Dosen Pengampu
Eka Nur Rofik, S.E., M.Ak.
KELAS 6C
AKUNTANSI SYARIAH
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SATU TULUNGAGUNG
MARET 2023
Jalan Mayor Sujadi Timur No. 46, Kudusan, Plosokandang, Kec. Kedungwaru,
Kab. Tulungagung Jawa Timur 66221
KATA PENGANTAR
Kelompok 2
ii
DAFTAR ISI
2.3 Perbedaan Kaidah Fiqh Muamalah Dan Dabit Fiqh Muamalah ............ 10
2.4 Kedudukan Dan Fungsi Kaidah Fiqh Muamalah Dalam Islam ............. 11
iii
BAB I
PENDAHULUAN
1
era modern dapat terlihat pada perkembangan bisnis yang saat ini merambah
sistem online, serta terjadi pula pada sistem pembayaran. Dari uraian diatas
dapat kita ketahui bahwa kaidah fiqh muamalah diperlukan di dalam transaksi
syariah sebagai pemanfaatan ekonomi.. Oleh karena itu penyusun tertarik
untuk meneliti lebih lanjut mengenai " Kaidah Fiqh Muamalah Untuk
Transaksi Syariah".
1.2 Rumusan Masalah
Rumusan masalah adalah tulisan singkat yang berisi pertanyaan tentang
topik yang diangkat oleh penulis. Sehingga dengan rumusan masalah, penulis
berusaha mencari jawaban atas pertanyaan yang dikemukakan. Berdasarkan
latar belakang yang telah dikemukakan di atas, agar dalam penyusunan dan
penulisan makalah ini terfokus pada ruang lingkup penulisan, maka penulis
membatasi permasalah pada judul yaitu “Kaidah Fiqh Muamalah Untuk
Transaksi Syariah”. Maka rumusan masalah dalam makalah ini adalah sebagai
berikut :
1. Apa yang dimaksud dengan kaidah fiqh muamalah?
2. Apa saja prinsip-prinsip fiqh muamalah?
3. Apa perbedaan kaidah fiqh muamalah dan dabit fiqh muamalah?
4. Bagaimana kedudukan dan fungsi kaidah fiqh muamalah dalam Islam?
5. Apa manfaat mempelajari kaidah fiqh muamalah?
6. Apa macam-macam transaksi syariah?
1.3 Tujuan
Tujuan penulisan ini merupakan pembahasan mengenai rumusan
masalah, setelah merumuskan masalah dapat menentukan arah dari rencana
penulisan yang dilakukan, maka tujuan yang ingin dicapai penulis antara lain:
1. Megetahui kaidah fiqh muamalah
2. Apa saja prinsip-prinsip fiqh muamalah
3. Megetahui perbedaan kaidah fiqh muamalah dan dabit fiqh muamalah
4. Megetahui kedudukan dan fungsi kaidah fiqh muamalah dalam Islam
5. Megetahui manfaat mempelajari kaidah fiqh muamalah
6. Megetahui macam-macam transaksi syariah
2
BAB II
PEMBAHASAN
1
Enang, Hidayat. Kaidah Fikih Muamalah, (Bandung: PT Remaja Posdakarya, 2019), halm 5
2
Ahmad Wardi Muslich. Fiqih Muamalat, (Jakarta: AMZAH, 2010), halm 1
3
Selanjutnya dapat dipahami juga bahwa yang dimaksud kaidah fikih
muamalah adalah kaidah-kaidah yang berkaitan dengan persoalan fikih muamalah
yang menjadi objeknya adalah harta (muamalah maliyah). Misalnya, terkait
dengan akad jual beli, sewa-menyewa, wakaf, syirkah, gadai, dan akad lainnya.
Semua akad tersebut tercantum dalam beragam kitab fikih dalam bab khusus,
seperti bab jual beli, sewa-menyewa, dan yang lainnya. Kemudian bab-bab
tersebut oleh para ulama dihimpun dan diikat menjadi kaidah umum yang
menghasilkan bagian- bagiannya (cabang-cabangnya).3
2.2 Prinsi-Prinsip Fiqh Muamalah
Di atas telah dikemukakan bahwa fiqh muamalat adalah ilmu tentang hukum
hukum syara' yang mengatur hubungan antara manusia dengan manusia lain yang
sasarannya adalah harta benda atau mál. Hubungan tersebut sangat luas karena
mencakup hubungan antara sesama manusia, baik muslim maupun nonmuslim.
Namun ada beberapa prinsip yang menjadi acuan dan pedoman secara umum
untuk kegiatan muamalat ini. Prinsip-prinsip tersebut adalah sebagai berikut.
1. Muamalat adalah Urusan Duniawi
Muamalat berbeda dengan ibadah. Dalam ibadah, semua perbuatan dilarang
kecuali yang diperintahkan. Sebaliknya, dalam muamalat, semuanya boleh
kecuali yang dilarang . Muamalat atau hubungan dan pergaulan antara sesama
manusia di bidang harta benda merupakan urusan duniawi, dan pengaturannya
diserahkan kepada manusia itu sendiri. Oleh karena itu, semua bentuk akad dan
berbagai cara transaksi yang dibuat oleh manusia hukumnya sah dan dibolehkan,
asal tidak bertentangan dengan ketentuan ketentuan umum yang ada dalam syara.
Dari beberapa hadis menyebutkan bahwa dalam urusan dunia termasuk di
dalamnya muamalat, Islam memberikan kebebasan kepada manusia untuk
mengaturnya sesuai dengan kemaslahatan mereka, dengan syarat tidak melanggar
ketentuan ketentuan umum yang ada dalam syara' .Salah satu contoh ketentuan
syara adalah dilarangnya riba. Dengan demikian, semua akad dan transaksi yang
dibuat oleh manusia hukumnya sah, asal tidak mengandung riba.
2. Muamalat Harus Didasarkan kepada Persetujuan dan Kerelaan
Kedua Belah Pihak
3
Enang, Hidayat. Kaidah Fikih Muamalah.....,halm.7
4
Persetujuan dan kerelaan kedua belah pihak yang melakukan transaksi merupakan
asas yang sangat penting untuk keabsahan setiap akad. Hal ini didasarkan kepada
firman Allah dalam Surah An-Nisa' (4) 29)
ثْبئٖب اىرٌِ اٍْ٘ا ال تأمي٘ا أٍ٘ىَ ُنٌ ثٍْنٌ ثبىجطو إال أُ تنُ٘ تجسح
َّ َُّ ِاض ٍِْ ُن ٌْ َٗ َال تَ ْقتُيُ٘ا أَّفُ َس ُن ٌْ إ
َُّللاَ َمبَُ ثِ ُن ٌْ َز ِدٍَب ِ ػِ ت ََس
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta
sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang
berlaku dengan suka sama suka di antara kamu Dan janganlah kamu mem bunuh
dirimu: Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.”
