Anda di halaman 1dari 4

Nama : Vivi Yenni Aryanti

NIM : 19620056
Kelas : Biologi B
FATWA
A. Pengertian Fatwa
Fatwa berasal dari Bahasa Arab, ‫ ﻓﺘﻮى‬yang artinya nasihat, petuah, jawaban atau
pendapat. Adapun secara istilah adalah sebuah keputusan atau nasihat resmi yang diambil oleh
sebuah Lembaga atau perorangan yang diakui otoritasnya, disampaikan oleh seorang mufti
atau ulama, sebagai tanggapan atau jawaban terhadap pertanyaan yang diajukan oleh peminta
fatwa (mustafti) yang tidak mempunyai keterikatan.1 Tindakan memberi fatwa disebut futya
atau ifta, suatu istilah yang merujuk pada profesi pemberi nasihat. Orang yang memberi fatwa
disebut mufti atau ulama.
Hukum berfatwa adalah fardhu kifayah, artinya jika ada orang lain yang bias memberi
fatwa selain dirinya. Adapun jika tidak ada orang lain yang bias memberi fatwa dan masalah
yang difatwakan itu cukup mendesak makai a pun secara fardhu ‘ain wajib memberi fatwa
atas peristiwa itu.
B. Mufti
Seorang mufti (pemberi fatwa) tentulah orang yang mempunyai wawasan keilmuan yang
luas, agar yang difatwakannya sesuai dengan yang sebenarnya. Orang yang mempunyai
pengetahuan tentang hukum syara’ dan mempunyai kemampuan untuk menggali sumber
hukumnya. Oleh karena itu, ia menjadi tempat bertanya bagi orang awam. Sebagai orang yang
tahu, ia disebut mujtahid sedangkan dalam kedudukannya sebagai orang yang memberi
jawaban atas pertanyaan orang awam disebut mufti.2

Seorang mufti haruslah memiliki syarat-syarat sebagai berikut:

1. Fatwanya harus didasarkan kepada kitab-kitab induk yang mutabar agar fatwa yang
diberikan itu dapat diterima oleh penerima fatwa.
2. Apabila ia berfatwa berdasarkan qoul seorang alim, maka ia dapat menunjukkan dasar
sumber pengambilan fatwanya itu, dengan demikian ia terhindar dari berbuat salah dan
bohong.
3. Seorang mufti harus mengerti atau mengetahui berbagai macam pendapat ulama agar tidak
terjadi kesalah pahaman antara ia dan penerima fatwanya.

1
Rachmat Taufik Hidayat dkk., Almanak Alam Islami, Pustaka Jaya: Jakarta. 2000. Hal 34.
2
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid 2, Kencana: Jakarta, 2009. Hal 449.
4. Seorang mufti haruslah seorang alim yang memiliki kejujuran.3

Abu Ishaq Ibrahim menguraikan secara detail tentang syarat-syarat seorang mufti:

1. Mengetahui sumber hukum, yaitu Al-Qur’an dan Sunnah, baik qauliyah, fi’liyah dan
taqririyah.
2. Mengetahui cara mengambil hukum dari keduanya
3. Mengetahui kaidah-kaidah ushul fiqih
4. Mengetahui Bahasa Arab dan tata Bahasa Arab
5. Mengetahui nasakh, mansukh dan hukum-hukumnya
6. Mengetahui ijma’ dan khilafiyah ulama terdahulu
7. Mengetahui cara mengqiyas dan hukum-hukumnya
8. Mengetahui ijtihad
9. Mengetahui cara mengambil ‘illat dan urutan dalil-dalil
10. Mengetahui cara mentarjih
11. Harus orang yang dipercaya dan jujur
12. Orang yang tidak menganggap enteng dalam soal agama.4

Mufti adalah panutan dan ikutan kaum muslimin, oleh karena itu disamping ia ahli Al-
Qur’an dan hadits, ia juga haruslah seorang yang mempunyai akhlakul karimah (budi pekerti
yang mulia), sabar tidak pemarah, bijaksana dan selalu memikirkan kepentingan kaum
muslimin.5

Sehubungan dengan hal di atas, Imam Ahmad Hambal mengidentikkan syarat seorang
mufti dengan sifat yang harus dimilikinya:

