Anda di halaman 1dari 4

Vivi Yenni Aryanti (19620056)

ITTIBA’, TAQLID DAN TALFIQ

A. Ittiba’
1. Pengertian

Secara Bahasa, ittiba’ berasal dari Bahasa Arab yaitu ittaba’a-yattabi’u-ittiba’an yang
berarti mengikuti atau menurun. Ittiba’ yang dimaksud adalah menerima perkataan orang lain
dan mengetahui alasan perkataannya. Disamping itu ada juga yang memberi definisi bahwa
ittiba’ ialah menerima perkataan seseorang dengan dalil yang lebih kuat. Jika disimpulkan
maka ittiba’ adalah mengambil atau menerima perkataan seorang Faqih atau Mujtahid,
dengan mengetahui alasannya serta tidak terikat pada salah satu Mazhab dalam mengambil
suatu hukum berdasarkan alasan yang dianggap lebih kuat dengan jalan membanding.1

2. Dasar Hukum

Ittiba’ bukanlah mengikuti pendapat ulama tanpa alasan agama. Adapun orang yang
mengambil atau mengikuti pendapat ulama dengan disertai alasan-alasan dinamakan Muttabi.
Hukum ittiba’ adalah wajib bagi setiap muslim, karena ittiba’ adalah perintah Allah,
sebagaimana firman-Nya dalam Q.S. Al-A’raf ayat 3 yang artinya:

“Ikuti apa yang dituntunkan kepadamu dari Tuhanmu dan janganlah kamu mengikuti
pemimpin-pemimpin selain-Nya. Amat sedikitlah kamu mengambil pelajaran
(daripadanya)”.2

Untuk menjadi seorang Muttabi’, maka perlu memperhatikan hal sebagai berikut:

a. Melakukan penggalian hukum secara mendalam


b. Mempelajari dasar-dasar pijakan hukum Islam
c. Menguasai Bahasa Arab sebagai Bahasa yang dipergunakan oleh Al-Qur’an
d. Memahami hadits serta seluk-beluknya
e. Mengenal lebih dalam tentang ulama madzhab
f. Menghargai pendapat orang lain
g. Selalu beertanya kepada ahlinya (ulama) jika tidak mengetahui urusan agama.3

1
A. Basiq Djalil, Ilmu Ushul Fiqh Satu dan Dua, Jakarta: Kencana, 2010. hlm 195
2
Tim Penyusun, Al-Hikmah Al-Qur’an dan Terjemahannya, Bandung: CV. Diponegoro, 2014. hlm 151
3
Beni A. Saebani dan Januri, Fiqh Ushul Fiqh, Bandung: CV Pustaka Setia, 2009. Hlm 292
B. Taqlid
1. Pengertian

Secara Bahasa, Taqlid berasal dari Bahasa Arab yaitu qalada-yuqalidu-taqlidan, yang
berarti meniru, menyerahkan, menghiasi dan menyimpangkan. Sedangkan secara istilah,
taqlid berarti mengikuti pendapat orang lain tanpa mengetahui sumber atau alasannya.4 Imam
Al-Ghazali berpendapat mengenai taqlid, yaitu menerima ucapan tanpa adanya hujjah atau
dalil. Sedangkan Ibnu Subki mendefinisikan taqlid adalah mengambil suatu perkataan tanpa
mengetahui dalil.5 Dari berbagai pengertian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa taqlid
adalah mengambil pendapat orang lain tanpa mengetahui dalilnya serta tidak mengetahui kuat
atau tidaknya dalil tersebut.

2. Hukum Taqlid

Taqlid pada mulanya dilarang dikarenakan ia hanya mengiluti tanpa mengetahui


alasan dan dalilnya. Namun, para ulama menghukumi taqlid dengan tiga hukum, yaitu:

a. Haram
Ulama sepakat bahwa haram hukumnya jika melakukan tiga taqlid ini:
1) Taqlid semata-mata mengikuti adat kebiasaan atau pendapat nenek moyang
atau orang terdahulu yang bertentangan dengan Al-Qur’an dan Hadits.
2) Taqlid kepada orang yang tidak diketahui bahwa dia pantas diambil
perkataannya.
3) Taqlid kepada perkataan atau pendapat seseorang, sedangkan yang bertaqlid
mengetahui bahwa pendapat atau perkataan itu salah.
b. Boleh

Jika seseorang yang bertaqlid tersebut sudah mengerahkan usahanya untuk


ittiba’ kepada yang diturunkan Allah Swt. akan tetapi ada sebagian darinya yang
tersembunyi bagi orang tersebut sehingga dia taqlid kepada orang yang lebih berilmu
darinya.

