Anda di halaman 1dari 20

MAKALAH

LEMBAGA FATWA HUKUM ISLAM DI INDONESIA


Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas perkuliahan
Mata Kuliah Fikih dan Usul Fikih
Dosen Pengampu: Hj. Fatma Amilia, S.Ag., M.Si.

Disusun Oleh:
1. Alvi Kartika Damayanti (19106010019)
2. Ibnu Fadilah (19106010020)
3. Fatichatu Zahro (19106010022)
4. Anisa Nurwahida (19106010023)
5. Yuni Pratiwi (19106010024)
6. Alma Pratiwi Fatikasari (19106010025)
7. Alya Adianta (19106010026)
8. Melati Puspa Ambarwati (19106010027)

PROGRAM STUDI MATEMATIKA


FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA
YOGYAKARTA
2020
KATA PENGANTAR

Puji syukur kita panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa sehingga kami dapat
menyelesaikan tugas makalah yang berjudul “Lembaga Fatwa Hukum Islam di Indonesia” ini
tepat pada waktunya.
Makalah ini kami buat dengan tujuan untuk memenuhi tugas yang diberikan oleh Ibu
Hj. Fatma Amilia, S.Ag., M.Si. pada mata kuliah Fikih dan Usul Fikih.
Kami mengucapkan banyak terima kasih kepada Ibu Hj. Fatma Amilia, S.Ag., M.Si.
selaku dosen mata kuliah Fikih dan Usul Fikih yang telah memberikan kami tugas sehingga
kami mendapatkan pengetahuan yang lebih pada mata kuliah ini.
Kami sadar, bahwa makalah ini jauh dari kata sempurna. Maka dari itu, kami meminta
kritik dan saran yang membangun agar kami dapat menyempurnakan makalah ini.

Yogyakarta, April 2020

Penyusun
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL...................................................................................................................i
KATA PENGANTAR...............................................................................................................ii
DAFTAR ISI.............................................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN..........................................................................................................1
A. Latar Belakang................................................................................................................1
B. Rumusan Masalah...........................................................................................................1
C. Tujuan.............................................................................................................................1
BAB II PEMBAHASAN...........................................................................................................2
A. Pengertian Lembaga Fatwa Hukum Islam......................................................................2
B. Kedudukan Fatwa............................................................................................................3
C. Fungsi Fatwa...................................................................................................................4
D. Sejarah Perkembangan Lembaga Fatwa Hukum Islam..................................................5
E. Lembaga Fatwa Hukum Islam Di Indonesia...................................................................8
BAB III PENUTUP..................................................................................................................15
A. Kesimpulan...................................................................................................................15
B. Saran..............................................................................................................................16
DAFTAR PUSTAKA..............................................................................................................17
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Fatwa keagamaan sebagai hasil pemikiran para ahli agama Islam tentu
memberikan pemahaman tentang ajaran-ajaran Al-Qur’an dan Al-Hadits, sehingga
umat Islam akan mengetahui secara persis dan terperinci mengenai ajaran-ajaran atau
syariat Islam dan keistimewaan yang ada didalamnya.
Syariat Islam sebagai hukum mempunyai dua fungsi dalam kehidupan ummat
manusia. Pertama adalah sebagai hukum negara melalui praktik peradilan. Kedua
adalah sebagai ketentuan halal-haram yang tercermin dalam lima kaidah hukum Islam
yang meliputi wajib, sunnah, haram, makruh dan mubah yang
berbentuk ifta’ atau fatwa untuk pedoman masyarakat umum.
Segi pertama syariat Islam sudah mendapat tempat secara terbatas dalam
kewenangan Peradilan Agama/Mahkamah Syariyah di Indonesia sampai ke tingkat
banding di Pengadilan Tinggi Agama/Mahkamah Syariyah Propinsi, dan tingkat
kasasi di Mahkamah Agung. Sementara itu segi kedua menyangkut kewenangan fatwa
belum mendapat tempat yang semestinya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara
kita.

B. Rumusan Masalah

1. Apa yang dimaksud dengan lembaga fatwa hukum islam?


2. Bagaimana sejarah lembaga fatwa hukum islam?
3. Bagaimana kedudukan lembaga fatwa hukum islam?
4. Apa saja lembaga fatwa hukum islam yang ada di Indonesia?

C. Tujuan

1. Mengetahui dan memahami lembaga fatwa hukum islam.


2. Mengetahui dan memahami sejarah dari lembaga fatwa hukum islam.
3. Mengetahui dan memahami kedudukan lembaga fatwa hukum islam.
4. Mengetahui lembaga-lembaga fatwa hukum islam yang ada di Indonesia.
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Lembaga Fatwa Hukum Islam

Lembaga Fatwa Hukum Islam di Indonesia Fatwa berasal dari bahasa Arab (
‫)فتوى‬, yang artinya nasihat, petuah, jawaban atau pendapat. Adapun yang dimaksud
adalah sebuah keputusan atau nasihat resmi yang diambil oleh sebuah lembaga atau
perorangan yang diakui otoritasnya, disampaikan oleh seorang mufti atau ulama,
sebagai tanggapan atau jawaban terhadap pertanyaan yang diajukan oleh peminta
fatwa (mustafti) yang tidak mempunyai keterikatan. Dengan demikian peminta fatwa
tidak harus mengikuti isi atau hukum fatwa yang diberikan kepadanya.
Tindakan memberi fatwa disebut futya atau ifta, suatu istilah yang merujuk
pada profesi pemberi nasihat. Orang yang memberi fatwa disebut mufti atau ulama,
sedangkan yang meminta fatwa disebut mustafti. Peminta fatwa bisa perseorangan,
lembaga ataupun siapa saja yang membutuhkannya.
Hukum berfatwa adalah fardu kifayah, kalau ada orang lain yang bisa memberi
fatwa selain dirinya. Adapun kalau tidak ada orang lain yang bisa memberi fatwa dan
masalah yang difatwakan itu cukup mendesak maka ia pun secara fardu ‘ain wajib
memberi fatwa atas pristiwa itu.
Oleh karena fatwa itu menyangkut masalah agama maka tidak sembarang
orang bisa menduduki sebagai mufti syarat-syarat yang harus di miliki oleh seorang
mufti antara lain adalah:
a) Fatwanya harus didasarkan kepada kitab-kitab induk yang mutabar agar fatwa
yang diberikan itu dapat diterima oleh penerima fatwa.
b) Apabila ia berfatwa berdasrkan qoul seseorang alim, maka ia dapat menunjukan
dasar sumber pengambilan fatwanya itu, dengan demikian ia terhindar dari
berbuat salah dan bohong.
c) Seorang mufti harus mengerti atau mengetahui berbagai macam pendapat ulama
agar tidak terjadi kesalah fahaman antara ia dan penerima fatwanya.
d) Seorang mufti haruslah seorang alim yang memiliki kejujuran.[2]
B. Kedudukan Fatwa

