-fatwa yang dikeluarkan DSN-
MUI dapat ditindak lanjuti sebagai Peraturan Bank Indonesia 8 Ketentuan mengenai
fatwa DSN-MUI dapat berlaku dan mengikat bisa dipahami dari pasal 26 Undang-
undang Nomor 21 tahun 2008:
1) Kegiatan usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19, Pasal 20, dan Pasal 21
dan/atau produk dan jasa syariah, wajib tunduk kepada Prinsip Syariah.
2) Prinsip Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) difatwakan oleh Majelis
Ulama Indonesia.
3) Fatwa sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dituangkan dalam Peraturan Bank
Indonesia.
4) Dalam rangka penyusunan Peraturan Bank Indonesia sebagaimana dimaksud
pada ayat (3), Bank Indonesia membentuk komite perbankan syariah.
5) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pembentukan, keanggotaan, dan
tugas komite perbankan syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diatur
dengan Peraturan Bank Indonesia.

Dari pasal 26 UU Nomor 21 tahun 2008 tersebut dapat disimpulkan bahwa ada
kekuatan hukum yang mengikat antara fatwa yang dikeluarkan oleh DSNMUI dengan
hukum positif berupa PBI yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia. Hubungan ini
menunjukkan betapa peran dari lembaga fatwa di Indonesia sangat signifikan dan
strategis dalam membangun dan memajukan Lembaga Keuangan Syariah dengan
tetap memperhatikan hukum-hukum syariah yang harus dipatuhi oleh Lembaga
Keuangan Syariah.

DSN-MUI memiliki peran penting dalam menjaga kepatuhan LKS terhadap


prinsip- prinsip Syariah. UU Nomor 21 Tahun 2008 menegaskan bahwa setiap
kegiatan usaha tidak boleh bertentangan dengan syariah, yang dirujuk pada fatwa

8
Ahmad Badrut Tamam, ““KEDUDUKAN FATWA MAJELIS ULAMA INDONESIA (MUI)DAN FATWA DEWAN
SYARIAH NASIONAL (DSN) DALAM SISTEM HUKUM INDONESIA,” a sharia economics 04 (2021): 62–78.

5
yang telah dikeluarkan DSN- MUI dan telah dikonfersi ke dalam PBI. Dengan
demikian Fatwa yang telah dirujuk dan dijadikan Peraturan Bank Indonesia (PBI)
yang mengikat setiap Lembaga Keuangan Syariah atau mengikat publik, sedangkan
fatwa yang yang belum tertuang dalam PBI belum dapat dikatakan mengikat. Namun
jika merujuk pada Peraturan Bank Indonesia No.11/15/PBI/2009 yang telah
memberikan pengertian bahwa prinsip syariah adalah prinsip hukum Islam dalam
kegiatan perbankan berdasarkan fatwa yang dikeluarkan oleh Dewan Syariah
Nasional Majelis Ulama Indonesia, maka prinsip syariah demi hukum telah berlaku
sebagai hukum positif sekalipun belum atau tidak dituangkan dalam Perturan Bank
Indonesia9

C. Metodologi Dalam Penetapan Fatwa DSN


Majelis Ulama Indonesia (MUI) sebagai lembaga keagamaan yang juga
bertanggungjawab atas permasalahanpermasalahan umat Islam di Indonesia
membentuk sebuah komisi yang bertugas untuk menghasilkan fatwa dan menjadi
pegangan bagi pemerintah dan masyarakat yang membutuhkannya. Komisi ini terdiri
atas para ulama Islam yang kapabel di bidang fikih Islam dan cendekiawan yang
memiliki kompetensi di bidang keilmuan dan dibutuhkan dalam pembahasan fatwa.
Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia memiliki metode pembahasan suatu
permasalahan dan metode dalam menghasilkan fatwa atas permasalahan itu. Dasar-
dasar dan prosedur penetapan fatwa yang dilakukan oleh Majelis Ulama Indonesia
(MUI) dirumuskan dalam Pedoman dan Prosedur Penetapan Fatwa Majelis Ulama
Indonesia Nomor: U596/MUI/X/1997 yang ditetapkan pada tanggal 2 Oktober 1997.
Metodologi ini patut dicermati dan dibandingkan dengan metodologi Ijtihād yang
terdapat dalam mazhab-mazhab fikih Islam, yaitu Mazhab Hanafiyah, Malikiyah,
Syafi’iyah dan Hanabilah. Komparasi metodologi akan memberikan keluasan
pandangan tentang Ijtihād dan keluwesan dalam menyikapi perbedaan.
Pelaksanaan fungsi dan peran ini diwujudkan oleh MUI dengan membentuk
komisi-komisi tugas yang bekerja untuk menjalankan program-program kerja
sehingga dapat berjalan sesuai dengan fungsi dan peran ini. Komposisi komisi dapat
berbeda antara Majelis Ulama Indonesia (MUI) tingkat pusat dan tingkat propinsi atau
kabupaten/kota. Hal ini dimungkinkan karena hubungan antara MUI tingkat pusat dan

