Abstract
The scientific development of Hadith in Indonesia has begun in the 17th century
AD. The science of Hadith has experienced various problems, especially when the
renewal figures emerged, which at that time were feared because perhaps what the
reformers brought did not all match the conditions in Indonesia. This paper will
discuss the contribution of KH. Hasyim Asy'ari in fighting for hadith scholarship
and providing answers to community problems. This study is important to see the
dynamics of hadith studies in Indonesia, which had experienced a vacuum. The
Book of Minutes of Ahlu Sunnah wa al-Jama'ah is one of the books written in the
early 20th century. This is the book referred to by KH. Hasyim Asy'ari provides
answers to the problems faced by modernists. His thoughts cannot be separated
from the influence of the teachings of his teachers.
Pendahuluan
Sejarah studi hadits di Indonesia mulai sebelum abad ke-17 M, tetapi belum
begitu pesat atau bisa dibilang masih bersifat antologi. Pada saat itu yang ada
karangan-karangan para ulama’ terdahulu atau disebut kitab-kitab mu’tabarah.
Seperti kutubus sittah, kutubus tis’ah dan lain-lain. Kemudian, keilmuan hadits
masuk mulai abad ke-17 M, yang mana ditandai dengan sebuah karangan kitab
seorang ulama’ saat itu yaitu Nuruddin al-Raniri yang karangannya berjudul kitab
Hidayah al-Habib fi Targhib. Tidak hanya beliau saja, tetapi ada tokoh lainnya,
seperti Abd al-Rauf al-Sinkiti dan Muhammad Yusuf al-Maqasari. Meskipun,
ulama’ Indonesia sudah menunjukkan keahlian dalam bidang hadits, abad ini
kajian hadits belum begitu sistematis atau teratur.
Abad ke-19 akhir dan awal abad ke-20 M, keilmuan hadits mulai
berkembang yang ditandai dengan muncul ulama’ selain di atas, seperti Mahmudz
al-Tarmasi, Yasin al-Fadani dan Kh. Hasyim Asy’ari. Perkembangan ini di
buktikan dengan karangan KH. Mahmudz al-Tarmasi yaitu berupa kitab Manhaj
Dhawi al-Nazar yang di tulis beliau ketika di Makkah. Kemudian awal abad ke-20
keilmuan hadits semakin berkembang secara cukup signifikan. Juga muncul
beberapa ulama’ lainnya, seperti A. Hasan, Munawar Khalil dan T. M. Hasbi.
Secara umum, kajian hadits di Indonesia seakan-akan kembali pada
kalangan mutaqaddimin yang fokus pada dua hal yakni hadits dan ulumul hadits.
Karangan-karangan itu bisa berupa, terjemahan dari kitab bahasa Arab, ada yang
menuslikan teori yang dimilikinya, ada yang dijadikan pedoman ritual ibadah dan
ada yang karangannya bertujuan untuk memberikan jawaban terhadap masalah
yang dihadapi suatu daerah, contohnya karangan KH. Hasyim Asy’ari berupa kitab
yang berjudul Risalah Ahlu al-Sunnah wa al-Jama’ah.(Putra, 2013)
Ada riwayat lain yang menjelaskan terperinci tentang perkembangan
keilmuan hadits di Indonesia antara lain:
1. Hadits belum masuk kurikulum (sebelum 1900), pesantren belum
memasukkan materi hadits. Hal tersebut dikarenakan bermadzab, kurangnya
pakar hadits dan sedikit sekali literaturnya.
2. Hadits masuk kurikulum pesantren (1900-1960), banyak tokoh yang menulis
hadits, lahirnya ormas Islam, Muhammadiyah dan Persis yang menjadi
pembuka keilmuan hadits.
3. Masuk Perguruan Tinggi (1960-1980), keilmuan hadits semakin sitematis,
mulai periodesasi sejarah hadits, asbab wurud dan jarh wa ta’dil.
4. Masuk Pasca Sarjana (1980-2000), kajiannya lebih mendalam dan
komplikasi. Tulisan ini akan membahas salah satu tokoh ulama’ yang ikut
berpartisipan dalam menyebarkan keilmuan hadits di Indonesia. Tulisan
yang akan membahas tentang kontrbusi KH. Hasyim Asy’ari dalam
perkembangan keilmuan hadits.(Saputra, 2017)
Pembahasan
A. Biografi KH. Hasyim Asy’ari
Beliau mempunyai nama lengkap yaitu Muhammad Hasyim Asy’ari ibn
‘Abd al-Wahib ibn ‘Abd al-Halim yang mempunyai gelar Pangeran Bona ibn Abd
al-Rahman atau dikenal dengan Jaka Tingkir Sultan Hadiwijoyo ibn Abdullah ibn
Abdu al-‘Aziz ibn Abd al-Fatih ibn Maulana Ishaq dari Raden ‘Ain al-Yaqin yang
juga merupakan Sunan Giri.
