Disusun oleh:
Muhlis Setiawan
NIM. 1904110023
Yusuf Kurniawan
NIM. 1904110045
Tegar Rusito
NIM. 1904110026
1
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT, karena atas limpahan rahmat dan
hidayahnya penulis dapat menyelesaikan penyusunan makalah yang berjudul “Mengenal
Lembaga Fatwa di Indonesia” dalam bentuk maupun isinya yang sederhana.
Pada kesempatan kali ini penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak Zulkifli,
S,E,I., M ,Sy dosen pembimbing mata kuliah “Fatwa Bisnis Syariah” dan semua yang
membantu dalam menyusun makalah ini.
Penulis menyadari bahwa makalah ini masih terdapat banyak kekurangan karena
pengalaman yang penulis miliki sangat kurang.Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik
dan saran dari pembaca dan pendengar untuk memberi masukan ataupun saran yang bersifat
membangun untuk penyusunan makalah ini.
Terlepas dari kekurangan-kekurangan, semoga dengan adanya makalah ini dapat
bermanfaat bagi teman-teman pembaca dan menjadikan amal shaleh bagi penulis Amin Yaa
Robbal Alamin.
Wassalamualaikum Wr. Wb
Penulis
2
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ........................................................................................................ i
DAFTAR ISI...................................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang .........................................................................................................1
B. Rumusan Masalah ....................................................................................................2
C. Tujuan Penulisan ......................................................................................................2
BAB II PEMBAHASAN
A. Definisi Manajemen Pembiayaan ............................................................................3
B. Kriteria Pelaksana Pembiayaan di Bank Syariah .....................................................6
C. Petugas-petugas Pembiayaan Pada Bank Syariah..................................................10
DAFTAR PUSTAKA
i
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
keduniaan bermunculan dengan pesat. Maka dengan demikian perlu adanya suatu
pemikiran yang sistematis komprehensif dan integral, agar ajaran Islam mampu
dalam kehidupan ini kadang-kadang tidak ditemui jawabannya secara harfiah, baik
Maka, tidak bisa dipungkiri lagi bahwa pernyataan tentang fatwa keagamaan,
baik fatwa yang bersifat lisan maupun tulisan memberikan arahan dan jawaban yang
timbul. Namun, inti dari sasarannya adalah agar umat Islam mampu menciptakan
pola pikir yang sistematis dalam mengkaji ajaran Islam secara utuh dan murni.
Sehingga tercipta suatu pola pikir dan hasil ijtihad para ahli/ulama untuk menemukan
Berbicara mengenai fatwa, yang mana sasaran akhir dari fatwa keagamaan ini
adalah tidak lain agar masyarakat muslim mengetahui secara persis duduk persoalan
Majelis Ulama Indonesia (MUI) sejak didirikan hingga kini telah banyak
oleh beragamnya permasalahan yang muncul dan pertanyaan dari masyarakat. Dari
hasil kajian yang dilakukan, dapat dikatakan bahwa MUI dalam menyelesaikan
1
permasalahan-permasalahan yang muncul telah melakukan kegiatan ijtihad, yang
diantaranya ialah ijtihad tarjihi atau intiqa‟i dan ijtihad insya‟i atau ijtihad ibtida‟i.
mengikat, melainkan hanya bersifat nasehat bagi para mustafi secara khusus dan bagi
masysarakat muslim Indonesia secara umum. Dan tidak jarang fatwa-fatwa yang
dikeluarkan oleh MUI tersebut membuat resah negara Indonesia sebagai negara
hukum, seperti fatwa haramnya prularism, liberalism dan sekularism. Atas fakta
tersebut, maka MUI mendapat respon positif dan negatif. Namun terlepas dari kedua
B. Rumusan Masalah
1. Apa definisi Lembaga-Lembaga Pembuat Fatwa Di Indonesia?
2. Bagaimana Sejarah Majelis Ulama Indonesia (MUI)?
3. Apa Saja Peran Dan Fungsi Majelis Ulama Indonesia?
C. Tujuan Penulisan
1. Mendeskripsikan apa definisi Lembaga-Lembaga Pembuat Fatwa Di
Indonesia.