9
Jahdeini, Perbankan Syariah Produk-Produk Dan Aspek Hukumnya, ed. Agung Offset (Jakarta, 2011).

6
MUI tingkat propinsi atau kabupaten/kota adalah bersifat koordinasi dan tidak bersifat
struktural.
Perbedaan komposisi komisi yang dimungkinkan antara masing-masing pengurus
MUI di tingkat pusat dan tingkat propinsi atau kabupaten/kota tetap mengacu pada
peran dan fungsi MUI seperti yang telah dijabarkan ini, sehingga beberapa komisi
harus tetap ada di seluruh tingkat kepengurusan. Komisi fatwa menjadi salah satu
yang harus dibentuk untuk tujuan itu, maka komisi ini didapati di seluruh
kepengurusan MUI, baik di tingkat pusat maupun di tingkat propinsi atau
kabupaten/kota. Pedoman dan prosedur penetapan fatwa MUI mengatur kewenangan
dan wilayah fatwa dari masing-masing komisi fatwa yang ada di seluruh tingkat
kepengurusan.
Hal ini dijabarkan dalam Bab VI Pedoman dan Prosedur Penetapan Fatwa Majelis
Ulama Indonesia, pada nomor 3 disebutkan: terhadap masalah yang telah ada
keputusan fatwa MUI, maka MUI daerah hanya berhak melaksanakannya. Pada
nomor 4 juga disebutkan: jika karena faktor-faktor tertentu keputusan fatwa MUI
sebagaimana dimaksud nomor 3 tidak dapat dilaksanakan, maka MUI daerah boleh
menetapkan fatwa yang berbeda setelah berkonsultasi dengan MUI. Pada Bab VII
Penutup, disebutkan di nomor 1: keputusan fatwa di lingkungan MUI maupun MUI
daerah yang berdasarkan pada pedoman dan prosedur yang telah ditetapkan dalam
surat keputusan ini mempunyai kedudukan sederajat dan tidak saling membatalkan.
Selain komisi fatwa MUI yang memiliki kewenangan mengeluarkan fatwa, terdapat
lembaga lain di bawah koordinasi MUI yang juga memiliki kewenangan demikian,
namun terbatas pada bidang ekonomi dan keuangan. Lembaga ini disebut sebagai
Dewan Syariah Nasional (DSN). Di dalam website resmi MUI disebutkan tugas dari
DSN, yaitu:
1) Menumbuh-kembangkan penerapan nilai-nilai syariah dalam kegiatan
perekonomian pada umumnya dan keuangan pada khususnya.
2) Mengeluarkan fatwa atas jenis-jenis kegiatan keuangan.
3) Mengeluarkan fatwa atas produk dan jasa keuangan syariah.
4) Mengawasi penerapan fatwa yang telah dikeluarkan.

Website resmi MUI juga menyebutkan wewenang DSN, yaitu:

- Mengeluarkan fatwa yang mengikat Dewan Pengawas Syariah di masing-masing


lembaga keuangan syariah dan menjadi dasar tindakan hukum pihak terkait.