Fatwa mempunyai kedudukan penting dalam agama Islam, sehingga


dipandang sebagai salah satu alternatif yang bisa memecahkan kebekuan dalam
perkembangan hukum Islam. Hukum Islam yang dalam penetapannya tidak bisa
terlepas dari dalil-dalil keagamaan, menghadapi persoalan serius ketika berhadapan
dengan permasalahan yang semakin berkembang. Oleh karena itu, tidak sembarang
orang bisa mengeluarkan fatwa. Pemberi fatwa harus memenuhi syarat antara lain
pemahaman yang mendalam tentang Al Qur'an dan As Sunnah, menguasai kaidah
bahasa Arab serta menguasai pelbagai masalah.
Keperluan terhadap fatwa sudah terasa sejak awal perkembangan Islam.
Dengan meningkatnya jumlah pemeluk Islam, maka setiap persoalan yang muncul
memerlukan jawaban. Untuk menjawab persoalan tersebut diperlukan bantuan dari
orang-orang yang kompeten di bidang tersebut. Dalam masalah agama, yang
berkompeten untuk itu adalah para mufti atau para mujtahid.
Pada mulanya praktik fatwa yang diberikan secara lepas dan belum ada upaya
untuk membukukan isi fatwa ulama-ulama tersebut. Fatwa pertama kali dikumpulkan
dan sebuh kitab pada abad ke-12 M. Mazhab Hanafi memiliki sejumlah kitab fatwa
sepertiaz-Zakhirat al-Burhaniyah, kumpulan fatwa Burhanuddin bin Maza (wafat 570
H/1174). Inilah kitab kumpulan fatwa pertama.
Mazhab Maliki memiliki kitab kumpulan fatwa bertajuk al-Mi'yar al-Magrib
yang berisi fatwa-fatwa al-Wasyarisi (wafat 914 H/1508 M). Mazhab Hanbali juga
memiliki sejumlah kitab fatwa, yang paling terkenal adalah Majmu al-Fatawa.
Di Indonesia juga ada sejumlah buku kumpulan fatwa, seperti Tanya Jawab
Agama dan Kata Berjawab yang diterbitkan Majelis Tarjih PP Muhammadiyah, selain
itu ada juga Himpunan Fatwa Majelis Ulama Indonesia, serta Solusi Problematika
Aktual Hukum Islam Keputusan Muktamar Munas dan Konbes Nahdlatul Ulama.
Berkaitan dengan kedudukan fatwa dalam kehidupan umat Islam, fatwa ini
juga menegaskan bahwa fatwa memang tidak mengikat secara hukum, akan tetapi, ia
bersifat mengikat secara agama, sehingga tidak ada peluang bagi seorang muslim
untuk menentangnya bila fatwa itu didasarkan kepada dalil-dalil yang jelas dan benar.
C. Fungsi Fatwa

