Anda di halaman 1dari 8

LEMBAGA FATWA HUKUM DI INDONESIA

BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Pengertian Fatwa
Fatwa (‫ ) الفت وى‬menurut bahasa berarti jawaban mengenai suatu kejadian
(peristiwa), yang merupakan bentukan sebagaimana dikatakan Zamakhsyarin dalam
al-kasysyaf dari kata ‫ )الفتي‬al-fataa/pemuda) dalam usianya, dan sebagai kata kiasan
(metafora) atau (isti’arah). Sedangkan pengertian fatwa menurut syara’ adalah
menerangkan hukum syara’ dalam suatu persoalan sebagai jawaban dari suatu
pertanyaan, baik si penanya itu jelas identitasnya maupun tidak, baik perseorangan
maupun kolektif.
Definisi fatwa menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia yaitu: (1) jawaban berupa
keputusan atau pendapat yang diberikan oleh mufti/ahli tentang suatu masalah; dan
(2) nasihat orang alim; pelajaran baik; dan petuah.
Dari beberapa pengertian dapat disimpulkan bahwa fatwa adalah hasil ijtihad
seorang mufti sehubungan dengan peristiwa hukum yang diajukan kepadanya. Jadi
fatwa lebih khusus dari pada fikih atau ijtihad secara umum. Karena boleh jadi fatwa
yang dikeluarkan seorang mufti, sudah dirumuskan dalam fikih, hanya belum
dipahami oleh peminta fatwa.
2.2. Dasar Hukum Fatwa terdapat dalam Al-Qur’an An-Nahl 43

Artinya:
Dan Kami tidak mengutus sebelum kamu, kecuali orang-orang lelaki yang Kami beri
wahyu kepada mereka; maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan
jika kamu tidak mengetahui.
2.3. Kedudukan Fatwa
Keperluan terhadap fatwa sudah terasa sejak awal perkembangan Islam. Dengan
meningkatnya jumlah pemeluk Islam, maka setiap persoalan yang muncul
memerlukan jawaban. Untuk menjawab persoalan tersebut diperlukan bantuan dari
orang-orang yang kompeten di bidang tersebut. Dalam masalah agama, yang
berkompeten untuk itu adalah para mufti atau para mujtahid.
Pada mulanya praktik fatwa yang diberikan secara lepas dan belum ada upaya
untuk membukukan isi fatwa ulama-ulama tersebut. Fatwa pertama kali dikumpulkan
dan sebuh kitab pada abad ke-12 M. Mazhab Hanafi memiliki sejumlah kitab fatwa
sepertiaz-Zakhirat al-Burhaniyah, kumpulan  fatwa Burhanuddin bin Maza (wafat
570 H/1174). Inilah kitab kumpulan fatwa pertama.
Mazhab Maliki memiliki kitab kumpulan fatwa  bertajuk al-Mi'yar al-
Magrib yang berisi fatwa-fatwa al-Wasyarisi (wafat 914 H/1508 M). Mazhab Hanbali
juga memiliki sejumlah kitab fatwa, yang paling terkenal adalah Majmu al-Fatawa.
Di Indonesia juga ada sejumlah  buku kumpulan fatwa, seperti Tanya Jawab
Agama dan Kata Berjawab yang diterbitkan Majelis Tarjih PP Muhammadiyah,
selain itu ada juga Himpunan Fatwa Majelis Ulama Indonesia, serta Solusi
Problematika Aktual Hukum Islam Keputusan Muktamar Munas dan Konbes
Nahdlatul Ulama.  
Berkaitan dengan kedudukan fatwa dalam kehidupan umat Islam, fatwa ini juga
menegaskan bahwa fatwa memang tidak mengikat secara hukum, akan tetapi, ia
bersifat mengikat secara agama, sehingga tidak ada peluang bagi seorang muslim
untuk menentangnya bila fatwa itu didasarkan kepada dalil-dalil yang jelas dan benar.