7
- Mengeluarkan fatwa yang menjadi landasan bagi ketentuan/peraturan yang
dikeluarkan oleh instansi yang berwenang, seperti Departemen Keuangan dan Bank
Indonesia. 3. Memberikan rekomendasi dan/atau mencabut rekomendasi nama-nama
yang akan duduk sebagai Dewan Pengawas Syariah pada suatu lembaga keuangan
syariah.
- Mengundang para ahli untuk menjelaskan suatu masalah yang diperlukan dalam
pembahasan ekonomi syariah, termasuk otoritas moneter/lembaga keuangan dalam
maupun luar negeri.
- Memberikan peringatan kepada lembaga keuangan syariah untuk menghentikan
penyimpangan dari fatwa yang telah dikeluarkan oleh Dewan Syariah Nasional.
- Mengusulkan kepada instansi yang berwenang untuk mengambil tindakan apabila
peringatan tidak diindahkan.
Komisi Fatwa berada di bawah struktur kepengurusan Majelis Ulama
Indonesia di tingkat pusat dan daerah, sehingga peran dan fungsinya disesuaikan
dengan peran MUI secara umum demikian pula keputusannya diketahui dan
ditandatangani oleh Ketua dan Sekertaris Umum MUI, sedangkan Dewan Syariah
Nasional adalah lembaga yang bersifat koordinatif dengan MUI dan dibentuk sebagai
pemberi fatwa di bidang ekonomi syariah secara khusus juga sebagai pengawas
pelaksanaan fatwa-fatwa itu di dalam lembaga keuangan syariah. Keputusan-
keputusan DSN-MUI mewakili sikap MUI dalam permasalahan ekonomi syariah
sekalipun tidak menyertakan Ketua dan Sekretaris Umum MUI dalam konsiderans
surat keputusannya.
Komisi Fatwa MUI merumuskan metode penetapan fatwa sesuai yang tercantum
dalam Bab III Pedoman dan Prosedur Penetapan Fatwa Majelis Ulama Indonesia,
yaitu:
1. Sebelum fatwa ditetapkan hendaklah ditinjau terlebih dahulu pendapat para imam
mazhab tentang masalah yang akan difatwakan tersebut secara seksama berikut
dalil-dalilnya.
2. Masalah yang telah jelas hukumnya (al-aḥkṣ ām al-qaṭ’iyyah ṣ ) hendaklah
disampaikan sebagaimana adanya.
3. Dalam masalah yang terjadi khilafiyah di kalangan mazhab, maka:
a. Penetapan fatwa didasarkan pada hasil usaha penemuan titik temu di antara
pendapat-pendapat mazhab melalui metode al-jam’u wa al-taufīq.

8
b. Jika usaha penemuan titik temu tidak berhasil dilakukan, maka penetapan
fatwa didasarkan pada hasil tarjih melalui metode muqāranah al-mażāhib
dengan menggunakan kaidah-kaidah uṣūṣ l fiqh muqāran.
4. Dalam masalah yang tidak ditemukan pendapat hukumnya di kalangan mazhab,
maka penetapan fatwa didasarkan pada hasil Ijtihād jamā’ī (kolektif) melalui
metode bayānī, ta’līlī (qiyāsī, istiḥsṣ ānī, ilḥāṣ qī), istiṣlṣāḥīṣ dan sad al-żarī’ah.
5. Penetapan fatwa harus senantiasa memperhatikan kemaslahatan umum (masāliḥ ‘
ṣ āmmah) dan maqāṣid al- ṣ syarī’ah10

Metodologi ini menganut asas komprehensifitas, yaitu pembahasan masalah


secara komprehensif, dimulai dari pengkajian permasalahan serupa pada masa lalu
dan telah mendapatkan pembahasan oleh para ulama pada masa itu beserta dalilnya.
Sumber kajian sebagai proses fatwa dimulai dari pembahasan ulama terdahulu, lalu
menetapkan hukum jika permasalahannya ada kesamaan dan termasuk dalam al-aḥkṣ
ām al-qaṭ’iyyahṣ (hukumnya jelas).

