Anda di halaman 1dari 18

MAKALAH

Mengenal Lembaga Fatwa di Indonesia


Disusun Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas
Mata Kuliah :manajemen pembiayaan
Dosen Pengampu : Zulkifli, S,E,I., M ,Sy

Disusun oleh:
Muhlis Setiawan
NIM. 1904110023

Yusuf Kurniawan
NIM. 1904110045

Tegar Rusito
NIM. 1904110026

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI PALANGKA RAYA


FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
JURUSAN EKONOMI ISLAM
PRODI PERBANKAN SYARIAH
TAHUN 1442 H/2021 M

1
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT, karena atas limpahan rahmat dan
hidayahnya penulis dapat menyelesaikan penyusunan makalah yang berjudul “Mengenal
Lembaga Fatwa di Indonesia” dalam bentuk maupun isinya yang sederhana.
Pada kesempatan kali ini penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak Zulkifli,
S,E,I., M ,Sy dosen pembimbing mata kuliah “Fatwa Bisnis Syariah” dan semua yang
membantu dalam menyusun makalah ini.
Penulis menyadari bahwa makalah ini masih terdapat banyak kekurangan karena
pengalaman yang penulis miliki sangat kurang.Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik
dan saran dari pembaca dan pendengar untuk memberi masukan ataupun saran yang bersifat
membangun untuk penyusunan makalah ini.
Terlepas dari kekurangan-kekurangan, semoga dengan adanya makalah ini dapat
bermanfaat bagi teman-teman pembaca dan menjadikan amal shaleh bagi penulis Amin Yaa
Robbal Alamin.
Wassalamualaikum Wr. Wb

Palangka Raya, 18 maret 2021

Penulis

2
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ........................................................................................................ i
DAFTAR ISI...................................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang .........................................................................................................1
B. Rumusan Masalah ....................................................................................................2
C. Tujuan Penulisan ......................................................................................................2

BAB II PEMBAHASAN
A. Definisi Manajemen Pembiayaan ............................................................................3
B. Kriteria Pelaksana Pembiayaan di Bank Syariah .....................................................6
C. Petugas-petugas Pembiayaan Pada Bank Syariah..................................................10

BAB III PENUTUP


D. Kesimpulan ............................................................................................................13
E. Saran ......................................................................................................................14

DAFTAR PUSTAKA

i
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang

Semakin hari persoalan-persoalan baru tentang urusan keagamaan maupun

keduniaan bermunculan dengan pesat. Maka dengan demikian perlu adanya suatu

pemikiran yang sistematis komprehensif dan integral, agar ajaran Islam mampu

menjawab tantangan zaman. Sebab permasalahan-permasalahan yang bermunculan

dalam kehidupan ini kadang-kadang tidak ditemui jawabannya secara harfiah, baik

dalam al-Qur‟an maupun maupun dalam as-Sunnah.

Maka, tidak bisa dipungkiri lagi bahwa pernyataan tentang fatwa keagamaan,

baik fatwa yang bersifat lisan maupun tulisan memberikan arahan dan jawaban yang

konkret kepada masyarakat, terutama dalam menghadapi segala persoalan yang

timbul. Namun, inti dari sasarannya adalah agar umat Islam mampu menciptakan

pola pikir yang sistematis dalam mengkaji ajaran Islam secara utuh dan murni.

Sehingga tercipta suatu pola pikir dan hasil ijtihad para ahli/ulama untuk menemukan

dalil-dalil yang konkret dalam mengambil keputusan hukum-hukum syariat Islam.

Berbicara mengenai fatwa, yang mana sasaran akhir dari fatwa keagamaan ini

adalah tidak lain agar masyarakat muslim mengetahui secara persis duduk persoalan

yang sebenarnya, baik dalam menghadapi segala peribadatan maupun non

peribadatan. Maka dengan demikian, Indonesia sebagai negara yang mayoritas

masyarakatnya merupakan masyarakat muslimmemiliki lembaga Komisi Fatwa

Hukum MUI (KFHMUI).

Majelis Ulama Indonesia (MUI) sejak didirikan hingga kini telah banyak

mengeluarkan fatwa dalam berbagai jenis. Keberbagaian tersebut dilatar belakangi

oleh beragamnya permasalahan yang muncul dan pertanyaan dari masyarakat. Dari

hasil kajian yang dilakukan, dapat dikatakan bahwa MUI dalam menyelesaikan

1
permasalahan-permasalahan yang muncul telah melakukan kegiatan ijtihad, yang

diantaranya ialah ijtihad tarjihi atau intiqa‟i dan ijtihad insya‟i atau ijtihad ibtida‟i.

Namun, kekuatan fatwa yang dikeluarkan oleh MUI tidaklah bersifat

mengikat, melainkan hanya bersifat nasehat bagi para mustafi secara khusus dan bagi

masysarakat muslim Indonesia secara umum. Dan tidak jarang fatwa-fatwa yang

dikeluarkan oleh MUI tersebut membuat resah negara Indonesia sebagai negara

hukum, seperti fatwa haramnya prularism, liberalism dan sekularism. Atas fakta

tersebut, maka MUI mendapat respon positif dan negatif. Namun terlepas dari kedua

respon tersebut, fatwa MUItelah lama diakui adanya di Indonesia.