2. Mendeskripsikan bagaimana Sejarah Majelis Ulama Indonesia (MUI).
3. Menjelaskan Apa Saja Peran Dan Fungsi Majelis Ulama Indonesia.
D. Metode Penulisan
Dalam penyusunan makalah ini, penulis menggunakan metode library
research, penulisan karya ilmiah yang dilakukan dengan perpustakaan sebagai sumber
data. Dengan demikian, penulis mengumpulkan informasi dari berbagai sumber buku.
2
BAB II
PEMBAHASAN
1
Departemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia, Kamus Besar Bahasa Indonesia,(Jakarta: Balai
Pustaka, 2003), hlm. 321.
3
“pendapat”. Adapun yang dimaksud adalah sebuah keputusan atau nasehat resmi
yang diambil oleh sebuah lembaga atau perorangan yang diakui otoritasnya,
disampaikan oleh seorang mufti atau ulama, sebagai tanggapan atau jawaban
terhadap pertanyaan yang diajukan oleh peminta fatwa (mustafti) yang tidak
mempunyai keterikatan.
Adapun lembaga fatwa yang dimaksudkan disini adalah lembaga
membidangi terbitnya fatwa-fatwa yang berhubungan dengan hukum Islam untuk
dilaksanakan secara keseluruhan, dan dapat dijadikan sebagai pedoman dalam
pelaksanaan ibadah bagi umat Islam serta sebagai pegangan bagi pemerintah dalam
menjalankan roda pemerintahan.
Di Indonesia, pelaksanaan hukum Islam diwakili oleh beberapa institusi atau
lembaga-lembaga fatwa. MUI lebih dikenal oleh masyarakat sebagai lembaga yang
berusaha menyelesaikan banyak permasalahan agama dengan mengeluarkan fatwa.
Di samping itu, ormas-ormas Islam seperti Muhammadiyah, NU, Persis, dan yang
lainnya memiliki institusi yang bertugas untuk mendalami dan merekomendasi-kan
pendapat (bahkan sikap) organisasi terhadap persoalan (hukum) yang terjadi di
2
masyarakat. Bahkan ada lembaga fatwa yang dibentuk oleh Kementerian
Kesehatan Republik Indonesia yang dikenal dengan Majelis Pertimbangan
Kesehatan dan Sara (MPKS).
1) MUI( MAJELIS ULAMA INDONESIA)
2
Jaih Mubarok, Metodologi Ijtihad Hukum Islam (Cet. 1; Yogyakarta: UII Press, 2002), hlm. 169.
3
Muhammad Ichsan, Lembaga Fatwa Hukum Islam Indonesia, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2000),
hlm. 55.
4
permasalahan di Indone1sia, dinilai sebagi salah satu tindakan yang positif. Upaya
pemberian fatwa1fatwa yang selama ini telah dilakukan tentunya memberikan
dampak bagi keberlangsungan jalannya negara Indonesia dengan berbagai komponen
di dalamnya baik politik maupun tatanan sosial yang ada.
2) MajelisTarjih Muhammadiyah
Muhammadiyah adalah organisasi social keagamaan yang memiliki misi
utama pembaharuan atau tajdid terhadap pemahaman agama. Pembaharuan
dalam muhammadiyah meliputi dua segi jika dilihat dari sasarannya yaitu
pembaharuan dalam arti mengembalikan kepada kemurniannya dengan
sasaran soal-soal prinsip perjuangan yang bersifat tetap dan pembaharuan
dalam arti modernisasi dengan sasaran mengenai masalah metode, system,
tektik, setrategi, taktik perjuangan dan lain-lain.
Dalam majlis tarjih, manhaj pengembangan pemikiran Islam
dikembangkan atas dasar prinsip-prinsip yang menjadi orientasi
utamayaitu: prinsip al-muru’ah (konservasi), prinsip al-tahdidsi (inovasi), dan
prinsip al- ibtikari (kreasi). Dalam pengambilan keputusan Majelis Tarjih
Pengembangan Pemikiran Islam (MTPPI) terhadap persoalan-persoalan yang
memerlukan perpestik oleh majlis ini dinahas dengan cara berupaya mencari
dalil yang relevan, menerapkan manhaj al istinbath lalu menarik natijah
hukumnya, hasil keputusan kemudian diajukan kepemimpinan
Muhammadiyah sesuai tingkatannya yang mempunyai otoritas untuk
mentanfidzkan atau tidak sesuai pertimbangan yang dimiliki, namun semua
yang telah ditanfidzkan masih tetap untuk diadkan tinjauan ulang.