Dari pembahasan di atas, fatwa bisa diartikan sebagai penjelasan hukum


syariat atas persoalan tertentu, sehingga kaidah pengambilan fatwa sehingga kaedah
pengambilan fatwa tidak ubahnya dengan kaedah menggali hukum-hukum syariat dari
dalil-dalil syariat (ijtihâd). Pasalnya, satusatunya cara untuk mengetahui hukum
syariat dari dalil-dalil syariat adalah dengan ijtihâd, dan tidak ada cara lain. Oleh
karena itu, seorang mufti (pemberi fatwa) tidak ubahnya dengan seorang mujtahid
yang mencurahkan segala kemampuannya untuk menemukan hukum dari sumber
hukum Islam, yakni al-Qur’an dan Hadist.
Secara fungsional, fatwa memiliki fungsi tabyîn dan tawjîh. Tabyîn artinya
menjelaskan hukum yang merupakan regulasi praksis bagi masyarakat, khususnya
masyarakat yang memang mengharapkan keberadaannya. Taujîh, yakni memberikan
guidance (petunjuk) serta pencerahan kepada masyarakat luas tentang permasalahan
agama yang bersifat kontemporer.
Fungsi tabyin dan tawjih fatwa terikat dalam fungsi keulamaan, sehingga
fatwa syar’iyah yang telah dikeluarkan sejak generasi sahabat, tabi’in, tabiut tabi’in
dan generasi sesudahnya hingga generasi ulama sekarang. Karakteristik fatwa klasik
lebih bersifat individual dan mandiri, kemudian dalam era mazhab fatwa-fatwa yang
dibuat berada dalam lingkup mazhab fiqh tertentu. Sedangkan fatwa kontemporer
sering bersifat lintas mazhab atau paduan (taufîq) antar mazhab-mazhab.
Fatwa mempunyai kedudukan penting dalam agama Islam. Fatwa atau
ketetapan ulama dipandang menjadi salah satu alternatif yang bisa memecahkan
kebekuan dalam perkembangan hukum Islam. Hukum Islam yang dalam
penetapannya tidak bisa terlepas dari dalil-dalil keagamaan (al-nuṣuṣ al-syari'iyah)
menghadapi persoalan serius ketika berhadapan dengan permasalahan yang semakin
berkembang yang tidak tercangkup dalam naṣ-naṣ keagamaan. Naṣ-naṣ keagamaan
telah berhenti secara kuantitasnya, akan tetapi diametral permasalahan dan kasus
semakin berkembang pesat seiring dengan perkembangan zaman. Dalam kondisi
seperti inilah fatwa menjadi salah satu alternatif jalan keluar mengurai permasalahan
dan peristiwa yang muncul.
Senada dengan itu, Caeiro menyatakan bahwa fatwa merupakan titik temu
antara teori hukum dengan praktek sosial.1 Selanjutnya ia menjabarkanbahwa secara
1
Alexandre Caeiro, The Shifting Moral Universes of the Islamic Tradition of Iftā‟: A Diachronic Study
of Four Adab al-Fatwā Manuals, (Leiden: The Muslim Word, Vol 96, Oktober 2006), h.661
sosial fatwa memiliki empat fungsi antara lain; fatwa sebagai instrumen hukum,
instrumen sosial, wacana politik, dan sebagai doktrin hukum. Dalam fungsinya
sebagai isntrumen hukum fatwa menjadi bagian dari proses peradilan, ketika
menyangkut persoalan yang diajukan oleh seorang hakim dan berdampak pada kasus-
kasus peradilan, dalam fungsinya sebagai instrument sosial fatwa memiliki kontribusi
dalam menjaga stabilitas sosial antara hukum dan masyarakat dengan syarat
organisasi formal dan informal memiliki hubungan yang selaras dalam pemerintahan,
fatwa sebagai berpengaruh secara politik dan doktrin, misalnya ketika ia digunakan
untuk memberikan status hukum kepada umat Islam yang heterodox sebagai murtad.

D. Sejarah Perkembangan Lembaga Fatwa Hukum Islam

Perkembangan Islam pada masa awal masuknya Islam ke Nusantara hingga


munculnya kerajaan-kerajaan Islam memiliki corak dan karakter kekhasan tersendiri
terkait dengan pelaksanaan hukum Islam maupun peran pemegang “otoritas” hukum
Islam. Demikian pula pada masa pra-kemerdekaan dan masa awal kemerdekaan,
peran ulama menjadi sangat strategis di mana mereka dinilai lebih menyentuh akar
rumput (grassroot), sehingga pendapat dan pandangan-pandangan mereka akan lebih
memiliki bobot di mata umat. Hal ini secara jelas terbukti bagaimana para ulama
begitu mudahnya menggelorakan perlawanan terhadap penjajah yang dinilai kafir dan
menjadi perjuangan fi sabilillah bagi yang memeranginya.
Konsep fatwa pada masa awal Islam berkembang dalam kerangka proses tanya
jawab tentang informasi keislaman. Subjeknya adalah ilmu tanpa spesifikasi lebih
lanjut, sehingga ketika ilmu dikaitkan dengan hadis, fatwa dikaitkan dengan ra’yu
(opini) dan fiqh (yurisprudensi atau hukum), maka hal tersebut menjadi sebuah
sumber hukum. Pemakaian teknis istilah ini meningkat ketika-setelah kompilasi
literatur hukum oleh berbagai mazhab- istilah fatwa dipakai untuk kasus-kasus yang
tidak terliput dalam kitab-kitab fikih.2
Perkembangan Fatwa di Indonesia dari Masa ke Masa Berdasarkan teori-teori
yang memberikan informasi mengenai awal kedatangan Islam di Indonesia dengan
pelbagai bukti sejarah menunjukkan bahwa Islam masuk ke Indonesia dengan damai
baik melalui perdagangan, perkawinan maupun upaya penyebaran (dakwah) sekitar