B. Rumusan Masalah
1. Apa definisi Lembaga-Lembaga Pembuat Fatwa Di Indonesia?
2. Bagaimana Sejarah Majelis Ulama Indonesia (MUI)?
3. Apa Saja Peran Dan Fungsi Majelis Ulama Indonesia?
C. Tujuan Penulisan
1. Mendeskripsikan apa definisi Lembaga-Lembaga Pembuat Fatwa Di
Indonesia.
2. Mendeskripsikan bagaimana Sejarah Majelis Ulama Indonesia (MUI).
3. Menjelaskan Apa Saja Peran Dan Fungsi Majelis Ulama Indonesia.
D. Metode Penulisan
Dalam penyusunan makalah ini, penulis menggunakan metode library
research, penulisan karya ilmiah yang dilakukan dengan perpustakaan sebagai sumber
data. Dengan demikian, penulis mengumpulkan informasi dari berbagai sumber buku.

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Lembaga-Lembaga Pembuat Fatwa Di Indonesia


Fiqh adalah ilmu tentang hukum syara’ (Baca: Islam) yang berkaitan dengan
amalan nyata seorang hamba yang diambil dari dalil-dalil secara rinci Sedangkan
fatwa adalah memberi penjelasan tentang hukum syara’ (Islam) pada suatu persoalan,
sebagai bentuk jawaban bagi peminta fatwa, baik itu peminta fatwa teridentifikasi atau
tidak, individu atau kelompok. Adapun qadlâ’ (yurisprudensi) adalah keterangan
tentang hukum syara’ (Islam) dengan ketentuan yang mesti diikuti.
Fatwa memiliki dimensi yang cukup luas dalam kehidupan bermasyarakat,
lebih luas dari qadlâ’. Hal ini disebabkan oleh karena fatwa, mencakup seluruh sendi
kehidupan beragama. Sendi kehidupan agama yang dimaksud antara lain: masalah
akidah, pokok-pokok agama, dan hukum-hukum fiqh.
Seorang ahli agama, seperti kiyai, ustadz atau lainnya, menjadi rujukan
dalam setiap persoalan agama yang dihadapi oleh masyarakat. Oleh karena itu seorang
mufti (pemberi fatwa) harus terkualifikasi dengan baik. Al- Mâliki mengutip
pendapat Ibn al- Sam‟ânî, mengatakan bahwa seorang mufti mestilah memiliki tiga
syarat, yaitu: mampu berijtihad, adil (berintegritas) dan tidak menggampangkan
persoalan. Menggampangkan persoalan terlihat pada dua kondisi: Pertama,
menggampangkan pada proses ijtihad dengan hanya mencukupkan ijtihadnya dengan
dalil-dalil prematur. Kedua, mencari hal-hal yang paling ringan dalam beragama atau
biasa disebut dengan tatabbu’ al-rukhash.
Lembaga fatwa terdiri atas dua kata yang memiliki perbedaan maknanya.
Istilah “lembaga”, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah “asal mula (yang
akan menjadi sesuatu); bakal (binatang, manusia, atau tumbuhan); bentuk (rupa,
wujud) yang asli; acuan; ikatan (tentang mata cincin dan sebagainya); dan badan
(organisasi) yang tujuannya melakukan suatu penyelidikan keilmuan atau melakukan
suatu usaha”.1
Sedangkan istilah fatwa (Arab: ‫ﻓﺘىﻮ‬, fatwā) adalah sebuah istilah mengenai
pendapat atau tafsiran pada suatu masalah yang berkaitan dengan hukum Islam. Fatwa
sendiri dalam bahasa Arab artinya adalah “nasihat”, “petuah”, “jawaban” atau

1
Departemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia, Kamus Besar Bahasa Indonesia,(Jakarta: Balai
Pustaka, 2003), hlm. 321.

3
“pendapat”. Adapun yang dimaksud adalah sebuah keputusan atau nasehat resmi
yang diambil oleh sebuah lembaga atau perorangan yang diakui otoritasnya,
disampaikan oleh seorang mufti atau ulama, sebagai tanggapan atau jawaban
terhadap pertanyaan yang diajukan oleh peminta fatwa (mustafti) yang tidak
mempunyai keterikatan.
Adapun lembaga fatwa yang dimaksudkan disini adalah lembaga
membidangi terbitnya fatwa-fatwa yang berhubungan dengan hukum Islam untuk
dilaksanakan secara keseluruhan, dan dapat dijadikan sebagai pedoman dalam
pelaksanaan ibadah bagi umat Islam serta sebagai pegangan bagi pemerintah dalam
menjalankan roda pemerintahan.
Di Indonesia, pelaksanaan hukum Islam diwakili oleh beberapa institusi atau
lembaga-lembaga fatwa. MUI lebih dikenal oleh masyarakat sebagai lembaga yang
berusaha menyelesaikan banyak permasalahan agama dengan mengeluarkan fatwa.
Di samping itu, ormas-ormas Islam seperti Muhammadiyah, NU, Persis, dan yang
lainnya memiliki institusi yang bertugas untuk mendalami dan merekomendasi-kan
pendapat (bahkan sikap) organisasi terhadap persoalan (hukum) yang terjadi di
2
masyarakat. Bahkan ada lembaga fatwa yang dibentuk oleh Kementerian
Kesehatan Republik Indonesia yang dikenal dengan Majelis Pertimbangan
Kesehatan dan Sara (MPKS).
1) MUI( MAJELIS ULAMA INDONESIA)