KH. Hasyim Asy’ari mempunyai bapak bernama kiai As’ari dan ibunya
bernama Halimah. Beliau lahir pada hari Selasa Kliwon tanggal Masehinya 14
Februari 1871 atau tanggal Hijriahnya 24 Dzulqo’sudah 1287 di Pesantren Gedang
Jombang, Jawa Timur. Ayahnya itu berasal dari Demak, Jawa Tengah yang
memiliki pesantren besar. Ayahnya adalah keturunan kesembilan dari penguasa
Kerajaan Islam Demak (Jaka Tingkir, Sultan Pajang) pada tahun 1568, yang juga
merupakan putra dari Brawijaya VI (Penguasa Kerajaan Majapahit pada
seperempat pertama abad XVI di Jawa). Mulai kecil kehidupan Kh. Hasyim
Asy’ari selalu dilingkungan santri, begitu juga keluarganya yang tidak bisa
dilepaskan dari pengaruh lingkungan pesantren. Beliau dibesarkan dengan ayahnya
sendiri yaitu KH. Asy’ari, bahkan kakek buyutnya adalah pendiri Pondok
Pesantren Tambak Beras Jombang yaitu Kiai Sihah. Dan kakeknya adalah pendiri
Pondok Pesantren Gedang yaitu Kiai Usman.
Ibunya saat mengandung Kh. Hasyim asy’ari sangat lama yang melebihi
umumnya ibu-ibu lainnya yaitu selama 14 tahun. Dalam pandangan masyarakat
Jawa, kehamilan yang panjang mengindikasikan bayu yang lahir cemerlang di
masa depannya. Orang Tuanya lebih yakin dengan isyarat ini, karena sang ibu
telah bermimpi bahwa bulan purnama jatuh dari langit dan menimpa tepat di atas
perut ibunya. Orang tunya menyaksikan sendiri bakatnya KH. Hasyim Asy’ari,
ketika saat bermain dengan anak-anak, beliau selalu menjadi penengah selama
temannya ada yang melanggar aturan permainannya. Beliau mengenyam
pendidikan mulai kecil yaitu umur 6 tahun yang dirawat kiai Usman. Pada tahun
1876, beliau harus meninggalkan kakeknya, karena harus ikut ayah dan ibunya
yang membangun pondok di Keras, desa bagian selatan Jombang. Di sanalah
beliau menghabiskan selama 15 tahun dan setelahnya menuntut ilmu ke pesantren-
pesantren yang ada di Makkah. Beliau sangat cerdas, selalu muto’laah terhadap
kitab-kitab yang dipelajari dan ayahnya membekali ilmu-ilmu dasar Agama,
khususnya membaca dan menghafal al-Qur’an.
Istri-istri beliau, antara lain Khadijah salah satu putri dari Kiai Ya’qub dari
Siwalan Panji Sidoarjo yang nikah tepat saat itu Kh. Kasyim berusia 21 tahun. Dari
pernikahan ini tidak mempunyai anak, karena istrinya meninggal beserta anak yang
masih dikandung. Saat itu beliau berada di Makkah, karena perintah mertuanya
untuk menuntut ilmu ke Makkah. Dengan alasan, seorang ulama’ belum cukup
ilmunya jika belum mengaji di Makkah selama bertahun-tahun.
Istri yang keduanya adalah Nafisah putri kiai Romli dari desa Karangkates
Kediri, pada tahun 1899 M/1315 H. Pernikahannya juga tidak lama, karena dua
tahun setelah nikah, Nafisah meninggal dunia. Istri ketiganya adalah putri dari Kiai
Ilyas pengasuh pesantren Sewulan Madiun yaitu Nafiqah. Dengan istri ketiga ini
mempunyai 10 anaj diantaranya: Hannah, Khoiriyah, Aisyah, Azizah, Abdul
Wahid, Abdul Hakim (Abdul Kholik), Abdul Karim, Ubaidillah, Mashuroh dan
Muhammad Yusuf. Pada tahun 1920 M, Nafiqah meninggal dunia. Istri ke empat
dan terakhir adalah Masruroh putri kiai Hasan yang merupakan pengasuh
pesantren Kapungrejo, Pagu, Kediri. Dari pernikahan terakhirnya ini mempunyai
emapt anak yaitu: Abdul Qadir, Fatimah, Khadijah dan Muhammad Ya’ku.