Untuk menunjukkan adanya kerelaan dalam setiap akad atau transaksi dilakukan
ijab dan qabul atau serah terima antara kedua pihak yang melakukan transaksi.
3. Adat Kebiasaan Dijadikan Dasar Hukum
Dalam masalah muamalat, adat kebiasaan bisa dijadikan dasar hukum, dengan
syarat adat tersebut diakui dan tidak bertentangan dengan ketentuan- ketentuan
umum yang ada dalam syara Hal ini sesuai dengan kaidah
اىؼبدح ٍذنَخ
”Adat kebiasaan digunakan sebagai dasar hokum”
4. Tidak Boleh Merugikan Diri Sendiri dan Orang Lain
Setiap transaksi dan hubungan perdata (muamalat) dalam Islam tidak boleh
menimbulkan kerugian kepada diri sendiri dan orang lain.
5
sesuai dengan perkembangan zaman dan kebutuhan masyarakat
6
mendatangkan kebajikan (kebaikan) kepada kedua belah pihak dan pihak ketiga
dalam masyarakat Kebajikan yang akan diperoleh seseorang haruslah didasarkan
pada kesadaran pengembangan kebaikan dalam rangka kekeluargaan.
7
pasar, tidak dibenarkan oleh hukum Islam.
8
dikeluarkan zakatnya untuk menyantuni golongan masyarakat.
9
memenuhi syarat, baik mengenal jumlahnya maupun mengenai kualitas orangnya.
4
Ahmad Wardi Muslich. Fiqih Muamalat....,halm 3-13
10
fikih tersebut hanya terbatas pada satu bab fikih saja. Maka, hukumnya pun
berlaku pada satu cabang bab fikih, yakni terkait dengan bab hukumnya suci
binatang yang kulitnya disamak (Al-Sa'dan, 1420:84). Dengan memerhatikan
contoh kaidah fikih dan dabit fikih di atas sangat jelas nampak perbedaan di
antara keduanya. Intinya, jika kaidah fikih itu secara implisit berlaku pada
setiap permasalahan dalam bab fikih, seperti jual beli, pernikahan, taharah,
dan lain sebagainya. Oleh sebab itu, maka contoh aplikasinya pun beragam
pula sesuai bab fikih yang ada. Sedangkan dabit fikih hanya berlaku pada satu
bab fikih saja. Tak terkecuali kaitannya dengan kaidah muamalah dan dabit
muamalah sebagaimana akan dijelaskan masing-masing contoh- nya dalam
bab selanjutnya.
Namun demikian, penulis sendiri beranggapan bahwa perbedaan keduanya
hanya istilah teknis saja. Artinya, secara substansi sama-sama terkait dengan
persoalan penghimpunan materi fikih yang terpencar-pencar kemudian diikat
menjadi sebuah rumusan yang dapat memudahkan masyarakat dalam
memecahkan permasalahan hukum Islam. Bahkan, penyebutan "kaidah lebih
populer di kalangan para ulama. Penyebutan kaidah ini tidak hanya populer di
bidang ilmu fikih, tapi di kalangan ilmu-ilmu lainnya, seperti ilmu tasawuf,
tafsir, bahasa Arab, dan ilmu lainnya. Karenanya, penulis merasa cukup
dengan menyebutnya dengan istilah "kaidah".5
2.4 Kedudukan Dan Fungsi Kaidah Fiqh Muamalah Dalam Islam
Kaidah fikih menurut penulis dapat disebut sebagai metodologi fikih Islam
(hukum Islam). Artinya kedudukannya sebagai sumber hukum islam yang
diperoleh melalui ijtihad para ulama, Bukankah para ulama ketika
menciptakan sebuah kaidah fikih termasuk ijtihad yang berfungsi untuk
memudahkan dalam memecahkan permasalahan hukum Islam? Sementara
kedudukan ijtihad tersebut dalam hukum Islam menempati posis ketiga
setelah Al-Quran dan Hadis.
Upaya ulama dalam memproduksi kaidah fikih berangkat dari upaya
penyelidikan kasus-kasus fikih yang terpencar- pencar dalam berbagai kitab
fikih. Kemudian dikumpulkan dan dihimpun menjadi sebuah kaidah fikih.
5
Enang, Hidayat. Kaidah Fikih Muamalah, (Bandung: PT Remaja Posdakarya, 2019), halm 8
11
Proses seperti ini disebur dengan proses induktif. Artinya metode pemikiran
yang bertolak dari kasus atau peristiwa khusus untuk menentukan hukum
(kaidah) yang umum atau penarikan kesimpulan keadaan yang khusus untuk
diperlakukan secara umum. Kaidah fikih ini mempunyai fungsi penting dalam
fikih Islam. Bahkan, Syekh Muhammad Al-Zarqa (1989:35) berpendapat
seandainya tidak ada kaidah fikih, maka banyak terdapat cabang- cabang fikih
bercerai-beral yang zahirnya saling bertentangan, karena ketiadaan pokok
yang dapat dijadikan panduan dalam berpikir. Hal yang sama pula
dikemukakan oleh Al-Qurafi salah seorang ulama Malikiyah-mengemukakan
bahwa syariat Islam itu inercakup ushut (pokok) dan furu' (cabang).
Pokok-pokok syariat tersebut terbagi menjadi dua bagian. Pertama, ushut
fikih yang pada umumnya berisi perintah berasal dari kaidah-kaidah hukum
yang timbul khususnya dari lafaz-lafaz bahasa Arah. Misalnya, perintah
menunjukkan arti wajib dan larangan menunjukkan arti haram, dan contoh
lainnya sebagaimana panjang lebar telah dibahas dalam ilmu ushul fikih.
Kedua, kaidah kulliyah Jikhiyah yang cukup banyak yang mengungkap
rahasia atau rah hukum Islam. Di dalamnya terkandung hikmah bagi setiap
kaidah yang menghasilkan banyak cabang yang secara eksplisit tidak tertera
dalam usul jikih sekalipun petunjuknya secara implisit disebutkan secara
global. Kaidah ini banyak manfaatnya. Di antaranya adalah dapat
menunjukkan keindahan fikih serta menjelaskan metode fatwa para ulama.