Majelis Ulama Indonesia adalah wadah atau majelis yang menghimpun


para ulama dan cendekiawan muslim Indonesia untuk menyatukan gerak
dan langkah-langkah umat Islam Indonesia dalam mewujudkan cita-cita
bersama. Majelis Ulama Indonesia berdiri pada tanggal, 7 Rajab 1395 H,
bertepatan dengan tanggal 26 Juli 1975 di Jakarta, sebagai hasil dari
pertemuan atau musyawarah para ulama dan cendekiawan yang datang dari
berbagai penjuru tanah air.3
Keberadaan Majelis Ulama Indonesia (MUI) saat ini yang dikenal sebagai wadah
perhim1 punan para ulama dalam menjalankan fungsinya menanggapi dinamika

2
Jaih Mubarok, Metodologi Ijtihad Hukum Islam (Cet. 1; Yogyakarta: UII Press, 2002), hlm. 169.

3
Muhammad Ichsan, Lembaga Fatwa Hukum Islam Indonesia, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2000),
hlm. 55.

4
permasalahan di Indone1sia, dinilai sebagi salah satu tindakan yang positif. Upaya
pemberian fatwa1fatwa yang selama ini telah dilakukan tentunya memberikan
dampak bagi keberlangsungan jalannya negara Indonesia dengan berbagai komponen
di dalamnya baik politik maupun tatanan sosial yang ada.
2) MajelisTarjih Muhammadiyah
Muhammadiyah adalah organisasi social keagamaan yang memiliki misi
utama pembaharuan atau tajdid terhadap pemahaman agama. Pembaharuan
dalam muhammadiyah meliputi dua segi jika dilihat dari sasarannya yaitu
pembaharuan dalam arti mengembalikan kepada kemurniannya dengan
sasaran soal-soal prinsip perjuangan yang bersifat tetap dan pembaharuan
dalam arti modernisasi dengan sasaran mengenai masalah metode, system,
tektik, setrategi, taktik perjuangan dan lain-lain.
Dalam majlis tarjih, manhaj pengembangan pemikiran Islam
dikembangkan atas dasar prinsip-prinsip yang menjadi orientasi
utamayaitu: prinsip al-muru’ah (konservasi), prinsip al-tahdidsi (inovasi), dan
prinsip al- ibtikari (kreasi). Dalam pengambilan keputusan Majelis Tarjih
Pengembangan Pemikiran Islam (MTPPI) terhadap persoalan-persoalan yang
memerlukan perpestik oleh majlis ini dinahas dengan cara berupaya mencari
dalil yang relevan, menerapkan manhaj al istinbath lalu menarik natijah
hukumnya, hasil keputusan kemudian diajukan kepemimpinan
Muhammadiyah sesuai tingkatannya yang mempunyai otoritas untuk
mentanfidzkan atau tidak sesuai pertimbangan yang dimiliki, namun semua
yang telah ditanfidzkan masih tetap untuk diadkan tinjauan ulang.
3) Lajnah Bahsul Masail Nahdatul Ulama (NU)
NU sebagai jam‟iyah sekaligus gerakan diniyah islamiyah dan ijtima’iyah
serta menjadikan paham sunah wal jama’ah sebagai basis teologi dan
menganut salah satu dari mazhab. Metode istinbath hukum lajnah bahsul
masail dikalangan NU tidak diartikan dengan mengambil hukum secara
langsung (al-qur‟an dan sunah), namun diartikan sesuai dengan sikap dasar
bermazhab terutama mazhab Syafi‟i menempati posisi yang dominan. Metode
pengambilan keputusan hukum dirumuskan pada munas Bandar lampung
pada tahun 1992 dengan susunan metodologisnya yaitu: kasus yang
jawabannya ditemukan satu qaul (pendapat), maka qaul itu yang diambil,
kasus yang hukumnya ada dua pendapat maka dilakukan taqrir jama’i dalam

5
memilih salah satunya, namun jika tidak ditemukan pendapat sama sekali
dipakai ilhaq al-masail bin nadhariha secara jam’i oleh ahlinya, dan jika
masalah yang dikemukakan jawabannya dalam ibarat kitab dan tidak bisa
dilakukan ilhaq maka dilakukan istinbath jam’i.4

Keperluan terhadap fatwa sudah terasa sejak awal perkembangan Islam.