3) Lajnah Bahsul Masail Nahdatul Ulama (NU)
NU sebagai jam‟iyah sekaligus gerakan diniyah islamiyah dan ijtima’iyah
serta menjadikan paham sunah wal jama’ah sebagai basis teologi dan
menganut salah satu dari mazhab. Metode istinbath hukum lajnah bahsul
masail dikalangan NU tidak diartikan dengan mengambil hukum secara
langsung (al-qur‟an dan sunah), namun diartikan sesuai dengan sikap dasar
bermazhab terutama mazhab Syafi‟i menempati posisi yang dominan. Metode
pengambilan keputusan hukum dirumuskan pada munas Bandar lampung
pada tahun 1992 dengan susunan metodologisnya yaitu: kasus yang
jawabannya ditemukan satu qaul (pendapat), maka qaul itu yang diambil,
kasus yang hukumnya ada dua pendapat maka dilakukan taqrir jama’i dalam
5
memilih salah satunya, namun jika tidak ditemukan pendapat sama sekali
dipakai ilhaq al-masail bin nadhariha secara jam’i oleh ahlinya, dan jika
masalah yang dikemukakan jawabannya dalam ibarat kitab dan tidak bisa
dilakukan ilhaq maka dilakukan istinbath jam’i.4
Sistem kemasyarakatan dan kenegaraan di Indonesia tidak dapat lepas dari peran
ulama, baik pada zaman sebelum kemerdekaan, semasa perjuangan kemerdekaan
ataupun saat mengisi kemerdekaan. Ulama memainkan peran penting sebagai pemimpin
dan pembimbing masyarakat dalam menanamkan nilai ajaran Islam sebagai pegangan
hidup. Dalam hikayat raja-raja Pasai disebutkan bahwa Merah Silu, Raja Pasai pertama,
memperoleh legitimasi sebagai Sultan dengan gelar Malik al-S~lih (1637-1641 M)
melalui legitimasi ulama yang mengukuhkan institusi diraja yang menjadi penguasa
secara sah di sebuah kerajaan. Dalam perkembangan setelah itu, peran ulama masih
memainkan peran yang penting dalam sistem pengaturan negara. Hal ini sebagaimana
berlaku pada abad ke-17 Masehi di mana Raja Aceh telah melantik para ulama menjadi
ketua yang bertanggung jawab dalam bagian keagamaan kerajaan. Para ulama dilantik
sebagai Qadi Malik al-„Adli (Kadi yang memiliki keadilan) dalam kerajaan tersebut.
4
Muhammad Ichsan, Lembaga Fatwa Hukum Islam Indonesia, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2000),
hlm. 55.
6
dipimpin oleh Qadi Malik al-„Adli tersebut. Di Ternate raja disebut Kolana, akan tetapi
setelah Islam berkembang di sana gelar sultan dipakai untuk raja. Dalam urusan
pemerintahan, raja atau sultan dibantu sebuah badan penasihat atau lembaga adat yang
kadang kala mempunyai kekuasaan penuh dalam membuat keputusan. Pada umumnya,
badan ini dianggotai sekelompok ulama yang bukan saja menjadi penasihat dalam badan
keadilan, tetapi juga berperan dalam memberi nasihat kepada raja apabila raja atau sultan
tidak mengikuti peraturan yang digariskan. Dalam sebuah wilayah yang sekarang
bernama Nusa Tenggara, Raja Bima menganut Islam sejak abad ke-17 Masehi. Ruma Te
Bata Wadu (Raja Bima XXVII) memeluk Islam (1640 M) setelah menjadi menantu
kerajaan Gowa. Raja Bima turut menyebarkan agama Islam di kalangan para ntjuki
(kepala kelompok) dan rakyat Bima. Oleh sebab itu, Raja Bima menjadi Sultan Bima
pertama dengan memakai gelar Sultan Katlir.
Pada zaman penjajahan di Indonesia, para ulama memiliki peran sangat besar
dalam membantah keputusan kerajaan yang dianggap tidak adil dan menindas rakyat.