Tidak jarang suatu fatwa menimbulkan kontroversi di tengah masyarakat, bukan


karena kesalahan dalam metodologi Ijtihād, namun karena sosialisasi dalil keputusan
fatwa yang belum maksimal. Seperti fatwa tentang hukum merokok, lemahnya
sosialisasi fatwa beserta dalilnya membuat masyarakat tidak memberikan perhatian
penuh pada pelaksanaannya, sehingga terkesan kurang efektif.
Dewan Syariah Nasional memiliki mekanisme kerja sebagai berikut:
• Dewan Syariah Nasional mensahkan rancangan fatwa yang diusulkan oleh Badan
Pelaksana Harian DSN.
• Dewan Syariah Nasional melakukan rapat pleno paling tidak satu kali dalam tiga
bulan, atau bilamana diperlukan.
• Setiap tahunnya membuat suatu pernyataan yang dimuat dalam laporan tahunan
(annual report) bahwa lembaga keuangan syariah yang bersangkutan telah/tidak
memenuhi segenap ketentuan syariah sesuai dengan fatwa yang dikeluarkan oleh
Dewan Syariah Nasional.

Dewan Syariah Nasional sebagaimana telah dikemukakan dahulu memiliki


wewenang terbatas pada fatwa atas kegiatankegiatan keuangan atau produk dan jasa
keuangan syariah. Dewan Syariah Nasional memiliki kekhususan dari Komisi Fatwa,

10
“Majelis Ulama Indonesia Kota Makassar, Fatwa-Fatwa Majelis Ulama Indonesia Kota Makassar,” (2009).

9
yaitu berwenang mengawasi fatwa yang telah dikeluarkan dengan memberikan
rekomendasi dan/atau mencabut rekomendasi nama-nama yang akan duduk sebagai
Dewan Pengawas Syariah pada suatu lembaga keuangan syariah. Fatwa Dewan
Syariah Nasional sekalipun bersifat terbatas ditujukan kepada pengelola lembaga
keuangan syari’ah, namun sosialisasi kepada masyarakat luas sebagai pemakai produk
lembaga keuangan syariah ini juga diperlukan

D. Fungsi Fatwa DSN


Pemerintah, Bank Indonesia, Kementerian Keuangan dan Badan Pengawas
Pasar Modal dan Lembaga Keuangan (Bapepam-LK) seringkali melibatkan DSN-
MUI dalam menyusun peraturan. Misalnya, Keputusan Menkeu, Peraturan Bank
Indonesia (PBI), Peraturan Ketua Bapepam-LK. DSN kerap diminta membuat fatwa
terlebih dahulu ketika pemerintah akan membuat aturan. Fatwa DSN-MUI menjadi
pedoman atau dasar keberlakuan kegiatan ekonomi syariah tertentu bagi pemerintah
dan LKS. Jadi fatwa DSN itu bersifat mengikat karena diserap ke dalam peraturan
perundang-undangan. Terlebih, adanya keterikatan antara DPS dan DSN karena
anggota DPS direkomendasikan oleh DSN.
Jumlah Fatwa DSN-MUI hingga Oktober 2021 terdapat sebanyak 143 fatwa
yang terdiri dari fatwa bidang perbankan, bidang IKNB, bidang pasar modal, bidang
bisnis dan Fatwa yang bersifat general. Fatwa DSN akan terus bertambah seiring
dengan perkembangan transaksi ekonomi syariah. Fatwa memiliki posisi berbeda
dengan hukum positif yang memiliki kekuatan mengikat bagi seluruh warga negara.
Fatwa mengikat pada diri sendiri dan tidak diatur dalam undang-undang. Namun,
fatwa dapat digunakan sebagai anjuran dari ulama untuk respons atau tindakan
masyarakat terhadap suatu perubahan atau fenomena.
Fatwa DSN (Dewan Syariah Nasional) memiliki beberapa fungsi penting
dalam konteks keuangan syariah di Indonesia.
1. fatwa DSN memberikan pedoman bagi institusi keuangan syariah dalam
mengembangkan produk dan layanan mereka. Ini membantu memastikan bahwa
praktik keuangan yang dilakukan sesuai dengan prinsip-prinsip syariah.
2. fatwa DSN juga memberikan kepastian hukum bagi masyarakat dan pelaku bisnis
syariah. Dengan memiliki fatwa yang jelas tentang berbagai aspek keuangan, para