Dengan meningkatnya jumlah pemeluk Islam, maka setiap persoalan yang muncul
memerlukan jawaban. Untuk menjawab persoalan tersebut diperlukan bantuan dari
orang-orang yang kompeten di bidang tersebut. Dalam masalah agama, yang
berkompeten untuk itu adalah para mufti atau para mujtahid.

B. Sejarah Majelis Ulama Indonesia (MUI).

Sistem kemasyarakatan dan kenegaraan di Indonesia tidak dapat lepas dari peran
ulama, baik pada zaman sebelum kemerdekaan, semasa perjuangan kemerdekaan
ataupun saat mengisi kemerdekaan. Ulama memainkan peran penting sebagai pemimpin
dan pembimbing masyarakat dalam menanamkan nilai ajaran Islam sebagai pegangan
hidup. Dalam hikayat raja-raja Pasai disebutkan bahwa Merah Silu, Raja Pasai pertama,
memperoleh legitimasi sebagai Sultan dengan gelar Malik al-S~lih (1637-1641 M)
melalui legitimasi ulama yang mengukuhkan institusi diraja yang menjadi penguasa
secara sah di sebuah kerajaan. Dalam perkembangan setelah itu, peran ulama masih
memainkan peran yang penting dalam sistem pengaturan negara. Hal ini sebagaimana
berlaku pada abad ke-17 Masehi di mana Raja Aceh telah melantik para ulama menjadi
ketua yang bertanggung jawab dalam bagian keagamaan kerajaan. Para ulama dilantik
sebagai Qadi Malik al-„Adli (Kadi yang memiliki keadilan) dalam kerajaan tersebut.

Tugas para Kadi adalah untuk menangani masalah keagamaan, memberikan


fatwa kepada pelbagai permasalahan seharian, menyelesaikan perselisihan mengikut
hukum syariat, dan menangani urusan-urusan keagamaan yang lain. Dengan demikian,
sejak zaman pemerintahan Iskandar Muda, Aceh telah mendirikan lembaga peradilan
agama atau mahkamah untuk memutuskan perkara-perkara sesuai hukum Islam yang

4
Muhammad Ichsan, Lembaga Fatwa Hukum Islam Indonesia, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2000),
hlm. 55.

6
dipimpin oleh Qadi Malik al-„Adli tersebut. Di Ternate raja disebut Kolana, akan tetapi
setelah Islam berkembang di sana gelar sultan dipakai untuk raja. Dalam urusan
pemerintahan, raja atau sultan dibantu sebuah badan penasihat atau lembaga adat yang
kadang kala mempunyai kekuasaan penuh dalam membuat keputusan. Pada umumnya,
badan ini dianggotai sekelompok ulama yang bukan saja menjadi penasihat dalam badan
keadilan, tetapi juga berperan dalam memberi nasihat kepada raja apabila raja atau sultan
tidak mengikuti peraturan yang digariskan. Dalam sebuah wilayah yang sekarang
bernama Nusa Tenggara, Raja Bima menganut Islam sejak abad ke-17 Masehi. Ruma Te
Bata Wadu (Raja Bima XXVII) memeluk Islam (1640 M) setelah menjadi menantu
kerajaan Gowa. Raja Bima turut menyebarkan agama Islam di kalangan para ntjuki
(kepala kelompok) dan rakyat Bima. Oleh sebab itu, Raja Bima menjadi Sultan Bima
pertama dengan memakai gelar Sultan Katlir.

Pada zaman penjajahan di Indonesia, para ulama memiliki peran sangat besar
dalam membantah keputusan kerajaan yang dianggap tidak adil dan menindas rakyat.
Bahkan para ulama juga berjuang untuk mencapai kemerdekaan karena mereka ingin
menegakkan syariat Islam untuk melawan kebudayaan asing (kafir) yang kian
berkembang di mana-mana. Islam secara utuh mampu tampil dalam melawan
kolonialisme Belanda. Dalam masyarakat Islam Indonesia ada semangat kerja sama atau
perpaduan yang erat. Selain itu, terdapat juga roh Islam yang dapat menjadi dasar
semangat perjuangan mereka. Islam memainkan peran sangat penting dalam menentang
kolonialisme Belanda dan menuntut kemerdekaan negara. Islam menanamkan semangat
jihad fi sabilillah yang telah tertanam di dalam hati dan jiwa rakyat. Semangat jihad fi
sabilillah inilah spirit rakyat yang kuat untuk terus berjuang melawan penjajah. Oleh
karena itu, para ulama telah membentuk barisan tentara yang terkenal dengan sebutan
“Tentara Allah (Hizbullah) dan “Jalan Allah”. Keadaan ini terjadi saat itu karena adanya
semboyan hubbu al-watan min al-iman (cinta tanah air adalah bagian daripada iman).
Ajaran ini merupakan semangat patriotisme bangsa Indonesia yang berasaskan agama.
Pada abad ke-20, kesadaran bahwa Islam sama dengan “bangsa” telah tumbuh semakin
luas di pelbagai tempat di Kepulauan Indonesia. Islam merupakan simbol identitas diri,
terutama ketika berhadapan dengan kekuatan dan kebudayaan asing yang berlainan.