Beliau KH. Hasyim Asy’ari mempunyai gelar “Hadratus Syaikh” yang
mempunyai arti hafal kitab kutubus sittah (kitab induk hadits yang berjumlah 6)
antara lain: Sahih Bukhari, Sahih Muslim, Sunan Abu Dawud, Sunan Turmudzi,
Nasa’i dan Ibnu Majah. Jasa-jasa beliau tidak hanya dibuktikan di dunia pesantren
saja. Akan tetapi, beliau berperan juga dalam memperjuangkan Indonesia, yang
ditunjukkan dengan Bung Tomo dan J. Sudirman sering minta nasehat kepada
beliau. Beliau wafat pada tanggal 25 Juli 1947 M yang bertepatan di bulan
Ramadhan 1336 H pukul 03:45, usianya saat itu 79 tahun. Atas segala jasanya
yang berikan Negara Indonesia, beliau ditetapkan sebagai pahlawan negara dengan
keputusan RI No. 294 tahun 1964.
B. Guru-guru dan Pendidikan KH. Hasyim Asy’ari
Mulai kecil KH. Hasyim Asy’ari sudah diajarkan oleh ayahnya sendiri, dan
itu pun cukup lama juga yaitu selama 15 tahun. Saat diajar ayahnya, beliau sudah
memperlihatkan kecerdasannya dan kehausan akan menuntut ilmu. Hal tersebut
dibuktikan dengan kepergian beliau ke berbagai pesantren terkenal kala itu. KH.
Hasyim Asy’ari menghabiskan belajar dan mendalami Tauhid, Tafsir, Hadits,
Bahasa Arab dan bidang kajian keislaman lainnya. Kecerdasannya saat diajar
ayahnya dibuktikan dengan, ketika genap umur 13 Tahun, KH. Hasyim Asy’ari
dipercayai untuk membantu mengajar santri ayahnya yang lebih senior dar beliau.
Pada saat usia 15 tahun, KH. Hasyim Ay’ari mulai mengembara ilmu dari
berbagai pesantren di Pulau Jawa seperti di Pesantren Wonocolo Jombang,
Pesantren Probolinggo, Pesantren Langitan, Pesantren Tranggilis dan berguru pada
Kiai Kholil Bangkalan Madura. Setelah belajar di Bangkalan, melanjutkan belajar
di pesantren Siwalan Panji Sidoarjo yang diasuh oleh Kiai Ya’qub. Beliau belajar
ke Kiai Kholil dengan memperdalam berbagai bidang kajian Islam, terutama
bahasa Arab, sastra, fiqh dan tasawuf. Sedangkan, ketika belajar kepada Kiai
Ya’qub memperdalami tauhid, fiqh, adab, tafsir dan hadits.
Pada tahun 1893 KH. Hasyim Asy’ari berangkat ke Makkah untuk
memperdalam ilmu Agama. Mahfudz Termas adalah ulama’ jawa yang menjadi
guru paling penting. Oleh karena itu, beliau berguru kepadanya dan mempelajari
kitab Shahih Bukhari yang membuatnya diakui sebagai pakar yang otoritatif di
bidang ini. Dari Mahfud Termas juga, beliau berlajar sufisme, khususnya sufisme
al-Ghazali yang berorientasi syari’at. Ketika berada di Makkah, beliau berguru
pada ulama-ulama terkenal Makkah dan ibadah haji untuk kedua kalinya. Antara
lain gurunya di Makkah Syaikh Ahmad Amin al-Attar, Sayyid Sultan, Hashim,
Sayyid Alwi, Ahmad al-Saqqaf, Sayyid ‘Abbas al-Maliki, Sayyid ‘Abdullah al-
Zawawi, Syaikh Salih Batadal, Syaikh Sultan Hashim Dagastani, Syaikh Shu’ayb,
‘Abd al-Rahman, Syaikh Ibrahim ‘Arab, Syaikh Rahmat Allah, Sayyid Ali al-
Saqqaf, Sayyid Abu Bakar Shata al-Dimyati dan Sayyid Husayn al-Habsyi yang
saat itu menjadi mufti di Makkah. Begitu juga, kepada Syaikh Ahmad Khatib
Minagkabawi, Syaikh Nawawi al-Bantani dan Syaikh Mahfudz Tarmasi yang
ketiga ini merupakan guru besar di Makkah.