10
pelaku bisnis dapat beroperasi dengan lebih yakin dan menghindari ketidakpastian
hukum.
3. fatwa DSN juga berperan dalam memfasilitasi pengembangan industri keuangan
syariah secara keseluruhan. Dengan memberikan arahan tentang produk-produk
dan praktik keuangan yang sesuai dengan syariah, fatwa DSN membantu
menciptakan lingkungan yang kondusif bagi pertumbuhan industri ini.
4. fatwa DSN juga dapat memainkan peran dalam meningkatkan kesadaran
masyarakat tentang prinsip-prinsip keuangan syariah dan pentingnya mematuhi
mereka. Dengan menyediakan panduan yang jelas tentang hal-hal seperti riba,
gharar, dan maysir, fatwa DSN membantu memperkuat pemahaman tentang nilai-
nilai syariah dalam konteks keuangan.
E. Fatwa DSN Tentang Berbagai Transaksi Dalam Ekonomi Syariah
Menurut Abdul Manan, bahwa yang dimaksud dengan ekonomi syariah adalah
perbuatan atau kegiatan usaha yang dilaksanakan menurut prinsip syariah yang
meliputi bank syariah, lembaga keuangan mikro syariah, asuransi syariah, reasuransi
syariah, reksadana syariah, obligasi syariah dan surat berharga berjangka menengah
syariah, sekuritas syariah, pembiayaan syariah, pegadaian syariah, dana pensiun
lembaga keuangan syariah dan bisnis syariah. Hampir seluruh fatwa-fatwa yang
dikeluarkan oleh DSN-MUI terserap dalam bentuk Peraturan Bank Indonesia yang
akan mengikat seluruh perbankan syariah dan pelaku fiqih muamalah, meskipun
beberapa fatwa diadaptasi dan digabung menjadi satu Peraturan Bank Indonesia.
Peraturan Bank Indonesia No. 7/46/ PBI/2005 tentang Akad Penghimpunan
Uang dan Penyalurannya bagi Bank yang Melaksanakan Transaksi Berdasarkan
Prinsip Syariah telah diganti dengan Peraturan Bank Indonesia No. 9/19/PBI/2007
tentang Pelaksanaan Prinsip Syariah dalam Kegiatan Penghimpunan Uang dan
Penyalurannya serta Layanan Jasa Bank Syariah. Pengguanaan ini dilakukan untuk
menyesuaikan dengan keputusan fatwa yang dikeluarkan oleh DSN-MUI, dalam hal
inilah proses menjadikan fatwa berkekuatan mengikat, yaitu terjadinya ‘transformasi’
hukum Islam menjadi hukum nasional.
Diterbitkannya fatwa bahwa bunga bank adalah riba nasi’ah yang diharamkan
oleh MUI pada tanggal 24 Januari 2004 menjadi salah satu pendorong pelaksanaan
perbankan syariah di Indonesia. Pasca kehadiran fatwa tersebut berpengaruh terhadap
beralihnya sebagian nasabah yang beragama Islam ke Bank Syariah.

11
Pola-pola penyerapan jenis-jenis transaksi dalam fatwa DSN-MUI ke dalam
produk-produk perbankan syariah terlihat sebagai berikut: 11
1. Pengimpunan Dana, berupa Giro Syariah (Fatwa DSN No. 1/DSN-MUI/IV/2000
tentang Giro); Tabungan Syariah (Fatwa DSN-MUI yang mendasarinya Fatwa
DSN No. 2/DSNMUI/IV/2000 tentang Tabungan); Deposito Syariah (Fatwa DSN
No. 3/DSN-MUI/IV/2000 tentang Deposito).
2. Penyaluran Dana
a) Pembiayaan atas dasar akad mudharabah (Fatwa DSN No. 7/DSN-
MUI/IV/2000 tentang Pembiayaan Mudharabah (Qiradh)
b) Pembiayaan atas dasar akad musyarakah. (Fatwa DSN No. 8/ DSN-
MUI/IV/2000 tentang Pembiayaan Musyarakah)
c) Pembiayaan atas dasar akad murabahah (Fatwa DSN No. 4/DSNMUI/IV/2000
tentang Murabahah; Fatwa DSN No. 10/DSN-MUI/IV/2000 tentang Wakalah
d) Fatwa DSN No. 13/DSN-MUI/ IX/2000 tentang Uang Muka Dalam
Murabahah
e) Fatwa DSN No. 16/DSN-MUI/ IX/2000 tentang Diskon dalam Murabahah
f) Fatwa DSN No. 23/DSN-MUI/III/2002 tentang Potongan Pelunasan dalam
Murabahah
g) Fatwa DSN No. 22/DSNMUI/III/2002 tentang Jual Beli Isshna' Paralel
h) Pembiayaan atas dasar akad ijarah (Fatwa DSN No. 9/DSN-MUI/IV/2000
tentang Pembiayaan Ijarah
i) Fatwa DSN No. 27/ DSN-MUI/III/2002 tentang al-Ijarah alMuntahiyah bi al-
Tamlik
j) Pembiayaan atas dasar akad qardh (Fatwa DSN No. 19/DSNMUI/IV/2001
tentang Al qardh)
k) Pembiayaan Mul jasa (Fatwa DSN No. 44/DSN-MUI/ VIII/2004 tentang
Pembiayaan Mul jasa).
3. Pelayanan Jasa
a) Leter of credit (L/C) Impor syariah (Fatwa DSN No. 34/DSNMUI/IX/2002
tentang Le er of Credit(L/C) Impor Syariah)