Terbentuknya organisasi-organisasi Islam pada masa itu dapat dibedakan menjadi


dua kelompok. Pertama, Partai Serikat Islam Indonesia (PSII) dan Persatuan Muslim

7
Indonesia (Permusi) yang berorientasi kepada perjuangan kemerdekaan secara politik.
Dan kedua, Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama (NU), al-Washliyah, dan Persatuan
Tarbiyah Islamiyah (Perti) yang berorientasi pada pembinaan sosial umat. Perbedaan
tujuan dalam kedua kelompok organisasi Islam ini menyebabkan terjadinya perdebatan
di antara kedua kelompok itu tidak dapat terhindarkan. Peristiwa menentang Rancangan
Undang-Undang (RUU) Perkawinan yang dianggap sekuler dilakukan dengan beramai-
ramai. Namun, dari sudut lain mempunyai dampak positif terhadap persatuan umat
Islam. Hal ini karena, sikap kerja sama dalam pelbagai kelompok terhadap Rancangan
Undang-Undang yang selama ini tidak sehaluan berubah menjadi bersatu padu.
Hubungan dua organisasi besar Islam, Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama, menjadi
lebih positif. Padahal pada masa sebelumnya kedua organisasi ini tidak dapat bersatu.
Akan tetapi setelah melihat adanya ancaman yang sangat berbahaya bagi
keberlangsungan Islam di Indonesia, maka kedua organisasi ini menyadari perlu
membangun suatu kebersamaan dalam satu wadah organisasi yang dinamakan Majelis
Islam A‟laa Indonesia (MIAI) yang berpusat di Surabaya tahun 1937. Setelah
kemunculan MIAI, kalangan tradisi dan kalangan pembaharu dapat bersama-sama
kembali berjuang dalam satu barisan yang utuh. Meskipun begitu, setelah kemerdekaan
Indonesia umat Islam khususnya para ulama yang sebelum ini diakui tidak memiliki
suatu wadah dan lembaga untuk saling bertukar pikiran dan bermusyawarah.

Namun para ulama sudah tersebar dan menduduki jabatan di pelbagai organisasi
keagamaan, baik yang bersifat politik ataupun bersifat sosial. Keadaan seperti ini jelas
tidak menguntungkan, baik bagi umat Islam maupun bagi pemerintah karena banyak
persoalan keagamaan yang muncul yang semestinya dapat diselesaikan oleh para ulama
dengan bahasa yang satu, tetapi gagal untuk dilaksanakan. Peran para ulama dalam
pelbagai organisasi mengakibatkan mereka sangat sibuk dan adanya perbedaan dalam
memutuskan pelbagai persoalan. Hal ini terjadi karena adanya kepentingan kelompok
atau golongan tertentu. Selain itu, pemerintah juga mengalami kesulitan untuk
menghubungi kaum ulama untuk konsultasi pelbagai masalah keagamaan. Menyadari
keadaan tersebut, pada bulan Juni 1969 diadakan seminar dakwah di Fakulti Ushuluddin
Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. Salah satu hasil
keputusan seminar tersebut adalah untuk meningkatkan dan mengawasi kegiatan
dakwah. Dari itu perlu didirikan satu organisasi yang bertujuan untuk merealisasikan
tujuan tersebut. Keputusan inilah yang menjadi embrio lahirnya Pusat Dakwah Islam

8
Indonesia (PDII) pada 8 September 1969. Lembaga ini merupakan organisasi yang
dibentuk pemerintah yang beranggota para tokoh, baik berasal dari pemerintah,
organisasi-organisasi Islam, maupun para ilmuwan. Organisasi ini diharapkan dapat
menjadi wadah konsultasi dan perantara antarorganisasi yang ada di Indonesia. Pada 30
September hingga 4 Oktober 1970, PDII mengadakan Konferensi Ulama Tingkat
Nasional yang membahas permasalahan pendidikan, dekadensi moral, dan peran umat
dalam pembangunan. Konferensi ini juga membicarakan rancangan untuk membentuk
lembaga fatwa.