2
Sudarsono, Kamus Hukum (Jakarta: PT Rineka, 1990), hlm. 111.
abad ke VIII Masehi.3 Penyebaran Islam di Indonesia sendiri dapat dikatakan tidak
terlalu sulit. Hal tersebut disebabkan pelbagai alasan, selain metode penyebarannya
dianggap sesuai dengan masyarakat pada masa itu, faktor politis pada masa itu
(Kerjaaan Budha/Majapahit) tengah mengalami krisis dan instabilitas sehingga
momentum tersebut menjadikan Islam sebagai bagian alternatif solusi di tengah
masyarakat.
Kehadiran dan penyebaran Islam terus berkembang kemudian bertransformasi
menjadi sebuah komunitas yang terstruktur dalam bentuk kerajaan-kerajaan Islam. Di
sinilah peran ulama sebagai figur sentral, pemberi fatwa bahkan bukan saja dalam
perkara keagamaan namun dalam perkara kenegaraan, raja sebagai kepala
pemerintahan pada masa itu senantiasa berkonsultasi dan menanyakan terlebih dulu
kepada ulama dalam memutuskan suatu perkara. 4 Begitu urgennya peran fatwa
tersebut didukung dengan fakta sejarah bahwa Islam pada masa itu menempati agama
resmi kerajaan. Hal ini menunjukkan betapa strategisnya peran ulama dengan
fatwanya. Begitu mudahnya ulama menggelorakan perjuangan pada masa itu salah
satunya disebabkan begitu besarnya pengaruh ulama dalam pandangan masyarakat,
sehingga ketika fatwa kafir atas penjajah semakin menambah motivasi perjuangan. 5
Perkembangan selanjutnya adalah pada masa di mana stabilitas berbangsa dan
bernegara jauh lebih baik (masa orde baru), maka persoalan agama dipandang perlu
adanya legalisasi (taqnin) dalam bentuk peraturan perundang-undangan sehingga
memiliki kedudukan yang secara legal formal diakui dalam tata hukum nasional.
Dalam hal ini fatwa dengan seperangkat kriteria dan metode yang ada menjadikannya
sebagai salah satu sumber hukum materiil di dalam tata hukum di Indonesia.6 Kondisi
dan posisi yang demikian tersebut kemudian mempengaruhi perkembangan produk
hukum Islam (fatwa), di mana ia kemudian bertransformasi kepada orientasi institutif
dalam sebuah lembaga Majelis Ulama Indonesia yang dianggap memiliki otoritas
pemberi fatwa yang bersifat fatwa jama’i. Secara historis, perkembangan fatwa di
Indonesia secara garis besar akan dapat dilihat dari perkembangan MUI sebagai
lembaga pemberi fatwa. Di sisi lain, di luar MUI juga terdapat institusi seperti
Nahdlatul Ulama maupun Muhammadiyah yang tidak dapat dikesampingkan
3
Azyumardi Azra, Jaringan Ulama, (Bandung:Mizan, 1933), hal. 24-36.
4
Akhmad Mujahidin, Makalah;”Pelembagaan Hukum Islam”, PPs Jurai Siwo Metro, 22 Okyober
2014.
5
Abdurrahman Wahid, Kontribusi Pemikiran Islam di Indonesia, (Bandung: Remaja Rosdakarya,
1994), hal.230.
6
Bagir Manan, Konvensi Ketatanegaraan, (Bandung: Armico, 1978), hal.12.
kredibilitas dan secara aplikatif diikuti pandangan hukumnya (fatwa) oleh anggota
maupun simpatisan masing-masing ormas.7
Berdirinya organisasi massa yang bersifat keagamaan seperti Muhammadiyah
(18 November 1912) dan Nahdlatul Ulama (31 Januari 1926) ikut mewarnai
perjalanan bangsa dan perkembangan Hukum Islam di Indonesia dengan pelbagai
fatwa dan keputusan-keputusannya. Merespon kondisi tersebut Belanda pun memiliki
metode khusus untuk meredamnya yaitu selain dengan menekan berkembangnya
hukum Islam melalui tata hukum pada masa itu dengan menugaskan seorang
Islamolog agar muslim Indonesia tidak sampai terlalu erat memegang hukun Islam
sehingga mereka lebih mudah untuk dipengaruhi dan dikendalikan. 8 Menjelang
proklamasi kemerdekaan, politik hukum pamerintah Hindia Belanda telah melahirkan
pakar-pakar yang berfaham sekuler tetapi disamping itu masih terdapat para ulama
dan para tokoh Islam yang yang bercita-cita untuk menjadikan hukum Islam sebagai
syari’ah menjadi hukum positif atau sumber atau dasar bagi umat Islam.
Tokoh-tokoh yang berfaham sekuler berpendirian bahwa sekulerisasi hukum
merupakan ciri dari sistem politik modern yang didasarkan pada dua alasan yaitu
hukum agama akan mengurangi kewenangan badan legislatif yang merupakan inti
dari negara modern atau akan mengurangi kedaulatan negara dan hukum agama akan
menghalangi tuntutan perubahan masyarakat karena hukum agama itu bersifat statis.
Sehingga mengakibatkan terpecahnya pandangan para pemimpin Indonesia menjadi 2
kelompok. Kelompok pertama berpendirian bahwa syari’ah dan hukum Islam hanya
sebagai bahan hukum nasional tapi tidak mengikat, mengikat jika sudah diterima oleh
hukum adat. Sedangkan kelompok kedua berpendirian bahwa masyarakat yang dicita-
citakan wajib menjalankan syari’at Islam bagi umat Islam yang memerlukan bantuan
Negara atau hukum yang dibuat tidak bertentangan dengan hukum Islam dan
kedudukan hukum Islam sejajar dengan hukum adat. Hal ini kemudian memuncak
pada diskursus tentang tujuh kata di dalam Piagam Jakarta, “Kewajiban menjalankan
syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya.”9
Pada masa orde lama setelah dekrit presiden 5 Juli 1959, politik hukum
pemerintah terhadap hukum Islam lebih maju yaitu unsur-unsur hukum agama dan
hukum Islam mulai diperhatikan. Hal ini nampak bahwa hukum Islam tidak hanya
7
Fatkhul Mujib, “Perkembangan fatwa di Indonesia” http://ejournal.metrouniv.ac.id/, diakses pada
18 April 2020.
8
Aqil sumanti, Politik Islam Hindia Belanda, (Jakarta: LP3S, 1985), hal. 30-31.
9
Endang Saifudin Anshari, Piagam Jakarta 22 Juni 1945, (Bandung: Pustaka ITB, 1981), hal.25-26.
sebagai persuasive source namun menjadi authoritative source.10 Dengan kata lain,
hukum Islam menjadi kewenangan yang bersifat absolut dalam pelaksanaan peradilan.
Kehadiran orde baru tahun 1966 memberikan harapan besar bagi perubahan
kedudukan peradilan agama di Indonesia. Peradilan agama adalah peradilan Negara
yaitu peradilan resmi yang dibentuk pemerintah dan berlaku 100 khusus untuk orang
Islam dan menangani perkara perdata tertentu sesuai dengan hukum Islam. Progres
positif kedudukan hukum Islam dalam tata hukum nasional di Indonesia tersebut
kemudian pada masa orde baru perkembangan fatwa di Indonesia pun mengalami
perkembangan positif yaitu dengan dibentuknya Majelis Ulama Indonesia (MUI) pada
tanggal 26 Juli 1975 (17 Rajab 1395 H).11 Dari sinilah babak baru perkembangan
fatwa di Indonesia akan lebih mudah ditelusuri perkembangannya tanpa
mengkesampingkan lembaga-lembaga lain seperti NU dan Muhammadiyah yang juga
mengeluarkan pandangan hukum atau respon dari persoalan masyarakat muslim di
Indonesia.