Sedangkan, muridnya juga merupakan ulama-ulama yang terkenal di
berbagai negara, antara lain Syaikh Sa’d Allah al-Maymani (mufti di Bombay,
India), Syaikh ‘Umar Hamdan (ahli hadis di Makkah), al-Shihab Ahmad ‘Abdullah
(Suriah), KH. Abdul Wahab Chasbullah (Tambakberas, Jombang), KH. Asnawi
(kudus), KH. Dahlan (Kudus), KH. Bisri Syansuri (Denanyar, Jombang) dan KH.
Saleh (Tayu).
Tujuh tahun lamanya, beliau mempelajari ilmu dari guru-guru di Makkah,
akhirya pada tahun 1313 H/1899 M Hasyim pulang ke tanah air. Sesampainya di
Indonesia, beliau tidak langsung mendirikan pesantren, tetapi membantu mengajar
di pondok kakeknya, kemudian di tahun 1903-1906 beliau mengajar di pondok
mertuanya, di Kemuning, Kediri. Pada tahun yang sama, beliau membeli sebidang
tanah dari seorang dalang di Dukuh Tebuireng dan didirikan pondok yang saat ini
terkenal dengan pesantren Tebuireng Jombang.
C. Karya-karya KH. Hasyim Asy’ari
1. Adab al-Alim wa al-Muta’allim fi ma Yahtaj Ilahi al-Muta’allim fi ahwa’
Ta’allum wa ma Yatawaqaf ‘Alaih al-Mu’allimin fi Maqamat Ta-limih. Kitab
yang berisi akhlak guru dan murid.
2. Risalah Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah fi Hadis al-Mawta wa asyrat al-Sa’ah
wa bayani mafhum al-sunnah wal al Bid’ah. Kitab yang membahas
mengenai hadis-hadis tentang kematian dan tanda-tanda hari kiamat serta
penjelasan mengenai sunnah dan bid’ah.
3. Ziyadat Ta’liqat ‘ala Manzumah Syaikh ‘Abdullah bin Yasin al-Fasuruani.
Kitab yang berisi tambahan dan bantahan KH. Hasyim Asy’ari tehadap syair
dan kritikan Syaikh ‘Abdullah bin Yasin Pasuruan terhadap Nahdlatul
Ulama.
4. Al-Tanbihat al-Wajibat liman Yasna’ al-Mawlid bi al-Munkarat. Kitab yang
berisi nasehat untuk orang yang merayakan kelahiran Nabi Muhammad Saw
dengan melakukan perkara yang dilarang agama.
5. Risalah fi Ta’kid al-Akhzi bi Mazhab al-A’immah al-Arba’ah. Kitab yang
menjelaskan pentingnya berpedoman kepada empat madzab, yaitu Imam
Syafi’i, Imam Maliki, Imam Abu Hanifah dan Imam Ahmad bin Hanbal.
6. Mawaiz adalah kitab dengan memberikan cara menyelesaikan masalah yang
muncul di tengah umat akibat hilangnya kebersamaan dalam membangun
perberdayaan.
7. Al-zurrah al-Muntasyirah fi Masa’il Tis’a ‘Asyarah. Kitab yang menjelaskan
kajian wali dan thariqah.
8. Arba’ina Hadisan Tata’allaqu bi Mabadi Jami’yyat Nadlatul Ulama. Kitab
yang berisi 40 hadis yang menjelaskan pesan ketakwaan dan kebersamaan
hidup, yang harus menjadi fondasi kuat bagi setiap umat dalam
menyelesaikan tantangan.
9. Al-Nur al-Mubin fi Mahabbati Sayyid al-Mursalin. Kitab yang menjelaskan
mencintai Rasul dengan mengikuti dan menjalankan sunnahnya.
10.Daw’il al-Misbah fi Bayan Ahkam al-Nikah. Kitab yang berisi tentang hal-
hal yang berkaitan dengan pernikahan, mulai dari aspek hukum, syarat
hukum hingga hak-hak dalam pernikahan.(Muspiroh, 2019)
Daftar Pustaka
Afriadi, P. (2016). Pemikiran Hadis KH. Hasyim Asy’ari dan Kontribusinya
terhadap Kajian Hadits di Indonesia. 46-55
Hasep, S. (2017). Geneologi Perkembangan Studi Hadis di Indonesia. Jurnal Studi
Al-Qur’an dan Hadis. vol 1, No. 1. Hal. 41-68
Muspiroh. (2019). Peran Hadratussyaikh K.H Hasyim Asy’ari dalam
Pengembangan Hadis di Indonesia. Skripsi. Banten: Universitas Sultan Maulana
Hasanuddin Banten