Namun, untuk membentuk lembaga ini, masih perlu dipertimbangkan kembali


walaupun sudah dilakukan pembahasan dan perdebatan yang panjang dengan
mempertimbangkan baik dan buruknya. Meskipun begitu, Muhammad Dahlan selaku
Menteri Agama dan Alamsyah selaku Ketua PDII telah berusaha meyakinkan para
peserta musyawarah, namun usulan itu tidak dapat dilaksanakan karena tidak ada
persetujuan bersama, usulan itu hanya sekadar disinggung untuk dijadikan sebagai salah
satu masalah yang perlu dicatat dan dikaji secara mendalam oleh PDII. Ketika Presiden
Soeharto menjadi Ketua Dewan Masjid Indonesia (DMI) pada 24 Mei 1975, beliau
kembali mengulang harapannya dan menekankan akan pentingnya didirikannya Majelis
Ulama. Presiden menyatakan bahwa Majelis Ulama sangat penting didirikan berdasarkan
dua alasan utama yaitu; Pertama, karena pemerintah ingin agar kaum Muslimin bersatu
padu, dan kedua, permasalahan yang dihadapi oleh bangsa ini (rakyat Indonesia) tidak
dapat diselesaikan tanpa keterlibatan para ulama. Menurut Hooker, pembentukan MUI
pada tahun 1975 M adalah atas dasar inisiatif pemerintah dengan motif untuk mengontrol
umat Islam agar tetap berada di bawah pemerintah. Sebagai tindak lanjut dari
kesepakatan bersama dan amanat Presiden tersebut, maka usaha-usaha untuk membentuk
dan mendirikan Majelis Ulama telah dimulai secara intensif. Di daerahdaerah yang
belum terbentuk Majelis Ulama, Menteri Dalam Negeri segera mengeluarkan arahan
untuk pendiriannya dan segera mengadakan persiapan-persiapan. Sehingga pada bulan
Mei 1975 terbentuk Majelis Ulama di setiap daerah tingkat I dan sebagian daerah tingkat
II. Sedangkan di tingkat pusat, dibentuk Panitia Persiapan Musyawarah Nasional I
Majelis Ulama seluruh Indonesia yang diketuai oleh H. Kafrawi.

Setelah Panitia memutuskan tentang materi, tema dan kegiatankegiatan yang


akan dilakukan serta sudah berkonsultasi dengan pelbagai pihak hingga mendapat izin

9
Presiden, maka Menteri Agama dengan Surat Keputusan nomor 28 tanggal 1 Juli 1975
telah membentuk Panitia Musyawarah Nasional I Majelis Ulama seluruh Indonesia yang
diketuai oleh Letjen Purnawirawan H. Soedirman dan Tim Penasihat yang terdiri dari
Prof. Dr. Hamka, KH. Abdullah Syafe‟i dan KH. Syukri Ghozali. Tujuan utama
musyawarah ini adalah untuk membentuk Majelis Ulama Tingkat Pusat sebagai tindak
lanjut dari pembentukan Majelis Ulama di daerah-daerah. Selain itu, juga bertujuan
untuk memperkokoh ketahanan nasional dan meningkatkan kerukunan di antara umat
beragama untuk menyukseskan tujuan pembangunan nasional.20 Sesuai rancangan
tersebut, sebuah musyawarah berlangsung dari 21 hingga 27 Juli 1975. Musyawarah ini
dihadiri para peserta yang terdiri dari utusan-utusan daerah tingkat provinsi yang mana
setiap daerah mengutus 4 (empat) orang, dan dari unsur-unsur organisasi Islam tingkat
pusat yang mana setiap organisasi mengutus satu orang.

Selain itu, musyawarah ini juga turut disertai oleh dinasdinas Rohani Islam ABRI
yang terdiri dari empat orang dan undangan perorangan dari kalangan tokoh ulama yang
berasal dari pusat dan daerah. Pada akhir musyawarah ini, ditandatangani satu piagam
yang dapat mendirikan Majelis Ulama Indonesia dengan dipimpin oleh 53 orang peserta.
Selain itu, dalam musyawarah ini juga telah dilantik pengurus Majelis Ulama Indonesia
untuk memegang jabatan itu dari tahun 1975-1980 di mana ketua umum pertama Majelis
Ulama Indonesia adalah Prof. Dr. Hamka.5

C. Peran Dan Fungsi Majelis Ulama Indonesia


Dalam sebuah lembaga pastilah memiliki kewenangan, dalam hal ini MUI
memiliki kewenangan dan wilayah, yaitu:6
1) MUI berwenang menetapkan fatwa mengenai masalah-
masalah keagamaan secara umum, terutama masalah hukum (fiqh)
dan masalah aqidah yang menyangkut kebenaran dan kemurnian
keimanan umat Islam Indonesia.
2) MUI berwenang menetapkan fatwa mengenai masalah-
masalah keagamaan seperti tersebut pada nomor 1 yang
menyangkut umat Islam Indonesia secara nasional atau masalah-

5
M. Cholil Nafis, Teori Hukum Ekonomi Syariah, Universitas Indonesia, Jakarta, 2011, hlm. 70-77.
6
Ma‟ruf Amin, dkk, Himpunan Fatwa Majelis Ulama Indonesia Sejak 1975, Erlangga, Jakarta, 2011, hlm.
7-8

10
masalah keagamaan di suatu daerah yang dapat meluas ke daerah
lain.
3) Terdapat masalah yang telah ada Fatwa MUI, Majelis Ulama Indonesia
Daerah hanya berhak melaksanakannya.
4) Jika karena faktor-faktor tertentu fatwa MUI sebagaimana dimaksud
nomor 3 tidak dapat dilaksanakan, MUI Daerah boleh menetapkan fatwa yang
berbeda setelah berkonsultasi dengan MUI Pusat.
5) Hal belum ada Fatwa MUI, MUI Daerah berwenang menetapkan fatwa.
6) Khusus mengenai masalah-masalah yang sangat Musykil dan Sensitif
sebelum menetapkan fatwa, MUI Daerah diharapakan terlebih dahulu
melakukan konsultasi dengan MUI Pusat.