c. Wajib

Ialah taqlid kepada orang yang perkataannya dijadikan sebagai dasar hujjah,
yaitu perkataan dan perbuatan Rasulullah SAW.6

4
Beni A. Saebani dan Januri, Fiqh Ushul Fiqh, Bandung: CV Pustaka Setia, 2009. Hlm 293
5
Ahmad Sanusi dan Sohari, Ushul Fiqh, Jakarta: PT Grafindo Persada, 2015. Hlm 239
6
Ibid, hlm 240
C. Talfiq
1. Pengertian

Secara Bahasa talfiq berarti melipat antara yang satu dengan yang lainnya, sedangkan
secara istilah dapat diartikan mencampur adukkan dua pendapat atau lebih dalam sebuah
permasalahan, sehingga akan melahirkan pendapat ketiga yang antara kedua pendapat tadi
sama-sama tidak mengakui kebenarannya. Sehingga terjadilah sebuah hukum baru yang
membatalkan antara kedua pendapat tersebut.

Para ahli ushul mendefinisikan bahwa yang dimaksud dengan talfiq yaitu menetapkan
suatu perkara yang tidak dikatakan oleh seorang Mujtahid. Maksudnya adalah melakukan
suatu perbuatan dengan mengikuti suatu madzhab, dan mengambil satu masalah dengan dua
pendapat atau lebih untuk sampai kepada suatu perbuatan yang tidak ditetapkan oleh kedua
Mujtahid tersebut, baik pada imam yang diikuti dalam madzhabnya maupun menurut
pendapat imam yang baru ia ikuti.7

2. Hukum Talfiq

Secara umum dalam permasalahan talfiq ini tidak ada dalil sharih (jelas) yang
menunjukkan kebolehan atau larangan untuk melakukan talfiq. Adapun pendapat yang
mengakatan tidak boleh melakukan talfiq itu bersumber dari apa yang dikatakan oleh ulama
ushul di dalam ijma’ mereka, dimana mereka beranggapan bahwasanya dikhawatirkan akan
timbul pendapat ketiga setelah terjadi perbedaan pendapat antara dua kelompok dalam
madzhab tersebut. Maka, para ulama berpendapat tidak boleh memunculkan pendapat yang
ketiga, karena dikhawatirkan akan menyalahi sesuatu yang sudah menjadi kesepakatan ulama
secara ittifaq.8

Terdapat tiga pendapat ulama sebagaimana yang dijelaskan oleh Syeikh Wahbah al-
Zuhayli tentang talfiq:

a. Pendapat yang menyatakan bahwa seseorang wajib mengikuti satu madzhab dan
tak boleh pindah ke madzhab yang lain.
b. Pendapat yang menyatakan bahwa seseorang dibebaskan memilih dan berpindah-
pindah madzhab.

7
Rasyida al-Jasad, 2015, Talfiq dalam Pelaksanaan Ibadah dalam Perspektif Empat Madzhab, Cendekia: Jurnal Islam,
Vol. 1 No. 1, hlm 63
8
Ibid, hlm 70-71
c. Pendapat yang menyatakan bahwa perpindahan madzhab boleh dilakukan asal
berada di luar lingkup satu ibadah tertentu.9

Dari ketiga pendapat di atas, pendapat pada poin ketigalah yang paling mutakhir dan
mencakup dua pendapat lainnya. Artinya, seseorang diperbolehkan berpindah
madzhab asalkan tidak dalam satu rumpun ibadah. Sebagai contoh, ketika seseorang
shalatnya menganut pada madzhab Syafi’I maka rumpun ibadah yang berkaitan
dengan shalat juga harus berdasarkan madzhab Syafi’I, termasuk dalam berwudhu
sebagaimana wudhu ialah syarat sah mendirikan shalat. Tidak diperbolehkan bagi
seseorang, misalnya ketika wudhu ia membasuh wajah dengan cara madzhab Syafi’I,
lalu ia membasuh tangan dengan cara madzhab Maliki, mengusap kepala mengikuti
madzhab Hanafi dan membasuh kaki dengan cara madzhab Hambali. Maka hal yang
demikian tidak diperbolehkan.

9
Rasyida al-Jasad, 2015, Talfiq dalam Pelaksanaan Ibadah dalam Perspektif Empat Madzhab, Cendekia: Jurnal Islam,
Vol. 1 No. 1, hlm 60

Anda mungkin juga menyukai