Anda di halaman 1dari 5

RESENSI BUKU

JAS MEWAH ( Jangan Sekali-kali Melupakan Sejarah &


Dakwah )

Dosen pengampu : Dr. Zakiya Darojat M.A.

DI SUSUN OLEH
Rafiansyah Alma F. NIM :11220360000067

FAKULTAS USHULUDDIN
PROGRAM STUDI ILMU HADIS
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
Jl. Ir H. Juanda No.95, Cemp. Putih, Kec. Ciputat Tim., Kota Tangerang Selatan, Banten
15412
Identitas Buku

Penulis : Dr.Tiar Anwar Bachtiar


Tebal Buku : 392 Halaman
Penerbit : Pro-U Media
Tahun Terbit : 2018

Sinopsis

Dengan membaca kalimat-kalimat di sampul buku ini, pembaca sudah bisa menebak
isi buku tersebut. Mungkin, Dr. Tiar Anwar Bachtiar, sebagai penulis buku ini, diambil dari
naskah kalimat "Jas Merah" yang sering didengungkan Bung Karno. Dengan judul dan sub
judul, buku ini membahas tentang sejarah Indonesia, khususnya sejarah islam dan pergerakan
Dakwah di Indonesia.
Kata INDONESIA apabila kita sekedar mengejanya, maka tentu itu tidak menjadi hal
yang rumit. Tetapi kata “Indonesia” ini telah menjadi suatu konsep tentang komunitas baru di
kawasan Asia sebelah Tenggara, tentu saja kita mengeja Indonesia bukanlah hal yang semata-
mata mudah dilakukan.
Sebelum masuk ke inti pembahasan, penulis mengungkapkan kegelisahan dan ironi
tentang takdir sejarah dan karyanya di Indonesia. Dan di Indonesia, buku-buku sejarah masih
“kehilangan pamor” dan tergantikan oleh novel atau karya fiksi lainnya. Namun, sejarah
sangat penting bagi negara ini.

Penulis membahas setidaknya lima tema utama dalam buku ini. Bagian pertama
membahas tentang masuk dan berkembangnya Islam di Indonesia, seperti ketika Islam
pertama kali masuk ke Indonesia. Bagian kedua membahas pesantren sebagai warisan khas
Islam nusantara, seperti perkembangan pesantren dari zaman dahulu hingga sekarang. Bagian
ketiga membahas gerakan dakwah di Indonesia seperti Perhimpunan Islam (Persis), Majelis
Dakwah Islam Indonesia (DDII), NU, Muhammadiyah, INSIST dan ICMI. Bagian keempat
membahas tokoh-tokoh penting di tanah air seperti Tajul Alam Syafiatuddin Johan Berdaulat
(Ratu Kerajaan Aceh), Hasyim Asy'ari (salah satu pendiri NU), A. Hassan (tokoh abadi) dan
M. Natsir ( pendiri DDII). Bagian kelima membahas tentang Islamisasi penulisan dan
pengajaran sejarah di Indonesia.

Membaca “Jas Mewah” seakan membuka pikiran saya bahwa mungkin pembaca lain
menganggap buku sejarah yang dipelajari dari SD hingga SMA tidak 100% benar. Apalagi
jika membahas sejarah Islam di Indonesia, rasanya “ditutup-tutupi” atau kebenaran dipelintir.
Peran Islam di Indonesia dirasakan sangat minim, terutama dalam perang melawan penjajah
dan pembebasan Indonesia. Seperti dalam pembahasan pangeran Diponegoro yang
digambarkan sebagai seorang Jawa sekuler, bahkan jika ia mendekati Ulama untuk menuntut
ilmu. Ia juga melakukan banyak kegiatan liturgi seperti puasa sunnah, shalat malam dan
i'tikaf agar tidak membuatnya terlena dengan dunia. Bahkan perang antara Pangeran
Diponegoro dan pasukannya dengan VOC (Belanda) yang terjadi pada tahun 1825-1830
disebut perang sabil atau perang fii sabilillah. Namun dalam buku-buku sejarah, perang ini
dikenal dengan nama Perang Diponegoro.