Ulama Indonesia menyadari peran dan fungsinya sebagai pemimpin umat harus lebih
ditingkatkan, sehingga mampu mengarahkan dan mengawal umat Islam dalam menanamkan
aqidah Islamiyah, membimbing umat dalam menjalan ibadah, menuntun umat dalam
mengembangkan akhlakul karimah agar terwujud masyarakat yang berkualitas (khairu
ummah). Berikut peran majelis ulama indonesia (MUI):

1) Sebagai ahli waris tugas para Nabi (waratsat al-anbiyaa)


Yaitu, menyebarkan ajaran Islam serta memperjuangkan terwujudnya suatu
kehidupan sehari-hari secara arif dan bijaksana berdasarkan Islam.
2) Sebagai pemberi fatwa (Mufti)
Majelis Ulama Indonesia berperan sebagai pemberi fatwa bagi umat
Islam, baik diminta atau tidak diminta. Sebagai lembaga pemberi fatwa,
Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengakomodasikan dan menyalurkan
aspirasi umat Islam Indonesia yang sangat beragam aliran paham dan
pemikiran serta organisasi keagamaannya.
3) Sebagai pembimbing dan pelayan umat (Ra’iy wa Khadim al ummah)
Yaitu, melayani umat dan bangsa dalam memenuhi harapan, aspirasi dan
tuntutan mereka. Dalam kaitan ini, Majelis Ulama Indonesia senantiasa
berikhtiar memenuhi permintaan umat, baik langsung maupun tidak
langsung, akan bimbingan dan fatwa keagamaan.
4) Sebagai penegak amar makruf dan nahi mungkar

11
Yaitu, dengan menegaskan kebenaran sebagai kebenaran dan kebatilan
sebagai kebatilan dengan penuh hikmah dan istiqamah.
5) Sebagai pelopor gerakan pembaruan (al-tajdid)
Yaitu, gerakan pembaruan pemikiran Islam melalui gerakan pemurnian
(tashfiyah) dan dinamisasi (tathwir).
6) Sebagai pelopor gerakan perbaikan umat (ishlah al-ummah)
Yaitu, sebagai pendamai terhadap perbedaan pendapat dan gerakan yang
terjadi dikalangan umat.
7) Sebagai pengemban kepemimpinan umat (qiyadah al-ummah)
Yaitu, MUI sebagai elemen bangsa Indonesia ikut bertanggung jawab atas
maju mundurnya kehidupan bangsa (syirkat al-mas’uliyyah) terutama
dalam hal: terciptanya kerukunan intern dan antar umat beragama, perbaikan
akhlaq bangsa, pemberdayaan umat Islam dalam semua segi kehidupan.

Di samping fungsinya tersebut, MUI merupakan pengawas dan melakukan kontrol


terhadap pera1 turan dan undang1undang yang dibuat oleh pihak pemerintah. Fatwa yang
diberikan oleh MUI pada masyarakat Indonesia sedikit1banyak telah mendorong sebagian
dari mereka, sekalipun yang bukan dari golongan peminta fatwa untuk melaksanakannya.
Menurut Muzakki dalam artikelnya, bahwa fatwa MUI bisa bergerak men1 jadi sebuah
instruksi terhadap sebagian kalangan masyarakat.

Jika ditinjau secara kelembagaan negara, maka MUI berada pada ranah
kawasan infra struktur politik. Infra Struktur Politik sendiri adalah segolongan
lembaga yang ada didalam masyarakat. Berada di tengah masyarakat dan
merupakan denyut jantung kehidupan sosio- kultural masyarakat. infra strukutr lebih
berada di ruang-ruang pemberdayaan masyarakat, sehingga action nya hanya dapat
dilihat dengan cara mendalami masyarakat. Sebab MUI adalah organisasi alim ulama
umat Islam yang mempunyai tugas dan fungsi untuk pemberdayaan
masyarakat/umat Islam, artinya MUI adalah organisasi yang ada dalam
masyarakat, dan bukan merupakan institusi milik negara atau merepresentasikan
negara7.