E. Lembaga Fatwa Hukum Islam Di Indonesia

Menyikapi urgensitas fatwa dalam perkembangan hukum dan perkambangan


masyarakat dimana realitas kapabiltas ulama tidak dalam kepakarannya menguasai
pelbagai bidang dan perkembangan kompleksitas permaslahan hukum yang terus
berkembang maka fatwa jama’i yang bersifat fatwa kolektif dalam bentuk lembaga
dipandang akan jauh lebih dinilai lebih meyakinkan (memenuhi) kebutuhan hukum
masyarakat. Diantara organisasi keagamaan yang kerap mengeluarkan fatwa dan
mendapat respon besar dari kalangan masyarakat adalah MUI, Muhammadiyah, dan
NU. Yang pertama adalah organisasi “semi pemerintah”, sementara dua organisasi
berikutnya adalah organisasi keagamaan non pemerintah dengan basis masa yang
sangat jelas.12 Fatwa-fatwa yang dikeluarkan oleh kedua organisasi ini telah
menemukan segmennya sendiri-sendiri. Dengan bahasa lain, orang-orang
Muhammadiyah merasa nyaman dengan fatwa Majelis Tarjih dan orang-orang NU
merasa nyaman dengan Lajnah Bahtsul Masail. Sekalipun fatwa terhadap suatu kasus
10
Juhaya S. Praja, Hukum Islam, Pemikiran dan Praktek, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1994);
11
Taufik Adnan Amal, Islam dan Tantangan Modernitas : Studi Atas Pemikiran Fazlur Rahman,
(Bandung: Mizan,1994), hal 33.
12
Penyebutan “semi pemerintah” layak dialamatkan kepada MUI, sebab hidup dan matinya
organisasi ini dapat dikatakan bergantung kepada anggaran pemerintah, namun pada saat yang
sama MUI tidak masuk ke dalam struktural di pemerintahan.
seringkali berbeda antara Muhammdiyah dan NU, namun kondisi ini tidak
menyebabkan disharmoni antara keduanya. Sebab, secara psikologis seorang pencari
fatwa akan mempertanyakan sesuatu kepada pihak-pihak yang mempunyai hubungan
emosional dengan dirinya. Oleh karena itu, dapat dimengerti jika orang NU akan
meminta fatwa pada Lajnah Bahtsul Masail dan Muhammadiyah meminta fatwa pada
Majelis Tarjih.
a) Majelis Tarjih Muhammadiyah
Muhammadiyah adalah organisasi sosial keagamaan yang memiliki misi
utama pembaharuan atau tajdid terhadap pemahaman agama. Pembaharuan dalam
muhammadiyah meliputi dua segi jika dilihat dari sasarannya, yaitu pembaharuan
dalam arti mengembalikan kepada kemurniannya dengan sasaran soal-soal prinsip
perjuangan yang bersifat tetap dan pembaharuan dalam arti modernisasi dengan
sasaran mengenai masalah metode, sistem, teknik, strategi, taktik perjuangan dan
lain-lain. Majelis Tarjih Muhammadiyah berdiri pada tahun 1927 melalui
keputusan Muktamar ke 16 Muhammadiyah di Pekalongan. Pendirian lembaga
ini didasari atas semakin berkembangnya Muhammadiyah secara organisasi yang
berimplikasi kepada banyaknya anggota yang kemudian memicu timbulnya
perselisihan paham mengenai masalah-masalah keagamaan, terutama yang
berhubungan dengan fiqih. Dalam Muktamar Muhammadiyah ke17/1928 di
Yogyakarta dibuat anggaran dasar yang menetapkan tugas dari majelis tarjih
adalah mengamati perjalanan Muhammadiyah yang berhubungan dengan hukum-
hukum agama, menerima dan mentarjih hukum masalah khilafiyah yang
diragukan hukumnya, penyelidikan dan pembahasan yang berdasarkan al-Quran
dan Hadits. Majelis Tarjih berfungsi untuk mengeluarkan fatwa atau memastikan
hukum tentang masalah-masalah tertentu.
Menurut pandangan Muhammadiyah proses pembentukan Fatwa Ijtihad
dipahami sebagai aktifitas mencurahkan segenap kemampuan berfikir dalam
menggali dan merumuskan hukum syar’i yang bersifat zhanni dengan
menggunakan metode tertentu yang dilakukan oleh orang-orang yang memiliki
kemampuan, berkompeten baik secara metodologis maupun permasalahan. Ijtihad
berfungsi sebagai metode merumuskan ketetapan-ketetapan hukum yang belum
terumuskan dalam al-Qur’an atau yang ruang lingkupnya masalah-masalah yang
memiliki dalil Zhanniyyud. Dengan demikian bagi Muhammadiyah Ijtihad bukan
sebagai sumber hukum melainkan sebagai metode penetapan hukum.
Muhammadiyah dalam Ijtihad sesuai dengan kaidah ushul fiqh menempuh tiga
jalur, yaitu13:
1. Al-Ijtihad Bayani, (semantik) dengan pola metode kebahasaan, yakni
menjelaskan hukum yang permaslahannya telah diatur dalam alQur’an dan
Hadits. Hal-hal yang sudah jelas ketentuannya dalam nash baik al-Qur’an
maupun Hadits maka secara praktis dapat ditetapkan berdasarkan nash yang
sudah jelas.
2. Tahlili (rasionalistik) metode pendekatan dengan jalan rasionalitik atau
penalaran, sebelumnya majelis tarjih menggunakan istilah Qiyasi yakni
menyelesaikan kasus hukum yang sifatnya baru dengan cara menganalogi
atau mengqiaskan dengan masalah yang telah diatur oleh al-Qur’an dan
Hadits. Akan tetapi metode qiyasi disadari memiliki ruang lingkup yang
terbatas, dengan metode Tahlili jauh lebih luas dari metode qiyasi sekaligus
mencakup metode qiyasi.
3. Al-Ijtihad alIstislahi (filosofis), yakni menyelesaikan hukum baru yang
tidak terdapat dalam dua sumber pokok al-Qur’an dan Hadits. Dengan cara
penalaran dengan memperhatikan nilai-nilai maslahat.
Teknik Ijtihad yang dilakukan oleh majelis tarjih menggunakan teknik
dalam menetapkan hukum adalah Al-Qur’an dan as-Sunnah al-Maqbulah, yaitu
pemahaman terhadap kedua sumber tersebut dilakukan secara komprehensif
integralistik. Pendekatan yang digunakan dalam menetapkan hukum-hukum
ijtihadiyah adalah; At-tafsir al-Ijtima’i al-mu’ashir (hermeunetik), At-Tarikhi
(historis), As-Susiuluji (sosiologis), Alantrubuluji (antrapologi).14
Dalam proses penetapan fatwa terkadang dalam ta’arudh al-adillah
terdapat pertentangan dalil yang masing-masing menunjukan ketentuan hukum
yang berbeda. Jika terjadi ta’arudh maka penyelelesain yang dilakukan oleh
Majelis Tarjih dengan urutan cara-cara sebagai berikut: Al-Jam’u wa al-taufiq,
yaitu menerima semua dalil walaupun terjadi pertentangan, Majelis Tajih dalam
menetapkan fatwanya bisa mempersilakan umatnya untuk memilih pendapat
yang dianggapnya kuat. Al-Tarjih, yaitu memilih pendapat dengan memilki dalil
yang lebih kuat di bandingkan dengan pendapat lain yang dianggap lemah. Al-