2.4. Lembaga-Lembaga Fatwa Hukum
1. Majelis Ulama Indonesia (MUI)

Fatwa-fatwa yang dihasilkan Majelis Ulama Indonesia (MUI) itu


adakalanya menimbulkan kontroversi di tengah-tengah masyarakat, ada pula
yang memandangnya sebagai corong penguasa, dan ada pula masyarakat yang
menilainya sebagai tidak konsisten. Munculnya respon seperti itu dari
masyarakat sangat erat kaitannya dengan kurangnya pengetahuan masyarakat
terhadap konsep ijtihad Majelis Ulama Indonesia (MUI) serat ciri-ciri hukum
Islam yang dijadikan acuan oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) dalam
menghasilkan suatu fatwa. Oleh sebab itu, studi dalam bidang ini dirasa amat
perlu dilakukan.
Sudut pandang sorotan akan peranan MUI sangat beragam mulai dari aspek
hukum, politik, sosial budaya, maupun soal ekonomi. Keberagaman cara
pandang dan sudut dan sudut pandang terhadap MUI semakin meneguhkan
posisi strategis MUI dalam kehidupan beragama , berbangsa dan bernegara.
Respon positif atas fatwa tersebut muncul dari masyarakat yang memiliki
perhatian terhadap dinamika keberagamaan di Indonesia.
MUI sebagai wadah silaturahmi ulama, zu’ama dan cendikiawan muslim
Indonesia untuk menyatukan gerak dan langkah umat Islam dalam mewujudkan
kesatuan dan persatuan umat dalam rangka menyukseskan pembangunan serta
ketahanan nasional Republik Indonesia.
2. Muhammadiyah
Menurut Majelis Tarjih, sumber hukum untuk penetapan fatwa adalah al-Quran
dan as-Sunnah al-Maqbûlah. Penetapan atas al-Quran dan as-Sunnah al-
Maqbûlah sebagai sumber hukum ini berbeda dengan beberapa ahli usul fikih
lainnya, yang menetapkan sumber hukum tidak hanya al-Quran dan as-Sunnah
al-Maqbûlah saja tetapi ijtihad dapat dijadikan sebagai sumber hukum. Bagi
Muhammadiyah, ijtihad lebih dimaknai sebagai proses daripada sebagai
produk. Ijtihad sebagai produk dapat saja dijadikan sebagai sumber informasi
untuk menetapkan suatu hukum. Namun, pengertian seperti ini yang
dimaksudkan adalah hasil ijtihad.
3. Nahdlatul Ulama (NU)
Pemberian fatwa, menurut para ulama, juga punya etika. Misalnya, mufti
tidak boleh tergesa-gesa dalam memberikan fatwa. Ibn Qayyim, misalnya, dalam
salah satu kitabnya menyatakan, “Dulu salaf, para sahabat nabi, dan tabiin tidak
suka cepat-cepat memberikan fatwa. Masing-masing justru mengharap fatwa
diberikan oleh selain dirinya. Apabila sudah jelas bahwa fatwa itu harus diberikan
olehnya, dia akan mengerahkan segala tenaga dan pikiran untuk mengetahui
hukum masalah yang dimintakan fatwa tersebut dari Al-Qur’an, sunah Rasulullah,
dan pendapat Khalifah Rasyidin.”
Menurut Imam Ahmad Ibn Hanbal, mufti tidak boleh menjawab apa saja
yang ditanyakan kepadanya. Selain itu, orang tidak boleh mengajukan dirinya
untuk memberikan fatwa, kecuali telah memenuhi lima hal:
a. Pertama, dia punya niat tulus lillahi taala, tidak mengharapkan kedudukan
dan sebagainya.
b. Kedua, dia berdiri di atas ilmu, sikap lapang dada, keanggunan, dan
ketenangan. Sebab, bila tidak demikian, dia tidak bisa menjelaskan
hukum-hukum agama dengan baik.
c. Ketiga, dia harus kuat pada posisi dan pengetahuannya.
d. Keempat, mufti harus punya kecukupan. Bila tidak, dia membuat
masyarakat tidak senang. Sebab, dia membutuhkan masyarakat dan
mengambil (materi) dari tangan mereka. Masyarakat bakal merasa
dirugikan.
e. Kelima, mufti harus mengenal masyarakat. Artinya, dia harus tahu tentang
kejiwaan si peminta fatwa serta mengerti benar akan pengaruh dan
tersebarnya fatwa tersebut di masyarakat.