7
Majelis Ulama Indonesia Dalam Ketatanegaraan Indonesia , Uin Surabaya.

12
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Di Indonesia, pelaksanaan hukum Islam diwakili oleh beberapa institusi atau
lembaga-lembaga fatwa. MUI lebih dikenal oleh masyarakat sebagai lembaga yang
berusaha menyelesaikan banyak permasalahan agama dengan mengeluarkan fatwa.
Di samping itu, ormas-ormas Islam seperti Muhammadiyah, NU, Persis, dan yang
lainnya memiliki institusi yang bertugas untuk mendalami dan merekomendasi-kan
pendapat (bahkan sikap) organisasi terhadap persoalan (hukum) yang terjadi di
masyarakat. Bahkan ada lembaga fatwa yang dibentuk oleh Kementerian
Kesehatan Republik Indonesia yang dikenal dengan Majelis Pertimbangan
Kesehatan dan Sara (MPKS).

Sejarah berdirinya MUI yaitu pada tanggal 7 Rajab 1395 H, bertepatan


dengan tanggal 26 Juli 1975 M di Jakarta Majelis Ulama Indonesia (MUI) telah
berdiri, sebagai hasil dari pertemuan atau musyawarah para ulama dan cendekiawan
yang datang dari berbagai penjuru tanah air. Majelis Ulama Indonesia (MUI)
merupakan tempat atau majelis yang menghimpun para ulama dan cendekiawan
muslim Indonesia untuk menyatukan gerak dan langkah-langkah umat Islam
Indonesia dalam mewujutkan cita-cita bersama.

MUI memiliki kewenangan dan wilayah, yaitu:


1. MUI berwenang menetapkan fatwa mengenai
masalah-masalah keagamaan secara umum, terutama
masalah hukum (fiqh) dan masalah aqidah yang
menyangkut kebenaran dan kemurnian keimanan umat
Islam Indonesia.
2. MUI berwenang menetapkan fatwa mengenai
masalah-masalah keagamaan seperti tersebut pada nomor 1
yang menyangkut umat Islam Indonesia secara nasional
atau masalah-masalah keagamaan di suatu daerah yang
dapat meluas ke daerah lain.
3. Terdapat masalah yang telah ada Fatwa MUI, Majelis
Ulama Indonesia Daerah hanya berhak melaksanakannya.

13
4. Jika karena faktor-faktor tertentu fatwa MUI
sebagaimana dimaksud nomor 3 tidak dapat dilaksanakan,
MUI Daerah boleh menetapkan fatwa yang berbeda setelah
berkonsultasi dengan MUI Pusat.
5. Hal belum ada Fatwa MUI, MUI Daerah berwenang
menetapkan fatwa.
6. Khusus mengenai masalah-masalah yang sangat Musykil
dan Sensitif sebelum menetapkan fatwa, MUI Daerah
diharapakan terlebih dahulu melakukan konsultasi dengan
MUI Pusat.

Berikut peran majelis ulama indonesia (MUI):

1. Sebagai ahli waris tugas para Nabi (waratsat al-anbiyaa).


2. Sebagai pemberi fatwa (Mufti).
3. Sebagai pembimbing dan pelayan umat (Ra’iy wa Khadim al ummah).
4. Sebagai penegak amar makruf dan nahi mungkar.
5. Sebagai pelopor gerakan pembaruan (al-tajdid).
6. Sebagai pelopor gerakan perbaikan umat (ishlah al-ummah).
7. Sebagai pengemban kepemimpinan umat (qiyadah al-ummah)
Saran
Mengingat ketidaksempurnaan dan kekurangan yang masih banyaknya kami
miliki, baik dalam penulisan ataupun bahasa yang yang terdapat dalam penyusunan
makalah ini. Kami selaku tim penyusun mohon maaf sebesar besarnya dan juga
mengharapkan saran dan kritikan dari Bapak pembimbing mata kuliah Fatwa Bisnis
Syariah dan teman-teman sekalian, dimana saran kalian sangatlah berharga bagi
kami dalam rangka untuk perbaikan tugas-tugas yang akan datang. Semoga makalah
ini dapat bermanfaat bagi kami ataupun teman teman semua untuk menambah
wawasan kita tentang akad-akad yang digunakan dalam perbankan syariah.

14
DAFTAR PUSTAKA
Departemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia, Kamus Besar Bahasa
Indonesia,(Jakarta: Balai Pustaka, 2003).
Jaih Mubarok, Metodologi Ijtihad Hukum Islam (Cet. 1; Yogyakarta: UII Press,
2002).
Muhammad Ichsan, Lembaga Fatwa Hukum Islam Indonesia, (Bandung:
Remaja Rosdakarya, 2000).
Muhammad Ichsan, Lembaga Fatwa Hukum Islam Indonesia, (Bandung:
Remaja Rosdakarya, 2000).
M. Cholil Nafis, Teori Hukum Ekonomi Syariah, Universitas Indonesia, Jakarta,
2011.
Ma‟ruf Amin, dkk, Himpunan Fatwa Majelis Ulama Indonesia Sejak 1975,
Erlangga, Jakarta, 2011.
Majelis Ulama Indonesia Dalam Ketatanegaraan Indonesia , Uin Surabaya.

15

Anda mungkin juga menyukai