Barang siapa mengambil furu tanpa menyertakan kaidah kulliyah, maka akan
menyebabkan furu saling berlawanan. Oleh karena itu, dalam keadaan
demikian dibutuhkan peme liharaan cabang (fuziyah) yang tidak terbatas
jumlahnya.
Kaidah fikih ini juga dapat memberikan dampak positif bagi fikih. Dalam
hal ini, Muhammad Al-Walaili (1987:29) menyebutkannya sebagai berikut.
1. Menjelaskan metode ijtihad dalam mazhab dan mengikat permasalahan
cabang.
2. Menumbuhkembangkan fikih sebagai sarana istinbat, takhrij dan tarjikh
dalam mazhab serta memisahkan permasalahan cabang (juziyah) dari
kaidah kulliyah
12
3. Memudahkan untuk mempelajari perbandingan di antara mazhab fikih
terkait dengan kaidah kulliyah. Menyusun masalah fikih dan cabangnya
yang serupa menjadi sebuah kaidah fikih..
Sementara itu, Salih bin Ganim Al-Sadlan (1417: 33) menyebutkan bahwa
kaidah fikih dapat membantu memahami permasalahan fikih yang sepadan,
menetapkan hukum umumn menjadi dalil masalah fikih, dapat membantu
dalam mengkaji sebagian masalah ushul, dan dapat memudahkan dalam
memahami ruh dan dasar-dasar fikih Islam.6
2.5 Manfaat Mempelajari Kaidah Fiqh Muamalah
Para ulama salah satunya Jalaludin Al-Suyuti mengemukakan manfaat
dari mempelajari kaidah fikih mualamah adalah kita dapat mengetahui
hakikat fikih, memahami sumber pengambilan kaidah fikih, mengetahui
hikmah-hikmah dan rahasia fikih, mengetahui peristiwa baru yang terjadi
seiring dengan perkembangan zaman yang kemudian dipecahkan melalui
perantara kaidah fikih, dan mampu memecahkan permasalahan hukum yang
secara eksplisit tidak dijelaskan dalam Al-Quran dan Hadis.7
Sementara itu, Acep Djazuli menyimpulkan manfaat mempelajari
kaidah fikih sebagai berikut:
1. Dapat mengetahui asas asas umum fikih, karena di antara kaidah fikih
tersebut saling berkaitan dengan materi fikih yang jumlahnya banyak
2. Dapat mengetahui kesimpulan yang mewarnai fikih dan menjadi titik temu
dari masalah-masalah fikih.
3. Akan lebih mudah dalam menetapkan permasalahan hukum yang dihadapi,
yaitu dengan cara memasukkannya atau menggolongkannya kepada salah
satu kaidah fikih.
4. Akan menjadi lebih arif dalam menerapkan fikih dalam waktu, tempat, dan
keadaan yang berbeda.
5. Dapat menjadi solusi dalam menghadapi perbedaan pendapat di kalangan
para ulama atau mengukuhkan pendapat yang lebih mendekati kepada kaidah-
kaidah fikih.
6. Akan dapat mengetahui rahasia-rahasia hukum Islam yang tersimpul
6
Ibid., halm 10
7
Ibid., halm 12
13
dalam kaidah fikih.
7. Akan memiliki keluasan wawasan dan jika ia berijtihad, maka hasilnya
akan mendekati kepada kebenaran.8
Kaidah fikih termasuk ke dalam produk ijtihad para ulama fikih, maka
otomatis dengan mengetahui kaidah fikih, kita semua juga dapat mengetahui
metode-metode ijtihad yang dikemukakan para ulama fikih. Kaidah fikih
tersebut ada yang disepakati oleh para ulama dan ada juga yang tidak
disepakati. Kaidah terakhir ini tentunya berangkat dari perbedaan pendapat
para ulama dalam menyikapi kaidah tersebut.
Selain itu, juga dapat mengasah logika kita dalam menyikapi fikih,
terutama ketika mengungkapkan kasus tertentu dengan kaidah tertentu yang
cocok. Berdasarkan penelusuran penulis terhadap kaidah fikih, terutama
kaidah fikih muamalah, banyak kasus permasalahan fikih muamalah dapat
diselesaikan melalui metode penggunaan kaidah fikih berdasarkan
pertimbangan logika. Apalagi mengingat permasalahan muamalah lebih
banyak porsinya dibanding dengan permasalahan lainnya di bidang fikih. Di
sinilah kelebihan metode induktif yang digunakan oleh para ulama ketika
menciptakan kaidah fikih. Penyelidikan kasus- kasus tertentu yang terjadi di
masyarakat kemudian darinya disimpulkan sebuah kaidah fikih yang cocok
sebagai istinbat hukum.
2.6 Macam-Macam Transaksi Syariah
2.6.1 Kaidah Fikih Yang Berkaitan Dengan Akad Mu‟awadah
Akad mu'awadhah ini disebut juga dengan akad mubadalah.
Artinya adanya keterlibatan dua pihak secara aktif saling serah terima
barang dan penggantinya. Selain itu, kedua belah pihak saling
menerima konsekuensi hukum yang ditimbulkan dari akad tersebut.
Dengan kata lain, kedua belah pihak saling memberi dan menerima hak
dan kewajibannya. Yang termasuk dalam akad Mu‟awadah adalah jual
beli (ba‟i) dan sewa-menyewa (ijarah).
2.6.1.1 Kaidah Fikih yang Berkaitan dengan Jual Beli (Ba‟i)
a. Kaidah Pertama
8
Ibid., halm 13
14
ٕ (إُ األصو فً اىؼق٘د إّٖب ال تصخ إال ثبىصٍغخ۹ ٍجَ٘ع فتبٗی: ٘).
“Sesungguhnya hukum asal dalam akad adalah tidak sah kecuali
dengan ungkapan ijab dan Kabul”.
إُ اىؼقد تْؼقد ثنو ٍب ده ػيى ٍقص٘دٕب ٍِ ق٘ه أٗ فؼو.
(۷ ٍجَ٘ع فتبٗی:ٕ۹)
“Sesungguhnya akad bisa sah dengan setiap sesuatu yang
menunjukkan maksudnya baik dengan ucapan atau perbuatan”.