11
Ahyar Ari Gayo and Ade Irawan Taufik, “KEDUDUKAN FATWA DEWAN SYARIAH NASIONAL MAJELIS ULAMA
INDONESIA DALAM MENDORONG PERKEMBANGAN BISNIS PERBANKAN SYARIAH (PERSPEKTIF HUKUM
PERBANKAN SYARIAH),” Rechts Vinding, Media Pembinaan Hukum Nasional 1, no. 1 (2012): 375–395.

12
b) Bank Garansi Syariah (Fatwa DSN Fatwa DSN No. 11/DSN-MUI/IV/2000
tentang Kafalah)
c) Penukaran Valuta Asing (Sharf), Fatwa DSN No. 28/DSN-MUI/III/2002
tentang Jual Beli Mata Uang (Al Sharf).
F. Studi Kasus
Tinjuan Hukum Ekonomi Syariah terhadap ShopeePay Later Jual Beli melalui
marketplace dan e-commerce ini diperkenankan dengan syarat produk harus diketahui
dengan jelas spesifikasinya dan bisa di serahterimakan sesuai kesepakatan. Transaksi
jual beli yang terjadi antara pemilik produk dengan pembeli adalah jual beli tidak
tunai (al-Bai al-Muajjal), sedangkan transaksi antara pemilik pasar dengan penjual
menggunakan jual jasa (akad Ijarah). Prinsip dasarnya, ShopeePay Later adalah fitur
dan produk yang netral dan bermanfaat bagi pengguna pada khususnya. Misalnya,
pengguna yang ingin membeli barang atau melakukan perjalanan, tetapi tidak
memiliki uang tunai, dapat menggunakan fitur ini, sehingga transaksinya bisa
dilakukan secara online.
Adapun ketentuan menurut Fatwa Dewan Syari’ah Nasional NO: 79/DSN-
MUI/III/2011 tentang Qardh (pinjaman) dengan Menggunakan Dana Nasabah. Malik
dan pendapat yang dipilih oleh Syaikhu Islam Ibnu Taimiyah, Ibnu Al-Qayyim,
Syaikh Muhammad al-‘Utsaimi dan Syaikh Shalih alFauzan berpendapat bahwa boleh
mensyaratkan jatuh tempo dalam qardh. Adapun tambahan dalam qardh terbagi
menjadi dua. Pertama, penambahan yang disyaratkan atau manfaat yang disyaratkan
dilarang berdasarkan ijma’. Kedua, jika penambahan diberikan ketika membayar
hutang tanpa syarat, maka yang demikian boleh dan termasuk pembayaran yang baik
menurut syara.
Menurut Jaih Mubarak dan Hasanuddin pengambilan manfaat qardh bahwa
muqridh tidak boleh mengambil manfaat atas akad qardh baik manfaat tersebut
diperjanjikan atau disepakati dalam akad Apabila imbalan tersebut diberikan oleh
muqtaridh kepada muqridh tanpa diperjanjikan dalam akad dan tidak menjadi
kebiasaan, imbalan tersebut termasuk riba
Pinjaman yang di berikan hanya bisa di gunakan untuk membeli produk di
Shopee untuk menambah stock barang toko online penjual di Shopee dengan tenor 30
hari. Dana pinjaman sudah masuk dan aktif dalam ShopeePay Later, maka dana sudah
bisa dimanfaatkan untuk berbelanja di Shopee, misalnya limit Anda Rp. 750.000, tapi
hanya di belanjakan Rp. .300.000, maka sisa Rp. 450.000 masih bisa di belanjakan
13
selanjutnya sampai limit habis. Pembayaran Rp. 300.000 akan masuk tagihan untuk
bulan berikutnya atau dengan jangka waktu pembayaran 30 hari.
Adapun untuk metode pembayaran ShopeePay Laternya dengan bunga 0%
tanpa ada minimal transaksi dan biaya administrasinya adalah sebesar 1% dari jumlah
transaksi. Apabila ditinjau dari Hukum Ekonomi Syariah ShopeePay Later adalah
memberikan konsumen kesempatan untuk memanfaatkan jasa dan layanan, boleh
mensyaratkan jatuh tempo dalam qardh yang berbentuk ShopeePay Later tersebut,
sementara untuk biaya penanganan yang sebesar 1% dari jumlah setiap transaksi
belum sesuai syariah karena disyaratkan diawal bahwa biayanya dikaitkan dengan
jumlah transaksi, penambahan yang disyaratkan atau manfaat yang disyaratkan
dilarang berdasarkan ijma’. Sedangkan penyelesaian sengketa ShopeePay later telah
sesuai dengan model penyelesaian sengketa dalam perspektif Islam. Hal ini karena
dalam pernyataan yang tertera dalam T&C ShopeePay later (“Syarat dan Ketentuan”),
bahwa apabila terjadi perselisihan atau sengketa diselesaikan melalui al-shulh
(damai) dan apabila tidak mufakat maka diselesaikan di Pengadilan Negeri Jakarta
Selatan.