13
Asjmuni Abdurrahman, Manhaj Majelis Tarjih Muhammadiyah Metode dan Aplikasi, (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2010), hal. 105-106.
14
Ibid, h. 107
Naskh, yakni yakni mengamalkan dalil yang munculnya lebih akhir dengan
menggunakan kaidah ulama secara otomatis menggantikan hukum yang datang
lebih awal. Al-tawaqqu, mencari dalil baru dengan cara menghentikan penelitian
dalil yang bertentangan.
Adapun tugas-tugas Majelis Tarjih, sebagaimana yang tertuang dalam
Qa’idah Majlis Tarjih 1961 dan diperbaharui lewat keputusan Pimpunan Pusat
Muhammadiyah No. 08/SK-PP/I.A./8.c/2000, Bab II pasal 4, adalah:
1. Mempergiat pengkajian dan penelitian ajaran Islam dalam rangka
pelaksanaan tajdid dan antisipasi perkembangan masyarakat.
2. Menyampaikan fatwa dan pertimbangan kepada Pimpinan Persyarikatan
guna menentukan kebijaksanaan dalam menjalankan kepemimpinan serta
membimbing umat, khususnya anggota dan keluarga Muhammadiyah.
3. Mendampingi dan membantu Pimpinan Persyarikatan dalam membimbing
anggota melaksanakan ajaran Islam.
4. Membantu Pimpinan Persyarikatan dalam mempersiapkan dan
meningkatkan kualitas ulama.
5. Mengarahkan perbedaan pendapat/faham dalam bidang keagamaan ke arah
yang lebih maslahat.
b) Lajnah Bahsul Masail NU
NU sebagai jam’iyah sekaligus gerakan diniyah islamiyah dan
ijtima’iyah serta menjadikan paham Ahlussunah wal jama’ah sebagai basis
teologi dan menganut salah satu dari empat mazhab. Metode istinbath hukum
Lajnah Bahsul Masail dikalangan NU tidak diartikan dengan mengambil hukum
secara langsung (al-qur’an dan sunah), namun diartikan sesuai dengan sikap
dasar bermazhab terutama mazhab Syafi’i menempati posisi yang dominan. 15
Sistem (proses) penetapan fatwa dalam bahtsul masail di lingkungan Nadlatul
Ulama (NU) ditetapkan pada Musyawarah Nasional (MUNAS) Alim Ulama NU
di Bandar Lampung tanggal 21 – 25 Januari 1992, sistem penetapan fatwa
kemudian disempurnakan kembali melalui keputusan Musyawarah Nasional
Alim Ulama nomor 02/Munas/VII/2006 tentang Fikrah Nadliyah adalah
kerangka berfikir yang didasarkan pada ajaran Ahlulssunnah wal jama’ah.
Prosedur masalah disusun dalam urutan penyelesaian masalah secara hirarki