Kaidah tersebut maksudnya berkaitan dengan rukun dalam
jual beli, yaitu mempraktikkan ijab dan kabul. Jika tak
dilaksanakan ijab kabul, maka akan tersebut dipandang tidak
sah. Keabsahan ijab kabul dalam praktiknya tidak mesti
dilakukan melalui ucapan, tapi dengan perbuatan pun bisa
asalkan mengandung maksud akad. Setiap sesuatu yang
esensinya menunjukkan ijab kabul, maka ijab kabul dipandang
sah.
b. Kaidah Kedua
ٌِ)اىق٘اػد اىْ٘زاٍّخ ٔٗٔ(األصو فً اىؼقد زظى اىَتؼبقد.
“Hukum asal dalam akad adalah adanya keridhaan kedua belah
pihak”.
ٍِاألً (فأصو اىجٍ٘ع ميٖب ٍجبح إذا مبّت ثسظب اىَتجبٌؼ11,5:54 4 ٍجَ٘ع
ٙ فتبٗی:ٕ۹)
“Hukum asal dalam jual beli semuanya diperbolehkan apabila
berdasarkan pada keridhaan kedua belah pihak”.
Kaidah tersebut maksudnya berkaitan keridhaan merupakan
syarat sah akad jual beli. Oleh karena itu, tidak diperkenankan
akad dilaksanakan secara paksa. Ungkapan ridha di sini tidak
mesti secara eksplisit diungkapkan melalui ucapan, namun
boleh juga melalui perbuatan. Wujudnya saling serah terima
barang. Artinya, si penjual menyerahkan barang kepada
pembeli dan si pembeli menyerahkan pengganti dari barang
tersebut yaitu berupa uang kepada penjual, tanpa sedikitpun
adanya pembicaraan dari ke dua belah pihak. Hal demikian
15
tidak menghilangkan substansi adanya ijab kabul.
2.6.1.2 Kaidah Fikih yang Berkaitan dengan Sewa-Menyewa atau
Upah-Mengupah (Ijarah)
ٕٔٓٗ )اىدخٍسح(فنو ٍب جبش ثٍؼٔ جبش إجبزت:٘)
“Setiap sesuatu yang boleh diperjualbelikan maka boleh juga
disewakan”.
ٔٗ(فَب دسً ثٍؼٔ فإجبزتٔ ٍثي۹۹ ٕ )اإلقْبع
“Sesuatu yang diharamkan memperjualbelikannya. maka haram
pula menyewakannya”.
ٓ ٘ٔ(مو ٍِ صخ شساءٓ صخ إستئجبز،اىَجَ٘ع: ٕٖ٘).
“Setiap orang yang sah membeli sesuatu, maka sah juga
menyewanya”.
Kaidah tersebut maksudnya berkaitan dengan dasar akad
sewa-menyewa atau upah-mengupah (ijarah) adalah akad jual
beli (bai), karena ijarah merupakan bagian dari ba‟i. Ijarah bisa
sah dengan empat hal. Pertama, mujir (yang menyewakan) yang
kedudukannya sebagai orang yang menyerahkan manfaat
barang. Dalam hal ini sama kedudukannya dengan penjual (bai)
dalam akad jual beli. Kedua, mustajir (penyewa) yang
kedudukannya sebagai pencari manfaat. Dalam hal ini sama
kedudukannya dengan pembeli dalam akad jual beli. Oleh
karena itu, setiap orang yang sah membeli sesuatu, maka sah
pula menyewanya. Ketiga, mujar. (barang yang disewakan),
yaitu setiap benda yang berpotensi bisa dimanfaatkan dalam
jangka waktu lama. Misalnya, rumah, mobil, dan lainnya
sebagainya. Oleh karena itu, tidak sah menyewakan sesuatu
yang tidak tahan lama, seperti makanan dan minuman, Karena
dengan memanfaatkan keduanya, berarti menghilangkan zatnya
juga.
16
berderma. Artinya, melakukan sebuah perbuatan yang bukan kewajiban
atau tanpa adanya permintaan dari pihak yang diberi. Kata tabarru'
sendiri bila ditasrif berasal dari kata tabrra'a- yatabarra'u (- تجسع- ٌتجسع-
)تجسػبtabarraan. Adapun akad tabarru'ah artinya adalah akad yang tidak
mengandung hubungan timbal balik atau serah terima pengganti secara
aktif dari kedua belah pihak. Atau akad yang tidak menuntut adanya
pengganti dari pihak yang diberikan manfaat atau milik. Akad yang
termasuk tabarru'ah ini di antaranya adalah 'ariyah atau pinjam-
meminjam, wakaf, hibah, dan wakalah.
2.6.2.1 Kaidah Fikih yang Berkaitan dengan „Ariyah atau Pinjam-
Meminjam
a. Kaidah Pertama
دبشٍخ اىدس٘قً ٖ(مو ٍب د ّه ػيى تَيٍل اىَْفؼخ ثغٍس ػ٘ض مفى: ٖٗ٘).
“Setiap sesuatu yang menunjukkan kepemilikan manfaat tanpa
adanya pengganti adalah dicukupkan:.
Kaidah tersebut maksudnya berkaitan dengan kebebasan
ungkapan ijab kabul (sighat) yang berkaitan dengan akad 'ariyah.
Artinya tidak ada sighat tertentu berkaitan dengannya, asalkan di
dalamnya mengandung kepemilikan sesuatu tanpa adanya
pengganti dari pihak peminjam, maka hal itu disebut dengan
akad 'ariyah, kecuali di dalamnya dikaitkan dengan peminjaman
yang dibatasi dengan pekerjaan atau waktu atau tidak dibatasi,
tapi menurut adat kebiasaan keduanya dibatasi. Maka dalam
keadaan demikian tidak dinamakan dengan akad 'ariyah, tapi
akad ijarah. Karena dalam ijarah keduanya itu disyaratkan harus
jelas.
b. Kaidah Kedua
(ٍب ال ٌْتفغ ثٔ إال ثبإلتالف ىؼٍْٔ فال تج٘ش اىؼبزٌخ۸ ثدائغ اىصْبئغ: ٖ۷ٕ) ( ُاىجٍب
ٙ: ٘ٓ۸)
“Sesuatu yang tidak bisa dimanfaatkan kecuali dengan merusak
zatnya barang maka pinjam meminjam tidak boleh hukumnya”.
Kaidah tersebut maksudnya berkaitan dengan syarat barang
17
yang akan dipinjamkan harus bisa diambil manfaatnya tanpa
merusak zatnya. Oleh karena itu, jika hal itu terjadi, maka
hukumnya tidak sah.