14
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Fatwa DSN-MUI merupakan perangkat aturan kehidupan masyarakat yang
bersifat dak mengikat dan dak ada paksaan secara hukum bagi sasaran
diterbitkannya fatwa untuk mematuhi ketentuan fatwa tersebut. Namun di sisi lain,
berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, khususnya Undang-
Undang No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, melalui pola-pola tertentu,
adanya kewajiban bagi regulator dalam hal ini Bank Indonesia agar materi muatan
yang terkandung dalam
Fatwa MUI dapat diserap dan ditransformasikan dalam merumuskan
prinsipprinsip syariah dalam bidang perekonomian dan keuangan syariah menjadi
materi muatan Peraturan Perundang-undangan yang memiliki kekuatan hukum dan
mengikat umum. Diterbitkannya fatwa yang menetapkan bahwa bunga bank adalah
riba nasi’ah yang diharamkan oleh MUI menjadi salah satu pendorong pelaksanaan
perbankan syariah di Indonesia, selain itu keberadaan fatwa DSN MUI semakin
menunjukan peranannya sebagai pedoman pelaksanaan prinsip-prinsip syariah dalam
perbankan syariah sejak diberlakukannya Undang-Undang No. 21 Tahun 2008
tentang Perbankan Syariah, yang mewajibkan para stakeholders untuk memperhatikan
dan menyesuaikan kegiatan-kegiatan usaha sesuai dengan prinsip-prinsip syariah yang
tersebut dalam Fatwa yang dikeluarkan DSN-MUI.
Peranan Fatwa DSN-MUI dalam mendorong pelaksanaan perbankan syariah
dapat diindikasikan juga dengan banyaknya bank umum syariah dan bank dengan unit
usaha syariah yang memulai kegiatan operasinya setelah MUI membentuk Dewan
Syariah Nasional. Dalam penerapan Fatwa DSN-MUI terdapat beberapa hambatan
yang ditemui dalam kegiatan perbankan syariah, antara lain fatwa yang sulit untuk
diterjemahkan atau sulit diaplikasikan dalam peraturan perbankan, fatwa DSN-MUI
yang dak selaras dengan hukum positf dan beberapa kendala lainnya.
B. Saran
Makalah ini, tentunya masih banyak kesalahan serta membutuhkan perbaikan
yang dapat membuat makalah ini lebih baik lagi. Maka dari itu, kami mengharapkan
saran dan kritik membangun yang dapat dijadikan rujukan untuk melengkapi makalah
ini dikemudian hari.
15
DAFTAR PUSTAKA

Ali, Zainudin. Hukum Perbankan Syariah. Jakarta: Sinar Grafika, 2010.