1. Mufti memberi fatwa dengan niat semata-mata mencari keridhaan Allah SWT, bukan
untuk sesuatu kepentingan seperti untuk mencari pangkat, kedudukan, kekayaan,
kekuasaan dan lainnya.
2. Hendaklah seorang mufti itu berwibawa, sabar dan dapat menguasai dirinya, tidak cepat
marah dan tidak menyombingkan diri.
3. Mufti itu hendaklah seorang yang berkecukupan hidupnya, tidak menggantungkan
hidupnya pada orang lain.
4. Hendaklah seorang mufti mengetahui ilmu kemasyarakatan, karena ketetapan hukumnya
harus diambil setelah memperhatikan kondisi masyarakat, memperhatikan perubahan-

3
Zen Amirudin, Ushul Fiqih, Teras: Yogyakarta. 2009. Hal 213
4
Abu Ishaq Ibrahim Al-Fairuzzabadi, Al-Luma, Syirkah Maktabah wa Mathba’ah Ibn Nabhan wa Auladuh, Surabaya, tt, hlm. 69.
5
Kamal Mukhtar dkk, Ushul Fiqh, Jilid 2, Dana Bakti Waqaf: Yogyakarta, 1995, hlm. 179-180.
perubahan dan sebagainya, sehingga fatwanya tidak menimbulkan kegoncangan dalam
masyarakat, sekaligus dapat diterima dan tidak bertentangan dengan hukum Allah dan
Rasul-Nya.6
C. Kedudukan Fatwa
Sejak awal perkembangan Islam, kedudukan fatwa sudah sangat diperlukan. Ditandai
dengan semakin meningkatnya pemeluk Islam, maka semakin banyak persoalan muncul yang
tentunya membutuhkan jawaban. Untuk mendapatkan jawaban dari berbagai persoalan
tersebut maka diperlukan orang-orang yang kompeten seperti halnya mufti dan mujtahid.
Pada mulanya praktik fatwa diberikan secara lepas dan belum ada upaya untuk
membuktikan isi fatwa ulama-ulama tersebut. Fatwa pertama kali dikumpulkan pada sebuah
kitab pada abad ke-21 M. mazhab Hanafi memiliki sejumlah kitab fatwa seperti az-Zakhirat
al-Burhaniyah, kumpulan fatwa Burhanuddin bin Maza.
Berkaitan dengan kedudukan fatwa dalam kehidupan umat Islam, fatwa ini juga
menegaskan bahwa memang tidak mengikat secara hukum, akan tetapi ia bersifat mengikat
secara agama, sehingga tidak ada peluang bagi seorang muslim untuk menentangnya bila
fatwa itu didasarkan kepada dalil-dalil yang jelas dan benar.7
D. Perbedaan Fatwa dengan Putusan Pengadilan
1. Persoalan dan permasalahan hukum yang perlu diselesaikan melalui fatwa lebih luas
bidangnya atau tidak terbatas, bahkan berlaku bagi muslim penduduk beberapa negara.
Sedangkan permasalahan yang dapat diselesaikan melalui putusan pengadilan terbatas
sepanjang kewenangan yang diberikan oleh peraturan perundang-undangan suatu negara.
2. Isi fatwa mempunyai nilai kebebasan, artinya boleh dilaksanakan dan boleh tidak
tergantung kepada orang yang memerlukan fatwa itu. Sedangkan putusan pengadilan
bersifat memaksa dan mengikat, artinya pihak yang terlibat harus patuh dan tunduk
terhadap putusan pengadilan.
3. Fatwa tidak dapat membatalkan putusan pengadilan, sedangkan putusan pengadilan dapat
membatalkan fatwa yang dikemukakan dalam yurisdiksi pengadilan yang bersangkutan.8
E. Fatwa MUI Mengenai Facebook
MUI menyatakan bahwa Facebook bisa menjadi haram dan tidak haram. Menurut
mereka, Facebook haram tergantung dari cara pemakaiannya. Jika bertujuan baik dan benar,
maka tidak ada larangan untuk menggunakannya. Akan tetapi sebaliknya, jika untuk tujuan
negative maka dihukumi haram. Jadi, itu semua tergantung kepada kita sebagai pengguna,

6
Ibid, hlm. 180-181.
7
Jaih Mubarak, Ijtihad Kemanusiaan, Pustaka Bani Quraisy: Bandung, 2005.
8
Muhlis, Kedudukan Fatwa dalam Islam, Jurnal, tt, hlm. 12-13.
jika kita memiliki keinginan untuk menggunakan facebook sebagai alat untuk melakukan
aktivitas yang negative mungkin saja dapat dikatakan bahwa facebook itu haram, namun jika
kita menggunakan Facebook sebagai sarana untuk menjalin tali silaturahmi maka belum dapat
dikatakan haram.

Anda mungkin juga menyukai