2.6.2.2 Kaidah Fikih yang Berkaitan dengan Wakaf
a. Kaidah Pertama
اىفسائد اىجٍٖخ(إذا صخ اى٘قف ٌصٗه ػِ ٍيل اى٘اقف: ٕٕٔ.
“Apabila wakal telah sah, maka benda waka! hilang dari milik
yang mewakafkan (wakil)”.
Kaidah tersebut maksudnya berkaitan dengan seseorang
yang mewakafkan hartanya, maka harta tersebut berpindah
kepemilikannya menjadi milik Allah. Karenanya wakaf
tersebut tidak boleh ditarik kembali, tidak boleh dijual,
diwariskan, dan dihibahkan. Demikian pendapat ini
dikemukakan oleh Muhamad dan Abu Yusuf. Muhamad
menambahkan berpindahnya itu dengan cara menyerahkan
benda wakaf kepada pengurusnya atau pihak penerima wakaf
(maukuf alaih).
2.6.2.3 Kaidah Fikih yang Berkaitan dengan Hibah
a. Kaidah Pertama
ٖ(فنو ٕدٌخ ٗصدقخ ٕجخ ٗال تْؼنسٙٗ ٍِزٗظخ اىطبىج:٘)
“Setiap hadiah dan sedekah adalah hibah, namun tidak
sebaliknya”.
Kaidah tersebut maksudnya berkaitan dengan persamaan
dan perbedaan antara hibah, hadiah, dan sedekah dilihat dari
segi tujuannya. Persamaannya adalah memindahkan
kepemilikan kepada orang lain tanpa adanya imbalan atau
timbal balik.
b. Kaidah Kedua
ٓٗ )ٍجيخ(إٌجبة اى٘إت إذُ دالىخ ثبىقجط۸ ً دزز اىذنب۸ٖٗ األدنبً ٍبدح:ٕ)
“ljab dari pemberi adalah izin dengan petunjuk berkaitan dengan
penyerahan barang”.
Kaidah tersebut maksudnya berkaitan dengan penyerahan
18
barang yang dihibahkan seizin pihak pemberi menunjukkan ijab
dari pihak pemberi, baik secara jelas (sarih) seperti ungkapan:
Ambillah harta ini, karena saya telah menghibahkannya
kepadamu." Contoh ungkapan tersebut apabila harta tersebut ada
di tempat ketika itu.
2.6.2.4 Kaidah Fikih yang Berkaitan dengan Wakalah
a. Kaidah Pertama
٘(مو ٍِ جبش ىٔ اىتصسف ىْفسٔ فإّٔ ٌج٘ش ىٔ اإلستْبثخ اىدخٍسح۸) ( ًْاىَغ
ٔ۹۷۷)
“Setiap orang yang diperbolehkan melakukan sesuatu untuk
dirinya sendiri maka diperbolehkan juga meminta orang lain
untuk jadi wakilnya”.
ًٍِ صخ تصسفٔ فً شٍئ تدخئ اىٍْبثخ صذت ٗمبىتٔ األشجبٓ ٗاىْظبئس اىسجن- (ٔ:
ٖٕٖ) ( ُٕٓٗ(اىجٍبٙ)
“Siapa saja yang sah melakukan sesuatu pada objek wakalah
yang diperbolehkan adanya pengganti maka sah pula
mewakilkannya”.
Kaidah tersebut maksudnya berkaitan dengan
keabsahan wakalah yang berkaitan dengan orang yang
mewakilkan (muwakif) adalah orang yang sah melakukan akad
untuk dirinya sendiri menurut pandangan syara'. Dalam
keadaan demikian, maka sah pula apabila ia mewakilkannya
kepada orang lain.
b. Kaidah Kedua
)دٗز اىذنبً ٖٕٓ٘(إذا مبُ اى٘مٍو ٍجٖ٘ال فال تصخ اى٘مبىخ
“Apabila wakinya samar, maka wakalah tidak sah”.
Kaidah tersebut maksudnya berkaitan dengan keberadaan
wakil tersebut jelas. Artinya identitas yang berkaitan dengan
wakil dapat diketahui oleh muwakil. Tidak hanya dapat
diketahui oleh muwakil, tapi oleh pihak lain pun perlu.
Alangkah lebih baik jika muwakil, wakil, dan pihak lainnya
berkumpul dahulu sebelum menjalankan akad. Dalam keadaan
19
demikian tentunya muwakil menjelaskannya kepada pihak
berkaitan yang akan bermuamalah. Atau, jika tidak bisa
melalui surat kuasa yang diperlihatkan oleh wakilnya kepada
pihak terkait.
2.6.3 Kaidah Fikih Yang Berkaitan Dengan Akad Musyarakah
Di tasrif شبزكLuis Makuf menjelaslan . شبزك ٌشبزك ٍشبزمخmenjadi
maknanya telah terjadi kerja sama di antara dua orang. Dapat dipahami
kata musyarakah adalah kerja sama dalam melakukan suatu perbuatan,
baik dalam dunia perdagangan maupun yang lainnya yang dilakukan
oleh dua orang atau lebih. Keduanya saling melakukan upaya agar kerja
sama tersebut berhasil sesuai harapan. Dalam bidang muamalah, akad
yang tergolong ke dalam musyarakah ini adalah syirkah, mudharabah,
muzara'ah atau mukhabarah, dan musaqah. Syirkah dan mudharabah
kerja sama dalam bidang perdagangan. Sedangkan muzara'ah atau
mukhbarah dan musaqah kerja sama dalam bidang pertanian.
2.6.3.1 Kaidah Fikih yang Berkaitan dengan Syirkah
a. Kaidah Pertama
ٌٔ(مو ٗادد ٍَْٖب ٗمٍو األخس فٍَب ٌشتس۷ ثدائغ اىصْبئغ: ٖ٘ٓ)
Masing-masing kedua orang yang berserikat menjadi wakil
bagi yang lainnya berkaitan apa yang dibelinya.
ٕ٘(مو ٗادد ٍَْٖب ٗمٍو صبدجٔ ثبىجٍغ۸۷ )ثدائغ اىصْبئغ
Masing-masing kedua orang yang berserikat menjadi wakil
bagi yang lainnya berkaitan apa yang dijualnya.