Amin, Ma’ruf. Fatwa Dalam Sistem Hukum Islam. Jakarta: ELSAS, 2011.
Fatah, Rohadi Abdul. Analisis Fatwa Keagamaan Dalam Fiqih Islam. Jakarta: PT Bumi
Aksara, 2006.
Gayo, Ahyar Ari, and Ade Irawan Taufik. “KEDUDUKAN FATWA DEWAN SYARIAH
NASIONAL MAJELIS ULAMA INDONESIA DALAM MENDORONG
PERKEMBANGAN BISNIS PERBANKAN SYARIAH (PERSPEKTIF HUKUM
PERBANKAN SYARIAH).” Rechts Vinding, Media Pembinaan Hukum Nasional 1, no.
1 (2012): 375–395.
Hasan, Ichwan Ahnaz Alamudi and Ahmadi. “KEDUDUKAN FATWA DSN DALAM
TATA HUKUM NASIONAL.” Hukum Keluarga dan Pemikiran Hukum Islam 3
(2023): 11–31.
Jahdeini. Perbankan Syariah Produk-Produk Dan Aspek Hukumnya. Edited by Agung Offset.
Jakarta, 2011.
Sholahuddin, Muhammad. Kamus Istilah Ekonomi, Keuangan, & Bisnis Syariah A-Z. Jakarta:
PT Gramedia Pustaka Utama, n.d.
Sofyan Al-Hakim. “Perkembangan Regulasi Perbankan Syariah Di Indonesia.” Jurnal
Wacana Hukum Islam dan Kemanusiaan 13, no. 1 (2013): 15.
Soleh Hasan Wahid. “Dinamika Fatwa Dari Klasik Ke Kontemporer (Tinjauan Karakteristik
Fatwa Ekonomi Syariah Dewan Syariah Nasional Indonesia (DSN-MUI).” Jurnal
Pemikiran Hukum dan Hukum Islam 10 10, no. 2 (n.d.): 193.
Tamam, Ahmad Badrut. ““KEDUDUKAN FATWA MAJELIS ULAMA INDONESIA
(MUI)DAN FATWA DEWAN SYARIAH NASIONAL (DSN) DALAM SISTEM
HUKUM INDONESIA.” a sharia economics 04 (2021): 62–78.
“Majelis Ulama Indonesia Kota Makassar, Fatwa-Fatwa Majelis Ulama Indonesia Kota
Makassar,” (2009).

16
LAMPIRAN 1
Tabel Tanya Jawab

No Nama NIM Pertanyaan Jawaban

17
LAMPIRAN II
BIODATA
1. Nama : Kaila Zulfa Khoirurrizki
Tempat Tanggal Lahir : Pekalongan, 10 April 2004
NIM : 40122090
Prodi : Ekonomi Syariah
Fakultas : FEBI
Semester :4
Alamat : Desa Kauman RT 004/002 Kec. Wiradesa Kab. Pekalongan
2. Nama : Putri Camelia Rosanty
Tempat Tanggal Lahir : Pekalongan, 5 Juli 2004
NIM : 40122091
Prodi : Ekonomi Syariah
Fakultas : FEBI
Semester :4
Alamat : Kertijayan, Buaran Pekalongan
3. Nama : Nauval Failasuf
Tempat Tanggal Lahir : Pekalongan, 10 Mei 2004
NIM : 40122069
Prodi : Ekonomi Syariah
Fakultas : FEBI
Semester :4
Alamat : Buaran, Pekalongan

18
LAMPIRAN 3
SKEMA PEMBAHASAN MASALAH
FATWA DEWAN SYARIAH NASIONAL DALAM PERKEMBANGAN
HUKUM EKONOMI SYARIAH DI INDONESIA

Pengertian
Fatwa DSN

Kedudukan Fatwa
dalam sistem
hukum di
Indonesia

Metodologi
dalam penetapan
fatwa DSN

Fungsi fatwa DSN

Fatwa DSN
tentang berbagai
transaksi dalam
ekonomi syariah

19

Anda mungkin juga menyukai