Bahkan para ulama juga berjuang untuk mencapai kemerdekaan karena mereka ingin
menegakkan syariat Islam untuk melawan kebudayaan asing (kafir) yang kian
berkembang di mana-mana. Islam secara utuh mampu tampil dalam melawan
kolonialisme Belanda. Dalam masyarakat Islam Indonesia ada semangat kerja sama atau
perpaduan yang erat. Selain itu, terdapat juga roh Islam yang dapat menjadi dasar
semangat perjuangan mereka. Islam memainkan peran sangat penting dalam menentang
kolonialisme Belanda dan menuntut kemerdekaan negara. Islam menanamkan semangat
jihad fi sabilillah yang telah tertanam di dalam hati dan jiwa rakyat. Semangat jihad fi
sabilillah inilah spirit rakyat yang kuat untuk terus berjuang melawan penjajah. Oleh
karena itu, para ulama telah membentuk barisan tentara yang terkenal dengan sebutan
“Tentara Allah (Hizbullah) dan “Jalan Allah”. Keadaan ini terjadi saat itu karena adanya
semboyan hubbu al-watan min al-iman (cinta tanah air adalah bagian daripada iman).
Ajaran ini merupakan semangat patriotisme bangsa Indonesia yang berasaskan agama.
Pada abad ke-20, kesadaran bahwa Islam sama dengan “bangsa” telah tumbuh semakin
luas di pelbagai tempat di Kepulauan Indonesia. Islam merupakan simbol identitas diri,
terutama ketika berhadapan dengan kekuatan dan kebudayaan asing yang berlainan.
7
Indonesia (Permusi) yang berorientasi kepada perjuangan kemerdekaan secara politik.
Dan kedua, Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama (NU), al-Washliyah, dan Persatuan
Tarbiyah Islamiyah (Perti) yang berorientasi pada pembinaan sosial umat. Perbedaan
tujuan dalam kedua kelompok organisasi Islam ini menyebabkan terjadinya perdebatan
di antara kedua kelompok itu tidak dapat terhindarkan. Peristiwa menentang Rancangan
Undang-Undang (RUU) Perkawinan yang dianggap sekuler dilakukan dengan beramai-
ramai. Namun, dari sudut lain mempunyai dampak positif terhadap persatuan umat
Islam. Hal ini karena, sikap kerja sama dalam pelbagai kelompok terhadap Rancangan
Undang-Undang yang selama ini tidak sehaluan berubah menjadi bersatu padu.
Hubungan dua organisasi besar Islam, Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama, menjadi
lebih positif. Padahal pada masa sebelumnya kedua organisasi ini tidak dapat bersatu.
Akan tetapi setelah melihat adanya ancaman yang sangat berbahaya bagi
keberlangsungan Islam di Indonesia, maka kedua organisasi ini menyadari perlu
membangun suatu kebersamaan dalam satu wadah organisasi yang dinamakan Majelis
Islam A‟laa Indonesia (MIAI) yang berpusat di Surabaya tahun 1937. Setelah
kemunculan MIAI, kalangan tradisi dan kalangan pembaharu dapat bersama-sama
kembali berjuang dalam satu barisan yang utuh. Meskipun begitu, setelah kemerdekaan
Indonesia umat Islam khususnya para ulama yang sebelum ini diakui tidak memiliki
suatu wadah dan lembaga untuk saling bertukar pikiran dan bermusyawarah.
Namun para ulama sudah tersebar dan menduduki jabatan di pelbagai organisasi
keagamaan, baik yang bersifat politik ataupun bersifat sosial. Keadaan seperti ini jelas
tidak menguntungkan, baik bagi umat Islam maupun bagi pemerintah karena banyak
persoalan keagamaan yang muncul yang semestinya dapat diselesaikan oleh para ulama
dengan bahasa yang satu, tetapi gagal untuk dilaksanakan. Peran para ulama dalam
pelbagai organisasi mengakibatkan mereka sangat sibuk dan adanya perbedaan dalam
memutuskan pelbagai persoalan. Hal ini terjadi karena adanya kepentingan kelompok
atau golongan tertentu. Selain itu, pemerintah juga mengalami kesulitan untuk
menghubungi kaum ulama untuk konsultasi pelbagai masalah keagamaan. Menyadari
keadaan tersebut, pada bulan Juni 1969 diadakan seminar dakwah di Fakulti Ushuluddin
Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. Salah satu hasil
keputusan seminar tersebut adalah untuk meningkatkan dan mengawasi kegiatan
dakwah. Dari itu perlu didirikan satu organisasi yang bertujuan untuk merealisasikan
tujuan tersebut. Keputusan inilah yang menjadi embrio lahirnya Pusat Dakwah Islam
8
Indonesia (PDII) pada 8 September 1969. Lembaga ini merupakan organisasi yang
dibentuk pemerintah yang beranggota para tokoh, baik berasal dari pemerintah,
organisasi-organisasi Islam, maupun para ilmuwan. Organisasi ini diharapkan dapat
menjadi wadah konsultasi dan perantara antarorganisasi yang ada di Indonesia. Pada 30
September hingga 4 Oktober 1970, PDII mengadakan Konferensi Ulama Tingkat
Nasional yang membahas permasalahan pendidikan, dekadensi moral, dan peran umat
dalam pembangunan. Konferensi ini juga membicarakan rancangan untuk membentuk
lembaga fatwa.