Kaidah tersebut maksudnya berkaitan dengan akad syirkah
yang sudah terpenuhi rukun dan syaratnya, maka masing-
masing pihak menjadi wakil terhadap barang yang
diperjualbelikan. Artinya masing-masing pihak mempunyai
kekuasaan untuk membeli atau menjual sesuatu yang
dibutuhkan untuk keberlangsungan akad. Tentunya masing-
masing memerhatikan musyawarah sebelum bertindak dan
keterbukaan setelah pelaksanaannya. Hal di atas sangat
diperlukan guna menghindari hal-hal yang berpotensi kepada
20
kesalahpahaman di antara masing-masing pihak.
b. Kaidah Kedua
٘ٓٔ(ٍجيخ األدنبً اىَبدح (اىسثخ ػجبزح ػِ اىنست۸) (ٕٖٔ ً)دزز اىذنب
“Keuntungan itu hasil berdasarkan usaha”.
Kaidah tersebut maksudnya berkaitan dengan sesuatu
itu disebut dengan keuntungan. Misalnya, seseorang
bekerja sama dengan pihak lain dalam bisnis jam tangan
dengan modal seperti lima juta, kemudian di akhir
dikalkulasikan ternyata ada kelebihan sekitar satu juta.
Maka kelebihan dari modal hasil bisnis itulah disebut
dengan keuntungan atau laba. Kemudian keuntungan
tersebut dibagi bersama sebagaimana disepakati di awal.
2.6.3.2 Kaidah Fikih yang Berkaitan dengan Mudharabah
a. Kaidah Pertama
ٓمو ٍب مبُ ىيَعبزة أُ ٌؼَو ثْفسٔ فئ أُ ٌ٘مو فٍٔ غٍس
(ٖٖٖٓ۸ اىَجسػ ٘( )ثدائغ اىصْبئغ: ٕٙ۹
“Setiap sesuatu yang harus dilakukan sendiri oleh
mudharib, maka boleh juga mewakilkannya kepada orang
lain.”
Kaidah tersebut maksudnya berkaitan dengan pihak
pengelola modal (mudharib) diperbolehkan dalam
melakukan pekerjaan jika dalam situasi dan alasan tertentu
mewakilkannya kepada pihak lain. Tentu hal tersebut atas
sepengetahuan pihak pemilik modal (sahibul mal).
b. Kaidah Ketiga
ٓ٘(ثدائغ اىصْبئغ (أٍب اىَعبزثخ اىَقٍدح فذنَٖب دنٌ اىَصبزٌخ اىَطيقخ:۸)
(ٔ۷۷۷ ًْ)اىَغ
“Mudharabah muqayyadah hukumnya seperti mudharabah
mutlaqah”.
Kaidah tersebut maksudnya berkaitan dengan macam-
macam mudharabah ada dua, yakni mudharabah mutlaqah
dan mudharabah muqayyadah. Murlaqah mengandung arti
21
pihak pemilik modal tidak mensyaratkan apa-apa terhadap
pengelola modal dalam menjalankan usahanya. Sedangkan
muqayyadah mengandung arti sebaliknya. Namun dengan
catatan dapat bermanfaat dan tidak berlawanan dengan
syara maka hal itu diperbolehkan.
c. Kaidah Ketiga
ٌٍٕال تصيخ اىَقبزظخ إال ثبىدّبٍّس ٗاىدزا
(ٖٙٓ ٘ ٖٓ( )اىَجسػ۷۷ اىذبٗي اىنجٍس
“Tidak pantas qirad kecuali dengan dinar dan dirham”
Kaidah tersebut maksudnya berkaitan dengan syarat sah
yang akan dikelola oleh pekerja (pengelola modal) ketika
modal ikad terjadi di antaranya adalah modal harus berupa
dinar dan dirham atau uang tunai.
2.6.3.3 Kaidah Fikih yang Berkaitan dengan Musara‟ah
a. Kaidah Pertama
ٖ ًٗ(إُ اىَصازػخ تْؼقد شسمخ اّتٖبء دٗز اىذنبٙ۹)
“Sesungguhnya muzara'ah di akhimya sah menjadi syrkah”.
Kaidah tersebut maksudnya berkaitan dengan adanya kerja
sama dalam pembagian hasil yang ditanam atau panen
merupakan sebuah kemestian dalam akad muzara'ah. Hal ini
tidak membedakan apakah benih berasal dari pihak pemilik
tanah, yang biasa disebut dengan muzara'ah, ataupun berasal
dari petani penggarap, yang biasa disebut dengan mukhabarah,
dan pembagian tersebut disepakati sejak awal masing-masing
pihak.
b. Kaidah Kedua
ٕ(فإُ مبّت ٍجٖ٘ىخ ال تصخ اىَصازػخٙ۹۸ )ثدائغ اىصْبئغ.
“Jika tanah yang akan ditariami itu samar, maka muzara'ah
hukumnya tidak sah”.
Kaidah tersebut maksudnya berkaitan dengan tempat yang
akan dijelaskan terlebih dahulu oleh pihak pemilik tanah.
Apalagi jika tanah itu lebih dari satu. Jika si pemilik tanah
22
ingin bertanam padi khusus di tanah itu, maka tanah itu jangan
dipakai untuk bercocok tanaman selainnya.
2.6.3.4 Kaidah Fikih yang Berkaitan dengan Musaqah
a. Kaidah Pertama
إُ ٍقتعى اىَسبقبح أُ ٌنُ٘ األصو ىسة اىَبه ٗاىثَسح ثٍَْٖب
۷ ُاىجٍب: ٕٕٙ)
“Hakikat akad musaqah adalah adanya pemilik pepohonan atau
kebun dan buah dibagi dua dengan petani penggarap”.
Kaidah tersebut maksudnya berkaitan dengan adanya kerja
sama pembagian buah antara pemilik pohon atau kebun dan petani
penggarap. Jika terdapat persyaratan hasil yang dibagi itu bukan
berasal dari buahnya, seperti pohonnya, maka persyaratan tersebut
tidak sah.
b. Kaidah Kedua
(إُ اىري ٌجت ػيى اىؼبٍو ٕ٘ اىسقً ٗاألثبز۷ٕ۷ اىَجسػ:٘).
“Yang menjadi kewajiban petani penggarap adalah pengairan dan
perawatan”
Kaidah tersebut maksudnya berkaitan dengan hal-hal yang
berkaitan dengan tugas petani penggarap adalah mengairi dan
merawat pepohonan atau kebun seperti memberi pupuk dan yang
lainnya. Tugas tersebut harus dijalankannya dengan baik, karena
berpengaruh terhadap keuntungan berupa buah yang diperoleh
nanti. Inilah hakikat dari akad musaqah yakni secara umum
perawatan pepohonan atau kebun
2.6.4 Kaidah Fikih Yang Berkaitan Dengan Akad Tausiqah
Kata (tausiqah) berasal dari kata (wasiga) yang berarti percaya.