Pada awal bagian histori diawali penulis mulai dari masuk dan berkembangnya Islam
di Indonesia. Penulis mengajak membaca Indonesia dengan malalui pendekatan baru yaitu
pendekatan maritim.Jadi, Struktur yang seperti apa yang membuat sangat memungkinkan
terjadinya proses pembaharuan Islam di Indonesia pada abad ke-17 dan ke-18. Struktur
seperti yang diinginkan Braudel berlainan dengan struktur dalam struktualisme C.Levis
Strauss berkaitan dengan factor geografis dan ekologis laut jawa. Dalam kesimpulan, sumber
pembaharuan Islam di Indonesia berasal dari Timur Tengah. Saat itu, telah terjadi koneksi
intelektual antara kepulauan Nusantara dan Hijaz. Kenyataan ini memperlihatkan adanya satu
hubungan konjungtural yang membentuk satu system yang mewadahi peristiwa berbagai
sejarah dalam hal ini pembaharuan pemikiran Islam dengan segala dinamikanya.

Pada bagian yang kedua, pembahasan diperdalam dengan membahas pesantren


sebagai warisan Islam khas nusantara. Seorang Martin Van Buinissen sorang antropolog
pengamat Islam Indonesia menyebut pesantren sebagai tradisi besar dalam sejarah
panjangnya perjalan budaya Indonesia, Nurcholis Madjid menyebutnya sebagai mengandung
makna keaslian Indonesia. Meskipun tentang asal-usul pesantren masih banyak perdebatan,
apakah hanya kelanjutan dari system asrama pada zaman hindu yang di Islamisasi atau
sebagai adaptasi dari system pendidikan Timur Tengah pada abad pertengahan. Akan tetapi
Martin Van Buinissen berhenti pada dugaan bahwa lembaga yang dikenal dengan nama
pesantren, baru ada setelah abad ke-18.

Bagian ketiga, Pembahasan mengerucut pada gerakan dakwah islam di Indonesia.


Ada sebuah ungkapan “Dulu kita berpolitik untuk dakwah, sekarang kita berdakwah untuk
politik” kata-kata Mohammad Natsir yang sering disampaikan pada forum-forum DDII yang
didirikannya pasca Masyumi dibubarkan. Lalu membahas bahwa ada keberkahan pada
kemerdekaan yang diiringi dengan dakwah Islam , bagaimana para ulama memikirkan dan
disibukkan dengan persiapan negara ini agar tidak keluar dari jalur Islam yang tetap memiliki
kader umat yang mundzirul qaum dan tetap mengembangkan ilmu pengetahuan berdasarkan
Isalm. Dijelaskan pada bagian ketiga ini bagaimana kita memahami gerakan Islam tradisional
dan modern pada awal abad ke-20 yang memang sering di bicarakan tentang perbedaan
mazhab dimana muslim tradisionalis menganut mazhab Imam Syafi’i dalam fikih, dan
muslim modernis di anggap “tidak bermazhab” dan kembali kepada Al-Quran dan Sunnah.

Tokoh umat adalah tokoh bangsa juga menjadi tambahan alur lanjutan pada bagian
keempat. Pemaparan tokoh-tokoh bersejarah seperti Tajul Alam Shafiatuddin Johan
berdaulat: Ijtihad Ulama Indonesia di kancah Dunia, Hasyim Asy’ari sang pembaharu
pesantren, kepeloporan A.Hassan bagi Islam di Indonesia, serta M.Natsir memperkaya sajian
sejarah dengan paparan gaya akademis yang referentif dan dapat dipertanggungjawabkan
akurasi datanya. Pada bagian ini juga dijelaskan adanya pembaharuan pesantren yang
dibawakan oleh KH.Hasyim Asy’ari dimana pesantren sebelumnya dikenal semata-mata
mengajarkan Bahasa Arab dan kitab-kitab kuning akan tetapi beliau disini mencoba untuk
memasukkan pelajaran yang dianggap masih tabu pada masa itu seperti organisasi, pidato,
dan beliau bahkan menganjurkan untuk membaca tentang pengetahuan umum
dipesantrennya, dari pesantrennya Tebuireng lah lahir ulama-ulama besar dan pesantren
lainnya yang mengikuti jejak Tebuireng karena belajar itu merupakan ibadah untuk
mendapatkan ridha Allah dan harus diniatkan untuk mengembangkan dan melestarikan nilai-
nilai islam yang mampu untuk mengantarkan manusia menuju kemaslahatan, menuju
kebahagiaan di dunia maupun akhirat.