Sebab, intinya, fatwa adalah kemaslahatan bagi masyarakat. Maka, menurut
Imam Syatibi, mufti yang mencapai derajat puncak adalah yang membawa
masyarakat ke kondisi tengah-tengah, seperti yang dikenal masyarakat. Mufti itu
tidak menempuh aliran yang keras, tidak pula terlalu longgar.

2.5. Contoh Penerapan Fatwa Dari Berbagai Lembaga Hukum Islam Di Indonesia
Poligami menjadi polemik dalam kehidupan keluarga, sehingga ada yang pro dan
kontra, khususnya bagi kaum wanita yang sangat kontra terhadap poligami. Hal ini
karena, mereka merasa telah disakiti dengan cara “dimadu”, padahal seorang istri
masih dapat melaksanakan kewajibannya sebagai istri, baik secara lahir maupun
bathin. Kebolehan poligami dalam Islam jangan dipandang sebagai sebuah keharusan.
Sebagaimana perkawinan itu sendiri tidak harus (baca: wajib) bagi setiap orang.
Boleh jadi kondisi mengharuskan seseorang untuk menikah, namun bisa saja bagi
orang lain haram dan yang lainnya sunnah, makruh atau sah-sah saja (mubah). Semua
tergantung pada kondisi pribadi masing-masing. Poligami pun demikian. Poligami
dalam Islam tidak disyariatkan untuk semua orang. Hukum poligami disiapkan oleh
Allah Yang Maha Mengetahui dan Maha Bijaksana untuk menanggulangi beberapa
masalah yang ditemui oleh pasangan suami isteri dalam perkawinannya atau karena
ada tujuan-tujuan lebih penting lainnya. Sebagaimana hal itu dengan gamblang
disebutkan pada awal ayat yang membolehkan berpoligami.
Berbagai lembaga fatwa yang ada di Indonesia juga mengeluarkan fatwa tentang
poligami. Berikut ini fatwa-fatwa yang dikeluarkan oleh beberapa lembaga tersebut :
1. Majelis Ulama Indonesia (MUI)
Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan Fatwa No. 17 Tahun
2013 tentang Beristeri Lebih dari Empat dalam Waktu Bersamaan. Fatwa
tentang berpoligami ini merupakan respon MUI terhadap pengaduan
masyarakat mengenai seseorang yang menikah perempuan lebih dari empat
orang dalam satu waktu. Poligami bisa menjadi bungkus kejahatan dalam
perkawinan.
Mengingat sejumlah rujukan, termasuk pandangan ulama, MUI
berpandangan haram hukumnya beristeri lebih dari empat perempuan pada
waktu yang bersamaan. Inilah poin pertama dari lima poin dalam Fatwa yang
dikeluarkan pada 19 April 2013 itu.
Poin kedua berisi ketentuan hukum jika pernikahan dengan isteri
pertama hingga keempat dilaksanakan sesuai syarat dan rukun, maka mereka
sah sebaga isteri dan memiliki akibat hukum pernikahan. Sedangkan wanita
kelima dan seterusnya berstatus bukan sebagai isteri sah meskipun sudah
terjadi hubungan suami isteri. Poin ketiga menentukan perempuan kelima
dan seterusnya wajib dipisahkan karena tidak sesuai dengan ketentuan
syariah.
Jika telah melakukan pernikahan dengan lebih dari empat orang
perempuan pada waktu bersamaan, demikian poin keempat menentukan, pria
tersebut harus bertaubat, bersedia melepaskan perempuan yang
berkedudukan sebagai isteri kelima dan seterusnya. Selain itu si suami juga
memberikan biaya-biaya kepada wanita dan anak-anak mereka.