Kemudian (tsa) nya kata tersebut diberi tasydid, sehingga menjadi
(wassaga). Dalam bahasa Arab, kata tersebut wazanya yang berarti
mengukuhkan atau menguatkan. Maksud akad tausiqah di sini
adalah sebuah akad yang berfungsi untuk mengukuhkan atau
menguatkan kepercayaan karena adanya utang-piutang di antara
sesama manusia. Akad yang tergolong ke dalam akad tausiqah ini
23
adalah gadai (rahn), pemindahan utang-piutang (hiwalah), dan
tanggungan atau jaminan (kafalah atau daman).
2.6.4.1 Kaidah Fikih yang Berkaitan dengan Gadai
a. Kaidah Pertama
مو شٍئ ثجت ٗداً فقد زِٕ اىدخٍسح: ۷٘)
“Setiap sesuatu yang tahan lama, maka boleh digadaikannya.”
Kaidah tersebut maksudnya berkaitan dengan syarat sah
barang yang akan digadaikan itu harus tahan lama atau awet.
Artinya barang itu dapat dipastikan tidak rusak ketika akad
berlangsung. Oleh karena itu, tidak sah seseorang yang meng-
gadaikan makanan dan minuman. Karena makanan dan minuman
ketika dimanfaatkan oleh pegadai akan rusak ketika itu juga.
Hukum seperti ini berlaku juga tidak sah ketika seseorang
menyewakan makanan dan minuman.
b. Kaidah Kedua
(ٗقجو اىقجط ال ٌنُ٘ زْٕب۹ٗ۸ )اىدخٍسح
“Sebelum adanya serah terima barang jaminan belum termasuk
rahn”.
ُ ٕٗ( اىجٍبٙ) (ٙ ًْاىَغ: ٔٔ٘)
“Lazimnya akad ran dengan penyerahan marun”.
ٍِٖغًْ اىَذتبج ٕ(إذا ىصً اىسِٕ فبىٍد فٍٔ ىيَست: ٔ۷٘)
“Apabila rahn bersifat lazim maka marhun dipegang murtahin”.
Kaidah tersebut maksudnya berkaitan dengan serah terima
merupakan syarat sah akad rahn. Pihak yang menggadaikan (rahin)
menyerahkan barang gadaian (marhun bih) kepada pihak penerima
gadai (murtahin). Dalam hal murtahin menerima barang gadaian
boleh mewakilkannya kepada orang lain, jika tidak memungkinkan
melakukannya sendiri. Oleh karena itu, sebelum terjadi serah
terima barang gadaian belum dikatakan akad rahn. Setelah terjadi
serah terima barang gadaian, maka akad rahn bersifat mengikat
(lazim).
2.6.4.2 Kaidah Fikih yang Berkaitan dengan Hiwalah
24
a. Kaidah Pertama
(إذا أدٍو أددمٌ ثَب ىٔ ٍِ دٌِ ػيى غًْ ىٍست٘فٍٔ فيٍقٍو ٕرٓ اىذ٘اىخ۷۸ٗ اىَجسػ:٘)
(ٕٙٓ۷ ًْ)اىَغ
“Apabila salah seorang di antara kalian dipindahkan utangnya
kepada orang yang mampu membayarnya, maka hendaklah ia
menerima pemindahan itu”.
Kaidah tersebut maksudnya berkaitan dengan memindahkan
utang dari yang tidak mampu membayarnya kepada yang mampu
membayarnya, karena ia sendiri punya utang kepadanya. Pihak
pertama yang tidak mampu membayar disebut dengan muhil atau
orang yang memindahkan utang. Pihak kedua yang menerima
pemindahan kewajiban membayar utang disebut muhal; dan pihak
ketiga orang yang berkewajiban membayar utang disebut muhal
alaih. Sedangkan utang yang dipindahkan disebut muhal bih.
Semua pihak tersebut dan ditambah dengan utang (muhal bih)
merupakan rukun dari akad hiwalah, dan asal mula kaidah tersebut
adalah Hadis riwayat Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah.
b. Kaidah Kedua
(إُ ٍقص٘د اىذ٘اىخ ت٘ثٍق اىذق۷ ثدائغ اىصْبئغ: ٕٗٔ) (۹ اىدخٍسح: ٕ٘ٔ).
“Sesungguhnya tujuan hiwalah adalah memperkokoh hak”.
(إُ ٍقص٘د اىذ٘اىخ تذ٘ه اىذق۹ اىدخٍسح: ٕٕ٘).
“Sesungguhnya tujuan hiwalah adalah memindahkan hak”.
Kaidah tersebut maksudnya berkaitan dengan tujuan dari
hiwalah ada dua macam. Pertama, mengukuhkan kepercayaan
karena adanya utang-piutang. Dan inilah yang menjadi dasar
kenapa akad hiwalah disyariatkan dalam fikih Islam. Karena dalam
urusan muamalah, percaya ketika seseorang melakukan sebuah
akad tidak cukup, melainkan perlunya penguat kepercayaan
tersebut, sehingga akad tersebut dapat berjalan dengan lancar
hingga akhir. Kedua, memindahkan penagihan utang. Hal ini sesuai
dengan definisinya akad hiwalah, yakni pemindahan hak muhal
menagih utang yang asalnya kepada muhil menjadi pindah kepada
25
pihak muhal alaih.
2.6.4.3 Kaidah Fikih yang Berkaitan dengan Kafalah
a. Kaidah Pertama
اىَجيخ اىَبدح (اُ مبُ اىَنف٘ه ثٔ ّفسب ٌشتسغ أُ ٌنُ٘ ٍؼيٍ٘ب ٗإُ مبُ ٍبال ال ٌشتسغ
ٖٙٓ. ٔ ًدٗز اىذنب: ۷ٖ٘)
“Jka makul bihnya jwa, maka disyaratkan harus dapat diketahui”.
Sedangkan jika maldul bih-nya harta, maka tidak disyaratkan
(اىجٍبُ (ال ٌعَِ ٍجٖ٘هٙ: ٖٔٙ) (۷ ثدائغ اىصْبئغ: ٖ۹ٕ).
“Sesuatu yang samar tidak boleh dijadikan jaminan”.