15
M. Ali Haidar, Nahdatul Ulama dan Islam Indonesia, (Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama, 1998),
hal. 12
sesuai dengan tingkat kemampuan. Untuk menyelesaikan masalah tersebut
adalah sebagai berikut:
1. Permasalahan yang diajukan apabila dapat dijawab atau cukup oleh Ibarat
Kitab dari Kutubul Madzhahib al-Arba’ah dan hanya didapatkan satu
pendapat dari Kutubul Madhahib al-Arba’ah maka dipakai pendapat
tersebut sebagai keputusan fatwa, diktum fatwa akan ditetapkan
berdasarkan pendapat tersebut.
2. Apabila terdapat ibarat kutub lebih dari satu pendapat, maka akan dilakukan
penyelesainnya dengan jalan taqrir jama’iy untuk memilih salah satu
pendapat. Pemilihan salah satu pendapat dapat dilakukan dengan prosedur:
Mengambil pendapat yang lebih maslahat atau lebih kuat dari segi ushul
dan kaidah. Khusus mazhab Syafi’i sesuai dengan keputusan Muktamar ke I
(1926), perbedaan pendapat disesuaikan dengan cara: Pendapat yang
disepakati oleh asy-Syaikhani (an-Nawawi dan ar-Rafi’iy), pendapat yang
dipegangi oleh Imam an Nawawi, Pendapat yang dipegangi oleh ar-Rafi’i
Pendapat yang di dukung oleh mayoritas Ulama, Pendapat Ulama yang
terpandai, Pendapat Ulama yang Wara’. Untuk mazhab selain Syafi’i
berlaku sesuai dengan ketentuan yang terdapat dalam mazhab tersebut.
Musyawara Alim Ulama Nahdlatul Ulama tanggal 27–30 Juli tahun 2006
di Surabaya melengkapi batasan operasionil teknis dalam pengambilan fatwa
Bahtsul Masail diantaranya batasan Taqrir Jama’iy, Ilhaq, Istinbath Jama’iy,
dan Al-Kutub Mu’tabarah. Ilhaq adalah upaya apabila melalui jalan qaul sudah
tidak diperoleh pendapat yang akan dijadikan pijakan fatwa, dengan
menyamakan hukum suatu kasus dengan kasus yang telah ada jawabannya
dalam kitab atau menyamakan suatu kasus dengan kasus lain yang sudah ada
hukumnya dalam kitab. Ilhaq harus melalui prosedur memahami secara benar
tentang suatu kasus (tashawwur almasalah) yang akan dimulhaqkan (mulhaq).
Setelah itu mencari padanannya yang ada dalam kitab yang akan diilhaqi
(mulhaq bih) atas dasar persamaan di antara keduanya (majhul ilhaq), kemudian
keputusan fatwa didasarkan atas hukum mulhaq seperti mulhaq bih. Ketika
melalui ilhaq tidak diperoleh untuk dijadikan pijakan fatwa maka di lakukan
istinbath jama’I, yaitu upaya secara kolektif untuk mengeluarkan hukum syara’
dari dalilnya yang akan dijadikan dasar dengan melalui qawa’id ushuliyah.
Syarat yang melekat yang harus dimiliki oleh ulama yang melakukan istinbath
jamai’i antara lain: memahami secara benar tentang suatu kasus (tashawwur al-
masalah) terhadap masalah yang akan ditetapkan hukumnya. Mampu mencari
dalil yang akan dijadikan dasar penetapan hukum (istidlal). Mampu menerapkan
dalil terhadap masalah dengan kayfiyah al-istidlal (metode pengambilan hukum)
dan kemudian mampu menetapkan hukum atas masalah yang dibahas.
c) Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia
Komisi Fatwa MUI merupakan wadah atau majlis yang menghimpun
para ulama dan cendekiawan muslim Indonesia. MUI berdiri di Jakarta pada 26
Juli 1975. Pengabdian MUI telah dirumuskan dalam 5 fungsi dan peran
utamanya yaitu pewaris para nabi, pemberi fatwa, pembimbing dan pelayan umat,
gerakan ishlah wa al-tajdid dan penegak amar ma’ruf nahi munkar. metode
ijtihad MUI menggunakan sistem fatwa yang ditetapkan dalam sidang komisi
fatwa, musyawarah nasional MUI, dan fatwa ijtima’ ulama komisi fatwa MUI se-
Indonesia.
Kewenangan dan wilayah fatwa MUI dalam Bab VI berdasarkan
prosedur fatwa MUI tahun 2003 antara lain: MUI berwenang menetapkan fatwa
mengenai masalah-masalah keagamaan secara umum, terutama masalah hukum
fiqh dan masalah aqidah yang menyangkut kebenaran dan kemurnian keimanan
umat Islam Indonesia. Pedoman prosedur fatwa adalah sebagai berikut:
1. Dasar penetapan umum fatwa meliputi : Aktivitas penetapan Fatwa
dilakukan secara kolektif oleh lembaga Komisi fatwa MUI. Penetapan fatwa
bersifat responsif, proaktif, dan antisipatif.
2. Dasar-dasar (dalil) Fatwa : Al-Qur’an, Sunnah, Ijma, Qiyas, dan dalil-dalil
lain yang mu’tabar.16 Proses dan prosedur fatwa dilakukan dengan metode
penetapan fatwa : Masalah yang sudah jelas hukumnya akan difatwakan
sesuai dengan apa adanya. Sedangkan Masalah-masalah yang khilafiah
dikalangan Mazhab Fiqh, diselesaikan dengan jalan di usahakan melalui
metode al-jam’u wa al-talfiq, yaitu usaha titik temu dan apabila tidak dapat
diselesaikan dengan metode talfiq maka perbedaan dapat diusahakan
dengan penyelesaian muqaranah, atau perbandingan dasar pendapat
(comperative legal opinion). Penetapan fatwa didasarkan pada hasil tarjih
yang di anggap lebih kuat melalui kaidah-kaidah dan Ushul Fiqh sebagai
parameter tarjih.
16
Ma’ruf Amin, at.al, hal. 5-6.
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan

Fatwa berasal dari bahasa Arab ‫فتوى‬, yang artinya nasihat, petuah, jawaban
atau pendapat. Adapun yang dimaksud adalah sebuah keputusan atau nasihat resmi
yang diambil oleh sebuah lembaga atau perorangan yang diakui otoritasnya,
disampaikan oleh seorang mufti atau ulama, sebagai tanggapan atau jawaban terhadap
pertanyaan yang diajukan oleh peminta fatwa (mustafti) yang tidak mempunyai
keterikatan. Dengan demikian peminta fatwa tidak harus mengikuti isi atau hukum
fatwa yang diberikan kepadanya.
Secara fungsional, fatwa memiliki fungsi tabyîn dan tawjîh. Tabyîn artinya
menjelaskan hukum yang merupakan regulasi praksis bagi masyarakat, khususnya
masyarakat yang memang mengharapkan keberadaannya. Taujîh, yakni memberikan
guidance (petunjuk) serta pencerahan kepada masyarakat luas tentang permasalahan
agama yang bersifat kontemporer.
Fatwa mempunyai kedudukan penting dalam agama Islam, sehingga
dipandang sebagai salah satu alternatif yang bisa memecahkan kebekuan dalam
perkembangan hukum Islam. Hukum Islam yang dalam penetapannya tidak bisa
terlepas dari dalil-dalil keagamaan, menghadapi persoalan serius ketika berhadapan
dengan permasalahan yang semakin berkembang. Oleh karena itu, tidak sembarang
orang bisa mengeluarkan fatwa. Pemberi fatwa harus memenuhi syarat antara lain
pemahaman yang mendalam tentang Al Qur'an dan As Sunnah, menguasai kaidah
bahasa Arab serta menguasai berbagai masalah.
Perkembangan Fatwa di Indonesia beriringan dengan sejarah masuknya Islam
di Indonesia. Kehadiran dan penyebaran Islam terus berkembang kemudian
bertransformasi menjadi sebuah komunitas yang terstruktur dalam bentuk kerajaan-
kerajaan Islam. Di sinilah peran ulama sebagai figur sentral, pemberi fatwa bahkan
bukan saja dalam perkara keagamaan namun dalam perkara kenegaraan, raja sebagai
kepala pemerintahan pada masa itu senantiasa berkonsultasi dan menanyakan terlebih
dulu kepada ulama dalam memutuskan suatu perkara. Begitu urgennya peran fatwa
tersebut didukung dengan fakta sejarah bahwa Islam pada masa itu menempati agama
resmi kerajaan. Hal ini menunjukkan betapa strategisnya peran ulama dengan
fatwanya. Begitu mudahnya ulama menggelorakan perjuangan pada masa itu salah
satunya disebabkan begitu besarnya pengaruh ulama dalam pandangan masyarakat,
sehingga ketika fatwa kafir atas penjajah semakin menambah motivasi perjuangan.
Perkembangan selanjutnya adalah pada masa di mana stabilitas berbangsa dan
bernegara jauh lebih baik (masa orde baru), maka persoalan agama dipandang perlu
adanya legalisasi (taqnin) dalam bentuk peraturan perundang-undangan sehingga
memiliki kedudukan yang secara legal formal diakui dalam tata hukum nasional.
Dalam hal ini fatwa dengan seperangkat kriteria dan metode yang ada menjadikannya
sebagai salah satu sumber hukum materiil di dalam tata hukum di Indonesia. Kondisi
dan posisi yang demikian tersebut kemudian mempengaruhi perkembangan produk
hukum Islam (fatwa), di mana ia kemudian bertransformasi kepada orientasi institutif
dalam sebuah lembaga Majelis Ulama Indonesia yang dianggap memiliki otoritas
pemberi fatwa yang bersifat fatwa jama’i. Secara historis, perkembangan fatwa di
Indonesia secara garis besar akan dapat dilihat dari perkembangan MUI sebagai
lembaga pemberi fatwa. Kemudian pada masa orde baru perkembangan fatwa di
Indonesia pun mengalami perkembangan positif yaitu dengan dibentuknya Majelis
Ulama Indonesia (MUI) pada tanggal 26 Juli 1975 (17 Rajab 1395 H).
Untuk lembaga fatwa di Indonesia sendiri ada banyak, diantaranya yang kerap
mengeluarkan fatwa dan mendapat respon besar dari kalangan masyarakat adalah
MUI, Muhammadiyah, dan NU. Yang pertama adalah organisasi “semi pemerintah”,
sementara dua organisasi berikutnya adalah organisasi keagamaan non pemerintah
dengan basis masa yang sangat jelas.

B. Saran

Dengan pemaparan materi di atas kita jadi tahu bahwa fatwa itu penting dan
sakral. Di Indonesia pun banyak lembaga-lembaga fatwa. Baik itu dari pemerintahan
ataupun non-pemerintahan. Tak bisa dipungkiri bahwa ada perbedaan fatwa di setiap
lembaga fatwa tersebut. Oleh karena itu kita sebagai mahasiswa harus berpikir kritis
dan selalu menghormati fatwa-fatwa yang ada walau itu berbeda dengan fatwa dari
lembaga yang kita anut.
DAFTAR PUSTAKA

Abdurrahman Wahid.1994. Kontribusi Pemikiran Islam di Indonesia.Bandung: Remaja


Rosdakarya.

Akhmad Mujahidin.2014. Makalah: “Pelembagaan Hukum Islam”. PPs STAIN Jurai


Siwo Metro, 22 Oktober 2014.

Aqil Suminto.1985.Politik Islam Hindia Belanda.Jakarta: LP3S.

Azyumardi Azra.1993. Jaringan Ulama. Bandung:Mizan.

Endang Saifudin Anshari.1981. Piagam Jakarta 22 Juni 1945. Bandung: Pustaka ITB.

M. Ali Haidar.1998. Nahdlatul Ulama dan Islam Indonesia. Jakarta: Gramedia


Pustakatama Utama.

Ma’ruf Amin, et.al.2011. Himpunan Fatwa Majelis Ulama Indonesia Sejak 1975.
Jakarta: Erlangga.

Taufik Adnan Amal.1994. Islam dan Tantangan Modernitas : Studi Atas Pemikiran
Fazlur Rahmnan. Bandung : Mizan.

http://ejournal.umm.ac.id/index.php/ulum/article/viewFile/1305/1398

http://sina-na.blogspot.com/2014/08/fatwa.html?m=1

Anda mungkin juga menyukai