Sekretaris Komisi Fatwa MUI, HM Asrorun Ni’am Sholeh,
menjelaskan keharusan memberikan kebutuhan hidup kepada isteri kelima
dan seterusnya beserta anaka-anak merupakan bentuk tanggung jawab hukum
si suami. “Sebagai bentuk tanggung jawab hukum yang bersangkutan dan
untuk memberikan perlindungan terhadap wanita dan anak-anaknya,” tulis
Asrorun dalam pesan singkat yang dikirim kepada hukumonline.
Poin kelima dari Fatwa MUI tersebut menentukan jika suami tidak mau
misalnya melepaskan perempuan kelima dan seterusnya, maka pemerintah
harus mengambil langkah-langkah sesuai kewenangannya untuk melepaskan
perempuan yang tidak sah sebagai isterinya melalui Peradilan Agama (tafriq
al-qadhi).
Fatwa MUI pada dasarnya menyebabkan pelepasan (perceraian) isteri
kelima dan seterusnya, sehingga mereka terkesan tidak dilindungi hukum.
Namun di mata Neng Djubaedah, seharusnya perempuan beragama Islam
tahu menjadi isteri kelima dan seterusnya dalam waktu yang bersamaan tidak
dapat dibenarkan. Apalagi kalau ada di antara isteri-isteri itu adalah kakak
beradik. “Bagaimana bisa dilindungi, sejak awal sudah melanggar hukum,”
ujar dosen Fakultas Hukum Universitas Indonesia itu.
Namun, anak-anak dari perkawinan kelima dan seterusnya, tetap harus
dilindungi. Lepas dari ketiadaan hak mereka mewaris, anak-anak yang lahir
dari perkawinan harus mendapat perlindungan. “Jangan sampai anak-
anaknya tidak dilindungi,” ujar Neng Djubaedah.
2. Majelis Tarjih Muhammadiyyah
Muhammadiyah sendiri belum pernah mengeluarkan fatwa terkait
poligami yang kemudian dicantumkan dalam HPT (Himpunan Putusan
Tarjih) Muhammadiyah. Dalam beberapa pernyataannya terkait isu isu
poligami, Mt Muhammadiyah menjawab berlandaskan dari dalil dalil
alquran.
Allah SWT dalam surah An Nisa’ ayat 3 berfirman yang artinya
sebagai berikut :
“Dan jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil terhadap (hak-hak)
perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), Maka kawinilah
wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. Kemudian
jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil, Maka (kawinilah) seorang
saja, atau budak-budak yang kamu miliki, yang demikian itu adalah lebih
dekat kepada tidak berbuat aniaya.”
Sebagaimana penjelasan dalam terjemah Al Qur’an, yang dimaksud
berlaku adil ialah perlakuan yang adil dalam meladeni isteri seperti pakaian,
tempat, giliran dan lain-lain yang bersifat lahiriyah.
Adapun dalam agama Islam memperbolehkan poligami dengan syarat-
syarat tertentu. Sebelum turun ayat ini, poligami sudah ada dalam masyarakat
dengan jumlah istri yang tak terbatas, dan pernah pula dijalankan oleh Para
Nabi sebelum Nabi Muhammad s.a.w., adapun ayat ini membatasi poligami
sampai empat orang istri saja.
3. Nahdlatul Ulama (NU)
Perihal praktik poligami, para ulama berbeda pendapat setidaknya
terbelah menjadi dua. Pertama, kalangan Syafiiyah dan Hanbaliyah yang
tampak menutup pintu poligami karena rawan dengan ketidakadilan sehingga
keduanya tidak menganjurkan praktik poligami. Sementara kalangan
Hanafiyah menyatakan kemubahan praktik poligami dengan catatan calon
pelakunya memastikan keadilan di antara sekian istrinya.