Bahkan ketika membahas Kartini, dia merasa bahwa perempuan adalah "kelas dua",
sehingga mereka tidak diperbolehkan untuk dididik. Dalam "Jas Mewah" ide Kartini hanya
karena dia berada di lingkungan priyayi, mungkin itu hanya terjadi di lingkungan priyayi.
Karena itu, Cardini menulis pemikirannya dalam suratnya, mengungkapkan suara
pembebasan perempuan. Sebelum Kartini, beberapa kerajaan dan peperangan dipimpin oleh
perempuan. Pesantren adalah untuk anak perempuan. Sudah ada pembagian kerja antara laki-
laki dan perempuan dalam masyarakat. Setelah membaca gaun mewah ini, saya menyadari
bahwa surat-surat yang direkam dalam "Keluar dari Kegelapan" dikumpulkan oleh pria tua
itu. J.H. Abendanon menjadi Menteri Hindia Belanda. Jadi secara tidak langsung mr. J.H.
Abendanon "meminjam" Cardini untuk mengajarkan liberalisme feminis.

Pada penutup pembahasan penulis tertata rapih pada bagian ke lima, pembahasan
puncak mengenai Islamisasi penulisan dan pengajaran sejarah di Indonesia. Pada bagian ini,
penulis memberi kritik membangun kepada pengajaran sejarah di negri kita Indonesia,
menurutnya sampai sekarang kita belum menemukan “pengajaran sejarah” dalam bentuk dan
arah yang jelas. Pada setiap periode sejak kemedekaan 1945 sampai sekarang, pola dan isi
pelajaran sejarah terus berubah dikarnakan evaluasi yang sangat banyak dari pandangan dan
pemikiran para pakar sejarah, sangat dipengaruhi oleh perubahan politik, bahan pengajaran
sejarah dipengaruhi juga oleh situasi zaman dan perkembangan historiografi, mengajarkan
sejarah disamakan dengan ilmu-ilmu yang lainnya.

Selain itu, dalam bagian terakhir buku Jas Mewah ini, sang penulis mengkritik
penulisan sejarah Hamka, Ahmad Mansur Suryanegara (AMS), dan Syed M. Naquib al-Attas.
Seperti AMS yang dianggap kurang matang dari segi metodologi karena mengambil sumber
sekunder ketika menulis buku Api Sejarah. Namun, sang penulis memuji AMS yang berhasil
membuka pikiran orang awam tentang sejarah Indonesia, khususnya sejarah Islam di
Indonesia. Bagi pembaca Jas Mewah yang belum membaca karya AMS mungkin akan
kebingungan akan kritik-kritik yang ditujukan sang penulis.

Kelebihan

Dari buku ini saya dapat mengetahui sejarah yang tidak ditemukan di buku-buku
pelajaran sejarah pada umumnya sekalipun pada buku-buku sejarah yang terkenal, mungkin
telah diketahui oleh sebagian orang akan tetapi sedikit jumlahnya. Dalam buku ini meliput
alur yang jelas dari bagaimana masuknya Islam ke Indonesia, pergerakan dakwah di
Indonesia, tokoh ulama yang berjuang didalamnya, Islamisasi pengajaran dan penulisan di
Indonesia.

Sisi lain dari kelebihan buku ini adalah meringkas kajian sejarah Islam di nusantara
yang mana memang terkadang ada sebagian orang yang menjadi malas mengetahui sejarah
yang sangat panjang bacaannya, tetapi pada buku ini diringkas dan tidak meninggalkan aspek
penting yang pada sejarah yang seharusnya diketahui oleh banyak nya masyarakat Indonesia.

Kekurangan

Menurut saya kekurangan dari buku ini adalah ketika pembaca kurang menerima
sejarah yang disajikan oleh penulis karena memiliki bacaan dan pandangan yang berbeda dari
buku ini, maka sekiranya kekurangan di dalam buku ini hanya memperkenalkan sejarah
Indonesia dan dakwah Islam yang memang perlu diketahui secukupnya adapun jika ingin
memperdalam perlu buku sejarah lainnya lagi untuk mengetahui lebih luas dan jelas.

Anda mungkin juga menyukai