9
Presiden, maka Menteri Agama dengan Surat Keputusan nomor 28 tanggal 1 Juli 1975
telah membentuk Panitia Musyawarah Nasional I Majelis Ulama seluruh Indonesia yang
diketuai oleh Letjen Purnawirawan H. Soedirman dan Tim Penasihat yang terdiri dari
Prof. Dr. Hamka, KH. Abdullah Syafe‟i dan KH. Syukri Ghozali. Tujuan utama
musyawarah ini adalah untuk membentuk Majelis Ulama Tingkat Pusat sebagai tindak
lanjut dari pembentukan Majelis Ulama di daerah-daerah. Selain itu, juga bertujuan
untuk memperkokoh ketahanan nasional dan meningkatkan kerukunan di antara umat
beragama untuk menyukseskan tujuan pembangunan nasional.20 Sesuai rancangan
tersebut, sebuah musyawarah berlangsung dari 21 hingga 27 Juli 1975. Musyawarah ini
dihadiri para peserta yang terdiri dari utusan-utusan daerah tingkat provinsi yang mana
setiap daerah mengutus 4 (empat) orang, dan dari unsur-unsur organisasi Islam tingkat
pusat yang mana setiap organisasi mengutus satu orang.
Selain itu, musyawarah ini juga turut disertai oleh dinasdinas Rohani Islam ABRI
yang terdiri dari empat orang dan undangan perorangan dari kalangan tokoh ulama yang
berasal dari pusat dan daerah. Pada akhir musyawarah ini, ditandatangani satu piagam
yang dapat mendirikan Majelis Ulama Indonesia dengan dipimpin oleh 53 orang peserta.
Selain itu, dalam musyawarah ini juga telah dilantik pengurus Majelis Ulama Indonesia
untuk memegang jabatan itu dari tahun 1975-1980 di mana ketua umum pertama Majelis
Ulama Indonesia adalah Prof. Dr. Hamka.5
5
M. Cholil Nafis, Teori Hukum Ekonomi Syariah, Universitas Indonesia, Jakarta, 2011, hlm. 70-77.
6
Ma‟ruf Amin, dkk, Himpunan Fatwa Majelis Ulama Indonesia Sejak 1975, Erlangga, Jakarta, 2011, hlm.
7-8
10
masalah keagamaan di suatu daerah yang dapat meluas ke daerah
lain.
3) Terdapat masalah yang telah ada Fatwa MUI, Majelis Ulama Indonesia
Daerah hanya berhak melaksanakannya.
4) Jika karena faktor-faktor tertentu fatwa MUI sebagaimana dimaksud
nomor 3 tidak dapat dilaksanakan, MUI Daerah boleh menetapkan fatwa yang
berbeda setelah berkonsultasi dengan MUI Pusat.
5) Hal belum ada Fatwa MUI, MUI Daerah berwenang menetapkan fatwa.
6) Khusus mengenai masalah-masalah yang sangat Musykil dan Sensitif
sebelum menetapkan fatwa, MUI Daerah diharapakan terlebih dahulu
melakukan konsultasi dengan MUI Pusat.
Ulama Indonesia menyadari peran dan fungsinya sebagai pemimpin umat harus lebih
ditingkatkan, sehingga mampu mengarahkan dan mengawal umat Islam dalam menanamkan
aqidah Islamiyah, membimbing umat dalam menjalan ibadah, menuntun umat dalam
mengembangkan akhlakul karimah agar terwujud masyarakat yang berkualitas (khairu
ummah). Berikut peran majelis ulama indonesia (MUI):
11
Yaitu, dengan menegaskan kebenaran sebagai kebenaran dan kebatilan
sebagai kebatilan dengan penuh hikmah dan istiqamah.