Dalam Mausu’atul Fiqhiyyah, Kuwait, Wazaratul Awqaf was Syu’unul
Islamiyyah mengatakan :
Artinya, “Bagi kalangan Syafi’iyah dan Hanbaliyah, seseorang tidak
dianjurkan untuk berpoligami tanpa keperluan yang jelas (terlebih bila telah
terjaga [dari zina] dengan seorang istri) karena praktik poligami berpotensi
menjatuhkan seseorang pada yang haram (ketidakadilan). Allah berfirman,
Kalian takkan mampu berbuat adil di antara para istrimu sekalipun kamu
menginginkan sekali.’ Rasulullah SAW bersabda, ‘Orang yang memiliki dua
istri, tetapi cenderung pada salah satunya, maka di hari Kiamat ia berjalan
miring karena perutnya berat sebelah.’ ... Bagi kalangan Hanafiyah, praktik
poligami hingga empat istri diperbolehkan dengan catatan aman dari
kezaliman (ketidakadilan) terhadap salah satu dari istrinya. Kalau ia tidak
dapat memastikan keadilannya, ia harus membatasi diri pada monogami
berdasar firman Allah, ‘Jika kalian khawatir ketidakadilan, sebaiknya
monogami,’” (Lihat Mausu’atul Fiqhiyyah, Kuwait, Wazaratul Awqaf was
Syu’unul Islamiyyah, cetakan pertama, 2002 M/1423 H, juz 41, halaman
220).
Madzhab Syafi’i dengan jelas tidak menganjurkan praktik poligami.
Bahkan Madzhab Syafi’i mempertegas sikapnya bahwa praktik poligami
tidak diwajibkan sebagaimana kutipan Syekh M Khatib As-Syarbini dalam
Mughnil Muhtaj bwrikut ini :
Artinya, “Nikah itu tidak wajib berdasarkan firman Allah (Surat An-Nisa
ayat 3) ‘Nikahilah perempuan yang baik menurutmu.’ Pasalnya, kewajiban
tidak berkaitan dengan sebuah pilihan yang baik. Nikah juga tidak wajib
berdasarkan, ‘Dua, tiga, atau empat perempuan.’ Tidak ada kewajiban
poligami berdasarkan ijma‘ ulama,” (Lihat Syekh M Khatib As-
Syarbini, Mughnil Muhtaj, Beirut, Darul Fikr, tanpa keterangan tahun, juz 3,
halaman 125).
Masalah yang diangkat pada kutipan di atas menyoal boleh atau
tidaknya praktik poligami yang didasarkan pada keadilan dan ketidakadilan
terkait jadwal kehadiran, nafkah finansial, atau kasih sayang terhadap anak-
anak.
Syekh Wahbah Az-Zuhayli memandang bahwa praktik poligami bukan
bangunan ideal rumah tangga Muslim. Menurutnya, bangunan ideal rumah
tangga Muslim adalah monogami. Praktik poligami adalah sebuah
pengecualian dalam praktik rumah tangga. Praktik ini bisa dilakukan dengan
sebab-sebab umum dan sebab khusus. Walhasil, hanya kondisi darurat yang
membolehkan seseorang menempuh praktik poligami :
Artinya, “Monogami adalah sistem perkawinan paling utama. Sistem
monogami ini lazim dan asal/pokok dalam syara’. Sedangkan poligami
adalah sistem yang tidak lazim dan bersifat pengecualian. Sistem poligami
menyalahi asal/pokok dalam syara’. Model poligami tidak bisa dijadikan
tempat perlindungan (solusi) kecuali keperluan mendesak karenanya syariat
Islam tidak mewajibkan bahkan tidak menganjurkan siapapun untuk
melakukan praktik poligami. Syariat Islam hanya membolehkan praktik
poligami dengan sebab-sebab umum dan sebab khusus,”
(Lihat Syekh Wahbah Az-Zuhayli, Al-Fiqhul Islami wa Adillatuh, Beirut,
Darul Fikr, cetakan kedua, 1985 M/1405 H, juz 7, halaman 169).
Sebab-sebab umum yang dimaksud antara lain, menurut Syekh
Wahbah, adalah perang yang menewaskan banyak pria. Sementara sebab
khusus adalah penyakit berat yang diderita oleh seorang istri sehingga tidak
bisa melakukan tugas-tugasnya sebagai seorang istri.

Anda mungkin juga menyukai