Kaidah tersebut maksudnya berkaitan dengan macam-
macam kafalah secara umum, para ulama membaginya kepada dua
macam. Pertama, kafalah binnafsi, yaitu jaminan menyerahkan atau
menghadirkan seseorang yang telah diketahui keberadaannya.
Kedua, kafalah bil mal, yaitu jaminan seseorang akan membayar
utang orang lain.
b. Kaidah Kedua
ّٔاىق٘اٍِّ اىفقٍٖخ(مو ٍِ ٌج٘ش تصسفٔ فً ٍبىٔ ٌج٘ش ظَب: ٗ۹ٓ)
“Setiap orang yang diperbolehkan menasarulkan hartanya, maka
sah pula ia menjaminkannya”.
Kaidah tersebut maksudnya berkaitan dengan syarat yang
berkaitan dengan pelaku akad harus berkompeten mengolah harta,
tak terkecuali dalam melakukan akad kafalah. Pihak-pihak yang
berkaitan, yakni (pihak yang menjamin (kafil), pihak yang dijamin
(makful anhu), pihak yang berpiutang (makful lah), dan objek
kafalah (makful bih).9
9
Ibid., halm 51-200
26
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Kaidah fikih adalah kaidah yang terkait dengan persoalan fikih (hukum
Islam) yang beragam materinya, yang dihimpun menjadi sebuah kaidah
umum yang memunculkan banyak cabangnya, sehingga memudahkan para
ulama dalam mengatasi permasalahan hukum Islam. Selanjutnya apabila
kaidah fikih dihubungkan dengan persoalan fikih yang terkait dengan
muamalah, maka dikemukakan istilahnya menjadi kaidah fikih muamalah.
Fiqh muamalat terdiri atas dua kata, yaitu fiqh dan muamalat. Pengertian
fiqh menurut bahasa berarti mengerti, atau memahami. Adapun lafal
muamalat yang artinya : “Melakukan interaksi dengan orang lain dalam jual
beli dan semacamnya”.Dari pengertian menurut bahasa tersebut dapat
dirumuskan pengertian menurut istilah bahwa fiqh muamalat adalah ilmu
tentang hukum-hukum syara yang mengatur hubungan atau interaksi antara
manusia dengan manusia yang lain dalam bidang kegiatan ekonomi.
Beberapa prinsip yang menjadi acuan dan pedoman secara umum untuk
kegiatan muamalat ini. Terdapat 4 prinsip pokok dalam kaidah fiqih
muamalah, dan terdapat 18 asas. prinsip dan asas pada kaidah fiqih muamalat
ini merupakan suatu perintah allah dan aturan yang mengatur kegiatan
muamalat yang sesuai dengan syariat islam.
Para ulama sepakat mendefinisikan kaidah nya menurut bahasa berarti
fondasi atau dasar. Namun menurut Rawas Qalahji mendefinisikan kaidah
menurut bahasa berarti sesuatu yang disandarkan di kepala.
Berbicara mengenai perbedaan antara fikih dabit seba- Rahman 1423:41)
menjelaskan definisi terkait dengan dobit, menurut maknanya mereka
menghubungkan kaidah dengan dabit dan juga Hal jelas sebagaimana telah
yang dikemukakan Al-Fayumi Al-Maqri. Namun ulama membedakan
27
keduanya atau mencakup cabang berbagai fikih, sedangkan dabit
mengumpulkannya dari satu fikih saja Al-Subki Ibnu Nujaim. Kemudian
perbedaan keduanya umumnya dikemukakan (Al-Sa'dan).
Upaya ulama dalam memproduksi kaidah fikih berangkat dari upaya
penyelidikan kasus-kasus fikih yang terpencar- pencar dalam berbagai kitab
fikih. Kemudian dikumpulkan dan dihimpun menjadi sebuah kaidah fikih.
Proses seperti ini disebur dengan proses induktif. Artinya metode pemikiran
yang bertolak dari kasus atau peristiwa khusus untuk menentukan hukum
(kaidah) yang umum atau penarikan kesimpulan keadaan yang khusus untuk
diperlakukan secara umum.
Manfaat mempelajari kaidah fikih sebagai berikut:
1. Dapat mengetahui asas asas umum fikih, karena di antara kaidah fikih
tersebut saling berkaitan dengan materi fikih yang jumlahnya banyak
2. Dapat mengetahui kesimpulan yang mewarnai fikih dan menjadi titik temu
dari masalah-masalah fikih.
3. Akan lebih mudah dalam menetapkan permasalahan hukum yang dihadapi,
yaitu dengan cara memasukkannya atau menggolongkannya kepada salah
satu kaidah fikih.
4. Akan menjadi lebih arif dalam menerapkan fikih dalam waktu, tempat, dan
keadaan yang berbeda.
5. Dapat menjadi solusi dalam menghadapi perbedaan pendapat di kalangan
para ulama atau mengukuhkan pendapat yang lebih mendekati kepada
kaidah-kaidah fikih.
6. Akan dapat mengetahui rahasia-rahasia hukum Islam yang tersimpul
dalam kaidah fikih.
7. Akan memiliki keluasan wawasan dan jika ia berijtihad, maka hasilnya
akan mendekati kepada kebenaran.
Beberapa kaidah di dalam fikih muamalah adalah sebagia berikut:
1. Akad mubadalah artinya adanya keterlibatan dua pihak secara aktif saling
serah terima barang dan penggantinya.
2. Tabarru' berasal dari kata dasar barra'a, yang mengandung arti berderma.
Artinya, melakukan sebuah perbuatan yang bukan kewajiban atau tanpa
28
adanya permintaan dari pihak yang diberi.
3. Musyarakah adalah kerja sama dalam melakukan suatu perbuatan, baik
dalam dunia perdagangan maupun yang lainnya yang dilakukan oleh dua
orang atau lebih.
4. Akad tausiqah di sini adalah sebuah akad yang berfungsi untuk
mengukuhkan atau menguatkan kepercayaan karena adanya utang-piutang
di antara sesama manusia.
3.2 Saran
Demikianlah makalah yang dapat kami sampaikan. Kami yakin dalam
penulisan makalah ini masih banyak kessalahan-kesalahan karena masih
kurangnya pengetahuan kami, kurangnya rujukan atau referensi yang kami
peroleh hubunganya makalah. Untuk itu kritik dan saran yang bersifat
konstruktif sangat kami harapkan demi kesempurnaan makalah yang
selanjutnya. Semoga makalah ini dapat memberikan manfaat kepada kita
semua. Amin.
DAFTAR PUSTAKA
29
30