5) Sebagai pelopor gerakan pembaruan (al-tajdid)
Yaitu, gerakan pembaruan pemikiran Islam melalui gerakan pemurnian
(tashfiyah) dan dinamisasi (tathwir).
6) Sebagai pelopor gerakan perbaikan umat (ishlah al-ummah)
Yaitu, sebagai pendamai terhadap perbedaan pendapat dan gerakan yang
terjadi dikalangan umat.
7) Sebagai pengemban kepemimpinan umat (qiyadah al-ummah)
Yaitu, MUI sebagai elemen bangsa Indonesia ikut bertanggung jawab atas
maju mundurnya kehidupan bangsa (syirkat al-mas’uliyyah) terutama
dalam hal: terciptanya kerukunan intern dan antar umat beragama, perbaikan
akhlaq bangsa, pemberdayaan umat Islam dalam semua segi kehidupan.
Jika ditinjau secara kelembagaan negara, maka MUI berada pada ranah
kawasan infra struktur politik. Infra Struktur Politik sendiri adalah segolongan
lembaga yang ada didalam masyarakat. Berada di tengah masyarakat dan
merupakan denyut jantung kehidupan sosio- kultural masyarakat. infra strukutr lebih
berada di ruang-ruang pemberdayaan masyarakat, sehingga action nya hanya dapat
dilihat dengan cara mendalami masyarakat. Sebab MUI adalah organisasi alim ulama
umat Islam yang mempunyai tugas dan fungsi untuk pemberdayaan
masyarakat/umat Islam, artinya MUI adalah organisasi yang ada dalam
masyarakat, dan bukan merupakan institusi milik negara atau merepresentasikan
negara7.
7
Majelis Ulama Indonesia Dalam Ketatanegaraan Indonesia , Uin Surabaya.
12
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Di Indonesia, pelaksanaan hukum Islam diwakili oleh beberapa institusi atau
lembaga-lembaga fatwa. MUI lebih dikenal oleh masyarakat sebagai lembaga yang
berusaha menyelesaikan banyak permasalahan agama dengan mengeluarkan fatwa.
Di samping itu, ormas-ormas Islam seperti Muhammadiyah, NU, Persis, dan yang
lainnya memiliki institusi yang bertugas untuk mendalami dan merekomendasi-kan
pendapat (bahkan sikap) organisasi terhadap persoalan (hukum) yang terjadi di
masyarakat. Bahkan ada lembaga fatwa yang dibentuk oleh Kementerian
Kesehatan Republik Indonesia yang dikenal dengan Majelis Pertimbangan
Kesehatan dan Sara (MPKS).
13
4. Jika karena faktor-faktor tertentu fatwa MUI
sebagaimana dimaksud nomor 3 tidak dapat dilaksanakan,
MUI Daerah boleh menetapkan fatwa yang berbeda setelah
berkonsultasi dengan MUI Pusat.
5. Hal belum ada Fatwa MUI, MUI Daerah berwenang
menetapkan fatwa.
6. Khusus mengenai masalah-masalah yang sangat Musykil
dan Sensitif sebelum menetapkan fatwa, MUI Daerah
diharapakan terlebih dahulu melakukan konsultasi dengan
MUI Pusat.
14
DAFTAR PUSTAKA
Departemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia, Kamus Besar Bahasa
Indonesia,(Jakarta: Balai Pustaka, 2003).
Jaih Mubarok, Metodologi Ijtihad Hukum Islam (Cet. 1; Yogyakarta: UII Press,
2002).
Muhammad Ichsan, Lembaga Fatwa Hukum Islam Indonesia, (Bandung:
Remaja Rosdakarya, 2000).
Muhammad Ichsan, Lembaga Fatwa Hukum Islam Indonesia, (Bandung:
Remaja Rosdakarya, 2000).
M. Cholil Nafis, Teori Hukum Ekonomi Syariah, Universitas Indonesia, Jakarta,
2011.
Ma‟ruf Amin, dkk, Himpunan Fatwa Majelis Ulama Indonesia Sejak 1975,
Erlangga, Jakarta, 2011.
Majelis Ulama Indonesia Dalam Ketatanegaraan Indonesia , Uin Surabaya.
15